Memilih Yang Diyakini Dan Meninggalkan Keraguan
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: حَفِظْت مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم “دَعْ مَا يُرِيبُك إلَى مَا لَا يُرِيبُك رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ، وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
Dari Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Aku telah hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu’.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasâ`i. At-Tirmidzi berkata,“Hadits hasan shahîh]
Hadits di atas merupakan penggalan dari hadits panjang tentang qunut dalam shalat Witir. Dalam riwayat at-Tirmidzi dan selainnya terdapat tambahan dalam hadits tersebut, yaitu:
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ.
Karena sesungguhnya kebenaran adalah ketentraman dan dusta adalah keraguan.
Sedangkan lafazh dalam riwayat Ibnu Hibban ialah:
فَإِنَّ الْخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الشَّرَّ رِيْبَةٌ.
Karena sesungguhnya kebaikan adalah ketentraman dan keburukan adalah keraguan.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh. ‘Abdur-Razaq dalam al-Mushannaf (no. 4984).Ahmad (I/200). At-Tirmidzi (no. 2518). An-Nasâ`i (VIII/327-328).Ath-Thayalisi (no. 1274). Ad-Darimi (II/245). Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 2708, 2711). Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VIII/290, no. 12236). Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2032). Ibnu Hibban (no. 720 -at-Ta’lîqâtul-Hisân). Al-Hakim (II/13, IV/99).
MUFRADAATUL-HADITS (KOSA KATA HADITS)
As-Sibthu (السِّبْطُ), artinya cucu dari anak perempuan, sedangkan al-hafiid (الْحَفِيْدُ) artinya cucu dari anak laki-laki.
Raihânah (رَيْحَانَةٌ), artinya bunga yang harum aromanya. Ini merupakan kiasan dari bentuk kecintaan dan kegembiraan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang al-Hasan dan al-Husain Radhiyallahu ‘anhuma:
هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا.
Keduanya adalah kesayanganku dari kehidupan dunia[1]
Imam Ibnul-Atsir rahimahullah berkata,“Ar-Raihân (الرَّيْحَانُ) dimutlakkan maknanya atas rahmat (kasih sayang), rizki, dan kesenangan. Anak disebut ar-raihaan karena ia merupakan rizki.”[2]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Disamakannya al-Hasan dan al-Husain dengan bunga yang harum aromanya karena anak kecil selalu dicium”[3]
Da’ (دَعْ) merupakan sinonim dari kata utruk (اُتْرُكْ), artinya tinggalkanlah. Mâ Yarîbuka (مَا يَرِيْبُكَ), artinya apa saja yang membuatmu ragu-ragu, cemas, dan bimbang. Ash-Shidqu (اَلصِّدْقُ) artinya, kejujuran. Al-Kadzibu (الْكَذِبُ), artinya kedustaan. Ath-Thuma’nînah (اَلطُّمَأْنِيْنَةُ), artinya ketenangan. Al-Khairu (اَلْخَيْرُ), artinya kebaikan. Asy-Syarru (اَلشَّـرُّ), artinya kejelekan, keburukan, dan kejahatan. Ar-Rîbatu (اَلرِّيْبَةُ), artinya keragu-raguan, kecemasan, dan kegelisahan.
BIOGRAFI PERAWI HADITS
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang al-Hasan dan al-Husain Radhiyallahu ‘anhuma.
إِنَّ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ.
