Type Here to Get Search Results !

 


AQIDAH IMAM AHMAD BIN HANBAL

  

Abdus bin Malik Al-‘Aththar berkata : Aku Mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:

Ushulussunnah (prinsip aqidah) menurut kami adalah:
  1.     Berpegang teguh dengan (ajaran) para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [2]
  2.     Mengikuti jejak mereka.
  3.     Meninggalkan kebid’ahan-kebid’ahan.
  4.     Setiap bid’ah itu sesat[3].
  5.     Meninggalkan debat kusir serta duduk (menimba ilmu) dari ahli bidah[4].
  6.     Meninggalkan debat kusir dalam agama[5].
  7.     As-Sunnah menurut kami adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  8.     As-Sunnah (hadits) menafsirkan Al-Qur’an dan dia sebagai penjelas Al-Qur’an[6].
  9.     Tidak ada qiyas dalam As-Sunnah.[7]
  10.     Tidak boleh As-Sunnah dibuat-buatkan permisalan (untuk menentang) dan tidak bisa digapai dengan akal dan hawa nafsu. Namun yang wajib hanyalah mengikuti (dalil Al-Qur’an dan hadits)[8] serta meninggalkan hawa nafsu.
  11.     Diantara As-Sunnah (prinsip aqidah) yang wajib (dipegang teguh) dan barangsiapa meninggalkan salah satu perangai darinya, dia tidak menerimanya serta tidak beriman dengannya maka dia bukan dari ahlussunnah (adalah)[9] :
  12.     Beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan membenarkan hadits-hadits yang berkaitan dengannya serta mengimaninya. Tidak boleh dikatakan: Kenapa dan bagaimana?. Yang wajib adalah membenarkan dan mengimaninya. Barangsiapa yang belum memahami penjelasan hadits tersebut dan akalnya belum sampai kepadanya maka dia telah dicukupi dan telah dijelaskan kepadanya. Maka wajib baginya untuk beriman dan tunduk kepada hadits tersebut. Semisal hadits Ash-Shadiq Al-Mashduq[10] dan yang semisal dengan hadits tersebut yang berkaitan dengan takdir. Dan juga yang berkaitan dengan hadits ru’yah (orang beriman akan melihat Allah pada hari kiamat). Meskipun mungkin terasa aneh dan asing ditelinga. Yang wajib adalah mengimaninya dan tidak menolak darinya meskipun satu huruf. Dan yang lainnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya. Dan tidak boleh mendebat seorang pun (dengan debat kusir) ataupun mempelajari debat (kusir). Sesungguhnya pembahasan tentang takdir, ru’yah, Al-Qur’an (tanpa ilmu dan pembenaran) dan semisalnya dari pembahasan-pembahasan aqidah itu terlarang. Tidaklah orang tersebut termasuk ahlussunnah meskipun ucapannya benar hingga dia meninggalkan debat kusir dan dia betul-betul tunduk serta mengimani hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  13.     Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Dan jangan lemah untuk mengatakan dia bukan makhluk. Karena sesungguhnya kalamullah itu tidak terpisah dari-Nya. Dan tidak ada sesuatupun (dari (sifat-Nya) yang makhluk. Jauhkan dirimu dari orang yang mendebatmu dalam hal ini. Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa bacaan (Al-Qur’an) ku adalah makhluk atau bukan makhluk atau mengatakan aku tidak tahu makhluk atau bukan makhluk –sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalamullah- maka dia adalah ahli bid’ah. Orang itu sama saja dengan yang mengatakan kalamullah adalah makhluk.
  14.     Beriman dengan ru’yah pada hari kiamat sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi r dalam hadits-hadits yang shahih.
  15.     Dan bahwasanya Nabi r telah melihat rabbnya (dengan mata hati bukan dengan mata kepala beliau[11]). Hal ini diriwayatkan dalam hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan oleh Al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Dan diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihran dari Ibnu Abbas. Dan menurut kami hadits ini sesuai dengan dzahirnya sebagaimana yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menentang hadits ini adalah bid’ah. Yang wajib bagi kita adalah beriman dengannya sesuai dengan dzahirnya dan tidak mendebat seorangpun tentangnya.
