Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang kisah seorang Nabi yang sangat agung yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Keistimewaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
Hanya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi Muhammad ﷺ yang mendapat predikat dari Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai Khalilurrahman (kekasih Allah). Terdapat rasul-rasul ulul azmi yang sangat mulia, dan di antar dua Nabi yang mulia tersebut adalah Nabi Muhammad ﷺ dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Oleh karenanya Nabi ﷺ bersabda,
فَإِنَّ اللهِ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikanku sebagai kekasih sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Dan kalaupun seandainya aku mengambil salah seorang dari umatku (untuk dijadikan) sebagai kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih.”([1])
Allah Subhnahu wa ta’ala berfirman di dalam Alquran,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. An-Nisa : 125)
Khalil dari kata الخُلَّةُ merupakan deRajat cinta yang tertinggi. Allah banyak mencintai para hambaNya, akan tetapi yang mencapi deRajat al-Khullah dari Allah hanyalah 2 orang Nabi, yaitu Nabi Ibrahim álaihis salam dan Nabi Muhammad shallallahu álaihi wasallam.Nabi Ibrahim álaihis salam benar-benar membuktikan cintanya kepada Allah dengan menjalankan segala perintah Allah yang berat-berat, maka Allah juga mencintai beliau dengan deRajat kecintaan yang tinggi. Beliau diuji dengan perkara-perkara yang sangat beliau cintai. Diantaranya:
- Diuji dengan memiliki Ayah yang kafir, yang sangat ia cintai, tapi Ayahnya memusuhinya dan mengusirnya
- Diuji meninggalkan kampung halamannya, bahkan dimusuhi oleh seluruh penduduk negeri.
- Harus meninggalkan putranya Ismaíl yang sangat ia cintai, yang sudah puluhan tahun ia mengharapkan kelahiran anaknya. Begitu lahir ia harus berpisah darinya dan ditinggalkan di Mekah
- Diuji untuk menyembelih putranya Ismaíl ketika sudah mencapai usia remaja, dan ia tetap menjalankannya
Kedua: Nabi Ibrahim álaihis salam disebutkan dalam shalawat.
Diantara keistimewaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah ketika kita bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, kita meminta agar beliau beserta keluarganya diberkahi sebagaimana keberkahan yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya, dengan shalawat yang dikenal sebagai shalawat ibrahimiyyah,
اللَّهُمَّ صَلِّي عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Allah, berilah (tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Teruji (lagi) Maha Mulia. Ya Allah, berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia.”
Dari shalawat di atas menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memiliki kedudukan yang mulia. Bahkan memiliki keluarga yang berkah, bagaimana tidak berkah sementara seluruh Nabi yang datang setelah beliau adalah keturunan beliau álaihis salam, dan diantaranya adalah Nabi Muhammad shallallahu álaihi wasallam.
Ketiga: Yang pertama kali dipakaikan baju pada hari kiamat
Rasulullah menyebutkan bahwa manusia yang pertama kali diberikan pakaian di hari kiamat setelah hari kebangkitan adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, bahkan mendahului Rasulullah ﷺ. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda,
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ القِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا كَمَا خُلِقُوا»، ثُمَّ قَرَأَ {كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ} ” وَأَوَّلُ مَنْ يُكْسَى مِنَ الخَلَائِقِ إِبْرَاهِيمُ
“Manusia dikumpulkan pada hari kiamat dalam kondisi tanpa alas kaki, telanjang dan belum disunat.” Kemudian beliau membaca firman Allah: “Sebagaimana kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati.” [Al-Anbiya’ : 104]. Dan yang pertama kali diberi pakaian adalah Ibrahim.”([2])
Sebagian ulama mengatakan bahwa hal istimewa itu diberikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam karena waktu beliau hendak dibakar dan dilemparkan ke dalam lautan api, bajunya dibuka oleh orang-orang kafir sebelum dibakar([3]), akan tetapi Allah menyelamatkan beliau.
Keempat : Banyak sekali pujian dalam Al-Quran maupun dalam hadits-hadits Nabi ﷺ terhadap Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Antara lain :
Pertama : Ibrahim selalu menyempurnakan janji (menunaikan perintah Allah).
وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى
“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (menunaikan perintah Allah).” (QS. An-Najm : 37)
Hal ini sama dengan firman Allah:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.” (QS. Al-Baqarah : 124)
Kedua: Nabi Ibrahim memiliki hati yang selamat. Allah berfirman:
وَإِنَّ مِنْ شِيعَتِهِ لَإِبْرَاهِيمَ، إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh), (lngatlah) ketika ia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci” (QS As-Shooffaat : 83-84)
Yaitu hati beliau bersih dari penyakit-penyakit hati, tidak ada kedengkian, tidak ada hasad, tidak ada dendam, tidak ada buruk sangka, dan penyakit-penyakit hati lainnya.
Ketiga: disifati dengan Awwah, Haliim, dan Muniib
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ
“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah” (QS Hud : 75)
حَلِيمٌ dari الحِلْمُ, yaitu sabar dan tidak membalas dan menghukum dengan memberi kesempatan kepada pihak yang bersalah bisa memperbaiki dirinya.
Dalam ayat lain,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah : 114)
Lihatlah bagaimana sifat pemaafnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, meskipun beliau diganggu, beliau dibenci dan dimusuhi penduduk satu negeri, mereka menangkapnya lantas melepaskan bajunya, kemudian dinyalakan api dengan nyala yang sangat besar, bahkan disebutkan bahwa belum pernah ada pada zaman itu api yang dinyalakan sebesar api yang hendak digunakan untuk membakar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kemudian beliau dilemparkan ke dalam api, akan tetapi beliau tidak pernah meminta kepada Allah untuk menurunkan adzab bagi kaumnya.