Sesungguhnya al-Hasan dan al-Husain, keduanya adalah pemimpin pemuda ahli Surga[4]
Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhuma, cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak beliau yang bernama Fathimah Radhiyallahu ‘anhuma. Dilahirkan di Madinah tahun ketiga Hijriyyah. Ia adalah seorang pemuda yang tampan, pemilik akal yang cemerlang, penyantun, dermawan, takwa, mencintai kebaikan, fasih, dan memiliki cara berpikir dan logika yang paling baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm menyifatinya bahwa ia adalah pemimpin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ ابْنِيْ هَذَا سَيِّدٌ ، وَسَيُصْلِحُ اللهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
Sesungguhnya anakku (cucuku) ini pemimpin. Dengannya Allah akan mendamaikan antara dua kelompok besar kaum Muslimin.[5]
Dan kenyataannya pun demikian, yaitu ketika ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mati syahid dan al-Hasan Radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai khalifah. Kemudian setelah enam bulan menjabat khalifah muncul ide darinya untuk menghentikan pertumpahan darah kaum Muslimin, maka ia menyerahkannya kepada Mu’awiyyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhuma. Melalui penyerahan jabatannya itulah Allah Ta’ala mendamaikan antara para pendukung Mu’awiyyah Radhiyallahu ‘anhu dan para pendukung ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan memperoleh kebaikan yang sangat banyak. Itu terjadi pada tahun 41 H. Ummat Islam menamai tahun itu dengan tahun persatuan karena bersatunya kaum Muslimin di bawah seorang khalifah. Al-Hasan Radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia pada tahun 50 H. dan dikuburkan di Baqi’. Ia meriwayatkan dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebanyak 13 hadits[6]
SYARAH HADITS
Makna hadits di atas ialah berhenti dari hal-hal yang syubhat dan menjauhinya karena perkara yang halal itu tidak menimbulkan keraguan di hati seorang Mukmin. Keraguan adalah kekalutan dan kegoncangan. Justru jiwa terasa damai dengan perkara halal dan tenteram dengannya. Adapun hal-hal yang syubhat menimbulkan kekalutan dan kegoncangan di hati dan membuatnya ragu-ragu.
1. Wara`nya ulama Salaf Dan Mereka Meninggalkan Perkara-Perkara Syubhat.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mempunyai budak laki-laki yang menyerahkan hasil kerjanya kepadanya, dan Abu Bakar biasa memakan dari hasil kerjanya itu. Pada suatu hari, budak tersebut datang membawa sesuatu, kemudian Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memakannya. Budak tersebut berkata kepada Abu Bakar, ‘Tahukah engkau, apa yang engkau makan tadi?’ Abu Bakar menjawab, ‘Tidak tahu.’ Budak tersebut berkata, ‘Aku pernah menjadi dukun untuk seseorang pada masa Jahiliyah, padahal aku tidak bisa menjadi dukun yang baik. Aku tipu orang tersebut, kemudian ia memberiku uang. Itulah yang engkau makan,’ maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memasukkan tangannya ke dalam mulutnya, kemudian beliau memuntahkan segala sesuatu yang ada di dalam perutnya”[7].
Abu ‘Abdur-Rahmân al-Amri rahimahullah berkata, “Jika seorang hamba bersikap wara`, ia akan meninggalkan apa saja yang meragukannya menuju apa saja yang tidak meragukannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila dihadapkan pada dua pilihan, beliau mengambil yang lebih ringan (mudah).
Meninggalkan yang ragu ini berlaku dalam ibadah, mu’amalah, pernikahan, dan berlaku pula dalam setiap bab dalam disiplin ilmu.
Contoh dalam ibadah: Seseorang batal wudhu`nya, kemudian shalat, dan ia ragu-ragu apakah ia masih memiliki wudhu` ataukah sudah batal? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu kepada yang tidak ragu-ragu. Yang diragukan di sini ialah sahnya shalat, yang tidak diragukan ialah hendaknya engkau berwudhu` dan shalat.
Kebalikannya : Seseorang wudhu` kemudian shalat, lalu ia ragu-ragu apakah wudhu`nya batal ataukah tidak? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu kepada yang tidak ragu. Yang yakin padamu adalah wudhu`, sedangkan batal atau tidak batal adalah keraguan, maka tinggalkan keragu-raguan dan lanjutkan shalat.
Jika keragu-raguan terjadi di waktu shalat, maka pelakunya tidak boleh meninggalkan shalatnya karena ada hadits shahîh yang melarangnya. Seperti orang yang yakin mempunyai wudhu` kemudian shalat, namun ragu-ragu apakah ia telah batal atau belum, berdasarkan hadits shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم الرَّجُلُ الَّذِيْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلاَةِ ؟ فَقَالَ : لاَ يَنْتَفِلْ – أَوْ :لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا.
