Pernikahan Nabi ﷺ dengan sayyidah Khadijah radhiyallahu 'anha.
Nama lengkap Khadījah radhiyallāhu ‘anhā adalah Khadījah bintu Khuwailid bin As’ad bin Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilāb. Sedangkan nasab Nabi ﷺ adalah Muhammad bin ‘Abdillāh bin ‘Abdil Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilāb. Keduanya bertemu pada Qushay.
Abdi Manaf, kakek Nabi ﷺ bersaudara dengan ‘Abdul ‘Uzza dan ‘Abdu Syamsy. Sehingga Khadījah sendiri masih tergolong sebagai seorang wanita Quraisy yang juga memiliki nasab yang tinggi.
Khadījah merupakan keturunan yang spesial dan terkenal di kalangan orang Arab pada saat itu. Disebutkan di dalam sejarah, diantara laqab (gelar) ibunda Khadijah adalah thāhirah (wanita yang suci) karena beliau tidak mengikuti adat-adat Jahiliyyah dan tidak pernah terjerumus ke dalam perzinahan serta hal-hal buruk lainnya. Karena itu beliau dikenal sebagai wanita yang ‘afīfah (menjaga kehormatan). Selain itu, Ibunda Khadijah juga terkenal akan kecantikan dan kekayaannya. Beliau banyak memperkerjakan kaum lelaki dengan sistem mudhārabah untuk memperdagangkan hartanya. Padahal Khadījah adalah seorang wanita janda.
Disebutkan bahwa sebelum beliau menikah dengan Nabi ﷺ, Khadījah sudah menikah dua kali yaitu dengan ‘Atiiq bin ‘Aaidz Makhzumiy dan Abu Haalah ibnu An-Nabasy At-Tamimiy, sehingga Nabi ﷺ adalah suami Khadijah yang ke-3. Kedua suami tersebut meninggal dunia, dan Khodijah memiliki seorang anak dari Abu Haalah yang bernama Hind[1] bin Abi Haalah At-Tamimi.
Meskipun beliau adalah wanita janda, namun karena kesucian, akhlaknya yang mulia, kekayaan hartanya, dan kecerdasannya, banyak lelaki yang datang melamarnya. Tetapi Khadījah radhiyallāhu ‘anhā menolak semua lamaran itu. Seakan-akan beliau sudah tidak tertarik lagi untuk menikah, atau karena beliau tidak terburu-buru untuk menikah. Sampai akhirnya Khadījah mendengar tentang seorang pemuda yang bernama Muhammad ﷺ yang terkenal dengan amanahnya, akhlaknya. Hal inilah yang membuat Khadījah tertarik agar Muhammad bekerja sebagai pekerjanya.
Mulailah Muhammad ﷺ memperdagangkan barang Khadījah radhiyallāhu ‘anhā. Ketika Rasūlullāh ﷺ berangkat berdagang, beliau ﷺ ditemani oleh budaknya Khadījah radhiyallāhu ‘anhā yang bernama Maysarah. Khadījah radhiyallāhu ‘anhā sebenarnya sudah tertarik dengan Muhammad ﷺ namun tidak terburu-buru meminta dilamarkan kepada Muhammad. Beliau ingin menguji Rasūlullāh ﷺ terlebih dahulu dengan menjadikan Rasūlullāh ﷺ sebagai pekerjanya dan memerintahkan Maysarah untuk menemani dan meneliti Nabi ﷺ. Ini salah satu bukti kecerdasan Khadījah radhiyallāhu ‘anhā, dimana beliau memiliki sifat Al-anat (tenang) dan tidak terburu-buru.
Ujian ini dilakukan bukan saat Nabi ﷺ berdagang di Mekkah melainkan saat safar, sebagaimana perkataan para ulama bahwa safar itu akan membuka tabir akhlak seseorang yang sebenarnya.
Sulaiman bin Harb berkata:
شَهِدَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضى الله عنه فَقَالَ لَهُ عمرُ: إِنِّى لَسْتُ أَعْرِفُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ أَنِّى لاَ أَعْرِفُكَ، فَائْتِنِى بِمَنْ يَعْرِفُكَ , فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا أَعْرِفُهُ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ, قَالَ: بِأَيِّ شَيْءٍ تَعْرِفُهُ؟ فَقَالَ: بِالْعَدَالَةِ. قَالَ: هُوَ جَارُك الأَدْنَى تَعْرِفُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهَ وَمَدْخَلَهُ وَمَخْرَجَهُ؟ قال: لاَ. قَالَ: فَعَامَلَكَ بِالدِّرْهَمِ وَالدِّيْنَارِ الَّذِى يُسْتَدَلُّ بِهِمَا عَلَى الْوَرَعِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَصَاحِبُكَ فِى السَّفَرِ الَّذِى يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَلَسْتَ تَعْرِفُهُ
Seorang lelaki ingin memberikan persaksian di hadapan ‘Umar bin Al-Khaththab. ‘Umar berkata kepadanya, “Aku tidak mengenalmu, dan tidak akan memudharatkanmu meskipun aku tidak mengenalmu. Datangkanlah orang yang mengenalmu.” Maka ada seseorang -dari para hadirin- yang berkata, “Aku mengenalnya wahai amirul mukminin”. ‘Umar berkata, “Dengan apa engkau mengenalnya?” Orang itu berkata, “Dengan keshalehan dan keutamaannya.” ‘Umar berkata, “Apakah ia adalah tetangga dekatmu yang engkau mengetahui kondisinya di malam hari dan di siang hari serta datang perginya?” Orang itu berkata, “Tidak”. ‘Umar kembali berkata, “Apakah ia pernah bermu’amalah denganmu berkaitan dengan dirham dan dinar, yang keduanya merupakan indikasi sikap wara’ seseorang?” Orang itu berkata, “Tidak”. ‘Umar berkata lagi, Apakah ia pernah menemanimu dalam safar, yang safar merupakan indikasi mulianya akhlak seseorang?