Begitu juga tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dimusihi dan diusir oleh Ayahnya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perkataan Ayah beliau,
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَاإِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
“Dia (Ayahnya) berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kuRajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.”(QS. Maryam : 46)
Akan tetapi dengan dikatakan begitu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjawab dengan sangat santun,
قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
“Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam : 47)
Demikian pula tatkala beliau diusir dari Babil (Iraq) ke negeri Syam, di sana beliau bertemu dengan masyarakat yang menyembah benda-benda langit. Di sana ternyata beliau juga dimusuhi oleh mereka, akan tetapi beliau tidak meminta kepada Allah untuk membinasakan mereka. Demikian pula tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan masalah keluarga. Ketika beliau menikah untuk yang kedua kalinya, maka Sarah pun cemburu bahkan sampai ingin membunuh Hajar. Akan tetapi Al-Hafidzh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun tidak marah kepada Sarah meskipun dengan kondisi tersebut. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam akhirnya mengalah dan membawa pergi istrinya Hajar ke Mekkah. Semua ini dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam karena beliau memiliki sifat Al-Halim.
Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam riwayatnya, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata,
كَانَ مِنْ حِلْمِهِ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَاهُ الرَّجُلُ مِنْ قَوْمِهِ قَالَ لَهُ: هَدَاكَ اللَّهُ
“Diantara sifat al-hilm nya Ibrahim álaihis salam bahwasanya jika ada orang dari kaumnya yang mengganggunya , maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepadanya,
هَدَاكَ اللهُ
“Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu.” ([4])
Lihatlah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, beliau tidak membalas gangguan yang beliau terima dengan kata-kata yang buruk, tidak pula dengan doa keburukan. Padahal kalau dia mau, maka dia bisa berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala untuk menimpakan keburukan kepada mereka tatkala itu juga. Akan tetapi beliau tidak melakukannya.
Adapun أَوَّاهٌ maknanya adalah seorang yang sangat takut kepada Allah sehingga sering berdoa dan memohohon kepada Allah, adapun مُنِيبٌ yaitu selalu kembali kepada Allah dalam segara urusannya ([5]).
Keempat : 5 sifat sekaligus dalam satu konteks. Allah berfirman;
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ، وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ، ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS An-Nahl 120-123)
Ada 5 sifat Nabi Ibrahim yang Allah sebutkan dalam konteks ini:
Pertama: (كَانَ أُمَّةً) Beliau adalah Ummat. Ada dua makna dari kata “Ummat”, yang pertama adalah beliau adalah seorang Imam atau pemimpin atau qudwah (tauladan). Kedua ummat artinya seseorang yang memiliki sifat-sifat mulia yang banyak yang biasanya tersebar pada banyak orang, akan tetapi sifat-sifat tersebut terkumpulkan pada satu orang.
Seseorang tidak bisa mendapatkan predikat Imam kecuali jika telah terkumpul padanya kesabaran dan keyakinan.
Allah berfirman
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami (QS. As-Sajdah : 24)
Tentu tidak diragukan lagi akan keyakinan Ibrahim dan kesabarannya menghadapai semua cobaan dan rintangan dalam dakwah tauhid.
Kedua: (قَانِتاً) dan al-qunut artinya adalah دَوَامُ الطَّاعَةِ senantiasa dalam ketaatan kepada Allah, tegar dan kokoh dalam mentaati perintah Allah
Ketiga: (حَنِيْفًا) yaitu condong menjauh dari kesyirikan menuju tauhid. Ibrahim sangat menjauh dari kesyirikan. Ia sama sekali tidak mau dekat-dekat dengan kesyirikan apapun. Karenanya diantara doanya adalah وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ “Ya Allah jauhkan aku dan keturunanku dari penyembahan berhala” (QS Ibrahim : 35). Ia tetap berdoa agar dijauhkan dari keysirikan padahal beliaulah yang menghancurkan patung-patung dengan tangan beliau sendiri, dan beliaulah yang mendebat para musyrikin, akan tetapi tetap saja beliau kawatir akan bahaya kesyirikan, sehingga beliau berdoa agar bukan hanya dihindarkan tapi agar dijauhkan dari kesyirikan.
Keempat: Karenanya di akhir ayat (وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ) yaitu “Beliau bukanlah termasuk orang-orang musyrik” yang merupakan penekanan bahwa beliau selalu dalam kondisi bertauhid, beliau sama sekali tidak pernah berbuat kesyirikan. Dan huruf (لَمْ) dalam ayat ini (وَلَمْ يَكُ) adalah harfu qolab yang fungsinya adalah mengubah fi’il mudhori’ (yang menunjukkan kata kerja yang sedang berlangsung atau akan datang) menjadi fi’il madhi (yang menunjukkan kata kerja di masa lampau) ([6]), sehingga terjemahan dari ayat ini adalah “Beliau tidak pernah sama sekali termasuk orang-orang musyrik”. Dan ini membantah pendapat yang menyatakan bahwa beliau pernah dalam kondisi kafir lalu melakukan proses mencari Tuhan. Dan ini dikuatkan dengan ayat selanjutnya وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ “dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS An-Nahl : 123)
Kelima: (شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ) (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah
Firman Allah (أَنْعُمِ) adalah jama’ taksir dengan wazan أَفْعُل yang merupakan salah satu dari 4 wazan (timbangan) jam’u al-Qillah, yaitu jama’ yang menunjukkan bilangan dari 3 hingga 10. Yaitu Ibrahim ‘alaihis salam bersyukur dengan seluruh kenikmatan yang Allah berikan kepada beliau bahkan atas nikmat-nikmat yang sedikit, apalagi terhadap nikmat-nikmat yang banyak([7]).
Dengan lima sifat ini Allah menganugrahkan kepada beliau lima kemuliaan.
Pertama: (اجْتَبَاهُ) Allah telah memilihnya
Kedua: (وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ) dan Allah menunjukinya kepada jalan yang lurus (QS. An-Nahl : 121)
Ketiga: (وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً) Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia
Yaitu الذِّكْرُ الْحَسَنُ sebutan yang baik, semua penganut agama samawiyah (termasuk yahudi dan nashrani) memuji beliau bahkan mengaku-ngaku sebagai pengikut beliau. Qotadah rahimahullah berkarta tentang ayat ini:
فَلَيْسَ مِنْ أَهْلِ دِينٍ إِلَّا يَتَوَلَّاهُ وَيَرْضَاهُ
“Tidak seorangpun pengikut agama kecuali mencintainya dan ridha kepadanya” ([8])
Keempat: (وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ) Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh (QS. An-Nahl : 122), yaitu termasuk penghuni surga
Kelima: (ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ) Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (QS. An-Nahl : 123). Yaitu Allah menjadikannya imam (panutan) bahkan Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Sejarah Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam disebutkan banyak melakukan perjalanan. Ia dilahirkan dan tumbuh besar di kota Babil (Babylon) yang sekarang menjadi salah satu kota sejarah di negeri Irak.