Bahwasanya diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang laki-laki yang mengira bahwa ia mendapati sesuatu (hadats yang keluar darinya, Pen.) dalam shalat. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah ia keluar (dari shalat) hingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”[8]
Demikian juga dalam pernikahan, misalnya seseorang menikah dengan disaksikan dua orang saksi, setelah akad nikah ia ragu, apakah kedua saksi itu adil ataukah tidak? Kita katakan: Proses akad nikah telah selesai dan nikahnya sah, maka tinggalkan yang ragu-ragu.
Begitu pula tentang persusuan, misalnya seorang ibu yang menyusui bayi orang lain, ia ragu-ragu apakah ia menyusui sudah lima kali susuan ataukah empat kali? Kita katakan: Yang tidak diragukan adalah empat kali susuan, sedang yang lima kali susuan adalah keraguan; maka kita katakan: Tinggalkan yang ragu (lima kali susuan) dan berpegang kepada yang yakin (empat kali susuan), maka ketika itu bayi tersebut belum dikatakan sebagai anak susuannya (ini dalam hukum penyusuan).
Begitu pula orang yang sering waswas dalam wudhu` dan shalatnya, maka hendaklah ia tinggalkan waswas tersebut karena waswas itu dari setan.
Contoh lainnya: Seseorang yang pakaiannya terkena najis lalu ia cuci, kemudian ia ragu-ragu apakah najisnya sudah hilang ataukah belum? Kita katakan: Tinggalkan yang ragu-ragu, hendaknya ia mencucinya lagi karena ia meragukan kesucian pakaiannya itu. Sebab, asalnya ialah terkena najis dan hilangnya najis masih diragukan.
Hassan bin Abi Sinan rahimahullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih mudah bagiku daripada wara`. Jika sesuatu membuatmu ragu, tinggalkan sesuatu itu.”[9]
Al-Miswar bin Makhramah rahimahullah menimbun banyak sekali makanan. Pada suatu hari, ia melihat awan di musim gugur dan ia pun tidak menyukainya. Ia berkata, “Ketahuilah bahwa sesuatu diperlihatkan kepadaku. Aku telah membenci sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin.” Kemudian ia bersumpah untuk tidak mengambil sedikit pun keuntungan dari makanannya. Hal tersebut ia laporkan kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang kemudian berkata kepadanya, “Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepadamu.”
Berdasarkan kisah di atas, penimbun barang harus menjauhi keuntungan barang yang ditimbunnya secara ilegal.
Imam Ahmad rahimahullah menegaskan bahwa orang harus menjauhi keuntungan barang yang tidak masuk dalam jaminannya, sebab keuntungan tersebut termasuk dalam kategori keuntungan barang yang tidak ia jamin.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melarangnya[10]. Imam Ahmad rahimahullah berkata, dalam riwayat darinya, tentang keuntungan uang mudharabah (bagi hasil) jika debitur menyalahi kesepakatan di dalamnya, “Ia menyedekahkan keuntungan tersebut.”[11]
Imam Ahmad rahimahullah berkata, dalam satu riwayat darinya, tentang seseorang yang membeli buah yang belum matang dengan syarat buah tersebut dipotong, tetapi kemudian orang tersebut membiarkan buah tersebut hingga matang, “Ia harus menyedekahkan kelebihannya.”[12]
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia ditanya tentang memakan hewan buruan bagi orang yang sedang ihram, kemudian ia menjawab, “Haji ialah beberapa hari saja. Oleh karena itu, apa saja yang meragukanmu, tinggalkanlah.” Maksudnya, apa saja yang tidak jelas bagimu, apakah hal tersebut halal atau haram, tinggalkanlah. Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya memakan hewan buruan bagi orang yang sedang ihram jika bukan dia sendiri yang memburu hewan tersebut. Pendapat yang terkuat ialah ia boleh memakannya selama ia tidak menyuruh untuk berburu atau mengisyaratkannya, berdasarkan riwayat dari Abu Qatadah al-Anshari.[13]
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Hadits di atas dijadikan dalil bahwa menghindari perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah lebih baik, karena lebih jauh dari syubhat. Namun beberapa ulama peneliti dari sahabat-sahabat kami dan selain mereka berpendapat bahwa itu bukan secara mutlak, karena di antara masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat di dalamnya ada yang merupakan rukhshah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada dalil yang menentangnya. Jadi, menerima rukhshah lebih utama daripada menjauhinya.
