Type Here to Get Search Results !

 


ZAINAB BINTI JAHSYI DI NIKAHI RASULULLAH ATAS PERINTAH ALLAH

 

Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy

“Kalian dinikahkan oleh bapak-bapak kalian. Sedangkan aku langsung dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Tauhid 6984 dan at-Turmudzi 3213).

Begitulah ucapan kebanggaan Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha di depan istri-istri Nabi yang lain. Wajar ia berbangga. Selain menikahi manusia terbaik dalam sejarah peradaban manusia, wali nikahnya pun Dzat Yang Maha Baik, Rabb semesta alam, Allah Tabaraka wa Ta’ala. Balasan tergantung perbuatan, lalu bagaimana beliau bisa mencapai kedudukan yang mulia seperti itu? Berikut kisah tentang Ibunda Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha.

Nasabnya

Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha adalah seorang wanita bangsawan di tengah kaumnya. Nama dan nasabnya adalah Zainab binti Jahsy bin Ra-ib bin Ya’mar bin Shabrah bin Murrah bin Kubair bin Ghanam bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah al-Asadi. Ia lahir 33 tahun sebelum hijrah dan wafat pada tahun 21 H. Ibunya adalah bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umaimah binti Abdul Muthalib. Dengan demikian, dari sisi nasab, Rasulullah dan Zainab binti Jahsy adalah sepupu.

Zainab juga merupakan saudara perempuan dari sahabat yang mulia Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu. Seorang yang pertama-tama memeluk Islam dan syuhada di Perang Uhud. Abdullah dimakamkan satu liang bersama paman Nabi dan pamannya juga, Hamzah bin Abdul Muthalib, semoga Allah meridhai keduanya (al-Mizzi: Tadzhib al-Kamal 35/184 dan az-Zurkali: al-I’lam 3/66).

Menikah dengan Anak Angkat Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki anak angkat yakni Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Sebelumnya, Zaid adalah budak Khadijah milik Khadijah. Kemudian dihadiahkan kepada Rasulullah. Dan beliau membebaskannya. Karena telah cukup usia, Nabi mencarikan seorang yang pantas untuk anak angkatnya ini. Beliau temui Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha, kemudian meminangnya. Zainab menjawab, “Aku tidak tertarik menikah dengannya.” Rasulullah kemudian berkata, “Tidak, menikahlah dengannya.”

Mendengar ucapan Rasulullah, Zainab bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda memerintahkanku?” Saat keduanya tengah berdiskusi, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” [Quran Al-Ahzab: 36].

Zainab berkata, “Apakah Anda meridhaiku untuk menikah wahai Rasulullah?” “Iya”, jawab beliau. Zainab berkata, “Jika demikian, aku tak akan bermaksiat (dengan tidak menaati) Rasulullah. Engkau telah menikahkan diriku denganya.”

Melalui perjodohan ini, Nabi hendak mengajarkan nilai persamaan. Beliau hendak mendobrak tradisi lama dan mengubahnya dengan kemodernan. Tidak ada beda antara seorang bangsawan dengan bekas budak. Islam telah membuat mereka setara dalam kemanusiaan. Yang membedakan hanyalah ketakwaan. Zaid seorang bekas budak. Dan Zainab seorang wanita mulia yang memiliki trah Bani Hasyim, kabilah termulia di Quraisy. Mereka setara dalam pandangan Islam. Beliau hendak mengajarkan pada umatnya bahwa faktor kelas sosial bukanlah menjadi timbangan pertama dalam pernikahan. Tapi agama dan takwalah yang patut jadi acuan.

Lihatlah bagaimana ketaatan Zainab kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun perintah itu bertentangan dengan keinginannya, tapi tetap ia lakukan demi ridha Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang menyebabkan tingginya kedudukan Zainab. Allah balas dia dengan balasan yang tak pernah terbayangkan olehnya. Bahkan oleh siapapun.