Kemudian dikisahkan ketika beliau diusir oleh kaumnya, beliau pindah ke kota حَرَّانُ Harroon, kota yang terletak di perbatasan antara Turki dengan negeri Syam (letaknya sekarang dekat dengan kota Sanli Urfa di Tukia).
Kemudian ketika beliau diusir lagi dari kota tersebut, beliau pun berpindah ke negeri Mesir lalu beralih ke negeri Syam dan menetap di sana. Dan beliau juga pernah melakukan perjalanan ke kota Mekkah mengantar Nabi Ismail ‘alaihissalam. jadi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam senantiasa melakukan perjalanan yang dalam setiap perjalanannya juga senantiasa berdakwah di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Nabi Ibrahim tidak pernah mencari tuhan
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak sebagaimana persangkaan sebagian orang yang meyakini bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pernah mencari tuhan. Mereka menyangka bahwa beliau melihat bintang dan menganggapnya sebagai tuhan, akan tetapi ketika pagi hari bintang tersebut menghilang, beliau pun tidak menganggapnya lagi sebagai tuhan. Begitu pula ketika beliau melihat rembulan, matahari, yang awalnya menganggap sebagai tuhan, dan ketika semuanya menghilang pada waktu tertentu, maka dia pun meninggalkannya dan tidak menjadikannya sebagai tuhan. Ketahuilah bahwa kisah tersebut keliru dan tidak benar. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak pernah mencari tuhan. Melainkan sejak kecil beliau berada di atas fitrahnya, kemudian diangkat menjadi Nabi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah berfirman:
وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ
Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya (QS AL-Anbiyaa’: 51)
Mujahid menafsirkan ayat ini dengan berkata هَدَيْنَاهُ صَغِيرًا “Kami memberi hidayah kepadanya ketika dia masih kecil” ([9])
Firman Allah وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ “dan Kami mengetahui keadaannya”, yaitu Kami mengetahui bahwa Ibrahim memang berhak untuk diangkat dan dimuliakan menjadi seorang Nabi. Ini seperti firman Allah
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan” (QS Al-Anáam : 124) ([10])
Yaitu memang Ibrahim pantas untuk mengemban tugas keNabian, karena beliau seorang yang pintar, seorang suci hatinya, dan tegar. Karenanya Allah sebutkan bagaimana Ibrahim berdiskusi dan berdebat melawan kaum musyrikin([11]).
Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan yang patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia tidak pernah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. An-Nahl : 120)
Dalam bahasa Arab, ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah orang yang tidak pernah berbuat kesyirikan kepada Allah walau hanya sekali. Kalau Ibrahim pernah mencari Tuhan -sebagaimana yang disangkakan- berarti Ibrahim pernah syirik dan kafir, dan tidak sesuai dengan ayat-ayat di atas.
Yang benar adalah beliau tidak pernah mencari tuhan, bahkan sejak kecil sudah berada di atas fitrahnya yang meyakini keberadaan Allah Subhahnahu wa ta’ala.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendakwahi Ayahnya
Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah diangkat menjadi seorang Nabi, mulailah ia berdakwah di kota Babil. Beliau hanya seorang diri sebagai seorang muslim, sehingga beliau dimusuhi dan diusir oleh kaumnya, bahkan sampai dimusuhi oleh Ayahnya sendiri. Yang pertama beliau dakwahi adalah Ayahnya. Tentunya orang yang paling utama untuk kita dakwahi adalah orang tua kita jika mereka masih hidup.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada Bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata“. (QS. Al-An’am : 74)
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada Bapaknya; “Wahai Bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” (QS. Maryam: 41-42)
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memanggil Ayahnya dengan panggilan Abati yang dalam bahasa arab merupakan kalimat penghormatan ketika seseorang memanggil Ayahnya. Disebutkan bahwa Ayah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam suka membuat patung-patung yang kemudian patung-patung tersebut disembah. Maka kemudian Nabi Ibrahim kembali berkata,
يَاأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا، يَاأَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا، يَاأَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Wahai Bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai Bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai Bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan“. (QS. Maryam : 43-45)
Di dalam ayat ini Nabi Ibrahim menyebutkan bahwa penyembahan terhadap berhala merupakan penyembahan terhadap setan. Maka Ayahnya Nabi Ibrahim mendengar perkataan beliau, seketika pun Ayahnya marah dan mengusir Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَاإِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
“Berkata Bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kuRajam, dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama“. (QS. Maryam : 46)
Maka kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata,
قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
“Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam : 47)
Maka ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memintakan ampun untuk Ayahnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, Allah melarang dan tidak mengabulkan permintaannya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfriman,
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk Bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada Bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa Bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah : 114)
Sampai disebutkan dalam hadits yang sahih tentang pertemuan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan Ayahnya. Rasulullah ﷺ bersabda,
يَلْقَى إِبْرَاهِيمُ أَبَاهُ آزَرَ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَعَلَى وَجْهِ آزَرَ قَتَرَةٌ وَغَبَرَةٌ، فَيَقُولُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ: أَلَمْ أَقُلْ لَكَ لاَ تَعْصِنِي، فَيَقُولُ أَبُوهُ: فَاليَوْمَ لاَ أَعْصِيكَ، فَيَقُولُ إِبْرَاهِيمُ: يَا رَبِّ إِنَّكَ وَعَدْتَنِي أَنْ لاَ تُخْزِيَنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ، فَأَيُّ خِزْيٍ أَخْزَى مِنْ أَبِي الأَبْعَدِ؟ فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: ” إِنِّي حَرَّمْتُ الجَنَّةَ عَلَى الكَافِرِينَ، ثُمَّ يُقَالُ: يَا إِبْرَاهِيمُ، مَا تَحْتَ رِجْلَيْكَ؟ فَيَنْظُرُ، فَإِذَا هُوَ بِذِيخٍ مُلْتَطِخٍ، فَيُؤْخَذُ بِقَوَائِمِهِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ
“Nabi Ibrahim Aalaihissalam bertemu dengan Ayahnya, Azar, pada hari kiamat. Ketika itu wajah Azar ada debu hitam lalu Ibrahim berkata kepada Bapaknya: “Bukankah aku sudah katakan kepada Ayah agar Ayah tidak menentang aku?”. Bapaknya berkata; “Hari ini aku tidak akan menentangmu?” Kemudian Ibrahim berkata; “Wahai Rabb, Engkau sudah berjanji kepadaku untuk tidak menghinakan aku pada hari berbangkit. Lalu kehinaan apalagi yang lebih hina dari pada keberadaan Bapakku yang jauh (dariku)?”. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku mengharamkan surga bagi orang-orang kafir”. Lalu dikatakan kepada Ibrahim; “Wahai Ibrahim, apa yang ada di kedua telapak kakimu?”. Maka Ibrahim melihatnya yang ternyata ada seekor anjing hutan yang kotor. Maka anjing itu diambil kakinya lalu dibuang ke neraka“([12]).