Orang itu berkata, “Tidak.” Umar menimpali, “Jika demikian engkau tidak mengenalnya.” (Atsar ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaa’ Al-Ghalil, 8/260 No. 2637)
Sungguh benar perkataan ‘Umar, safar memang merupakan pengungkap dan pembongkar akhlak seseorang yang sebenarnya. Betapa banyak orang yang tampaknya mulia dan berakhlak baik namun saat kita bersafar bersamanya dalam waktu yang lama dan jarak perjalanan yang jauh, dan berhadapan dengan kesulitan yang membutuhkan pengorbanan maka akan tampak akhlaknya yang asli, yaitu akhlak yang buruk. Demikianlah, jika seseorang ingin mengetahui bagaimana hakikat orang lain maka ajaklah bersafar atau bertransaksi uang dengannya sehingga dapat diketahui orang tersebut orang yang amanah atau gemar berdusta.
Untuk itulah, Khadījah menguji Nabi ﷺ dalam 2 perkara yang penting, yaitu safar dan masalah keuangan. Inilah mungkin alasan mengapa safar disebut yusfir (membuka tabir seseorang). Karena saat safar akan nampaklah akhlak seseorang, apalagi jika safar tersebut dilakukan bersama orang-orang lain secara berkelompok.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika salah seorang dari kalian melakukan safar maka ia akan sulit makan, minum, dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927).
Setelah Maysarah kembali selepas safar bersama Rasūlullāh ﷺ dan melihat cara berdagang Nabi, Maysarah segera mengabarkan kepada Khadījah tentang hakikat Rasūlullāh ﷺ. Setelah mendengar pengakuan Masyarah, maka semakin bertambahlah ketertarikan Khadījah kepada Rasūlullāh ﷺ.
Akhirnya Khadījah radhiyallāhu ‘anhā pun bermaksud meminang Rasūlullāh ﷺ. Disebutkan oleh beberapa ahli tarikh, Khadījah melakukan pinangan melalui sebagian orang yang dikenalnya dengan cara memberi isyarat kepada Rasūlullāh ﷺ agar menikahi Khadījah, yaitu tidak langsung karena seorang wanita tetap menjaga dirinya. Cara ini juga bisa menjadi dalil bahwa seseorang yang memiliki anak atau adik perempuan, tidak mengapa baginya menawarkan anak atau adik perempuannya tersebut kepada seorang lelaki yang shālih, tentunya dengan cara yang baik dan tidak merendahkan. Demikian juga seorang wanita jika tertarik dengan seorang lelaki yang shalih maka tidak mengapa ia memberi isyarat keapda lelaki sholih tersebut melalu perantara akan hasratnya tersebut, tentu dengan tetap menjaga kehormatannya. Karena mencari suami yang shālih tidak mudah sebagaimana tidak mudah pula mencari wanita yang shālihah, terlebih di zaman sekarang ini. Kalau dikenal ada seorang yang berakhlak mulia, ibadah yang baik, sudah terkumpul 2 perkara ini (ibadah dan akhlak yang baik) maka hendaklah tidak dilepaskan. Sampai-sampai Rasūlullāh ﷺ mengancam orang yang menolak lelaki yang memliki sifat seperti ini:
عَنْ أَبِى حَاتِمٍ الْمُزَنِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ « إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Abu Hatim Al Mizany radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika telah datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian), jika tidak maka niscaya akan terjadi musibah dan kerusakan di bumi”, mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, meskipun ia mempunyai sesuatu (aib), beliau bersabda: “Jika telah datang kepada kalian lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian)”, beliau mengatakan itu tiga kali. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di ddalam shahih At Tirmidzi, no. 1084)
Rasūlullāh ﷺ membedakan antara akhlak dengan agama. Ada orang yang tampak agamanya bagus (misal rajin shalat, puasa sunnah) namun akhlaknya belum tentu bagus (misal punya hutang tidak dibayar padahal mampu untuk membayar, tidak amanah, mulutnya kotor/kasar, tidak menghargai orang lain, dan yang semisal). Jika telah terkumpul pada seorang lelaki agama dan akhlak yang bagus, maka jangan kita tolak selama anak atau adik perempuan kita menyukainya, namun juga hendaknya tidak dipaksa. Dengan harapan suami yang shālih ini akan menghasilkan keturunan yang shālihīn.
Para salaf dahulu tidak ragu untuk menawarkan anak atau adik perempuan mereka kepada orang-orang yang Shalih. Contohnya seperti ‘Umar bin Khaththab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Bukankah beliau telah menawarkan putrinya yaitu Hafshah kepada Abū Bakr dan ‘Utsmān? ‘Umar mengetahui siapa Abū Bakr dan siapa ‘Utsmān, mereka adalah orang-orang yang dikenal shālih. ‘Umar menawarkan tanpa malu karena ini mashlahat baginya, begitupun kita dan anak-anak kita. Jangan biarkan anak kita menikah dengan sembarang orang yang hanya tampan tetapi akhlaknya tidak baik, yang berpotensi malah merusak anak kita.
Begitu juga Nabi Mūsā ditawarkan untuk menikah ketika sampai di negeri Madyan, kemudian beliau menolong 2 wanita, sebagaimana Allāh kisahkan dalam surat Al-Qashash.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖفَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖوَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚسَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ الَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Berkatalah dia (Syu`aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak membebani kamu. Dan kamu in syā Allāh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (QS Al-Qashash : 25)
Akhirnya Khadījah melalui kawannya memberi isyarat agar menikahi Khadījah. Kemudian Rasūlullāh ﷺ pun maju untuk melamar Khadījah dan terjadilah pernikahan antara lelaki yang sangat shālih dan mulia yang mengatakan:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِيْ لِوَاءُ اْلحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ، وَ مَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آَدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَاءِيْ وَ أَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَلاَ فَخْرَ
“Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat dan bukannya sombong. Di tanganku bendera Al-Hamd dan bukannya sombong. Tidak ada seorang Nabi pun, tidak pula Adam dan juga lainnya pada saat itu kecuali semua di bawah benderaku. Aku orang pertama yang keluar dari tanah/kubur dan bukannya sombong.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Rasūlullāh ﷺ menikah dengan seorang wanita yang ‘afīfah (menjaga kehormatan), suci, mulia, dan cerdas, semua sifat baik ini berkumpul pada Khadijah, termasuk juga berbagai macam keindahan, kecantikan wajah, kecantikan akal, akhlak yang mulia serta harta yang banyak.