Jika rukhshah tersebut mempunyai dalil lain yang menentangnya, misalnya hadits lain atau ummat mengerjakan sebaliknya, maka yang lebih utama ialah tidak mengerjakan rukhshah tersebut. Begitu juga jika rukhshah tersebut dikerjakan orang-orang yang sesat, sedangkan ummat pada zaman sahabat di pelosok negeri Islam mengerjakan kebalikannya, maka mengambil yang dikerjakan mayoritas ummat (dari kalangan para sahabat) lebih utama, karena ummat ini (para sahabat) dilindungi Allah dari kemungkinan bersepakat dalam kebatilan. Jadi, amal perbuatan apa saja yang terjadi pada tiga generasi pertama yang mendapatkan keutamaan adalah kebenaran dan selain amal perbuatan tersebut adalah kebatilan.”[14]
Di sini, ada permasalahan yang harus dipahami dengan cerdas bahwa berhenti dari syubhat, layak dikerjakan orang yang seluruh kondisinya telah lurus dan seluruh amal perbuatannya sama dalam takwa dan wara`. Sedangkan bagi orang yang menerjang hal-hal yang diharamkan yang terlihat kemudian ia ingin menjauhi salah satu dari hal-hal syubhat, maka hendaknya ia diingkari, seperti dikatakan Ibnu ‘Umar kepada orang Irak yang bertanya kepadanya tentang darah nyamuk: “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh al-Husain Radhiyallahu ‘anhu. Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keduanya (Hasan dan Husain) adalah kesayanganku dari kehidupan dunia’.”[15]
2. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, “Sesungguhnya Kebenaran Adalah Ketentraman Dan Dusta Adalah Keraguan.”
Maksudnya, sesungguhnya kebaikan itu menentramkan hati, sedangkan keburukan membuat hati serba ragu dan tidak tentram. Ini isyarat untuk kembali kepada hati jika terjadi sesuatu yang tidak jelas.[16]
Di riwayat lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kebenaran adalah ketentraman dan dusta adalah keragu-raguan.” Menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh berpatokan kepada ucapan setiap orang, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Wabishah, “Kendati manusia memberi fatwa kepadamu.” Namun ia harus berpatokan kepada ucapan orang yang berkata benar, dan tanda kebenaran ialah hati merasa tentram dengannya; sedangkan tanda dusta ialah timbulnya keragu-raguan di hati. Jadi, hati tidak tentram dengan dusta dan malah lari dengannya.
Oleh karena itu, ketika orang-orang cerdas pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ucapan beliau dan apa yang beliau dakwahkan, mereka tahu bahwa beliau benar dan dengan membawa kebenaran. Sebaliknya ketika mereka mendengar perkataan Musailamah al-Kadzdzab, mereka tahu bahwa ia pendusta dan membawa kebatilan. Diriwayatkan dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa sebelum ia masuk Islam, ia mendengar perkataan Musailamah al-Kadzdzab, “Hai kelinci, hai kelinci, engkau mempunyai dua telinga dan dada. Engkau sendiri mengetahui hal ini, hai ‘Amr.” ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu berkata, “Demi Allah, aku tahu engkau pendusta.”
Salah seorang ulama Salaf berkata: “Bayangkan apa saja di hatimu dan pikirkan lalu bandingkan dengan kebalikannya. Jika engkau mampu membedakan di antara keduanya, engkau membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dan antara kejujuran dengan kebohongan. Engkau bayangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pikirkan Al-Qur`an yang beliau bawa, misalnya firman Allah Ta’ala:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia menghidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. [al-Baqarah/2:164].
Kemudian engkau bayangkan kebalikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, engkau mendapati bahwa kebalikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ialah Musailamah al-Kadzdzab.[17]
FAWA-ID HADITS
1. Agama Islam tidak menginginkan ummatnya berada dalam keraguan dan kebimbangan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tinggalkan apa yang meragukannmu kepada apa yang tidak meragukanmu”.
