Type Here to Get Search Results !

 


TATHAYYUR


ما جاء في التطير

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Syarah

At-Tathayyur atau Thiyarah adalah mengait-ngaitkan nasib sial dengan sesuatu yang dilihat, didengar, atau dengan angka-angka tertentu, yang dengan hal-hal tersebut dianggap mendatangkan kesialan. Asalnya At-Tathayyur diambil dari kata طَائِرٌ (Thair) yang artinya adalah burung. Orang-orang Arab jahiliyah dahulu tatkala hendak bersafar, mereka menuju kesuatu jenis burung tertentu kemudian mengusirnya, jika burung tersebut terbang ke sebelah kanan maka mereka melanjutkan perjalanan mereka, dan  jika burung tersebut terbang ke arah kiri maka mereka membatalkan perjalanan mereka. ([1]) Maka dari sini orang Arab jahiliyah mengaitkan jadi tidaknya suatu urusan mereka dengan burung tersebut, sehingga istilah inilah yang disebut dengan Tathayyur, yaitu mengaitkan kegiatan mereka dengan burung. Istilah ini kemudian menjadi lebih umum, yaitu jika seseorang mengaitkan jadi tidaknya suatu urusan dengan sesuatu hal yang dianggap bisa mendatangkan kesialan maka disebut juga At-Tathayyur atau thiyarah, yang kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang thiyarah,

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ

“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik.”([2])

Di tanah air kita, praktik tathayyur sangatlah banyak. Dalam istilah sebagian orang dikenal dengan istilah pamali, yang menganggap bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak boleh karena bisa mendatangkan kesialan, padahal hal tersebut juga tathayyur dan menjadikan hidup semakin sulit. Diantara praktik-praktik tathoyyur di tanah air kita adalah([3]):
  •     Menganggap sial angka 13. Tradisi menganggap sial angka 13 sepertinya berasal dari orang kafir. Ini adalah perkara yang tidak logis. Bagamana mungkin kemudian angka 13 bisa membawa kesialan? Oleh karenanya kita tidak mendapati ada kursi pesawat dari maskapai penerbangan apapun di Indonesia dengan nomor 13. Demikian pula ada sebagian pemain sepakbola yang tidak ingin mengenakan kaos dengan nomor punggung 13, karena dianggap bisa membawa sial kepada klub sepakbolanya. Demikian pula hotel-hotel dan bangunan yang tinggi, mereka meniadakan lantai 13, sehingga setelah lantai 12 langsung lompat ke lantai 15. Demikian juga angka empat dianggap membawa sial, sehingga beberapa gedung-gedung tidak memiliki lantai empat, melainkan diganti dengan angka Tentu anggapan-anggapan ini tidak benar, dan angka 13 tidak ada hubungannya sediktipun dengan kesialan. Namun demikianlah jenis tathayyur ini telah berpindah dari orang-orang kafir kepada kaum muslimin.
  •     Menganggap sial bagi wanita hamil, jika suaminya masuk dan keluar toilet dengan menggantungkan handuk di lehernya. Sebagian orang menganggap perkara ini bisa mendatangkan sial yaitu janin yang ada di perut bisa terikat dengan tali pusarnya. Sungguh ini adalah hal yang sangat tidak masuk akal.
  •     Meyakini bahwa jika seorang gadis perawan duduk di depan pintu, maka dia akan susah menikah. Keyakinan seperti ini tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Papua.
  •     Keyakinan terkait burung gagak. Jika burung gagak berkumpul dan terbang di langit, maka pertanda bahwa akan ada kerabat, yang akan meninggal. Keyakinan ini tersebar di Banyumas – Jawa Tengah dan Jombang – Jawa Timur.
  •     Keyakinan sebagian masyarakat tatkala terjadi hujan gerimis saat matahari terik, maka hal tersebut adalah pertanda bahwa ada syaithan-syaithan yang melahirkan anaknya. Keyakinan ini ada pada sebagian masyarakat Jombang. Sedangkan sebagian masyarakat asli jakarta meyakini bahwa perkara hujan gerimis saat matahari terik menandakan bahwa ada orang yang meninggal dunia.
  •     Sebagian orang di Wonogiri meyakini bahwa jika anak lahir pada waktu maghrib, maka anak tersebut akan meninggal dengan kondisi yang mengenaskan yaitu tewas dimakan singa. Untuk menghindari hal tersebut terjadi, maka mereka mengadakan suatu acara ritual yang disebut ruwatan. Ritual ini dutujukan agar sang bayi terhindar dari keburukan. Selain ritual ruwatan tersebut, agar sang bayi terhindar dari terkaman singa dikemudian hari, maka tali pusarnya diambil dan dicampur dengan asam jawa, gula merah, dan diletakkan pensil, sedotan dan beberap benda yang lainnya, lalu dikuburkan di samping rumah. Setelah dikubur, maka tali pusar yang telah dikubur harus dijaga selama empat puluh hari. Keyakinan seperti ini juga tersebar di daerah Pacitan.
  •     Sebagian orang meyakini bahwa mencium tangan anak kecil akan menjadikan anak tersebut akan menjadi tukang minta-minta jika telah dewasa, sehingga mereka melarang mencium tangan anak kecil. Kalaupun seseorang ingin mencium anak kecil, maka mereka menganjurkan untuk menciumnya di tempat yang lain seperti pipi, kepala, dan yang lain selain tangan.
  •     Keyakinan sebagian penduduk kota Cirebon yang menganggap bahwa orang yang meninggal pada hari sabtu, maka hal tersebut akan mengantarkan wafat kepada orang lain dari kerabat atau tetangga.
  •     Keyakinan sebagian orang yang menganggap bahwa jika tanggal lahir anak sama dengan tanggal lahir orang tua -baik ayah ataupun ibunya-, maka akan menimbulkan pertikaian dan permusuhan dalam keluarga tersebut. Solusinya adalah anak tersebut disimpan atau dibuang di luar rumah, dan dibiarkan hingga ada orang lain yang mengambil anak tersebut untuk dirawat beberapa hari. Jika telah lewat beberapa hari, maka orang tua asli dari anak tersebut datang dan membeli anak tersebut. Hal ini dianggap dapat menghilangkan keburukan yang akan ditimbulkan oleh anak tersebut. Keyakinan ini tersebar di banyak penduduk di kota jawa, Allahul musta’ân.
  •     Sebagian penduduk kota semarang berkeyakinan bahwa jika ada anak gadis perawan yang memakan bagian sayap ayam, maka suatu saat suami perempuan tersebut akan dibawa pergi dari tempat tinggal asalnya.
Ini semua adalah contoh-contoh praktik tathayyur di negeri kita, dan ini masuk dalam kategori syirik kecil.