Umur Nabi ﷺ ketika menikah dengan Khadījah adalah 25 tahun. Sedangkan umur Khadījah saat menikah dengan Rasūlullāh ﷺ diperselisihkan oleh para ulama dalam 2 pendapat :
⑴ Pendapat pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqatnya melalui jalan Al-Waqidi (Muhammad bin Umar) bahwa umur Khadījah adalah 40 tahun (lihat At-Thabaqat al-Kubra 1/131-132). Tetapi periwayatan Al-Waqidi di sisi para ahli hadits tidak diterima karena statusnya matrūk.
⑵ Pendapat kedua, Ibnu Ishāq menyebutkan bahwasanya umur Khadījah ketika menikah dengan Nabi ﷺ adalah 28 tahun, dan inilah pendapat yang mashyur di masyarakat karena kitab siroh yang banyak tersebar di masyarakat adalah kitab siroh Ibnu Hisyam yang merupakan ringkasan dari kitab siroh Ibnu Ishaq.
Namun kedua pendapat di atas tidak disokong dengan dalil yang kuat, pendapat pertama di dalam sanadnya ada perawi yang ditinggalkan riwayatnya (matrukul hadits) yaitu Al-Waqidi, sedangkan yang kedua yaitu pendapat Ibnu Ishaq tidak ada sanadnya. (lihat As-Siroh An-Nabawiyah As-Shahihah 1/113). Oleh Karena itu, usia Khadijah menikah dengan Nabi ﷺ bisa jadi berusia 40 tahun atau 28 tahun.
Hal yang menguatkan pendapat bahwa umur Khadījah tatkala menikah dengan Rasulullah adalah 28 tahun yaitu setelah menikah dengan Nabi ﷺ, beliau melahirkan 5 atau 6 orang anak, yaitu Al-Qāsim, Ruqoyyah, Ummu Kultsūm, Zainab, dan Fāthimah. Sulit terbayangkan seorang wanita berumur 40 tahun masih bisa produktif melahirkan 6 orang anak. Wallāhu a’lam bishshawāb.
Namun ada dalil pula yang menguatkan bahwasanya Khadījah waktu menikah adalah 40 tahun karena Khadījah hidup bersama Nabi selama 25 tahun. Seandainya Khadījah menikah di umur 28 tahun maka Khadījah akan meninggal sekitar 53 tahun. Dan umur 53 tahun, seorang wanita masih terlihat cantik, dan ada sebuah hadits ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Nabi ﷺ jika menyebut tentang Khadījah maka iapun memujinya dengan pujian yang sangat indah. Sehingga pada suatu hari aku cemburu, aku berkata, “Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua (ompong). Allāh telah menggantikannya buatmu dengan wanita yang lebih baik darinya”. Maka Nabi berkata, “Allāh tidak menggantikannya dengan seorang wanitapun yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakanku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allāh telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allāh tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain.” (HR. Ahmad no 24864 dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)
Dalam hadits yang lain Aisyah berkata:
اسْتَأْذَنَتْ هَالَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، أُخْتُ خَدِيجَةَ، عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَرَفَ اسْتِئْذَانَ خَدِيجَةَ فَارْتَاعَ لِذَلِكَ، فَقَالَ: «اللَّهُمَّ هَالَةَ». قَالَتْ: فَغِرْتُ، فَقُلْتُ: مَا تَذْكُرُ مِنْ عَجُوزٍ مِنْ عَجَائِزِ قُرَيْشٍ، حَمْرَاءِ الشِّدْقَيْنِ، هَلَكَتْ فِي الدَّهْرِ، قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Haalah binti Khuwailid -saudari Khodijah- untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabipun mengingat suara Khodijah (yaitu karena suara Haalah mirip dengan suara Khodijah), lalu Nabipun berubah hatinya (karena gembira atau karena sedih mengingat perpisahannya dengan Khodijah -pen). Maka Nabi berkata, “Itu Haalah”. Aku (Aisyah) pun cemburu dan aku berkata, “Yang engkau kenang itu adalah seorang wanita tua dari wanita-wanita tua Quraisy, yang merah gusinya, telang meninggal dunia di telan masa, dan Allah telah menggantikan bagimu yang lebih baik darinya” (HR Al-Bukhari no 3821 dan Muslim no 2437)
Perkataan ‘Aisyah bahwa Khadījah meninggal dalam keadaan giginya telah ompong, menguatkan bahwa Khadījah meninggal pada umurnya yang sudah 60 tahun lebih dan menikah dengan Rasūlullāh ﷺ saat berumur 40 tahun. Karena jika umur Khodijah tatkala menikah dengan Nabi adalah 28 tahun -dan ia hidup berumah tangga bersama Nabi sekitar 25 tahun- berarti tatkala ia meninggal berusia 53 tahun, dan seorang wanita berumur 53 tahun biasanya belum ompong. Berbeda jika tatkala ia meninggal berumur 65 tahun, maka kemungkinan sudah ompong sangat besar. Dan wanita 40 tahun mungkin saja masih bisa melahirkan, apalagi orang-orang Arab, wallāhu a’lam bishshawāb.
Setelah menikah dengan Khadijah, Rasūlullāh ﷺ menjalani kehidupan yang luar biasa dan penuh dengan kebahagiaan. Kebahagiaan takkan bisa diraih kecuali dari istri yang shālihah. Kalau hanya sekedar mengandalkan kecantikan, kekayaaan, dan keindahan tubuh dari seorang wanita, maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan, tapi mungkin hanya mendatangkan kelezatan sesaat. Kebahagiaan adalah sesuatu yang tertanam di dalam hati seseorang dan ini tidak bisa didapatkan kecuali dari istri yang shālihah.
