Dan mereka Apa Hukumnya Mengadakan Penggalangan Dana atau Open Donasi?
Pertanyaan:
Di internet sedang ramai dibicarakan tentang hukum open donasi. Jadi, sebenarnya bagaimana hukumnya? Bolehkah kita menggalang donasi untuk pembangunan masjid atau untuk menyediakan prasarana dakwah? Demikian juga menggalang donasi untuk saudara yang sedang sakit atau terkena musibah, apakah dibolehkan? Ada yang mengatakan bahwa ini bentuk mengemis dan minta-minta yang terlarang. Mohon faedahnya, jazakumullah khairan.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Bedakan Antara Dua Hal
Perlu dibedakan antara meminta untuk kepentingan sendiri dengan meminta untuk kepentingan orang lain. Jika penggalangan dana atau open donasi itu adalah untuk kepentingan pribadi atau untuk memperkaya diri, maka inilah yang terlarang. Ulama ijma bahwa meminta-minta jika bukan dalam keadaan darurat maka haram hukumnya.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya.” (HR. Bukhari no.1474, Muslim no.1040 )
Dari Auf bin Malik al-Asyja’i radhiyallahu ’anhu beliau berkata,
قَدْ بَايَعْنَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَعَلَامَ نُبَايِعُكَ؟ قَالَ: عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَتُطِيعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا
“Kami telah berbai’at kepadamu wahai Rasulullah, namun apa saja perjanjian yang wajib kami pegang dalam bai’at ini? Rasulullah bersabda: ‘Wajib bagi kalian untuk menyembah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, mengerjakan shalat lima waktu, taat kepada pemimpin, (lalu beliau melirihkan perkataannya) dan tidak meminta-minta kepada orang lain sedikit pun’.” (HR. Muslim no. 1043)
Dari Hubsyi bin Junaadah radhiyallahu ’anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ، فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ
“Barang siapa yang meminta-minta padahal ia tidak fakir maka seakan-seakan ia memakan bara api.” (HR. Ahmad no. 17508, dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 802)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan:
مَقْصُودُ الْبَابِ وَأَحَادِيثِهِ النَّهْيُ عَنِ السُّؤَالِ وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ تَكُنْ ضَرُورَةٌ
“Maksud dari bab ini dan hadits-hadits yang ada di dalamnya adalah larangan meminta-minta. Ulama sepakat hukumnya terlarang jika tidak dalam keadaan darurat.” (Syarah Shahih Muslim, 7/127)
Larangan meminta-minta yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah jika untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Qayd (kriteria) ini jelas sekali disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak harta, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya.” (HR. Muslim no. 1041)
Dalam riwayat lain, dari Hubsyi bin Junaadah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ لِيُثْرِيَ مَالَهُ كَانَ خُمُوشًا فِي وَجْهِهِ وَرَضْفًا يَأْكُلُهُ مِنْ جَهَنَّمَ، فَمَنْ شَاءَ فَلْيُقِلَّ، وَمَنْ شَاءَ فَلْيُكْثِرْ
“Barang siapa yang meminta-minta kepada orang lain untuk menumpuk harta maka pada hari kiamat akan ada cakaran di wajahnya dan akan memakan batu panas dari neraka jahanam. Maka silakan pilih sendiri, kurangilah meminta-minta atau perbanyaklah.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir no. 3504, dalam sanadnya terdapat kelemahan, namun dengan adanya syawahid terangkat menjadi shahih li ghairihi)
Oleh karena itu al-‘Aini rahimahullah mengatakan:
من سَأَلَ النَّاس لأجل التكثر فَهُوَ مَذْمُوم
“Barang siapa yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri itulah yang tercela.” (Umdatul Qari, 9/56)
Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dalam hadits-hadits larangan meminta-minta, dikecualikan orang sangat-sangat fakir dan sangat berkebutuhan. Sebagaimana dalam hadits Hubsyi bin Junadah dalam Musnad Ahmad di atas. Demikian juga dalam hadits Samurah bin Jundub radhiallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
“Sesungguhnya, meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri, kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat memaksa.” (HR. at-Tirmidzi no. 681, ia berkata: “hasan shahih”)
Karena orang yang fakir atau orang yang dalam kondisi darurat, tentu tidak ada tujuan untuk menumpuk harta. Jelas tujuan mereka adalah untuk menutupi kefakiran dan kebutuhannya. Sehingga orang yang demikian tidak dilarang untuk minta-minta.