Maka ketika Nabi Ibrahim telah ditentang oleh Ayahnya, tetapi beliau tetap berlaku lemah lembut kepada Ayahnya seraya berkata,
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku“. (QS. Maryam : 48)
Inilah kisah awal dari dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada Ayahnya.
_____
Footnote:
([1]) HR. Muslim 1/377 no. 532
([2]) HR. Tirmidzi 4/615 no. 2432
([3]) Lihat Faidhul Qodir 3/92
([4]) Tafsir Ibn Abi Hatim 6/2058
([5]) Lihat al-Muharror al-Wajiiz (Tafsir Ibn Áthiyyah 3/192)
([6]) Lihat Syarh Ibn Áqiil ‘alaa Alfiyah Ibn Maalik 4/26
([7]) Lihat Fathul Qodir 3/241
([8]) Tafsir at-Thabari 14/398
([9]) Tafsir at-Thabari 16/290 (tahqiq at-Turki)
([10]) Lihat Tafsir Ibn Áthiyyah 4/86
([11]) Lihat Tafsir As-Sa’di hal 525
([12]) HR. Bukhari 4/139 no. 3350
Hadits ini dan juga ayat sebelumnya (QS Al-Anáam : 74) jelas menunjukan bahwa nama Ayah Ibrahim adalah آزَر Azar. Adapun sebagian ahli nasab atau ahli sejarah menyatakan bahwa nama Ayah Ibrahim adalah تَارَح “Taarah” atau تَارَخ “Taarakh”, maka bisa jadi itu adalah nama lain dari Azar, karena bisa jadi seseorang memiliki beberapa nama, atau bisa jadi itu adalah gelarnya. Adapun mengatakan bahwa Azar bukan Ayah Ibrahim maka jelas menyelisihi ayat dan hadits yang shahih.
Kisah Nabi Ibrahim Mendakwahi Kaumnya di Babil
Sebagaimana telah disebutkan bahwa bukan hanya Ayahnya yang memusuhinya, melainkan juga seluruh kaumnya. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapati dua kaum yang melakukan kesyirikan dengan model yang berbeda satu sama lain. Kaum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di Babil menyembah patung-patung (makhluk di bumi), sedangkan di Harran beliau mendapati kaum yang menyembah benda-benda langit seperti bintang, rembulan dan matahari([1]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Alquran yang menyebutkan tentang dialog antara Nabi Ibrahim dan kaumnya penyembah berhala di dalam surah Al-Anbiya’. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ؟
“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui keadaannya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada Bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” (QS. Al-Anbiya’ : 51-52)
Yaitu Ibrahim menegur mereka sambil mengejek, yaitu seakan-akan Ibarahim berkata kepada mereka, “Ngapain kalian berlama-lama di patung-patung yang kalian pahat dengan tangan kalian sendiri?. Kalau berdiam lama untuk menyembahnya. Apakah ini perbuatan orang yang berakal?” Hal ini sama dengan yang disebutkan oleh Allah dalam ayat yang lain:
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ، وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?, Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS As-Shooffaat : 95-96)
Artinya bagaimana kalian menyembah hasil karya kalian sendiri, harusnya kalau mau pakai logika patung itulah yang harus menyembah kalian. Sementara yang menciptakan kalian dan patung tersebut adalah Allah.
Tentu mereka tidak bisa menjawab sama sekali dengan jawaban yang logis, maka tidak ada dalil bagi mereka kecuali hanya mengikuti tradisi nenek moyang,
قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ
Mereka menjawab: “Kami mendapati Bapak-Bapak (nenek moyang) kami menyembahnya“. (QS. Al-Anbiya’ : 53)
Kata Ibnu Qayyim bahwa di antara perkara yang menyulitkan seseorang mendapatkan hidayah adalah berpegang pada tradisi([2]). Lihatlah kaumnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, mereka tahu bahwa yang mereka sembah adalah patung, akan tetapi mereka tidak punya alasan lain selain karena mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Sering saya sampaikan bahwa di tanah air kita ini banyak kota-kota yang dikenal banyak ulama dan tokoh-tokoh lahir dari tempat tersebut, akan tetapi tradisi tidak dapat ditinggalkan, bahkan mereka tidak mau meninggalkannya. Di tanah air ada sebuah daerah yang lahir banyak ulama dari daerah tersebut, akan tetapi tradisi wanita yang membayar mahar masih ada di daerah tersebut, padahal tradisi tersebut menyelisihi syariat. Maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengalami perkara yang berat yaitu umatnya tidak mau meninggalkan penyembahan berhala karena mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Hal yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau mendakwahi kaumnya, sehingga kaumnya mengatakan,
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
“Sesungguhnya kami mendapati Bapak-Bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka“. (QS. Az-Zukhruf : 22)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ، قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ، قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ، أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ، قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim, ketika ia berkata kepada Bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?”. Mereka menjawab: “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya”. Berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?, atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?”. Mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian” (QS Asy-Syuároo : 69-74)
Mereka menyangka bahwa Ibrahim akan tunduk dengan dalil nenek moyang, karena apa yang dilakukan oleh nenek moyang seakan-akan merupakan kebenaran yang absolut. Apalagi nenek moyang mereka juga merupakan nenek moyang Ibrahim.