Khadījah radhiyallāhu ‘anhā adalah wanita yang sangat mencintai Nabi ﷺ , beliau benar-benar membela suaminya dengan pembelaan yang luar biasa. Seluruh hartanya diberikan kepada suaminya untuk berdakwah. Inilah pentingnya kerjasama antara seorang yang berilmu dan seorang yang berharta dalam berdakwah. Dua orang inilah yang patut kita cemburui, kata Rasūlullāh ﷺ dalam haditsnya:
Dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad (ghibtah) kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang Allāh anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allāh beri ilmu (Al-Qurān dan As-Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)
Dakwah sulit berjalan jika hanya mengandalkan ilmu tanpa disokong dari sisi dana. Sehingga inilah salah satu hikmah Allāh menikahkan Nabi ﷺ dengan Khadījah, saudagar yang kaya raya dan benar-benar mendukung dakwah Nabi secara totalitas. Selain Khadijah, Abū Bakr radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu juga termasuk saudagar kaya raya yang ikut serta mendukung dakwah Nabi. Oleh karena itu, tatkala Bilāl disiksa oleh tuannya ‘Umayyah bin Khalaf, Abū Bakr radhiyallāhu ‘anhu membebaskannya dan memerdekakannya dengan hartanya, karena saat itu Nabi ﷺ tidak memiliki harta sehingga tidak mampu memerdekakan Bilal.
Rasūlullāh ﷺ adalah seorang yang miskin, sampai-sampai beliau bekerja menggembalakan kambing orang lain untuk mendapat upah dan kemudian diberikan kepada pamannya Abū Thālib. Namun Allāh takdirkan menikah dengan Khadījah, saudagar wanita kaya raya yang seluruh hartanya diberikan kepada beliau untuk berdakwah.
Rasūlullāh ﷺ memiliki 6 orang anak dan semuanya diurus oleh Khadījah radhiyallāhu ‘anhā karena Khadījah ingin suaminya bisa konsentrasi untuk berdakwah, sehingga seluruh urusan rumah tangga diurus oleh Khadījah.
Khadījah radhiyallāhu ‘anhā memiliki banyak sekali keutamaan, diantaranya:
⑴ Dalam hadits disebutkan, Rasūlullāh ﷺ bersabda:
خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ
“Sebaik-baik wanita dunia (di zamannya –pent) adalah Maryam binti ‘Imran dan sebaik-baik wanita dunia (di zamannya –pent) adalah Khodijah.” (HR Al-Bukhari no 3432 dan Muslim no 2430)
Ibnu Hajar berkata:
وَأَنَّ مَعْنَاهَا أَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا خَيْرُ نِسَاءِ الْأَرْضِ فِي عَصْرِهَا
“Maknanya adalah setiap dari mereka berdua adalah wanita dunia yang terbaik di zamannya.” (Fathul Baari 9/125, lihat juga 6/471)
Oleh karena itu, datang dalam riwayat yang lain:
خَيْرُ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ: مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ
“Sebaik-baik wanita di alam semesta ini ada empat orang, yaitu Maryam putri ‘Imrān, Khadījah binti Khuwailid, Fāthimah binti Muhammad, Āsiyah istri Fir’aun.” (HR Al-Hakim no 4733, Ibnu Hibban 6951, At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no 1004 dan dishahihkan oleh Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Albani)
⑵ Rasūlullāh ﷺ sering mengingat Khadījah walaupun Khadījah sudah meninggal dunia menunjukkan betapa cintanya Rasūlullāh ﷺ kepada Khadījah yang selama 25 tahun hidup bersama Rasūlullāh ﷺ. Selain itu Nabi tidak berpoligami selama bersama Khadījah diantara alasannya adalah karena beliau ﷺ sangat cinta kepada Khadījah dan tidak ingin menyinggung hati Khadījah radhiyallāhu ‘anhā.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpoligami sejak menikah dengan Khadijah hingga wafatnya Khadijah. Ini merupakan dalil akan tingginya kedudukan Khadijah di sisi Nabi dan bertambahnya kemuliaan Khadijah. Karena Nabi mencukupkan dirinya dengan Khadijah sehingga beliau tidak berpoligami, dengan itu Rasulullah telah menjaga hati Khadijah dari kecemburuan dan kepayahan yang ditimbulkan oleh para madu.” (Fathul Baari 7/137)
Setelah Khadījah meninggal, Rasūlullāh ﷺ menikah lagi dan baru berpoligami. Ini merupakan bantahan kepada orang-orang Orientalis Barat yang mengatakan bahwa Rasūlullāh ﷺ adalah seorang yang mengikuti syahwat (syahwaniy). Rasūlullāh ﷺ tidak poligami selama 25 tahun dan meskipun pada akhirnya poligami, wanita yang dinikahi semuanya janda dan sebagiannya sudah tua kecuali hanya satu yang masih gadis yaitu ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā, itupun karena perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Nabi ﷺ menikahi ‘Āisyah karena Rasūlullāh ﷺ mimpi didatangi oleh malaikat Jibrīl 2 kali atau 3 kali membawa gambar ‘Āisyah.
أَنَّ جِبْرِيلَ جَاءَ بِصُورَتِهَا فِي خِرْقَةِ حَرِيرٍ خَضْرَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ هَذِهِ زَوْجَتُكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Bahwasannya Jibrīl datang kepada Nabi ﷺ bersama gambar ‘Āisyah dalam secarik kain sutera hijau, lalu berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah isterimu di dunia dan akhirat’.” (Jami’ At-Tirmidziy no. 3880)
Kita tahu bahwa mimpi para Nabi adalah wahyu Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Pada asalnya istri Nabi ﷺ semua adalah janda. Jikalau Rasūlullāh ﷺ mengikuti hawa nafsu belaka niscaya beliau ﷺ akan menikahi gadis perawan. Akan tetapi Rasūlullāh ﷺ berpoligami karena ada mashlahat di dalamnya.
Diantara dalil Nabi ﷺ sering mengenang Khadijah adalah hadits Aisyah, beliau berkata:
مَا غِرْتُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلَّا عَلَى خَدِيجَةَ وَإِنِّي لَمْ أُدْرِكْهَا، قَالَتْ: وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَبَحَ الشَّاةَ، فَيَقُولُ: «أَرْسِلُوا بِهَا إِلَى أَصْدِقَاءِ خَدِيجَةَ» قَالَتْ: فَأَغْضَبْتُهُ يَوْمًا، فَقُلْتُ: خَدِيجَةَ فَقَالَ: رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا»
“Tidaklah aku lebih cemburu kepada istri-istri Nabi kecuali kepada Khadījah, meskipun aku belum pernah bertemu dengannya.” ‘Āisyah menceritakan ketika Nabi menyembelih seekor kambing, Nabi berkata, “Berikanlah sebagian sembelihan ini kepada teman-temannya Khadījah.” Maka aku pun kesal dan berkata, “Khadījah lagi!?” Nabi lalu menjawab, “Sesungguhnya aku diberikan anugerah untuk mencintai Khadījah.” (HR. Muslim no 2435)[2]
Lihatlah seorang wanita cemburu kepada wanita lain yang telah meninggal ??!!