Adapun open donasi atau penggalangan dana, tidak ada sama sekali tujuan untuk memperkaya diri para panitia penggalang dana. Mereka melakukan penggalangan dana untuk kepentingan orang lain atau untuk kepentingan kaum muslimin. Sehingga tidak termasuk dalam cakupan hadits-hadits larangan meminta-minta. Justru jelas kegiatan penggalangan dana itu masuk dalam keumuman dalil-dalil tentang perintah untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan. Allah ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Maidah: 2)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
وَاللَّهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كانَ العَبْدُ في عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah senantiasa menolong hamba-Nya, selama ia senantiasa menolong saudaranya.” (HR. Muslim no.2699)
Bahkan terdapat beberapa hadits yang mengisyaratkan bolehnya menyerukan orang-orang untuk membantu saudaranya yang kesusahan. Dari Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
اصنَعوا لآلِ جَعفرٍ طعامًا فقَدْ أتاهم ما يشغَلُهم أو أمرٌ يشغَلُهم
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far. Karena telah datang perkara yang menyibukkan mereka (yaitu kematian salah seorang keluarga).” (HR. Ibnu Majah no.1316, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أُصِيبَ رَجُلٌ في عَهْدِ رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ في ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا، فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: تَصَدَّقُوا عليه، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عليه، فَلَمْ يَبْلُغْ ذلكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ: خُذُوا ما وَجَدْتُمْ، وَليسَ لَكُمْ إلَّا ذلكَ
“Seorang laki-laki mendapat musibah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan buah yang telah dibelinya, sehingga hutangnya menjadi banyak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Bersedekahlah kalian kepadanya”. Lantas orang-orang bersedekah kepadanya, akan tetapi (harta sedekah itu) belum mencapai jumlah untuk melunasi hutangnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada orang-orang yang dihutanginya: “Ambillah apa yang kalian dapatkan dan kalian tidak berhak mengambil lebih dari itu.” (HR. Muslim no. 1556)
Maka penggalangan dana untuk memperbaiki jalan, untuk membantu biaya pengobatan orang yang sakit dan tidak mampu, untuk membangun masjid, untuk menyediakan prasarana dakwah, membangun pondok pesantren, untuk membantu korban bencana alam, dll. Ini semua masuk dalam bab at ta’awun ‘alal birri wat taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) dan terdapat contohnya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.
Penyelewengan Donasi Itu Bentuk Tidak Amanah
Kita tidak pungkiri ada oknum-oknum para penggalang dana yang melakukan penipuan dan kecurangan. Mereka menampakkan kepada masyarakat bahwa sedang menggalang dana untuk kepentingan orang lain atau umum, namun ternyata untuk memperkaya diri mereka. Ini jelas keharamannya. Dari Khaulah al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ada beberapa orang yang membelanjakan harta Allah di jalan yang tidak benar, maka hukuman bagi mereka adalah neraka di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 3118)
Ibnu ‘Allan menjelaskan makna “harta Allah di jalan yang tidak benar” maksudnya:
يتصرفون في أموال المسلمين بالباطل
“Membelanjakan harta kaum muslimin di jalan yang batil.” (Dalilul Falihin)
Kita juga tidak pungkiri ada oknum-oknum para penggalang dana yang tidak amanah. Niat mereka baik dan mereka juga menyalurkan dana kepada yang membutuhkan, namun mereka ambil sebagian dana untuk diri mereka. Ini juga merupakan kekeliruan. Dan ini butuh pembahasan fikih tersendiri mengenai “upah” bagi para penyalur donasi.
Adanya dua macam kekeliruan dari oknum ini tidak lantas membuat aktivitas penggalangan dana itu haram seluruhnya.
Fatwa para Ulama
Para ulama besar membolehkan open donasi atau penggalangan dana untuk kepentingan kaum muslimin.
Fatwa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Soal:
“Kami memiliki kotak infak untuk kemaslahatan masjid. Ada orang khusus yang memutarkan kotak ini di tengah-tengah shaf sebelum shalat dimulai. Terkhusus di hari Jum’at. Apa hukum perbuatan ini? Karena telah diketahui bahwa jama’ah mendapati sedikit kesulitan dengan adanya hal tersebut”.
Syaikh menjawab:
“Perbuatan ini tidak tepat. Karena berarti ia ketika meminta jama’ah untuk menyumbang, ia telah mengganggu para jama’ah. Yaitu dengan ia memutari shaf hingga para jama’ah memberikan sesuatu dalam kotak ini untuk kemaslahatan masjid. Andaikan ini ditinggalkan, itu lebih baik. Dan ini perkara yang longgar. Imam bisa berkata: “Masjid ini sedang membutuhkan bantuan anda!”. Maka ini tidak mengapa. Karena ini adalah upaya kebaikan.” (Sumber: https://www.binbaz.org.sa/mat/16368)
Perhatikan, dalam fatwa ini beliau menjelaskan bahwa jika imam masjid mengumumkan bahwa masjid sedang butuh dana dan butuh bantuan donasi, maka ini tidak mengapa.
Fatwa asy-Syaikh Dr. Sulaiman ar-Ruhaili
Soal:
Apa hukum mengumpulkan donasi setelah shalat Jum’at untuk mencukupi kebutuhan masjid?