  16.     Beriman dengan adanya timbangan pada hari kiamat sebagaimana yang disebutkan dalam hadits “Ada seorang hamba yang ditimbang pada hari kiamat dan beratnya tidak melebihi sayap seekor nyamuk”. Dan amal perbuatan akan ditimbang seperti dalam riwayat-riwayat. Maka wajib untuk mengimaninya dan membenarkannya serta berpaling dari orang yang menolaknya serta meninggalkan debat kusir dalam hal ini.
  17.     Dan bahwasanya Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya pada hari kiamat[12]. Tidak ada penerjemah antara mereka dengan-Nya. Maka wajib untuk mengimani dan membenarkannya.
  18.     Beriman dengan telaga dan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh umat beliau. Panjang dan lebarnya sama yaitu satu bulan perjalanan. Bejana-bejananya seperti bintang-bintang dilangit sebagaimana yang telah shahih dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  19.     Beriman dengan adzab kubur.
  20.     Dan bahwasanya umat ini akan diuji dikuburnya dan ditanya tentang iman dan islam. Siapa rabnya? Siapa nabinya? Dan akan datang kepadanya Munkar dan Nakir sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Maka wajib untuk mengimani dan membenarkannya.
  21.     Beriman dengan syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dengan sekelompok orang yang keluar dari api neraka setelah mereka terbakar dan menjadi arang lalu mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam sungai di atas pintu surga. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits sesuai dengan apa yang Allah kehendaki dan seperti apa yang Dia inginkan. Yang wajib adalah mengimani dan membenarkannya.
  22.     Beriman dengan keluarnya al-masiih Dajjal, tertulis diantara kedua matanya “kafir”. Dan membenarkan semua hadits yang berkaitan dengannya dan bahwa itu pasti terjadi.
  23.     Dan bahwasanya Nabi Isa bin Maryam akan turun (dari langit) kemudian akan membunuh Dajjal di pintu gerbang Lud (suatu wilayah dekat baitul maqdis di Palestina).
  24.     Iman adalah ucapan dan perbuatan bisa bertambah dan bisa berkurang. Sebagaimana yang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan: “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”.
  25.     Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia kafir. Dan tidak ada suatu amalan yang meninggalkannya kufur selain shalat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya maka dia kafir dan Allah menghalalkan pembunuhannya[13].
  26.     Sebaik-baik umat Islam setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar kemudian Umar bin Khattab kemudian Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum. Kita mengutamakan mereka bertiga sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berselisih tentang hal ini. Kemudian setelah mereka bertiga adalah lima para sahabat yang bermusyawarah (untuk mengangkat Khalifah Utsman) yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua berhak menjadi khalifah dan mereka semua adalah para pemimpin. Kita dalam hal ini berlandaskan kepada hadits Ibnu Umar: Kami dahulu dihadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengatakan: Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman kemudian kami diam. Kemudian (yang paling mulia) setelah para sahabat yang ikut bermusyawarah adalah yang ikut perang badar dari kalangan Muhajirin kemudian dari kalangan Anshar dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kadar hijrah dan dahulunya mereka masuk Islam.[14]
  27.     Kemudian sebaik-baik manusia setelah mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang lainnya) yaitu mereka yang hidup di zaman beliau. Setiap orang yang menemani beliau (dalam keadaan beriman dan mati dalam keimanan) baik setahun atau sebulan atau sehari atau sesaat[15] dan dia melihat beliau maka dia adalah sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut menjadi sahabat beliau sesuai dengan kadar persahabatannya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sesuai dengan awal masuk Islamnya dan apa yang dia dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta apa yang dia lihat. Yang paling rendah dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu masih lebih mulia dibandingkan dengan generasi yang tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun mereka berjumpa dengan Allah dengan membawa seluruh amal kebaikan. Mereka yang pernah menemani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat beliau, mendengar dari beliau meskipun hanya sesaat itu lebih mulia daripada para tabi’in meskipun mereka mengamalkan semua amal kebaikan.