Aisyah -istri yang paling dicintai oleh Nabi- tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi yang lain sebagaimana kecemburannya kepada Khadijah, padahal Khadijah telah meninggal dunia. Seorang wanita cemburu kepada wanita yang telah meninggal dunia? Tidak lain melainkan karena begitu cintanya Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam kepada cinta pertamanya yaitu Khadijah meskipun telah tiada.
Aisyah radhiallahu ‘anhaa bertutur:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyebut tentang Khadijah maka ia memujinya dengan pujian yang sangat indah. Pada suatu hari aku pun cemburu, kemudian aku berkata, “Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua. Allah telah menggantikannya buatmu dengan wanita yang lebih baik darinya”. Maka Nabi berkata, “Allah tidak menggantikannya dengan seorang wanitapun yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain” (HR Ahmad no 24864 dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)
Hadits ini adalah sekedar isyarat yang menunjukkan bahwa ‘Āisyah itu sebagaimana wanita lainnya, bersifat pencemburu. Suatu hal yang wajar apabila seorang istri cemburu dengan wanita lain.
Khadījah bukanlah istri biasa, beliau memiliki peran dalam perkembangan Islam. Bagaimana beliau berkorban dengan segala hal, termasuk harta untuk mendukung dakwah Nabi ﷺ. Karena itu tidak heran jika Nabi ﷺ membanggakan kecintaan beliau ﷺ kepada Khadījah dengan mengatakan:
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sungguh Allah telah menganugerahkan kepadaku rasa cinta kepada Khadijah” (HR Muslim no 2435)
Imam An-Nawawi berkata, “Ini adalah isyarat bahwasanya mencintai Khadijah adalah kemuliaan.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 15/201)
Wanita jika cemburu maka dia akan melakukan hal yang tidak dia sadari dan di luar akal sehat. Dan lelaki yang baik adalah yang tidak marah kepada istrinya yang berbuat kesalahan karena cemburu. Bagaimana suami marah terhadap perilaku istri yang menunjukkan cintanya kepadanya. Maka ‘Āisyah pun cemburu dengan mengatakan perkataan yang keliru dan Rasūlullāh ﷺ membela Khadījah.
[1] Orang Arab menjadikan Hind adalah nama bagi seorang lelaki dan juga seorang wanita. Nama lelaki seperti Hind bin Abi Haalah, adapun nama wanita seperti Hind bintu ‘Utbah, yang merupakan istri Abu Sufyan
[2] Ini diantara bentuk inshafnya (adilnya) ‘Āisyah, walaupun beliau melakukan beberapa kesalahan namun beliau tetap meriwayatkannya, tidak beliau sembunyikan karena di dalamnya terdapat ilmu. Tidak seperti orang-orang Syi’ah yang mencaci maki ‘Āisyah, kata mereka ‘Āisyah itu lisannya kotor. Padahal lisan orang-orang Syiah itu sendirilah yang kotor.
Dalam riwayat lain, ‘Āisyah pernah membicarakan salah seorang istri Nabi ﷺ yaitu Shafiyyah. Kata ‘Āisyah: Shafiyyah adalah wanita yang pendek. Lalu Rasūlullāh ﷺ marah. Kalau seandainya kesalahan ‘Āisyah adalah masalah duniawi maka Rasūlullāh ﷺ tidak akan marah dan beliau akan mengalah. Akan tetapi kalau kesalahan ‘Āisyah sudah sampai derajat ghibah dan menyangkut masalah agama maka Rasūlullāh ﷺ menegur dengan berkata:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Engkau telah mengucapkan suatu ucapan yang seandainya ucapan ini dicampur dengan air laut maka akan merubah air laut tersebut.” (HR Abu Dawud no 4875 dan At-Tirmidzi no 2632)
Jika kita perhatikan, hadits ini diriwayatkan oleh ‘Āisyah tentang kesalahan beliau sendiri, namun beliau tetap sampaikan apa adanya. Ini menunjukkan bagaimana inshafnya beliau.
Sungguh mencela dan mencaci ibunda Aisyah sebagaimana tuduhan kaum Syiah bahwa Aisyah bermulut kotor adalah ucapan yang sangat keji. Bagaimana bisa mencaci ‘Āisyah sementara ‘Āisyah adalah kekasih yang sangat dicintai Nabi ﷺ, yang Nabi ﷺ wafat di pangkuannya, yang Nabi ﷺ dikuburkan di rumahnya.
Mengapa Nabi ﷺ sangat Mencintai Khadijah?
Bukanlah perkara yang mengherankan jika Nabi ﷺ sangat mencintai Khadijah. Hal ini dikarenakan banyak sebab diantaranya:
- Pertama: Khadijah adalah cinta pertama Nabi ﷺ. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang cinta pertama sulit untuk dilupakan. Penyair berkata:
نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى . فَماَ الْحُبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الْأَوَّلِ
وَكَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَتَى . وَحَنِيْنُهُ أبَدًا لِأَوَّلِ مَنْزِلِ
Pindahkanlah hatimu kepada siapa saja yang engkau mau
Namun kecintaan (sejati) hanyalah untuk kekasih yang pertama
Betapa banyak tempat di bumi yang sudah biasa ditinggali seorang pemuda
Namun selamanya kerinduannya selalu kepada tempat yang pertama ia tinggali
- Kedua: Khadijahlah yang telah memberikan keturunan kepadanya. Dari Khadijah Allah telah menganugerahkan kepada Nabi 2 orang putra (Abdullah dan Qasim) dan 4 orang putri (Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah)
- Ketiga: Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi ﷺ disaat kebanyakan orang mendustakan beliau.