2. Jika anda menginginkan ketentraman dan ketenangan, maka tinggalkanlah keragu-raguan dan buanglah jauh-jauh. Terutama ketika anda telah selesai melaksanakan suatu ibadah sehingga anda tidak menjadi bimbang.
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan jawâmi’ul-kalim (kalimat yang singkat namun maknanya padat) dan beliau berbicara dengan kata-kata yang singkat.
4. Meninggalkan perkara-perkara syubhat adalah wajib dan termasuk dari kesempurnaan ketakwaan.
5. Dari hadits ini diambil kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
اَلْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ
(Keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keragu-raguan).
6. Berbagai perkara dalam kehidupan dibangun di atas keyakinan.
7. Perkara yang halal, kejujuran, dan kebenaran adalah ketentraman dan ketenangan.
8. Perkara yang haram, berdusta, dan kebatilan adalah keragu-raguan dan kebimbangan.
MARAJI`:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mustadrak ‘ala Shahîhaini.
3. Al-Mu’jamul-Kabîr.
4. Al-Wâfi fî Syarhil-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
5. Hilyatul-Auliyâ`.
6. Jâmi’ul-‘Ulum wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
7. Kutûbus-Sittah.
8. Musnad ath-Thayalisi.
9. Musnad Imam Ahmad.
10. Mushannaf ‘Abdur-Razzaq.
11. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
12. Shahîh Ibni Hibban.
13. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
14. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi.
15. Tafsîr ath-Thabari.
16. Tafsîr Ibni Katsir, dan kitab-kitab lainnya.
_______
Footnote:
[1] Shahîh.HR.al-Bukhari, no. 3753
[2] An-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts wal-Atsar, II/288.
[3] Fat-hul Bâri, VII/99.
[4] Shahîh. HR at-Tirmidzi (no. 3781), Ahmad (V/391) sanadnya shahîh. Dishahîhkan oleh al-Hakim (III/151) dan disepakati oleh adz-Dzahabi (III/151).
[5] Shahîh. HR al-Bukhâri, no. 2704.
[6] Lihat biografi lengkap beliau dalam Siyar A’lâmin-Nubalâ (III/245, no. 47), Tahdzîbut-Tahdzîb (II/257-261), dan kitab-kitab biografi lainnya
[7] Shahîh. HR al-Bukhâri, no. 3842
[8] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 137) dan Muslim (no. 361) dari ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al-Mazini al-Anshari. Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 362) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[9] Dinukil dengan sedikit perubahan dari Syarah al-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 177-178.
[10] Shahîh. HR Abu Dawud (no. 3504) dan Ibnu Majah (no. 2188) dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu ‘anhuma. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata dalam Tahdzîbus-Sunan (V/153). Larangan tersebut juga terlihat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar yang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Aku menjual unta di Baqi’ seharga beberapa dirham, namun aku menerima uang dinar. Aku menjual dengan uang dinar kemudian menerima uang dirham. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu tidak mengapa, jika engkau mengambil uang hasil penjualan unta tersebut dengan harga hari itu, dan kalian berdua (penjual dan pembeli) telah berpisah tanpa ada perasaan apa-apa di antara kalian berdua’.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkan jual beli seperti itu dengan dua syarat:
Pertama. Ibnu ‘Umar mengambil uang hasil penjualan dengan harga hari transaksi agar ia tidak mendapatkan keuntungan di dalamnya dan tanggungannya tetap berlaku.
Kedua. Ibnu ‘Umar dan pembeli telah terpisah setelah mengadakan serah terima barang, karena serah terima barang tersebut termasuk syarat keabsahan transaksi, agar jual beli tersebut tidak termasuk riba nasi’ah.
[11] Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/280-282) dengan sedikit ringkasan
[12] Ibid (I/282).
[13] Lihat Shahîh al-Bukhâri (no. 1842) dan Shahîh Muslim (no. 1193).
[14] Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, I/283.
[15] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3753, 5994) dan Ibnu Hibban (no. 6969).
[16] Tentang penjelasan hadits ini akan disebutkan pada hadits ke-27, insya Allah.
[17] Lihat Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, I/285
Referensi: https://almanhaj.or.id/