Perceraian

Roda kehidupan terus bergulir. Biduk rumah tangga Zaid dan Zainab berlayar, namun terseok diterpa badai. Hingga Zaid menjumpai sang ayah angkat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta izin untuk menceraikan Zainab. Nabi menolak keinginannya. Beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah. Tetaplah bersama istrimu.” Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” [Quran Al-Ahzab: 37].

Allah Ta’ala mengabarkan kepada Nabi-Nya bahwa Zainab binti Jahsy akan menjadi istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, jika diungkap sekarang Nabi khawatir hal ini akan menjadi isu hangat yang digoreng orang-orang munafik, ‘seorang ayah koq menikahi mantan istri anaknya’. Perlu diketahui, budaya Arab kala itu menganggap anak angkat sama dengan anak kandung. Syariat hendak menghapus tradisi ini. Anak angkat tak sama dengan anak kandung. Jalan untuk menghapus tradisi ini adalah pernikahan Nabi dengan Zainab. Dan nasab Zaid pun dikembalikan kepada ayah aslinya. Sebelumnya Zaid bin Muhammad menjadi Zaid bin Haritsah (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Sumthu ats-Tsamin Hal 170-171).

Artinya, Budaya Arab kala itu pun mengalami seleksi. Ia harus menyesuaikan diri dengan syariat Islam. Bukan syariat yang menyesuaikan dengan budaya yang ada di masyarakat. Demikian juga dengan budaya-budaya lainnya. Baik atau buruknya suatu budaya ditimbang dengan syariat.

Menikah dengan Nabi

Bisa jadi perintah Allah dan Rasul-Nya bertentangan dengan kehendak manusia. Saat menjalaninya, pun kadang terasa gejolak dalam jiwa. Tapi di balik itu semua terdapat hikmah besar yang bermanfaat untuk pelakunya di dunia dan akhirat. Demikian juga yang dirasakan Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha.

Ia diperintahkan menikahi seseorang yang shaleh dan baik, namun tidak memiliki kafa-ah dengan dirinya (tidak sekufu). Tapi ia tundukkan kehendak dirinya untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Dalam rumah tangganya ia merasakan ketidak-harmonisan dan ketidak-cocokan. Namun di balik itu, Allah persiapkan dirinya untuk menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di surga. Tidak hanya itu, melalui perantara dirinya terbentuklah hukum syariat yang berlaku hingga hari kiamat.

Akhirnya, rumah tangga Zaid dan Zainab tak bisa dipertahankan. Setelah selesai masa iddahnya, Rasulullah berkata kepada Zaid, “Pergilah, sebut aku pada dirinya.” Maksudnya, beliau hendak menikahinya. Zaid berkata, “Saat Rasulullah menyatakan itu. Aku pun merasa gembira. Aku pergi menemuinya. Saat berdiri di pintunya, kusampaikan padanya, ‘Wahai Zainab, Rasulullah mengutusku dan menyebut dirimu’. Zainab menjawab, ‘Aku belum mau berbicara apapun hingga aku mendapat keputusan dari Rabbku’. Kemudian ia pergi menuju ruang shalatnya (Riwayat Muslim dalam Kitab an-Nikah, 1428).

Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً

“Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” [Quran Al-Ahzab: 37].

Diriwayatkan ketika Rasulullah menikahi Zainab, orang-orang munafik menggunjingi beliau. Mereka berkata, “Muhammad ini mengharamkan (mantan) istri dari anak, tapi dia sendiri menikahi (mantan) istri anaknya.” Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Quran Al-Ahzab: 40].

Allah Ta’ala juga berfirman,

ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Quran Al-Ahzab: 5]. (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Sumthu ats-Tsamin Hal 171-172).

Dari peristiwa ini kita mengetahui, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak bebas dari lisan-lisan manusia. Padahal beliau telah dipuji Allah dengan keagungan akhlaknya. Apalagi kita. Kisah ini juga menyadarkan kita, memadamkan tradisi yang bertentangan dengan syariat tidaklah mudah. Pasti akan menimbulkan gejolak. Minimal muncul suara-suara sumbang yang menentang.