Rasūlullāh ﷺ bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan hasanah (baik) dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR Muslim no. 1017)
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)
Ibnu Hajar berkata : “Diantara keistimewaan Khadijah adalah ia merupakan wanita pertama umat ini yang beriman. Dialah yang pertama kali mencontohkan hal ini bagi setiap orang yang beriman setelahnya, maka bagi Khadijah seperti pahala seluruh wanita sesudahnya sebagaimana dalam hadits “Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang baik maka baginya seperti pahala orang yang menjalankannya…”. Dan keistimewaan yang dimiliki oleh Khadijah ini juga dimiliki oleh Abu Bakar As-Shiddiq berkaitan dengan pahala kaum pria yang beriman setelah Abu Bakar. Tidak ada yang mengetahui besarnya pahala yang diraih oleh Abu Bakar dan Khadijah karena keistimewaan ini kecuali Allah Azza wa Jalla.” (Fathul Baari 7/137)
- Keempat: Khadijahlah yang telah mengorbankan hartanya demi dakwah yang dilakukan suaminya. Dialah yang ikut memikul beban dakwah yang dirasakan dan dipikul oleh sang suami. Tidak seperti sebagian wanita yang justru menghalangi suaminya untuk berdakwah.
- Kelima : Khadijah adalah seorang istri yang ketika sang suami menghadapi kesulitan dan kegelisahan maka ia pun bersegera menenangkan hatinya. Tidak sebagaimana sebagian istri yang semakin menambah beban sang suami yang sudah berat memikul beban kehidupan.
Tatkala Nabi ﷺ pertama kali menerima wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril dengan bentuknya yang sangat dahsyat, Nabi pun ketakutan dan segera turun dari gua Hira menuju rumah Khadijah, lantas ia berkata, لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِي “Aku mengkhawatirkan diriku”, maka Khadijah menenteramkan hati suaminya seraya berkata dengan perkataan yang indah yang terabadikan di buku-buku hadits,
كَلاَّ أَبْشِرْ فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Sekali-kali tidak, bergembiralah. Demi Allah sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah.” (HR Al-Bukhari no 3 dan Muslim no 160)
Khadījah selalu menguatkan dakwah suaminya, tidak pernah melemahkannya sedikitpun bahkan selalu mendorong suaminya untuk berdakwah. Tidak seperti sebagian wanita yang mengatakan: “Sudahlah, jangan dakwah terus, lelah.”
Oleh karena itu, para ulama menyebutkan diantara perkara yang menakjubkan yaitu Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā tidak pernah merasakan kelezatan hidup saat Islam jaya. Beliau meninggal sebelum Rasūlullāh ﷺ memperoleh kemenangan-kemanangan. Khadījah meninggal 3 tahun sebelum Rasūlullāh ﷺ berhijrah, masa-masa dimana Islam ditekan, para shahābat dibunuh dan diintimidasi oleh orang-orang kafir Quraisy. Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā ditinggalkan oleh teman-temannya, wanita-wanita Quraisy tidak ingin berteman dengan Khadījah karena dia mengikuti suaminya. Ini bukanlah perkara yang ringan bagi seorang wanita.
Menurut para ulama, Allāh ingin menyimpan seluruh pahala Khadījah, tidak diberikan di dunia tetapi diberikan seluruhnya di akhirat.
- Keenam: Khadijah adalah seorang istri yang sangat taat kepada suaminya. Ia tidak pernah melelahkan suaminya, apalagi sampai membuat suaminya mengangkat suara atau ia sendiri yang mengangkat suaranya di hadapan suaminya. Ia adalah wanita yang sabar meskipun letih dalam mendidik anak-anaknya.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
أَتَى جِبْرِيْلُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ الله هَذِهِ خَدِيْجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيْهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصب لاَ صَخَبَ فِيْهِ وَلاَ نَصْبَ
“Jibril mendatangi Nabi ﷺ lalu berkata, “Ya Rasulullah, Khadijah telah datang membawa tempayan berisi kuah daging atau makanan atau minuman, jika ia tiba sampaikanlah kepadanya salam dari Rabbnya dan dariku, serta kabarkanlah kepadanya dengan sebuah rumah di surga dari mutiara yang tidak ada suara keras (hiruk pikuk) di dalamnya dan juga tidak ada keletihan.” (HR Al-Bukhari no 3820 dan Muslim no 2432)
Sungguh tinggi dan mulia kedudukan Khadijah sampai-sampai Allah mengirim salam kepadanya. Apabila kita sangat bahagia jika ada seorang pembesar atau pejabat atau ulama bahkan ustadz yang mengirim salam kepada kita, bagaimana lagi jika itu Rabb kita, Pencipta alam semesta ini yang mengirim salam kepada kita.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ لِأُبَيٍّ: «إِنَّ اللهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ»، قَالَ: آللَّهُ سَمَّانِي لَكَ؟ قَالَ: «اللهُ سَمَّاكَ لِي»، قَالَ: فَجَعَلَ أُبَيٌّ يَبْكِي
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah ﷺ berkata kepada Ubay bin Ka’ab, “Sesungguhnya Allāh memerintahkan kepadaku untuk membacakan Al-Qurān kepadamu.” Maka Ubay bin Ka’ab berkata: “Allāh sebut namaku kepada engkau?” Kata Rasūlullāh ﷺ: “Iya”. Maka Ubay bin Ka’ab pun menangis (karena bahagia –pent). (HR Muslim no 799)
Sebagian ulama menyebutkan kenapa istana Khadījah di dalamnya tidak ada kegaduhan dan hiruk pikuk, hal ini karena karena Khadījah selama 25 tahun hidup bersama Nabi ﷺ tidak pernah berteriak kepada Nabi ﷺ dan kepada anak-anaknya, sehingga Allāh membalas dengan surga yang tenang. Apakah ada wanita sekarang yang tidak pernah mengangkat suaranya kepada suaminya?
Khadijah juga tidak pernah mengeluhkan keletihan karena telah berletih-letih membelanjakan hartanya seluruhnya untuk dakwah Nabi dan mengurus anak-anaknya agar Nabi bisa konsentrasi berdakwah.