Sebagaiaman telah lalu Tathayyur secara bahasa di ambil dari kata طَائِر yang berarti burung. Sedangkan secara istilah, tathayyur adalah التَّشَائُمُ بِالمَسْمُوعِ أَو بِالمَرئِي yaitu menganggap sial karena sesuatu yang dilihat atau didengar.
Apakah hukum At-Tathayyur?

Sebagaimana disebutkan oleh Al-Munawi, tathayyur bisa menjadi syirik akbar jika meyakini bahwa benda-benda tersebut yang menciptakan kesialan atau keburukan selain Allah, atau meyakini bahwa benda-benda tersebut ikut serta bersama Allah dalam menntukan kesialan. Akan tetapi tathayyur masuk kategori syirik kecil jika menganggap bahwa benda-benda tersebut hanyalah sebab atau petunjuk munculnya kesialan atau keburukan yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. ([4])

Kalau diperhatikan, sebagian masyarakat kita yang masih melakukan tathayyur, mereka melakukan tathayyur yang kategori syirik kecil. Karena mereka tahu bahwa segala keburukan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan mereka tidak meyakini bahwasanya benda-benda tersebutlah yang mendatangkan keburukan, melainkan sebagian mereka menganggap bahwa benda-benda tersebut hannyalah sebab dan yang menentukan keburukan hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala.

Mengapa tathayyur bisa dikatakan syirik?

Pertama, karena tathoyyur adalah bentuk menjadikan sesuatu yang bukan sebab (baik ditinjau dari segi syariat maupun peraktek di kehidupan nyata) sebagai sebab. ([5]) Sebagaimana telah disebutkan bahwa ada orang yang meyakini bahwa jika seorang suami membawa handuk dengan digantungkan dileher, sedangkan istrinya sedang hamil, maka sang anak akan terlilit tali pusarnya. Apa hubungannya handuk dileher dengan janin yang terlilit tali pusar? Sungguh tidak ada hubungannya sama sekali. Demikian pula apa hubungannya angka tiga belas bisa menimbulkan kesialan? Ini semua adalah menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab. Inilah mengapa tathayuur dikategorikan syirik kecil.