Akan tetapi Ibrahim dengan lantangnya berkata,
قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan Bapak-Bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata“. (QS. Al-Anbiya’ : 54)
Ternyata Ibrahim tidak sekedar menyalahkan mereka, bahkan beliau tidak ragu-ragu untuk menyalahkan nenek moyang mereka juga. Bahkan menyatakan bahwa nenek moyang mereka dalam kesesatan yang nyata dan sangat jelas. Beliau menegaskan bahwa tidak ada udzur bagi kalian mengikuti nenek moyang kalian, karena nenek moyang kalian sesat([3]).
Merekapun heran heran apakah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam serius dengan perkataannya. Mereka berkata,
قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ
“Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?” (QS. Al-Anbiya’ : 55)
Mereka heran Ibrahim mengucapkan demikian karena mereka tidak pernah mendengar sebelumnya seorangpun yang berkata seperti perkataan Ibrahim ([4]). Mereka heran apakah Ibrahim benar-benar mencela nenek moyangnya juga?. Selain itu mereka begitu yakin bahwa nenek moyang mereka dalam kebenaran, lantas kok bisa Ibrahim mengatakan demikian?, apakah Ibrahim serius apa bercanda?
قَالَ بَلْ رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ
“Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya: dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu“. (QS. Al-Anbiya’ : 56)
Ibrahim membantah mereka dengan jawaban yang sangat logis, yaitu hakikat Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan yang menciptakan kalian, yang menciptakan langit dan bumi. Tuhan bukanlah patung-patung tersebut. Semua orang berakal (termasuk mereka) sepakat bahwa patung-patung tersebut tidaklah menciptakan langit dan bumi, bahkan dibuat oleh tangan-tangan mereka. Maka jawaban ini menunjukan beliau serius sekaligus disertai dalil akan keseriusan beliau.
Adapun perkataan beliau, “dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”’ yaitu beliau mengumumkan bahwa beliau diutus oleh Pencipta alam semesta , yaitu beliau adalah salah satu dari sekian banyak manusia dari berbagai zaman dan berbagai tempat yang mempersaksikan ke-tauhid-an Allah, karena ketika itu yang bertauhid di Babil hanyalah beliau([5]).
Kemudian Nabi Ibrahim berkata dalam hatinya,
وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.” (QS. Al-Anbiya’ : 57) ([6])
Setelah Ibrahim bernahi mungkar kepada mereka dengan lisan, maka beliau bertekad untuk bernahi mungkar dengan tangan beliau. Akan tetapi tentu tidak mungkin beliau lakukan hal tersebut jika para penyembah berhala masih ada di dekat sesembahan-sesembahan tersebut, nahi mungkar beliau tentu akan gagal. Oleh karenanya beliau menunda sampai waktu yang memungkinkan, yaitu ketika mereka sedang pergi meninggalkan berhala-berhala mereka.
Ternyata kaumnya Nabi Ibrahim memiliki acara rutinitas tahunan yang dianggap seperti hari raya. Akan tetapi acara tersebut dilakukan di luar kota Babil. Sedangkan berhala-berhala mereka terletak di tengah kota Babil. Maka ketika tiba waktu acara tersebut, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diajak oleh kaumnya, akan tetapi beliau tidak ingin pergi dengan alasan sakit sebagaimana Allah sebutkan di dalam Alquran,
فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ
“Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit“. (QS. Ash-Shaffat : 89) ([7])
Padahal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak sakit, akan tetapi yang sakit adalah hatinya yang melihat kondisi mereka yang menyembah berhala.
Inilah kedustaan pertama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang merupakan salah satu dari tiga kedustaan beliau.
Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda:
لَمْ يَكْذِبْ إِبْرَاهِيمُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامُ، قَطُّ إِلَّا ثَلَاثَ كَذَبَاتٍ، ثِنْتَيْنِ فِي ذَاتِ اللهِ، قَوْلُهُ: إِنِّي سَقِيمٌ، وَقَوْلُهُ: بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا، وَوَاحِدَةٌ فِي شَأْنِ سَارَةَ
“Tidak pernah sama sekali Nabi Ibrahim álaihis salam berdusta kecuali hanya tiga kali, dua kali karena membela Allah, yaitu perkataan beliau, “Aku sakit”, dan perkataan beliau, “Akan tetapi yang menghancurkan adalah patung yang besar ini”, dan yang ketiga berkaitan dengan istrinya Sarah” ([8])
Adapun 2 kedusataan lainnya akan datang penjelasannya.
Kedustaan pertama yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah dia mengatakan kalau dirinya sakit.
Maka kemudian pergilah semua kaumnya ke kota tempat acara tahunan tersebut dilakukan. Maka karena kota Babil dalam kondisi kosong, dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak ikut karena pura-pura sakit, ia pun melancarkan rencana yang ingin lakukan terhadap patung-patung yang disembah oleh kaumnya. Maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam keluar membawa kapak, lalu menghancurkan seluruh patung-patung. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَرَاغَ إِلَى آلِهَتِهِمْ فَقَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ، مَا لَكُمْ لَا تَنْطِقُونَ، فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِينِ
“Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: “Apakah kalian tidak makan?, Kenapa kalian tidak menjawab?”. Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat)” (QS As-Shaaffat : 91-93)
Nabi Ibrahim segera dan diam-diam menuju berhala-berhala tersebut, lalu beliau mengucapkan demikian karena ternyata kaumnya telah meletakan makanan di dekat berhala-berhala tersebut([9]). Ini juga menunjukan bahwa berhala-berhala tersebut lebih hina dan rendah dari pada hewan-hewan yang masih bisa makan dan berbicara([10]). Sementara berhala-berhala tersebut sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan, lantas kok bisa disembah?.