Sesungguhnya ganjaran pahala sesuai dengan perbuatan. As-Suhaili berkata, “Ketika Khadijah diseru oleh suaminya untuk masuk Islam maka serta merta beliau taat dan tidak menolak sehingga tidak perlu menjadikan suaminya mengangkat suaranya dan tidak perlu keletihan. Bahkan Khadijah telah menghilangkan seluruh keletihan dari suaminya, menghilangkan rasa kesendirian suaminya, bahkan meringankan seluruh kesulitan suaminya, maka tepat sekali jika rumahnya di surga yang telah diberi kabar gembira oleh Allah memiliki sifat-sifat yang sesuai.” (Fathul Baari 7/138)
Khadijah dijanjikan sebuah rumah di surga, yaitu istana di surga, karena Khadijah adalah yang pertama kali membangun rumah Islam, tatkala itu tidak ada satu rumah Islam pun di atas muka bumi. (Lihat Faidhul Qadir 2/241)
Sebagian ulama menyatakan bahwa Khadijah diberi balasan dengan istana di surga yang tidak ada rasa letih sama sekali karena beliau telah letih dalam mendidik anak-anak beliau. Sehingga sangat sesuai jika dibalas dengan surga yang penuh dengan istirahat tanpa kelelahan sedikitpun. (Kasyful Musykil min hadits as-shahihaini 1/444)
Nabi ﷺ Terus Mengenang Khadijah
Tiga tahun sebelum Nabi ﷺ berhijrah ke Madinah, Khadijah wafat. Nabi sangat bersedih atas wafatnya Khadijah, istri yang sangat dicintainya. Sampai-sampai para ahli sejarah menamakan tahun wafatnya Khadijah dengan tahun kesedihan bagi Nabi.
Setelah wafatnya Khadijah, kecintaan Nabi tetap melekat di hati beliau. Beliau masih tetap sering menyebut-nyebut Khadijah, bahkan beliau memberikan hadiah kepada sahabat-sahabat Khadijah radhiallahu ‘anhaa, hingga seakan-akan sepertinya tidak ada wanita di dunia ini kecuali Khadijah.
Aisyah bertutur:
مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتَهَا وَلَكِنْ كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يَقْطَعُهَا أَعْضَاءَ ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيْجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ فَيَقُوْلُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Aku tidak pernah cemburu pada seorangpun dari istri-istri Nabi ﷺ seperti kecemburuanku pada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya akan tetapi Nabi ﷺ selalu menyebut namanya. Terkadang Nabi ﷺ menyembelih seekor kambing kemudian beliau memotong-motongnya lalu mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Terkadang aku berkata kepadanya, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita yang lain kecuali Khadijah”, lalu Nabi ﷺ berkata, “Dia itu wanita yang demikian dan demikian dan aku memiliki anak-anak darinya.” (HR Al-Bukhari no 3907)
Khodijah meninggal di masa-masa Islam masih dalam kondisi sulit, Ia belum sempat merasakan jayanya Islam, belum sempat merasakan suaminya menjadi seorang pemimpin kaum muslimin, menjadi seorang panglima perang, menjadi seorang pemimpin yang ditakuti dan digentari oleh kaum kafir. Allah mewafatkannya sebelum ada kenikmatan dunia yang ia rasakan. Semoga Allah menyempurnakan pahalanya di akhirat.
Kalung Sang Kekasih
Ibnu Ishaq rahimahullah berkata dalam sirohnya:
“Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ adalah salah seorang dari penduduk kota Mekah yang dikenal dengan perdagangannya, hartanya yang banyak, serta terkenal dengan sifat amanah. Abul ‘Ash adalah keponakan Khadijah (karena Ibu Abul ‘Ash adalah Halah binti Khuwailid, saudari perempuan Khodijah Binti Khuwailid radhiallahu ‘anhaa).
Khadijahlah yang telah meminta Rasulullah ﷺ untuk menikahkan Abul ‘Aash dengan Zainab putri Rasulullah ﷺ. Dan Nabi tidak menyelisihi permintaan Khadijah, maka Nabi pun menikahkan putrinya Zainab dengan Abul ‘Ash. Pernikahan ini terjadi sebelum turun wahyu (sebelum Nabi diangkat menjadi seorang Nabi). Bahkan Nabi menganggap Abul ‘Ash seperti anak sendiri.
Tatkala Allah memuliakan Nabi dengan wahyu kenabian maka berimanlah Khadijah serta seluruh putri-putrinya termasuk Zainab, akan tetapi Abul ‘Ash (suami Zainab) tetap dalam keadaan musyrik.
Nabi juga telah menikahkan salah seorang putrinya (Ruqayyah atau Ummu Kaltsum) dengan putra Abu Lahab yaitu ‘Utbah bin Abi Lahab.
Tatkala Nabi mendakwahkan perintah Allah dan menunjukkan permusuhan kepada kaum musyrikin maka mereka berkata, “Kalian telah membuat santai Muhammad dari kesulitannya, kembalikanlah putri-putrinya agar ia tersibukkan dengan putri-putrinya!!”.
Merekapun mendatangi ‘Utbah putra Abu Lahab lalu berkata, “Ceraikanlah putri Muhammad, niscaya kami akan menikahkan engkau dengan wanita Quraisy mana saja yang kau kehendaki!”. ‘Utbah berkata, “Aku akan menceraikannya dengan syarat kalian menikahkan aku dengan putrinya Sa’id bin Al-‘Ash”. Akhirnya mereka menikahkan ‘Utbah dengan putri Sa’id bin Al-‘Ash dan ‘Utbah pun menceraikah putri Nabi sebelum berhubungan tubuh dengannya. Dengan perceraian tersebut Allah telah memuliakan putri Nabi dan sebagai kehinaan bagi ‘Utbah. Setelah putri Nabi diceraikan oleh ‘Utbah, dia kemudian dinikahi oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Para pembesar-pembesar kafir Quraisy pun mendatangi Abul ‘Ash lalu mereka berkata, “Ceraikanlah istrimu itu, kami akan menikahkan engkau dengan wanita mana saja yang engkau sukai dari Quraisy!” Abul ‘Ash berkata, “Demi Allah aku tidak akan menceraikan istriku, dan aku tidak suka istriku diganti dengan wanita Quraisy mana saja.” (Perkataan Ibnu Ishaq ini dinukil oleh Ibnu Hisyam dalam sirohnya 1/651-652 dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah 3/379)
Khadijah radhiallahu ‘anhaa memiliki sebuah kalung yang dipakainya. Tatkala Zainab putrinya menikah dengan keponakan Khadijah Abul ‘Ash maka Khadijah menghadiahkan kalung tersebut kepada Zainab untuk dikenakan oleh Zainab tatkala malam pengantin dengan Abul ‘Ash.