Dengan turunnya firman Allah:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا…

“Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia…” [Quran Al-Ahzab: 37].

Zainab radhiallahu ‘anha membanggakan dirinya di hadapan istri-istri nabi yang lain. Ia berkata,

زوجكنَّ آباؤكنَّ، وزوَّجني الله من فوق سبع سموات

“Kalian dinikahkan oleh bapak-bapak kalian. Sedangkan aku langsung dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Tauhid 6984 dan at-Turmudzi 3213).

Dari ucapan Ibunda Zainab radhiallahu ‘anha, kita dapat mengetahui betapa Allah memuliakannya setelah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun hal itu bertentangan dengan keinginannya. Allah muliakan dia menjadi istri Rasulullah dan Allah yang menjadi wali nikah untuknya. Ucapan Ibunda Zainab juga menunjukkan bahwa keyakinan para sahabat radhiallahu ‘anhu bahwa Allah itu berada di atas. Bukan dimana-mana.

Pesta pernikahan Nabi dengan Zainab adalah pesta yang paling besar dan paling utama dibanding persta pernikahan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau menjamu orang-orang dengan roti dan daging sampai para tamu merasa kenyang semua.

Hikmah Pernikahan dengan Nabi

Diriwayatkan dari Ali bin al-Husein, Nabi mendapat wahyu dari Allah Ta’ala bahwa Zaid akan menceraikah Zainab. Dan Allah akan menikahkan Zainab dengannya. Ketika Zaid bercerita kepada Nabi tentang Zainab yang tak menaatinya, ia paham bahwa istrinya ingin berpisah dengannya. Rasulullah memberi arahan padanya dengan mengatakan,

اتَّقِ اللهَ فِي قَوْلِكَ، وَأَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ

“Bertakwalah kepada Allah dalam ucapanmu. Tahanlah istrimu bersamamu.”

Padahal Nabi tahu bahwa Zaid akhirnya akan menceraikannya, dan beliau yang akan menikahi mantan istrinya. Inilah yang beliau rahasiakan. Beliau tidak malah memprovokasi dan menjadi penyebab perceraian meskipun beliau tahu perceraian itu akan terjadi. Beliau khawatir nanti orang-orang akan berkomentar karena ia menikahi Zainab yang merupakan mantan istri anak angkatnya. Allah mengkritik sikap Nabi kala itu. Sikap yang khawatir terhadap pendapat masyarakat dalam sesuatu yang Allah bolehkan. Allah mengkritik ucapan nabi “Tahan istrimu” padahal beliau tahu kalau Zaid akan menceraikannya. Dan Allah lah yang lebih berhak untuk ditakuti dalam keadaan apapun.

Dari peristiwa ini, Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ma’shum dari kesalahan-kesalahan besar. Ma’shum dari segala sesuatu yang menyebabkan syariat berkurang atau bertambah. Adapun tentang kesalahan yang sifatnya minor, beliau melakukannya dan langsung mendapat teguran dari Allah Ta’ala.

Keutamaan Zainab

Ummul Mukminin Zainab radhiallahu ‘anha memiliki kedudukan di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengetahui posisi Zainab di hati Nabi bisa kita simak penilaian Ibunda Aisyah. Beliau mengatakan, “Zainab adalah wanita yang menyamaiku dibanding istri-istri Nabi yang lain. Aku tak pernah melihat seorang wanita pun yang lebih baik agamanya, lebih bertakwa, lebih jujur ucapannya, lebih menyambung silaturahim, lebih besar sedekahnya, lebih semangat mengkhidmatkan diri dalam beramal dan mendekatkan diri kepada Allah dibanding dirinya. Hanya saja (kekurangannya), ia agak keras dan cepat marah. Namun ia cepat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah 2442 dan an-Nasai 3946).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati Zainab sebagai seorang wanita awwahah. Beliau berkata kepada Umar bin al-Khattab,