Ternyata sampai sekarang masih saja berlaku, betapa banyak para penyembah berhala yang meletakan makanan-makanan dan juga buah-buahan, bahkan uang-uang di berhala-berhala mereka.
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (QS. Al-Anbiya’ : 58)
Ibrahim mendapati patung-patung tersebut tidak satu ukuran, akan tetapi ada satu patung yang terbesar, dan sisanya kecil-kecil dengan ukuran yang bervariasi. Maka beliaupun mengambil kapak lalu menghancurkan seluruh patung-patung yang kecil dan beliau hanya menyisakan patung yang terbesar. Setelah itu beliau menggantungkan kapak tersebut di leher patung yang terbesar tersebut([11]).
Firman Allah لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ “agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya” menunjukan bahwa Ibrahim ‘alaihissalam memang melakukan demikian agar dia dipanggil oleh kaumnya, sehingga mereka bisa mendengaar hujjah beliau sehingga dia dapat berdakwah di depan banyak orang([12]).
Maka ketika kaumnya telah pulang dari perayaan mereka, mereka pun mendapati tuhan-tuhan mereka telah hancur. Maka mereka saling bertanya-tanya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ، قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ، قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ
“Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim. (Di antara) Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim([13])“. Mereka berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (QS. Al-Anbiya’ : 59-61)
Mereka menganggap bahwa orang yang telah menghancurkan berhala-berhala mereka adalah orang yang dzalim. Padahal apa yang telah dilakukan oleh Ibrahim adalah puncak keadilan, yaitu mentauhidkan Allah([14]). Karena ádil adalah meletakan sesuatu pada tempatnya, dan kedzaliman adalah meletakan sesuatu bukan pada tempatnya. Menjadikan berhala sebagai sesembahan adalah kedzoliman yang besar.
Tidak ada orang yang paling pantas untuk dituduh melainkan Ibrahim. Karena dialah satu-satunya dari seluruh penduduk negeri yang berani mencela berhala-berhala mereka. Maka dipanggillah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kehadapan seluruh penduduk kota Babil. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَاإِبْرَاهِيمُ، قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ
“Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim? Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala-berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiya’ : 62-63)
Ibrahim seakan-akan berkata, “Tuhan kalian yang besar marah karena ia tidak mau ada yang disembah selain dia” ([15]). Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata demikian karena ingin agar kaumnya berpikir bahwa yang namanya tuhan tidak ingin ada tandingannya (tidak ingin diduakan). Kalaupun kita melihat orang-orang yang menyembah berhala, maka akan kita dapati mereka memiliki patung-patung yang kecil dan patung yang besar. Bagi mereka patung yang paling besar dianggap sebagai tuhan yang paling berkuasa atau mereka meyakini masih ada yang lebih berkuasa dari patung-patung mereka. Sehingga kita mengatakan bahwa di dalam diri mereka, masih ada sedikit fitrah tauhid, dimana mereka masih meyakini ada tuhan yang lebih besar dan lebih berkuasa dari berhala-berhala yang mereka sembah([16]).
Perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam ayat ini merupakan dusta kedua beliau. Akan tetapi para ulama mengatakan bahwa seluruh kedustaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah murni kedustaan melainkan sebagai Tauriyah, yaitu mengucapkan makna yang benar, dengan maksud disalah pahami oleh pendengar. Seperti halnya waktu Rasulullah ﷺ berhijrah, beliau berada di depan dan Abu Bakar berada di belakangnya. Maka ketika itu, orang-orang kafir Quraisy membuat sayembara bahwa siapa yang dapat menangkap Nabi Muhammad ﷺ akan mendapatkan 100 ekor unta. Maka ada yang bertanya kepada Abu Bakar, “Siapa orang di depanmu ini?” Abu Bakar menjawab, “Dia adalah penunjuk jalan”([17]). Maka orang-orang menyangka bahwa maksud Abu Bakar adalah penunjuk jalan pada umumnya, padahal yang dimaksud oleh Abu Bakar adalah penunjuk jalan menuju surga. Karena Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak tahu arah perjalanan, sehingga beliau menyewa seorang penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith([18]).
Maka perkataan yang seperti adalah benar, dan memang sengaja diucapkan untuk disalah pahami oleh orang-orang yang mendengarkannya, perkataan seperti ini dalam istilah bahasa arab disebut tauriyah. Tauriyah itu asalnya merupakan hal yang tercela kecuali dalam kondisi yang mendesak.
Maka kedustaan-kedustaan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah kedustaan murni. Perhatikanlah kedustaan pertama Nabi Ibrahim yang mengatakan إِنِّي سَقِيمٌ (saya sakit). Dalam bahasa arab, سَقِيْمُ merupakan isim fa’il yang jika digunakan sebagai kabar atau suatu berita, maka akan bermakna sedang berlangsung atau pada waktu yang akan datang. Maka perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bukanlah kebohongan, karena bisa saja maknanya adalah bahwa ia akan sakit nanti. Karena sebagaimana manusia bisa saja sakit pada suatu saat tertentu. Kalaupun maknanya adalah sakit yang sedang berlangsung, maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak memaksudkan sakit fisik, melainkan sakit hati (kesedihan) melihat perbuatan kaumnya.
Kemudian pada kedustaan yang kedua ini, maka hal ini merupakan kebohongan bersyarat, dimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam seakan-akan berkata, “Patung yang besar yang menghancurkan dengan syarat patung-patung kecil bisa berbicara”. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka otomatis Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menunjukkan kepada mereka bahwa dialah pelakunya.