Kedua, karena tathayyur menafikkan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Tatkala seseorang bertathayyur, mereka akhirnya tidak bertawakkal kepada Allah. Sebagaimana halnya orang-orang Arab jahiliyah yang tatkala mereka hendak bepergian, maka mereka pergi ke burung tertentu lalu diusir untuk melihat kemana arah terbangnya, jika terbangnya ke kanan maka perjalanan dilajutkan, dan jika terbangnya kekiri maka perjalanan dibatalkan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak bertawakkal kepada Allah, melainkan bertawakkal kepada burung tersebut. Hal ini juga sebagaimana dengan orang yang memakai jimat yang mereka bertawakkal kepada jimat tersebut. Tentu ini adalah kesyirikan.

    Matan

    Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

    أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ

    “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 131)

    Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

    قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَإِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

    “Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas’.” (QS. Yasin : 19)

Syarah

Dalam bab ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membawakan beberapa dalil tentang haramnya tathayyur. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala di atas. Dari ayat di atas diketahui bahwa istilah tathayyur juga telah digunakan oleh orang-orang musyrikin sejak zaman Nabi Musa ‘alaihissalam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 131)

Dalam ayat ini, mereka bertathayyur dengan Nabi Musa ‘alaihissalam dan pengikutnya. Menurut mereka, Nabi Musa dan pengikutnya menimbulkan kesialan. Akan tetapi dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa ta’ala membantah bahwasanya kesialan itu akibat ulah perbuatan mereka sendiri dan Allah-lah yang menentukan itu semua.

Kemudian dalam ayat selanjutnya –QS. Yasin : 19– merupakan bantahan Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap orang-orang yang mereka mengingkari para pengikut Rasul. Orang-orang kafir yang didakwahi oleh para pengikut Rasul mengatakan bahwa mereka para pengikut Rasul adalah pembawa sial. Maka kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala membantah perkataan mereka melalui ayat ini.

Dalam Islam, tidak ada sial kecuali karena maksiat, dan tidak ada keburukan kecuali karena dosa. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Syura : 30)

Ketahuilailah bahwa tidak ada kesialan karena hari, waktu, tempat, angka, ataupun hewan. Akan tetapi ketika seseorang bermaksiat kepada Allah, maka bersiaplah untuk mendapatkan kesialan atau keburukan. Oleh karenanya dalam suatu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (Muttafaqun ‘alaih)([6])

Oleh karenanya tatkala seseorang melakukan maksiat, maka dia pasti akan merasakan kesialan. Ketahuilah bahwa hari terburuk bagi seseorang adalah hari yang jika dia penuhi dirinya dengan kemaksiatan, dan hari terindah bagi seseorang adalah hari dimana dia tidak bermaksiat sama sekali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Oleh karenanya tatkala kaum Fir’aun terkena musibah, mereka berusaha menempelkan kesialan tersebut karena Nabi Musa ‘alaihissalam, padahal sejatinya kesialan itu karena akibat perbuatan mereka sendiri.

    Matan

    Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ، وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

    “Tidak ada ‘Adwa, Thyarah (tathayyur), Hamah, dan Shafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Dalam riwayat Muslim ditambahkan,

    وَلَا نَوْءَ، وَلَا غُولَ

    “Tidak ada Nau’ dan Ghul.”

Syarah

Ada enam perkara yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam nafikkan,
  •     ‘Adwa yaitu penyakit menular.
Tidak ada penyakit menular yang bisa menular dengan sendirinya, melainkan dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka jangan sampai seseorang menyangka bahwa penularan tersebut terjadi dengan sendirinya. Maka dari hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menjelaskan bahwa ‘adwa ini terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan berpindahnya penyakit dari satu hewan ke hewan lainnya, dari satu orang ke orang lainnya, yang demikian adalah atas izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya ada orang Arab badui yang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang ada satu unta yang berpenyakit kulit, dan tatkala berkumpul dengan unta yang lainnya, maka unta yang pertama menularkannya. Seakan-akan orang Arab badui ini meyakini bahwasanya gara-gara unta yang berpenyakit inilah yang mengakibatkan unta yang lain terkena penyakit yang sama. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membantah dengan mengatakan,

فَمَنْ أَعْدَى الأَوَّلَ

“Lalu siapakah yang menularinya pertama.”([7])

Jika unta-unta yang lain sakit karena penularan, maka siapakah yang membuat unta pertama sakit? Tentunya yang membuat unta pertama sakit adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka demkian pula dengan unta yang lainnya, yang membuat mereka sakit adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi dengan sebab proses penularan. ([8])

Artinya kita meyakini bahwa penularan tersebut hanyalah sebab dan yang menentukannya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala.