  28.     Mendengar dan taat kepada pemimpin kaum muslimin dan amirul mukminin yang baik maupun yang jelek dan kepada setiap yang memimpin kekhalifahan yang manusia bersepakat atasnya serta ridho kepadanya dan kepada setiap yang berkuasa dengan senjata (berhasil mengkudeta) sehingga dia menjadi khalifah dan dijuluki sebagai amirul mukminin[16].
  29.     Berperang bersama pemimpin kaum muslimin yang baik maupun yang jelek itu berlaku hingga hari kiamat dan tidak ditinggalkan[17].
  30.     Pembagian harta rampasan perang, penegakan hudud (hukuman syariat semisal qishash, rajam, potong tangan) itu oleh pemimpin kaum muslimin tetap berlaku[18]. Tidak boleh seorangpun untuk mencelanya dan menentangnya.
  31.     Membayar zakat kepada mereka juga diperbolehkan dan tetap berlaku. Barangsiapa yang menyerahkan zakatnya kepada mereka maka itu sudah sah baik kepada pemimpin yang baik ataupun yang jelek.
  32.     Melaksanakan shalat Jumat dibelakang mereka dan dibelakang orang yang mewakili mereka itu diperbolehkan dan sah dua rakaat. Barangsiapa yang mengulanginya maka dia adalah ahli bid’ah. Dia telah meninggalkan atsar/jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi sunnah. Dia tidak mendapatkan keutamaan Jumat sedikitpun dikarenakan dia tidak menggangap sah shalat dibelakang pemimpin kaum muslimin yang baik ataupun yang jelek. Yang sunnah adalah shalat dibelakang mereka sebanyak dua rakaat serta berkeyakinan bahwa itu sudah sempurna dan tidak ada keraguan dalam hatimu sedikitpun[19].
  33.     Barangsiapa yang mengkudeta pemimpin kaum muslimin sedangkan manusia telah mengakui kepemimpinannya serta mengikrarkan akan kekhalifahannya entah (kepemimpinannya) tersebut diraih dengan cara keridhaan (dipilih) atau kemenangan (kudeta) maka orang yang mengkudetanya itu telah memecah belah barisan kaum muslimin dan dia menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika orang itu mati maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.
  34.     Tidak halal bagi seorang pun untuk memerangi pemimpin kaum muslimin dan tidak boleh merevolusinya. Barangsiapa yang melakukan (revolusi/kudeta) maka dia adalah ahlul bid’ah, tidak diatas sunnah dan jalan yang lurus[20].
  35.     Memerangi pencuri dan para pemberontak itu dibolehkan. Apabila mereka telah mengganggu jiwa dan harta seseorang maka boleh bagi orang tersebut untuk membela jiwa dan hartanya serta menolak gangguan tersebut sesuai dengan kemampuannya. Namun jika mereka telah lari dan meninggalkannya maka tidak boleh baginya untuk mengejarnya dan mencari jejaknya kecuali bagi pemimpin kaum muslimin. Yang dibolehkan bagi orang tersebut hanya membela dirinya di TKP saja dan dia meniatkan untuk tidak membunuhnya. Tapi jika pencuri (pemberontak,perampok dan yang semisalnya) akhirnya mati ditangannya maka si pencuri tersebut dijauhkan dari rahmat Allah. Dan jika yang membela jiwa dan hartanya itu mati maka aku berharap dia mati syahid. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi r. Dan hadits-hadits tersebut hanya membolehkan untuk dia memerangi (membela diri) dan tidak memerintahkan untuk membunuh atau pun mengejarnya. Dan jika si pencuri (atau pemberontak) itu kalah atau terluka meskipun harus ditawan tidak boleh dibunuh atau ditegakkan hukuman atasnya. Akan tetapi yang wajib adalah menyerahkannya kepada pemimpin kaum muslimin.
  36.     Kita tidak (boleh) memvonis seorang pun dari kaum muslimin dengan surga atau neraka dengan sebab amal perbuatan yang mereka lakukan. Kita hanya bisa berharap (surga) bagi yang shalih sekaligus juga khawatir (neraka) atasnya. Dan kita khawatir (neraka) terhadap orang yang banyak dosa sekaligus kita berharap rahmat Allah baginya[21].