إِنَّ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ أَوَّاهَةٌ”. فقال رجل: يا رسول الله، ما الأوَّاه؟ قال: “الْخَاشِعُ الْمُتَضَرِّعُ، {إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ} [هود: 75

“Sesungguhnya Zainab binti Jahsy adalah seorang wanita awwahah.” Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu awwah?” Beliau menjawab, “Seorang yang khusyuk dan tunduk. Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi awwah (penghiba) dan suka kembali kepada Allah.” [Quran Hud: 75] (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Sumthu ats-Tsamin Hal 179).

Saat terjadi Perang Thaif -setelah Perang Hunain-, Zainab adalah istri yang menemani Nabi. Ia juga bersama Nabi di Perang Khaibar dan Haji Wada’ (al-Halabi: as-Sirah al-Halabiyah 3/200). Saat Haji Wada’, Rasulullah berpesan kepada istri-istrinya,

هَذِهِ ثُمَّ ظُهُورُ الحُصُرِ

“Ini. Kemudian tetaplah kalian tinggal di rumah.”

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Zainab memegang teguh pesan ini. Ia senantiasa di rumahnya dan tidak bersafar. Semua istri-istri Nabi berhaji kembali kecuali Zainab binti Jahsy dan Saudah binti Zam’ah. Keduanya mengatakan, “Demi Allah, kami tidak menggerakkan tunggangan kami setelah kami mendengar pesan nabi.” (Riwayat Ahmad 26794. Al-Arnauth berkomentar sanad hadits ini hasan. Ath-Thabrani: al-Mu’jam al-Kabir 17/282).

Ibu Orang-Orang Miskin

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Sebagian istri Nabi bertanya kepada beliau, ‘Siapa di antara kami yang paling cepat menyusulmu (wafat)?’ Nabi menjawab, ‘Yang paling panjang tangannya’. Mereka mengambil alat pengukur dan mengukur tangan mereka masing-masing. Ternyata yang paling panjang tangannya adalah Saudah. Kemudian kami sadar, yang dimaksud panjang tangan di sini adalah mudah (mengulurkan tangan untuk) bersedekahlah. Itulah yang paling cepat menyusul beliau. Dan Zainab sangat gemar bersedekah.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab az-Zakat 1354 dan Muslim dalam Kitab al-Fadhail 2452).

Wara’ dan Takwa

Ketika tersebar berita dusta tentang Aisyah, orang-orang heboh dan ikut bicara. Padahal mereka tak mengetahui hakiki duduk perkaranya. Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang apa yang menimpaku. Beliau berkata,

يَا زَيْنَبُ، مَاذَا عَلِمْتِ أَوْ رَأَيْتِ؟” فقالت: يا رسول الله، أحمي سمعي وبصري، ما علمتُ إلاَّ خيرًا

‘Wahai Zainab, apa yang kau ketahui tentang Aisyah atau bagaimana pandanganmu terhadapnya?’ Ia menjawab, ‘Aku jaga pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak mengenalnya melainkan sebagai sosok pribadi yang baik, Rasulullah’.”

Aisyah berkomentar, “Padahal dia adalah seorang perempuan yang menyamaiku (sainganku) dibanding istri-istri nabi yang lain. Allah menjaganya dengan sifat wara’ (kehati-hatian). Tapi, saudarinya (yang bernama) Hamnah, berbicara (turut menyebarkan dusta) agar Zainab (jadi yang utama). Dari peristiwa itu, hancurlah orang-orang hancur (karena ikut menyebar berita dusta) dari kalangan sahabat nabi.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir 4473).

Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar rahimahullah mengomentarai ucapan Aisyah bahwa Nabi bertanya kepada Zainab binti Jahsy, Ummul Mukminin. ‘Aku jaga pendengaranku dan penglihatanku’. Bentuk penjagaan beliau adalah tidak berkomentar tentang sesuatu yang tidak ia dengar dan lihat. Dan ucapan Aisyah ‘Padahal ia adalah sainganku’, maksudnya bersaing denganku dalam kehormatan. Bersaing dalam mencari kemuliaan, kedudukan yang tinggi, dan perlakuan istimewa (Ibnu Hajar: Fath al-Bari 8/478).

Dalam peristiwa ini tampak jelas kualitas ketakwaan Ibunda Zainab radhiallahu ‘anha. Beliau bersikap hati-hati. Tidak mudah menuduh madunya, Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, dengan bentuk tuduhan apapun yang tidak ia lihat dan dengan telinganya sendiri.

Kehidupannya Sepeninggal Rasulullah

Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kedermawanannya tidak pudar. Ia tetap menjadi wanita yang zuhud. Hatinya tak terkait dengan dunia dan perhiasannya. Disebutkan bahwa Umar mengirimkan hadiah untuk Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha. Saat hadiah tersebut tiba, Ibunda Zainab berkata, “Semoga Allah mengampuni Umar, sungguh saudari-saudariku lebih layak menerima pembagian ini dibanding aku.” Mereka berkata, “Semuanya untuk Anda.” Zainab, “Subhanallah.”

Kemudian, Zainab alasi bagian bawah harta itu dengan kain. Ia berkata, “Tutup bagian atasnya dengan kain.” Orang-orang pun menutupinya. Zainab berkata pada Barzah binti Rafi’, “Masukkan tanganmu dan pegang erat bungkusan itu. Kemudian bawa menuju keluarga Fulan.” Barzah membagikannya di keluarga tersebut dan tersisa sebagian. Barzah berkata kepada Ibunda Zainab, “Semoga Allah mengampuni Anda. Demi Allah, sungguh ada bagian kami pada pemberian ini.” Zainab menjawab, “Untuk kalian yang di bagian bawah pakaian.” Barzah berkata, “Kami pun mengangkat bagian bawah. Lalu kami dapati ada uang sejumlah 85 Dirham.” Kemudian Zainab mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, jangan biarkan pemberian Umar sampai kepadaku lagi setelah tahun ini.” Barzah berkata, “Dan ia wafat (sebelum tiba pembagian berikutnya).” (Ibnul Jauzi, Shifatu ash-Shafwah, 1/326).

Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Zainab

Berikut ini adalah ayat-ayat Alquran yang turun berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada Ibunda Zainab radhiallahu ‘anha. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” [Quran Al-Ahzab: 37].

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya ayat ini ‘sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya…’ [Quran Al-Ahzab: 37]. Turun terkait dengan keadaan Zainab binti Jahsy dan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhuma (Ibnu Katsir: Tafsir al-Quran al-Azhim 6/425. Al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir 4509).

Kemudian firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلاَ مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لاَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” [Quran Al-Ahzab: 53].

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Ketika Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang orang-orang. Mereka pun memakan hidangan. Setelah makan, mereka duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol. Nabi memberi isyarat untuk berdiri, namun mereka tak juga berdiri. Saat beliau berdiri, sebagian dari mereka berdiri. Yang masih duduk, tersisa tiga orang. Nabi pun masuk ke bagian dalam rumahnya, ternyata ada sekelompok orang. Kemudian orang-orang ini berdiri. Aku (Anas) beranjak dan datang. Kukabarkan kepada beliau bahwa mereka sudah pergi. Beliau datang hingga masuk rumah. Aku pun masuk dan ternyata terdapat hijab antara aku dan beliau. Kemudian turunlah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi…”

Wafat

Ummul Mukminin Zainab bint Jahsy radhiallahu ‘anha wafat di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab. Tepatnya pada tahun 20 H. Ada juga yang menyatakan tahun 21 H. Dan saat wafat, usia beliau adalah 53 tahun (Ibnul Jauzi: Shifatu ash-Shafwah 1/326).

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)