Oleh karenanya dalam hadits-hadits yang lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk menempuh jalan agar tidak tertular. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِرَّ مِنَ المَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ

“Jauhilah engkau dari orang terkena kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.”([9])

Dari sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk menghindari orang yang berpenyakit menular. Akan tetapi jika sekiranya seseorang mendekatinya dan penyakitnya berpindah, maka terimalah karena itu relah menjadi takdir Allah Subhanahu wa ta’ala. Betapa banyak orang yang terkena penyakit kusta, akan tetapi orang-orang didekatnya tidak tertular. Ini menunjukkan bahwa yang menetukan penularan itu adalah Allah Subhanahu wa ta’ala.

Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لَا يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Yang sakit jangan mendekat kepada yang sehat.”([10])

Dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا، فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

“Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya.”([11])

Ini semua dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa penularan itu terjadi dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan dari sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menghilangkan keyakinan orang-orang jahiliyah bahwa penyakir menular itu tertular dengan sendirinya tanpa izin dari Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “Tidak ada ‘Adwa”.
  •     Thiyarah – Tathayyur
Tidak ada kesialan yang disebabkan oleh burung ataupun hewan lainnya. Tidak ada hubungannya antara dijatuhi kotoran hewan dengan kesialan sebagaimana anggapan banyak orang. Kalau seseorang membatalkan apa yang dia hendak lakukan karena mengalami peristiwa seperti ini, maka inilah tathayyur dan ini adalah kesyirikan. Oleh karenanya dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tidak ada Thiyarah”. Anggapan-anggaan ini semua hanyalah dugaan-dugaan yang tidak benar.
  •     Haamah yaitu burung hantu
Di zaman jahiliyah dahulu, tatkala ada burung hantu yang datang, mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah tanda kesialan, baik itu berupa ada orang yang meninggal, ada yang sakit. Ingatlah bahwa burung hantu itu tidak menandakan apa-apa. Oleh karenanya keyakinan ini hanya sekedar prasangka yang tidak adadalionya baik secara logis maupun secara kenyataan.
  •     Shafar
Shafar disini terdapat dua pengertian. Pengertian pertama adalah ulat yang ada diperut hewan yang dapat menular. ([12]) Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyangka bahwa jika ada hewan terkena penyakit ini, maka otomatis akan menularkan ke hewan yang lain. Maka dari sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “Tidak ada Shafar” agar tidak ada yang meyakini bahwa pasti penyakit tersebut menular, melainkan penularan hanya bisa terjadi atas izin Allah. Pengertian yang kedua adalah Shafar yang dimaksud adalah bulan ke-dua tahun Hijriah, dan inilah penafsiran inilah yang lebih benar. Artinya adalah tidak ada kesialan dalam bulan safar. Anggapan sial berkaitan dengan waktu, maka itu semua adalah tathayyur. Dan inilah musibah yang menimpa sebagian masyarakat kita, sebagian orang di daerah Jawa, tatkala ada yang hendak menikah maka mereka menghitung tanggal untuk mencari hari keberuntungan untuk menghindari hari sial, sehingga akhirnya pernikahan tertunda sampai berbulan-bulan. Maka ketahuilah bahwa tidak waktu, hari, dan bulan sial. Waktu sial bagi seseorang adalah tatkala dia bermaksiat kepada Allah, adapun jika dia senantiasa bertakwa kepada Allah, maka hari apapun adalah hari yang indah baginya.

Disebagian masyarakat ada yang selalu melakukan dzikir yang mereka sebut dzikir ratiban setiap hari selasa. Mereka melakukan itu atas dasar karena dahulu ada nenek moyang mereka yang meninggal terkena wabah pada hari selasa, sehingga mereka menganggap hari selasa adalah sial dan harus ditangkal dengan dzkir ratiban tersebut. Padahal yang mereka lakukan ini adalah bid’ah yang dibangun di atas kesyirikan. Meyakin hari selasa merupakan hari sial adalah syirik (tathayyur), dan melakukan dzikir tertentu tesebut adalah bid’ah, maka inilah bid’ah dikatakan kesyirikan. Tentu hal ini adalah haram dan tidak boleh untuk diikuti.