Ibrahim mengatakan kepada mereka فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ “maka tanyakanlah kepada berhala-berhaka itu, jika mereka dapat berbicara”. Yaitu tanyalah kepada berhala-berhala yang kecil, “Kenapa kalian dihancurkan?”, dan tanyakan pula kepada berhala yang terbesar, “Kenapa engkau menghancurkan berhala-berhala yang kecil?”, sementara Ibrahim dan semua yang hadir dari kaumnya sama-sama sekapat bahwa berhala-berhala tersebut tidak bisa berbicara([19]).
Maka setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata demikian, maka mereka (kaumnya) sadar karena meninggalkan tuhan-tuhan mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ، ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ
“Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, kemudian kepala mereka jadi terbalik([20]) (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (wahai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara“. (QS. Al-Anbiya’ : 64-65)
Maka pengakuan inilah yang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ingin dengarkan dari mereka bahwa patung-patung mereka tidak dapat berbicara. Tatkala lisan-lisan mereka (para pembesar kaumnya) mengakui hal tersebut (yaitu berhala mereka tidak bisa bicara) di hadapan penduduk negeri. Maka pengakuan ini dijadikan kesempatan bagi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk mencela tuhan-tuhan mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ
“Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” (QS. Al-Anbiya’ : 66)
Oleh karenanya dalam syariat Islam, mencela tuhan-tuhan selain Allah itu hukum asalnya adalah dianjurkan akan tetapi dengan hujjah yang jelas dan bukan mengada-ngada. Namun dalam kondisi tertentu tidak dilakukan karena mudorot yang lebih besar. Allah Subhanahu wa ta’ala banyak mencela tuhan-tuhan selain Allah tetapi dengan logika dan hujjah yang benar. Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata,
أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” (QS. Al-Anbiya’ : 67)
Yaitu, jika kalian wahai kaumku sudah tahu kondisinya demikian -bahwa berhala tidak bisa berbicara- maka sungguh merugi, sungguh hina kalian, bagaimana kalian menjadikan berhala sebagai sesembahan, apakah kalian tidak berfikir?.
Lihatlah betapa beraninya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang waktu itu masih muda, kemudian sendirian di hadapan seluruh penduduk kota tersebut yang musyrik, lalu mencela tuhan-tuhan mereka di depan mereka secara langsung. Akan tetapi kaumnya tidak dapat membantahnya karena memang telah jelas yang mereka anggap tuhan tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam surat yang lain Ibrahim menjelaskan tentang Allah dihadapan mereka, dan sifat-sifat Tuhan yang seharusnya. Allah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ، إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ، قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ، قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ، أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ، قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ، قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ، أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ، فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ، الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ، وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ، وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ، وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ، وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada Bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?. Mereka menjawab: “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya”. Berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?, atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?”. Mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian”. Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?, karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam. (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. (QS Asy-Syuáro : 69-82)
Tatkala mereka sudah kalah hujjah, maka tidak ada cara lain keculai dengan menggunakan otot dan kekerasan. Akhirnya mereka pun marah dan ingin agar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dibunuh. Akan tetapi mereka menginginkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dibunuh dengan cara yang tidak wajar yaitu dibakar([21]) di hadapan banyak orang. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ
“Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak“. (QS. Al-Anbiya’ : 68)
Dengan nada marah dan penuh provokasi mereka berkata, “Bakarlah Ibrahim dan tolonglah tuhan-tuhan kalian !”. Sekali lagi tanpa mereka sadari mereka mengakui dengan lisan mereka bahwa tuhan-tuhan mereka butuh pertolongan, lantas apakah pantas mereka menyembah tuhan-tuhan yang tidak bisa menolong dirinya sendiri??.
Sebelum dibakar Ibrahim ditahan/dipenjara di suatu bangunan.
Allah berfirman:
قَالُوا ابْنُوا لَهُ بُنْيَانًا فَأَلْقُوهُ فِي الْجَحِيمِ
Mereka berkata: “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu” (QS As-Shaaffat : 97)
Yaitu mereka memenjarankannya di sebuah bangunan/rumah lalu merekapun mengumpulkan kayu bakar([22]).
Ketika Ibrahim tahu dia akan dibakar maka ia berkata:
إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (QS As-Shooffaat : 99)
Sebagian ulama berkata:
قوله إِنِّي ذاهِبٌ ليس مراده به الهجرة كما في آية أخرى وإنما مراده لقاء الله بعد الاحتراق ولأنه ظن أن النار سيموت فيها، فقال هذه المقالة قبل أن يطرح في النار، فكأنه قال إني سائر بهذا العمل إلى ربي، وهو سيهديني إلى الجنة
“Perkataan Ibrahim “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku” Maksudnya bukanlah berhijrah sebagaimana pada ayat yang lain([23]), akan tetapi maksud beliau adalah bertemu dengan Allah setelah terbakar. Karena Ibrahim menyangka ia akan meninggal terbakar api, maka iapun mengucapkan perkataan ini sebelum dilemparkan ke neraka. Maka seakan-akan beliau berkata, “Aku berjalan menuju Allah dengan amalku ini kepada Rabbku, dan Rabbku akan memberi petunjuk kepadaku menuju surga” ([24]).
Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, maka mereka pun mengumpulkan kayu bakar yang sangat banyak. Mereka hendak membuat lautan api yang terbesar di alam semesta waktu itu. Saking semangatnya orang-orang ingin membakar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sampai disebutkan bahwa ada seorang wanita yang sedang sakit kemudian bernazar bahwa jika dia sembuh, maka akan dibawakan kayu bakar untuk (membakar) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam([25]). Demikian juga disebutkan ada seorang nenek tua memikul kayu bakar di atas punggungnya, maka dikatakan kepadanya, “Kemana engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Aku pergi kepada orang yang mencela tuhan-tuhan kita” ([26]). Demikian juga disebutkan ada seorang lelaki tua yang sudah lama tidak pernah keluar dari rumahnya, namun pada hari itu ia keluar sambil membawa kayu bakar dengan tujuan untuk bertaqorrub kepada sesembahan-sesembahan mereka([27]).