Setelah Nabi diberi wahyu kenabian maka seluruh putri-putri Nabi masuk Islam. Adapun Abul ‘Ash suami Zainab tetap dalam kemusyrikannya.
Ibnu Ishaq rahimahullah berkata, “Rasulullah tatkala di Mekah tidak bisa menghalalkan dan mengharamkan, beliau tidak berkuasa. Islam telah memisahkan antara Zainab dengan Abul ‘Ash bin Ar-Robi’, hanya saja Rasulullah tidak mampu untuk memisahkan mereka beruda. Zainab pun tinggal bersama Abul ‘Ash yang dalam keadaan musyrik hingga Rasulullah berhijrah ke Madinah. Tatkala terjadi perang Badar, sala satu pasukan Quraisy adalah Abul ‘Ash bin Ar-Robi’ yang akhirnya menjadi tawanan perang Badar, dibawalah ia ke sisi Rasulullah ﷺ di Madinah.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hisyam dalam sirohnya 1/252 dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 3/379-380)
Lalu Nabi ﷺ memberikan kesempatan kepada penduduk Mekah yang mau membebaskan para tawanan perang Badar untuk membayar tebusan. Diantara mereka ada yang dibayar hingga 4000 dirham (sekitar 400 dinar, dan satu dinar kurang lebih 4 1/4 gram emas) seperti Abu Wada’ah, ada yang ditebus dengan 100 uqiyah (sekitar 3 kg emas, karena 1 uqiyah sekitar 30 gram emas) seperti Al-Abbas bin Abdil Muttholib, dan ada yang hanya 40 uqiyah seperti Al-‘Aqil bin Abi Thalib. (Lihat As-Siiroh An-Nabawiyah fi Dhai’ Al-Mashadir Al-Ashliyah hal 359)
Kalung Yang Mengingatkan Nabi Kepada Cinta Pertamanya
Tatkala Zainab yang berada di Mekah mendengar bahwa suaminya Abul ‘Ash menjadi tawanan perang di Madinah maka ia pun hendak menebus suaminya. Akan tetapi Zainab tidaklah memiliki apa-apa untuk menebus sang suami yang ia cintainya, kecuali hanya sedikit harta dan kalung pemberian ibunya Khadijah sebagai hadiah pernikahannya dengan suaminya.
Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata:
لَمَّا بَعَثَ أَهْلُ مَكَّةَ فِى فِدَاءِ أَسْرَاهُمْ بَعَثَتْ زَيْنَبُ فِى فِدَاءِ أَبِى الْعَاصِ بِمَالٍ وَبَعَثَتْ فِيهِ بِقِلاَدَةٍ لَهَا كَانَتْ عِنْدَ خَدِيجَةَ أَدْخَلَتْهَا بِهَا عَلَى أَبِى الْعَاصِ. قَالَتْ فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَقَّ لَهَا رِقَّةً شَدِيدَةً وَقَالَ «إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تُطْلِقُوا لَهَا أَسِيرَهَا وَتَرُدُّوا عَلَيْهَا الَّذِى لَهَا». فَقَالُوا نَعَمْ. وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَخَذَ عَلَيْهِ أَوْ وَعَدَهُ أَنْ يُخَلِّىَ سَبِيلَ زَيْنَبَ إِلَيْهِ وَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَرَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ «كُونَا بِبَطْنِ يَأْجِجَ حَتَّى تَمُرَّ بِكُمَا زَيْنَبُ فَتَصْحَبَاهَا حَتَّى تَأْتِيَا بِهَا»
“Tatkala penduduk Mekah mengirim harta untuk menebus para tawanan mereka, maka Zainab pun mengirim sejumlah harta untuk menebus suaminya Abul ‘Ash, Zainab mengirim bersama harta tersebut sebuah kalung yang dahulunya milik Khadijah, Khadijah memberikan kalung tersebut kepada Zainab tatkala Zainab menikah dengan Abul ‘Aash. Tatkala kalung tersebut dilihat oleh Rasulullah ﷺ maka Rasulullah pun sangat sedih kepada Zainab. Beliau berkata (kepada para sahabatnya), “Apakah kalian bisa membebaskan tawanan Zainab dan kalian kembalikan lagi kalungnya??” Maka para sahabat berkata, “Iya Rasulullah.” Akan tetapi Rasulullah ﷺ mengambil janji dari Abul ‘Ash agar membiarkan Zainab ke Madinah. Lalu Rasulullah mengirim Zaid bin Haritsah dan seorang lagi dari Anshar (untuk menjemput Zainab), beliau berkata kepada mereka berdua, “Hendaknya kalian berdua menunggu di lembah Ya’jij hingga Zainab melewati kalian berdua, lalu kalian berdua menemaninya hingga kalian membawanya ke Madinah.” (HR Abu Dawud no 2694 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Ketika Nabi ﷺ melihat kalung tersebut maka Nabi sangat bersedih mengingat kondisi putrinya Zainab yang bersendirian di Mekah, dan juga sangat sedih karena mengingat kembali cinta pertamanya Khadijah radhiallahu ‘anhaa dan bagaimana kesetiaan istrinya tersebut. Karena kalung tersebut dahulu adalah milik Khadijah dan dipakai oleh Khadijah di lehernya. (Lihat ‘Auunul Ma’buud 7/254). Kalung tersebut mengingatkan beliau kepada Khadijah yang sangat dicintainya yang merupakan ibu dari anak-anaknya. (Lihat Al-Fath Ar-Rabbaniy 14/100-101). Hal inilah yang menjadikan Nabi membebaskan Abul ‘Ash suami putrinya Zainab dan sekaligus keponakan Istrinya Khadijah tanpa tebusan sama sekali.
Demikianlah, semoga Allāh memberikan balasan yang setinggi-tingginya kepada Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā yang telah banyak berjasa sehingga tersebarnya Islam yang didakwahkan oleh suaminya, Rasūlullāh ﷺ.
Sumber: https://firanda.com/