Kemudian muncul juga sebagian orang yang melakukan shalat yang dinamai dengan shalat Rebo Wekasan. Ketahuilah bahwa tradisi ini benar-benar bertentangan dengan syariat dan sangat sesuai dengan tradisi jahiliyah. Orang-orang yang melakukan tradisi ini meyakini bahwa ada hari rabu di pekan terakhir bulan safar yang bisa bikin sial (musibah), sehingga mereka melakukan shalat untuk menolak bala’ tersebut dengan shalat yang dinamakan dengan shalat rebo wekasan. Dan tradisi ini juga sama, yaitu merupakan tradisi bid’ah yang dibangun di atas kesyirikan. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan “Tidak ada (kesialan) Shafar”. Maka yang demikian berarti menentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  •     Nau’ yaitu mengaitkan bintang dengan turunnya hujan.
Memang benar bahwa terkadang hujan turun tatkala muncul bintang tertentu, akan tetapi bukan bintang itu yang menjadi sebab turunnya hujan.
  •     Ghul adalah syaithan yang diyakini bisa membuat orang tersesat.
Ketika ada seseorang berjalan di hutan, muncul syaithan yang membuatnya tersesat dan tidak tahu arah pulang, maka ini disebut ghul. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa gangguan jin tersebut itu atas izin Allah. Sehingga seseorang yang merasa diganggu jin bisa menangkalnya dengan memohon perlindungan dan berdzikirkepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam sebagian hadits yang sanadnya dhaif namun disebutkan oleh para ulama, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِذَا تَغَوَّلَتْ لَكُمْ الْغِيلَانُ فَنَادُوا بِالْأَذَانِ

“Jika merasa perjalanan disesatkan oleh Ghilan maka kumandangkan adzan.”([13])

Hadits ini secara sanad dhaif, ([14]) akan tetapi disebutkan oleh para ulama karena maknanya dikuatkan dalam hadits yang sahih, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ، وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِينَ

“Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)([15])

Maka jika seseorang merasa diganggu oleh syaithan, maka sebagian ulama berpendapat bahwa mereka boleh adzan berdasarkan hadits di atas, meskipun dhaif.

Datang dalam suatu hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الشُّؤْمُ([16]) فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الفَرَسِ، وَالمَرْأَةِ، وَالدَّارِ

“Sesungguhnya kesialan ada pada tiga hal, pada kuda, wanita dan tempat tinggal.”([17]) (Muttafaqun ‘alaih)

Dari hadits ini, disebutkan bahwa keburukan ada pada tiga perkara yaitu, kuda, istri (wanita), dan tempat tinggal (rumah). Hadits ini adalah hadits yang sahih. Para ulama membahas bahwa apakah dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan adanya tathayyur?

Di antara para ulama yang menjelaskannya adalah Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakan bahwa hadits ini tidak ada kaitannya dengan tathayyur. ([18]) Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjelaskan bahwa hendaknya seseorang berhati-hati tatkala memilih kuda tunggangan, memilih istri, dan memilih rumah, karena ini semua memiliki pengaruh dalam keburukan yang akan dihadapi oleh seseorang. Dan pengaruh dari tiga perkara yang disebutlan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sangat jelas. Contohnya adalah tatkala seseorang memilih istri (menikahi wanita) yang senantiasa ngomel dan boros, maka tentu dia akan menderita (sial) setiap hari menghadapi istri semacam itu. Begitupula dengan kendaraan, jika seseorang tidak berhati-hati memeilih kendaraan, maka tentu dia akan kerepotan dikemudian hari jika ternyata kendaraannya memiliki banyak masalah (keburukan).

Oleh karenanya jangan disangka bahwa hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan adanya tathayyur. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengingatkan untuk berhati memilih ketiga perkara tersebut, karena jika salah pilih maka akan mempengaruhi keburukan yang akan dialami karena sebabnya jelas. Berbeda dengan tathayyur yang menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab (tidak memiliki hubungan).

Namun, jika keburukan itu terjadi, maka boleh bagi kita untuk menggantinya, atau meninggalkannya, dengan tetap meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla yang memberikan musibah itu, bukan hal itu sendiri. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّا كُنَّا فِي دَارٍ كَثِيرٌ فِيهَا عَدَدُنَا، وَكَثِيرٌ فِيهَا أَمْوَالُنَا، فَتَحَوَّلْنَا إِلَى دَارٍ أُخْرَى فَقَلَّ فِيهَا عَدَدُنَا، وَقَلَّتْ فِيهَا أَمْوَالُنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ذَرُوهَا ذَمِيمَةً»

“Seseorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sungguh dahulunya kami tinggal di suatu tempat yang mana di sana jumlah kami banyak, harta kami banyak, kemudian kamipun pindah ke tempat yang lain, maka berkuranglah jumlah kami, dan sedikit pula harta kami. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkanlah tempat itu, sesungguhnya ia buruk”. ([19])

Berkata imam Ibnu Al Qoyyim:

فَلَيْسَ هَذَا من الطَّيرَة الْمنْهِي عَنْهَا وَإِنَّمَا أَمَرَهُم بِالتَّحَوُّلِ عَنْهَا عِنْد مَا وَقَعَ فِي قُلُوبِهِم مِنْهَا لِمَصْلَحَتَيْنِ وَمَنْفَعَتَيْنِ إِحْدَاهمَا مُفَارَقَتُهُمْ لِمَكَانٍ هُمْ لَهُ مُسْتَثْقِلُوْنَ وَمِنْهُ مُسْتَوْحِشُوْنَ لِمَا لَحِقَهُمْ فِيهِ وَنَالَهُم لِيَتَعَجَّلُوْا الرَّاحَة مِمَّا دَاخَلَهُم مِنْ الْجَزْعِ فِي ذَلِك الْمَكَانِ وَالْحُزْن…يَبْعَثهُم وَيَدْعُوْهُمْ إِلَى التَّشَاؤُمِ وَالتَّطَيُّرِ فَيُوْقِعُهُم ذَلِك فِيْ أَمْرَيْنِ عَظِيْمَيْن أَحَدُهُمَا مُقَارَنَة الشِّرْكِ وَالثَّانِي حُلُولُ مَكْرُوهٍ أَحْزَنَهُم

“Dan hal ini tidaklah termasuk thiyaroh yang terlarang. Hanyasaja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk berpaling darinya, tatkala yang demikian masuk ke dalam hati mereka karena dua kemashlahatan: (Pertama) Agar mereka berpisah dengan tempat yang mana mereka merasa berat dan terganggu tinggal di sana, dikarenakan keburukan yang mereka dapati di sana. Agar mereka bisa beristirahat (bebas) dari apa-apa yang mengganggu mereka dari rasa kegoncangan (keburukan) di tempat itu, dan rasa sedih….(Kedua) Bisa jadi hal tersebut mengantarkan mereka kepada menganggap sial dan tathoyyur. Maka hal itu (tetap tinggal) menjerumuskan mereka ke dalam dua hal yang besar: pertama: bersanding dengan kesyirikan. Dan kedua: berada pada keburukan yang membuat mereka sedih”. ([20])

    Matan

    Dan dari Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallhu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ قَالُوا: وَمَا الفَأْلُ؟ قَالَ: كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ

    “Tidak ada ‘Adwa dan thiyarah, tetapi Al-Fa’lu menyenangkan diriku.” Para sahabat bertanya, “Apakah Al-Fa’lu itu?” Beliau menjawab, “Yaitu kalimah thayyibah (kata-kata yang baik).” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Dan dari Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata,

    ذُكِرَتِ الطِّيَرَةُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَحْسَنُهَا الْفَأْلُ وَلَا تَرُدُّ مُسْلِمًا، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ لَا يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ

    “Thiyarah disebut-sebut di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bersabda: “Yang terbaik adalah al-fa’lu (sikap optimis -pent), dan thiyarah tidak boleh menahan kehendak seorang muslim. Apabila salah seorang di antara kalian melihat apa yang ia tidak sukai, maka hendaknya ia mengucapkan: ‘Allaahumma Laa Ya`Tii Bilhasanaati Illaa Anta Wa Laa Yadfa’ussayyiaati Illaa Anta, Wa Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Bika (Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang dapat menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali karena-Mu)’.” (HR. Abu Daud)

Syarah

Al-Fa’lu menunjukkan sikap optimis dan berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa Allah akan mentakdirkan kebaikan. Adapun tathayyur menujukkan sikap pesimis dan prasangka buruk kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa Allah akan menakdirkan keburukan dengan sebab yang tidak jelas. Disinlah perbedaan antara al-fa’lu dan tathayyur. Al-Fa’lu adalah perkara  yang dianjurkan, sedangkan tathayuur adalah perkara yang diharamkan. Kita tahu bahwasanya orang beriman diperintahkan untuk husnudzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan tidak boleh su’udzan kepadaNya.

Disebutkan dalam sebuah hadits tentang contoh al-fa’lu. Dari Buraidhah mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَتَطَيَّرُ مِنْ شَيْءٍ، وَكَانَ إِذَا بَعَثَ عَامِلًا سَأَلَ عَنِ اسْمِهِ، فَإِذَا أَعْجَبَهُ اسْمُهُ فَرِحَ بِهِ وَرُئِيَ بِشْرُ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ، وَإِنْ كَرِهَ اسْمَهُ رُئِيَ كَرَاهِيَةُ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan tathuyyur dari sesuatupun, beliau apabila telah mengutus seorang pekerja maka beliau bertanya mengenai namanya, apabila tertarik dengan namanya maka beliau senang dan terlihat kesenangan kepada hal tersebut pada wajah beliau. Dan apabila tidak menyukai namanya maka terlihat ketidaksenangan kepada hal tersebut pada wajah beliau.”([21])

Oleh karenanya tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjanjian Hudaibiyah, datang kemudian utusan orang kafir untuk meminta perlindungan. Orang yang diutus tersebut bernama Suhail bin Amr. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengethaui bahwa namanya adalah Suhail, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

سَهُلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ

“Allah akan memudahkan urusan kalian.”([22])

Dari sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertafa’ul dengan nama seseorang yang artinya adalah mudah. Hal yang seperti ini boleh dalam Islam.