  37.     Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa –yang dengannya dia bisa masuk neraka- namun dia telah bertaubat dan tidak terus menerus diatas dosa tersebut maka Allah menerima taubatnya dan Dia menerima taubat dari hamba-hamba-Nya serta menghapuskan kesalahan-kesalahannya.
  38.     Dan barangsiapa yang berjumpa dengan-Nya dalam keadaan dia telah dijatuhi hukuman di dunia atas dosanya maka itu sebagai kaffarah (penghapus dosanya) seperti yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  39.     Dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan masih bergelimang dengan dosa dan belum bertaubat dari dosa-dosanya yang bisa mengantarkannnya ke dalam siksa Allah maka nasibnya tergantung kepada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak Allah akan mengadzabnya, tapi jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya.
  40.     Dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan kafir maka Allah akan mengadzabnya dan tidak akan mengampuninya.
  41.     Hukum rajam itu haq (berlaku) atas orang yang berzina dan dia sudah menikah jika dia mengakui (perbuatan zinanya) atau telah tegak bukti atasnya.
  42.     Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merajam (orang yang berzina).
  43.     Para khulafa’ rasyidun juga telah menegakkan hukum rajam.
  44.     Dan barangsiapa mencela salah seorang dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau membencinya karena sesuatu hal atau dia menyebutkan kejelekan-kejelekannya maka dia adalah ahlul bid’ah hingga dia mau mendoakan mereka semua untuk mendapatkan rahmat Allah serta hatinya selamat (dari kebencian terhadap para sahabat).
  45.     Kemunafikan adalah kekufuran yaitu mengkufuri Allah dan beribadah kepada selain-Nya. Dia menampakkan keislaman seperti kaum munafikin di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[22].
  46.     Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tiga perangai yang jika ada pada diri seseorang maka dia adalah munafik”. Ini adalah bentuk kecaman yang kita riwayatkan apa adanya dan tidak kita takwilkan (kepada makna yang salah).
  47.     Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jangan kalian kembali kafir sesat, sebagian kalian membunuh sebagian yang lain”. Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila dua orang muslim bertemu dengan kedua pedangnya maka yang membunuh dan yang dibunuh di neraka”. Dan sabda beliau: “Mencela orang muslim itu kefasikan dan memerangi mereka adalah kekafiran”. Dan sabda beliau: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya (muslim)  “Wahai orang kafir” maka (dosa pengkafiran) itu akan kembali kepada salah seorang diantara mereka”. Dan sabda beliau: “Diantara kekufuran kepada Allah adalah berlepas diri dari nasab keturunan meski sedikit”[23]
  48.     Dan yang semisal dengan hadits-hadits diatas yang telah shahih ini maka kita wajib untuk menerimanya meski kita belum memahami maknanya. Dan kita tidak boleh untuk mencelanya atau untuk mendebatnya serta tidak boleh untuk mentafsirkannya melainkan seperti yang (diinginkan) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak boleh menolaknya kecuali dengan yang lebih baik darinya.
  49.     Surga dan neraka itu adalah makhluk yang telah diciptakan seperti yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku memasuki surga dan aku melihat istana”, “aku melihat al-kautsar (sungai di surga)”, “aku melihat surga dan kebanyakan penghuninya…”, “aku melihat neraka dan kebanyakan penghuninya…”. Barangsiapa yang mengira bahwa keduanya belum diciptakan maka dia telah mendustakan Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku kira dia tidak beriman dengan surga dan neraka.
  50.     Dan barangsiapa yang mati dari kaum muslimin dalam keadaan bertauhid maka dia dishalati dan dimohonkan ampunan. Dia tidak dicegah dari permohonan ampunan dan tidak ditinggalkan shalat atasnya hanya karena sebab dosa –kecil atau besar-. Dan nasibnya (diakhirat) tergantung kepada kehendak Allah.
Segala puji bagi Allah semata. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

