عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ ” حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ هَكَذَا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan lainnya semisal itu pula)
[HR. Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Majah, no. 3976. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih].
Penjelasan Hadits
Hadits ini mengandung makna bahwa di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baik berupa perkataan atau perbuatan. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:288)
Faedah HaditsPertama:
Dalam ajaran Islam dikumpulkan berbagai macam kebaikan (mahasin). Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa kebaikan Islam terkumpul dalam dua kalimat dalam firman Allah,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90)
Kedua:
Tanda baiknya seorang muslim adalah dengan ia melakukan setiap kewajiban. Juga di antara tandanya adalah meninggalkan yang haram sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim (yang baik) adalah yang tangan dan lisannya tidak menyakiti orang lain.” (HR. Bukhari, no. 10 dan Muslim, no. 40)
Ketiga:
Jika Islam seseorang itu baik, maka sudah barang tentu ia akan meninggalkan perkara yang haram, yang syubhat dan perkara yang makruh, begitu pula berlebihan dalam hal mubah yang sebenarnya ia tidak butuh. Meninggalkan hal yang tidak bermanfaat semisal itu menunjukkan baiknya seorang muslim. Demikian perkataan Ibnu Rajab Al-Hambali yang kami olah secara bebas (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:289).
Keempat:Kata Ibnu Rajab rahimahullah, “Mayoritas perkara yang tidak bermanfaat muncul dari lisan yaitu lisan yang tidak dijaga dan sibuk dengan perkataan sia-sia” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:290).
Tentang keutamaan menjaga lisan ini diterangkan dalam ayat berikut yang menjelaskan adanya pengawasan malaikat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh lisan ini. Allah Ta’alaberfirman,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ(18)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 16-18).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Yang dicatat adalah setiap perkataan yang baik atau buruk. Sampai pula perkataan ‘aku makan, aku minum, aku pergi, aku datang, sampai aku melihat, semuanya dicatat. Ketika hari Kamis, perkataan dan amalan tersebut akan dihadapkan kepada Allah.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 13:187).
Dalam hadits Al-Husain bin ‘Ali disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ قِلَّةَ الْكَلاَمِ فِيمَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah mengurangi berbicara dalam hal yang tidak bermanfaat.”(HR. Ahmad, 1: 201. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan adanya syawahid –penguat-).
Abu Ishaq Al-Khowwash berkata,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ ثلَاَثَةَ وَيُبْغِضُ ثَلاَثَةَ ، فَأَمَّا مَا يُحِبُّ : فَقِلَّةُ الأَكْلِ ، وَقِلَّةُ النَّوْمِ ، وَقِلَّةُ الكَلاَمِ ، وَأَمَّا مَا يُبْغِضُ : فَكَثْرَةُ الكَلاَمِ ، وَكَثْرَةُ الأَكْلِ ، وَكَثْرَةُ النَّوْمِ
“Sesungguhnya Allah mencintai tiga hal dan membenci tiga hal. Perkara yang dicintai adalah sedikit makan, sedikit tidur, dan sedikit bicara. Sedangkan perkara yang dibenci adalah banyak bicara, banyak makan, dan banyak tidur.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, 5:48).
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
مَنْ عَدَّ كَلاَمَهُ مِنْ عَمَلِهِ ، قَلَّ كَلاَمُهُ إِلاَّ فِيْمَا يَعْنِيْهِ
“Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat.”
Setelah menyebut perkataan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz di atas, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:291). Yang kita saksikan di tengah-tengah kita, “Talk more, do less(banyak bicara, sedikit amalan)”.
Kelima:Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, kemudian menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, maka tanda baik Islamnya telah sempurna.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:295).
Keenam:
Mungkin ada sebagian yang menganggap bahwa meninggalkan hal yang tidak bermanfaat berarti meninggalkan pula amar makruf nahi mungkar.
Jawabnya, tidaklah demikian. Bahkan mengajak kepada kebaikan dan melarang dari suatu yang mungkar termasuk hal yang bermanfaat. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran: 104) (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 182). Sehingga dari sini menunjukkan bahwa nasihat kepada kaum muslimin di mimbar-mimbar dan menulis risalah untuk disebar ke tengah-tengah kaum muslimin termasuk dalam hal yang bermanfaat, bahkan berbuah pahala jika didasari dengan niat yang ikhlas.
SEMOGA BERMANFAAT. ALLAHUMMA INNA NAS-ALUKA ‘ILMAN NAAFI’A.
By Muhammad Abduh Tuasikal
Kunjungi juga: Blog Ngaji Kitab
____
Referensi:
- Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah;
- Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Tsuraya.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1421 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Musthofa Sayyid Muhammad, dkk. Penerbit Muassasah Qurthubah.
Sumber: https://rumaysho.com/