Demikian pula disebutkan dari Anas bin Malik,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعْجِبُهُ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَنْ يَسْمَعَ: يَا رَاشِدُ، يَا نَجِيحُ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka apabila beliau keluar untuk memuhi hajatnya dan mendengar orang memanggil, ‘Ya Raasyid (orang yang diantarkan menuju keperluannya), Ya Najiih (orang yang berhasil memenuhi keperluannya)’.”([23])

Inilah contoh-contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertafa’ul dengan nama-nama yang baik. Dan yang semacam ini dibolehkan dalam Islam. Wallahu a’lam bisshawab.

    Matan

    Dan diriwayatkan secara marfu’ dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

    “Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik -tiga kali-.” Ibnu Mas’ud berkata, ‘Tidaklah di antara kita kecuali pernah beranggapan seperti itu (bertathayyur), akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakal’.”

    Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dan dinyatakan sahih. Dan kalimat terakhir tersebut dijadikannya sebagai ucapan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

    Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ، فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

    “Barangsiapa mengurungkan hajatnya karena thaiyarah (beranggapan sial karena melihat burung atau yang lainnya) maka sungguh ia telah berbuat syirik.” Para sahabat bertanya; “Lalu apakah yang dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Hendaklah ia berdo’a, ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan yang datang dari-Mu, dan tidak ada nasib baik kecuali nasib baik yang datang dari-Mu, dan tidak ada Ilah selain-Mu’.”

    Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Al-Fadhdhal bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِنَّمَا الطِّيَرَةُ مَا أَمْضَاكَ، أَوْ رَدَّكَ

    “Sesungguhnya tathayyur itu adalah sesuatu yang akan membuatmu terus maju atau yang membuatmu membatalkannya.”

Syarah

Seseorang yang terbetik di dalam hatinya bahwa akan ada kesialan berkaitan dengan kejadian yang dia alami, maka dia harus bertawakkal kepada Allah dan tidak memperdulikan apa yang dia alami. Oleh karenanya di antara hal yang menyembuhkan tathayyur adalah tawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud,

وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Tidaklah di antara kita kecuali pernah beranggapan seperti itu (bertathayyur), akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakal.”([24])

Beberapa cara agar seseorang terhindar dari tathayyur di antaranya,

    Tawakkal

Obat yang paling utama adalah tawakkal dan beriman kepada takdir bahwasanya segala yang terjadi adalah takdir Allah Subhanahu wa ta’ala. Yakinlah bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah. Dan sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Akan tetapi Allah menghilangkannya (tathayyur) dengan tawakal.”

    Mengetahui bahwa tathayyur adalah bentuk suudzan kepada Allah.

Ketahuilah bahwa seseorang tidak boleh su’udzan kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ

“Sesungguhnya Aku sesuai dengan prasangkaan hamba-Ku terhadapa-Ku, jika ia berprasangka baik maka ia akan mendapatkannya, dan jika ia berprasangka buruk maka ia akan mendapatkannya.”([25])

Maka tidak boleh seseorang berprasangka buruk kepada Allah, dan tathayyur adalah bentuk berprasangka buruk kepada Allah.

    Ketahuilah manusia itu mulia dan memiliki akal yang cerdas.

Jika seseorang bertathayyur karena hewan tertentu, maka kita katakan bahwa disamping dia telah bersu’udzan kepada Allah, dia juga su’udzan kepada hewan. Sungguh tidak kaitannya antara hewan dan kesialan. Maka jika kita sadar bahwa manusia itu memiliki akal yang cerdas, maka bagaimana mungkin seseorang bisa mengaitkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kesialan? Hendaknya seseorang bisa berpikir bahwa mengkaitkan kesialan dengan hewan atau angka-angka tertentu adalah hal yang tidak logis. Bahkan hewan (burung yang tidak berakal) yang dijadikan sandaran manusia untuk bertathoyyur pun tidak terbetik dalam benak burung tersebut adanya tathoyyur ?!!

Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_____

([1]) Taisir Al-Aziz Al-Hamid, Sulaiman bin ‘Abdillah, 1/360, Fiadh Al-Qodir, al Munawi, 2/69.