____

[1] Diterjemahkan dari Ushulusunnah Imam Ahmad rahimahullahu dengan syarah dan tahqiq Syaikh Walid bin Muhammad Nabiih bin Saif An-Nashr dan dari Syarh ushul i’tiqad ahlissunnah wal jama’ah oleh Imam Al-Lalikai 1/175-185 dengan tahqiq DR.Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan Al-Ghamidi.

[2] Inilah Dakwah Salafiyah yaitu beragama Islam sesuai dengan pemahaman para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua bidang agama terutama dalam beraqidah. Dan inilah Islam yang benar yaitu Islam yang sesuai dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau kita mau tahu mana Islam yang benar ditengah-tengah munculnya banyak kelompok sempalan kaum muslimin maka inilah Islam yang benar.

[3] Tidak ada bid’ah hasanah dalam agama. Dan ini yang sudah dijelaskan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipahami oleh para salafush shalih (para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in) dan para imam empat.

[4] Namun sangat disayangkan banyak dari yang mengaku salafi tapi meremehkan prinsip aqidah yang satu ini. Ada yang masih berguru kepada ahli kalam, adapula yang berguru kepada ustadz tasawwuf dan ada pula yang belajar dari kelompok harakah. Inna lillahi wa innah ilaihi raji’un.

[5] Hal ini banyak kita jumpai di medsos. Perdebatan yang tidak ada ujungnya dan tidak tahu arah serta tujuannya. Yang penting bagi mereka ada berkomentar, padahal semuanya akan ada pertanggung jawaban di hari kiamat.

[6] Tidak mungkin seseorang bisa memahami Islam dan mengamalkannya tanpa mempelajari hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta berpegang teguh dengannya. Maka sungguh sesat kelompok yang hanya berpegang dengan Al-Quran tanpa hadits yang shahih. Dan sungguh batil pendapat yang mengatakan kalau ada hadits bertentangan dengan Al-Qur’an maka hadits yang harus ditinggalkan. Karena tidak mungkin ada hadits yang shahih bertentangan dengan Al-Qur’an. Karena kedua-duanya dari wahyu Allah. lihat surat An-Nisa’ : 82.

[7]  Maksudnya tidak boleh menentang hadits dengan akal atau menetapkan aqidah hanya dengan akal semata tanpa nash. Kita harus memahami bahwa akal itu sebagaimana anggota tubuh yang lain ada keterbatasannya. Tidak semuanya bisa dijangkau oleh akal, semisal ruh. Akal tidak bisa untuk menalarnya padahal dia melekat pada dirinya.

[8] Hal ini berbeda dengan ahli bid’ah/kelompok sesat yang justru meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mereka beragama hanya berdasarkan adat istiadat, budaya atau akal atau perasaan atau mimpi atau wangsit atau ucapan tokoh agama mereka.

[9] Inilah barometer seseorang itu ahlussunnah/salafi atau bukan.

[10] Yaitu hadits yang berkaitan dengan awal penciptaan manusia serta catatan takdirnya (tentang rezekinya, kematiannya, amal perbuatannya, dia bahagia atau sengsara) pada waktu dia dalam rahim ibunya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

[11] Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Apakah engkau telah melihat Rabbmu? Beliau menjawab: Ada cahaya yang menghalangiku (untuk melihat-Nya). (HR. Muslim)

[12] Ahlusunnah wal jama’ah meyakini bahwa Allah berbicara dengan suara yang bisa didengar bukan seperti yang dikatakan oleh kelompok Asy-‘ariyah yang mengatakan kalamullah adalah bisikan hati Allah. Inilah salah satu perbedaan antara Ahlusunnah wal jama’ah yang sejati, asli, dan murni dengan kelompok Asy-‘Ariyah yang mengaku-ngaku ahlussunnah.