Jawaban:
Jika memang membutuhkan bantuan masyarakat untuk kemaslahatan masjid, tanpa menyibukkan mereka sehingga tidak bisa mendengarkan khutbah Jum’at, dan tidak dijadikan kebiasaan, maka tidak mengapa.
Adapun menyibukkan orang-orang dengan menaruh kotak infak yang diputar di tengah para jama’ah, kemudian dikatakan: “jika anda tidak bersedekah, maka anda harus geser kotaknya ke sebelah”, kita katakan yang seperti ini tidak diperbolehkan.
Tidak boleh menyibukkan orang-orang untuk memindahkan kotak amal, sehingga tidak bisa mendengarkan khutbah. Ini tidak diperbolehkan, hukumnya haram.
Demikian juga jika menjadikan hal ini sebagai syi’ar dari shalat Jum’at. Sang imam akan menunggu dan berkata: “Wahai kaum muslimin, bersedekahlah untuk masjid! Berinfaklah di jalan Allah”. Ini tidak semestinya dilakukan.
Adapun kadang-kadang menggalang dana, terlebih lagi jika memang ada sebabnya, semisal ada banyaknya tagihan, masjid belum bisa membayar listrik dan tidak ada yang menanggungnya, maka tidak mengapa melakukan penggalangan dana setelah shalat, namun jangan terus-menerus. (Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=cRSXIkEuZII)
Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i
Soal:
Sebagian imam masjid menggalang donasi untuk kemaslahatan masjid di Chechnya, Bosnia dan Herzegovina. Dan mereka menyalurkan donasinya melalui yayasan-yayasan yang bisa menyampaikannya ke Chechnya, Bosnia dan Herzegovina. Apa hukum penggalangan donasi melalui yayasan seperti ini, lebih lagi jika tempat penyalurannya sudah diketahui?
Jawaban:
Jika bisa dipercaya dan yayasan tersebut bisa dipercaya, maka ini perbuatan yang baik. Maka hukumnya boleh sebagaimana yang dilakukan sebagian saudara kita di Najd –semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan– mereka menggalang dana untuk Bosnia dan Herzegovina. Dan mereka mengatakan: “kami tidak menggalang dana untuk mendirikan negara Islam di sana, namun para korban yang menderita dan untuk para wanita yang tersingkap auratnya sehingga kami bisa membelikan mereka hijab.”
Jadi jika bisa dipercaya, maka demikianlah hukumnya (boleh). Adapun jika mereka menyebutkan (donasi akan diserahkan pada) mudir di suatu yayasan Bosnia, atau perwakilan yayasan di Herzegovina, lalu mengajak orang untuk berdonasi untuk Bosnia dan Herzegovina dan akan diserahkan melalui mudir yayasan atau perwakilan yayasan (maka jangan lakukan).
Yang lebih baik, jika seseorang punya harta (untuk berdonasi) hendaknya ia kirimkan kepada utusan khusus yang ada di sana sehingga si utusan ini bisa menyampaikan donasinya kepada keluarganya sendiri atau kepada para ikhwah yang bisa dipercaya, yang bukan termasuk aktivis hizbiyyun. Di Najd dan di Qashim, yang pada ikhwah ini punya perhatian pada urusan Islam dan kaum muslimin dan mereka mengumpulkan donasi di sana.
Yang penting, ketahuilah perbuatan orang-orang hizbiyyin tersebut. Dari mana hizb (ormas) mereka bisa berdiri? Seorang Syaikh diberi fasilitas mobil agar bisa ikut pemilu. Dari mana dana untuk beli mobil ini? Yang lainnya, butuh untuk membangun kantor ormas. Yang lainnya, butuh untuk menikahkan ini dan itu. Dari mana dana-dana ini berasal? (Sumber: https://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2577).
Dalam fatwa ini jelas asy-Syaikh Muqbil bin Hadi membolehkan penggalangan dana. Yang beliau larang adalah penggalangan dana untuk tujuan mendukung hizbiyyun.
Akhir kata, walaupun open donasi atau penggalangan dana itu dibolehkan, tetap saja tidak boleh bermudah-mudah dalam menggalang dana dan penggalangan dana tidak boleh menimbulkan kerusakan. Sehingga di antara adab dalam menggalang dana:
- Dilakukan hanya ketika sangat dibutuhkan.
- Niat ikhlas mengharap wajah Allah dalam menggalang dana, tujuannya untuk membantu orang lain atau menunjang kemaslahatan umat.
- Amanah dalam menyalurkan dana, tidak melakukan kecurangan, khianat, dan kelalaian.
- Dilakukan dengan cara yang elegan dan penuh wibawa, tidak menghinakan diri, memelas, dan memaksa.
- Tidak menggunakan cara-cara yang menjatuhkan wibawa para da’i dan umat Muslim, seperti menggalang dana dengan menggunakan musik dan acara-acara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
- Tidak menimbulkan gangguan pada orang lain.
- Tidak menimbulkan kecurigaan pada diri para donatur dan umat.
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Sumber: https://konsultasisyariah.com/