([2]) HR. Abu Daud no. 3910

([3]) Lihat tesis Ust. Abdullah Zaen, Lc., Ma. Hafidzahullah yang berjudul Mazhâhirul Inhirâffî Tauhid al-‘Ibâdah lada Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqifal-Islâm minhâ

([4]) Lihat Faidh Al-Qodir, Al-Munawi, 4/294

Perhatian:

Sebagian ‘ulama Hanabilah mengaatakan bahwa hukum tathoyyur adalah makruh, akan tetapi ini tentu adalah pendapat yang tidak tepat. Ibnu Muflih berkata:

وَذَكَرَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الطِّيَرَةَ مِنْ الْكَبَائِرِ وَمَا تَقَدَّمَ مِنْ أَنَّهَا مَكْرُوهَةٌ ذَكَرَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ، وَالْأَوْلَى الْقَطْعُ بِتَحْرِيمِهَا، وَلَعَلَّ مُرَادَهُمْ بِالْكَرَاهَةِ التَّحْرِيمُ

“Dan sebagian ‘ulama mengatakan bahwa thiyaroh termasuk dosa besar. Dan yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hukum thiyaroh adalah makruh, disebutkan beberapa ‘ulama madzhab Hanbali. Dan yang lebih tepat adalah menetapkan secara pasti bahwa hukumnya adalah haram, dan sepertinya maksud dari ucapan mereka (makruh) adalah haram” (Al-Adab As-Syar’iyyah,Ibnu Muflih, 3/362).

([5]) At-Tamhid Syarh Kitab At-Tauhid, Syaikh Sholih Alus-Syaikh, 94

([6])  HR. Bukhari no.5641 dan HR. Muslim no. 2573

([7])  HR. Bukhari 5773 dan HR. Muslim no. 2220

([8])  Ma’alim As-Sunan, Al Khotthobi, 4/233

([9])  HR. Bukhari no. 5707

([10])  HR. Muslim no. 2221

([11])  HR. Muslim no. 2219

([12])  Al-Adhdad, Ibn Al-Anbari, 1/324. Dan dinisbatkan kepada Ru’bah bin Al-‘Ajja oleh Al-Qosim bin Sallam dalam kitab, Ghoib Al-Hadits, 1/25

([13])  HR. Ahmad no. 14316

([14])  Karena hadits ini diriwayatkan melalui jalur Al-Hasan Al-Bashri dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu’anhu. Dan Hasan Al-Bashri tidak pernah mendengarkan dan meriwayatkan dari Jabir radhiallahu’anhu, maka ia termasuk hadits terputus. Berkata Yahya bin Ma’in:

وَرَأَى عُثْمَانَ بنَ عَفَّانَ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْ سَمُرَةَ حَرْفًا قَط وَلَا مِنْ جَابِرٍ

“Dan beliau (Al-Hasan al-Bashri) sempat melihat (bertemu) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu. Dan ia tidak pernah mendengarkan hadits dari Samurah satu hurufpun dan tidak pula dari Jabir radhiallahu’anhum” (Tarikh Ibnu Ma’in, 1/130)

([15])  HR. Bukhari no. 608 dan HR. Muslim no. 389

([16])  Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, الشُّؤْمُ berarti keburukan.

([17])  HR. Bukhari no. 2858 dan HR. Muslim no. 2225

([18])  Beliau berkata:

وَإِنَّمَا غَايَتُهُ إِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ قَدْ يَخْلُقُ مِنْهَا أَعْيَانًا مَشْؤُمَةً عَلَى مَنْ قَارَبَهَا وَسَكَنَهَا وَأَعْيَانًا مُبَارَكَةً لَا يَلْحَقُ مَنْ قَارَبَهَا مِنْهَا شُؤْم وَلَا شَرّ

“Dan inti dari hadits ini adalah menjelaskan: Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan beberapa hal itu buruk dan sial bagi siapa yang mendekatinya dan menempatinya, dan terkadang menjadikan sesuatu itu berkah dan tidak ada kesialan dan keburukan bagi siapapun yang mendekatinya dan menempatinya” (Miftaah Dar As-Sa’adah, Ibnu Al-Qoyyim, 2/257)

Dan yang demikian itu benar-benar kita saksikan secara nyata, terkadang kendaraan itu bagus bagi seseorang, namun orang yang lain menggunakannya penuh dengan keburukan.

([19])  HR. Abu Dawud, No.3924

([20])  Miftah Dar As-Sa’adah, Ibnu Al-Qoyyim, 2/258

([21])  HR. Abu Daud no. 3920

([22])  HR. Bukhari no. 2731

([23])  HR. Tirmidzi no. 1616

([24])  HR. Abu Daud no. 3910 dan HR. Tirmidzi no. 1614

([25])  HR. Ahmad no. 9065