[13] Tapi yang berhak mengkafirkannya adalah ulama dan yang berhak membunuhnya adalah pemerintah kaum muslimin bukan perorangan. Meskipun sebenarnya ini adalah masalah khilafiyah ijitihadiyah (perselisihan hasil ijtihad) antara para ulama. Dan penerjemah lebih condong kepada pendapat Imam Asy-Syafi’i yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.

[14] Adapun kelompok Syi’ah Rafidhah maka mereka suka mencaci maki bahkan mengkafirkan serta menvonis para sahabat masuk neraka. Dan yang aneh ada perguruan tinggi Islam yang ujian masuknya saja sudah ada pertanyaan yang mencaci maki para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Na’udzu billahi mindzalik.

[15] Ini berbeda dengan kelompok Hizbut Tahrir yang mensyaratkan setahun atau dua tahun menemani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru bisa dikatakan sebagai sahabat beliau. Seperti yang tercantum dalam Al-Malaf Al-Fikri hal 148 oleh Hizbut Tahrir.

[16] Inilah aqidah para imam ahlussunnah wal jama’ah yang berlainan dengan kelompok Khawarij/teroris. Selama pemimpin itu masih muslim dan ulama ahluussunnah tidak menvonisnya kafir, meskipun dia tidak berhukum dengan hukum Islam atau dia dzalim dan dia tidak dipilih dengan jalan yang syar’i (seperti kudeta) maka tetap wajib dihormati dan ditaati. Namun bukan berarti kita ridho dengan kedzaliman atau perbuatannya yang tidak berhukum dengan hukum Islam.

[17] Adapun kelompok teroris mereka berperang dibawah komando pemimpin bawah tanah mereka atau pemimpin abal-abal mereka atau hawa nafsu mereka.

[18] Maka tidak boleh bagi kelompok pengajian atau ormas Islam bertindak sewenang-wenang seperti merusak tempat-tempat maksiat dan berbuat anarkis kepada para pelakunya. Jika pemimpin tidak melaksanakan hudud maka mereka yang berdosa dan rakyat tidak boleh mengambil alih kewajibannya tersebut.  Namun sangat memilukan apa yang dilakukan oleh sebuah kelompok yang mengaku ahlussunnah yang melakukan rajam terhadap salah satu anggotanya pada saat perang Ambon. Sungguh ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan aqidah salaf dan sungguh mereka yang melakukan perbuatan rajam tersebut akan dituntut pada hari kiamat.

[19] Demikian pula dengan shalat Idul Fitri dan Idul Adha harus bersama pemimpin kaum muslimin bukan dengan ormas.

[20] Dan ini adalah ijma’ para ulama salaf seperti yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam syarah shahih Muslim 12/432. Maka bertakwalah kepada Allah orang-orang yang sering melontarkan kata-kata revolusi terhadap pemimpin kaum muslimin terutama di negeri yang kita cintai ini.

[21] Bukan seperti yang dituduhkan oleh ahli bid’ah bahwa dakwah salafiyah suka menvonis orang lain sebagai penghuni api neraka.

[22] Alangkah banyaknya orang-orang yang menyerupai perangai orang munafik. Diantaranya menampakkan senyum dan kata-kata yang baik dihadapan saudaranya tapi di belakang dia menfitnah, mengghibah serta mencaci-maki dan membuat makar terhadapnya.

[23] Para ulama telah menjelaskan bahwa kekufuran yang dimaksud di atas adalah kufur kecil. Demikian pula dengan surat al-maidah 44.