Ketika telah terkumpulkan kayu bakar yang banyak, mereka kemudian menyalakan api. Maka untuk melempar Ibrahim ke tengah lautan api merekapun menggunakan الْمَنْجَنِيْقُ manjaniiq (yaitu alat pelempar semisal ketapel besar). Maka dibukalah baju Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kemudian diletakkan di atas pelempar tersebut, dan kemudian dilemparkan ke dalam lautan api tersebut. Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilempar ke dalam lautan api tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih bahwa beliau hanya mengucapkan,
حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ
“Cukuplah Allah bagiku, Dia adalah sebaik-baik Pelindung.” ([28])
Ucapan ini merupakan ucapan yang luar biasa, yang bisa diucapkan oleh semua orang. Akan tetapi berbeda ketika diucapkan dalam hati yang paling dalam yaitu yakin bahwa hanya Allah yang bisa memberikan pertolongan.
Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menolong Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الأخْسَرِينَ
“Kami berfirman (kepada api): “Hai api jadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al-Anbiya’ : 69-70)
Akhirnya api yang harusnya membakar menjadi dingin karena perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dingin yang dirasakan Nabi Ibrahim tidak terlalu dingin, melainkan dingin sejuk yang membuatnya selamat ketika jatuh ke dalam api tersebut dan tidak terbakar. Inilah mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang diperlihatkan kepada penduduk kota Babil. Akan tetapi mereka tetap tidak beriman, karena berpegang pada tradisi mereka.
Dalam hadits disebutkan cicak ikut meniup untuk membesarkan api.
عَنْ أُمِّ شَرِيكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ” أَمَرَ بِقَتْلِ الوَزَغِ، وَقَالَ: كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ “
Dari Ummu Syariik bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam memerintah untuk membunuh cicak, dan Nabi berkata, “Cicak dulu meniup (untuk membesarkan api) Ibrahim álaihis salam” ([29])
Imam Ahmad meriwayatkan
عَنْ سَائِبَةَ أَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ، فَرَأَتْ فِي بَيْتِهَا رُمْحًا مَوْضُوعًا، فَقَالَتْ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَصْنَعِينَ بِهَذَا الرُّمْحِ؟ قَالَتْ: ” نَقْتُلُ بِهِ الْأَوْزَاغَ، فَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَخْبَرَنَا أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ، لَمْ تَكُنْ دَابَّةٌ إِلَّا تُطْفِئُ النَّارَ عَنْهُ، غَيْرُ الْوَزَغِ، فَإِنَّهُ كَانَ يَنْفُخُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَ عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَامُ بِقَتْلِهِ
Dari Saibah, ia masuk ke rumah Aisyah, maka ia melihat di rumah Aisyah ada tombak yang diletakan di tempatnya. Iapun bertanya : “Wahai ibunda kaum mukminin, apa yang hendak engkau lakukan dengan tombak ini?”. Beliau menjawab, “Untuk menombak cicak-cicak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada kami bahwasanya Ibrahim ‘alaihis salam ketika dilemparkan di api maka tidak ada seekor hewanpun kecuali berusaha mematikan api, kecuali cicak, cicak meniupkan untuk memperbesar nyala api. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuhnya” ([30])
Karenanya kita disunnahkan untuk membunuh cicak selain karena ia adalah hewan yang membawa penyakit dan suka mengganggu ([31]), ternyata nenek moyangnya juga dulu pernah menjadi musuh tauhid yaitu ikut membantu kaum musyrikin dalam meniup untuk memperbesar nyala api yang membakar Ibrahim. Nabi mengkaitkan membunuh cicak juga dengan sebab ini agar kita selalu ingat akan pengorbanan Nabi Ibrahim álaihis salam dalam memperjuangkan tauhid, dan agar kita juga senantiasa memusuhi orang-orang yang memusuhi tauhid kepada Allah, wallahu a’lam ([32]).
Footnote:
__________
([1]) Lihat Qashas Al-Anbiya’ 1/169
([2]) Lihat Miftah Daarissa’aadah karya Ibnul Qoyyim 1/98
([3]) Lihat Tafsir Ibn Katsir 5/348
([4]) Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir 17/95
([5]) Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir 17/96
([6]) Sebagian ulama berpendapat bahwa Ibrahim mengucapkan perkataan ini bukan di hatinya tapi di lisannya dan sempat di dengar dari salah seorang dari mereka yang berpaling belakangan. Dialah yang kemudian mengabarkan kepada kaumnya dengan berkata
سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
“Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim” (QS al-Anbiyaa : 60)
Yaitu kami mendengar ia mengancam akan melakukan keburukan kepada berhala-berhala kita. (Lihat Tafsir At-Thobari 16/293)
Sebagian ulama yang lain berpendapat beliau mengucapkannya dengan lisan beliau tapi setelah mereka semua berpaling. (Lihat Tafsir At-Thobari 16/293)
([7]) Al-Hasan al-Bashri berkata:
خَرَجَ قَوْمُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلامُ إِلَى عِيدٍ لَهُمْ وَأَرَادُوا إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلامُ عَلَى الْخُرُوجِ، فَاضْطَجَعَ عَلَى ظَهْرِهِ فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ لَا أَسْتَطِيعُ الْخُرُوجَ، وَجَعَلَ يَنْظُرُ إِلَى السَّمَاءِ، فَلَمَّا خَرَجُوا أَقْبَلَ عَلَى آلِهَتِهِمْ فَكَسَرَهَا
“Kaum Ibrahim álaihis salam keluar unutk acara perayaan mereka, dan mereka ingin Ibrahim juga keluar bersama mereka. Maka Ibrahim pun berbaring di atas pundaknya lalu ia berkata, “Aku sakit, aku tidak mampu untuk ikut keluar”, dan beliapun memandang ke langit. Tatkala kaumnya pada keluar maka beliau segera menuju berhala-berhala mereka lalu beliau menghancurkannya” (Tafsir Ibn Abi Hatim 10/3220)
([8]) Lihat Qashah Al-Anbiya’ 1/194
([9]) Lihat Tafsir Ibn Katsiir 7/25
([10]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 705
([11]) Lihat Tafsir At-Thobari 16/295
([12]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 526. Hal ini sama dengan Nabi Musa álaihis salam tatkala ingin duelnya melawan para penyihir dihadiri oleh seluruh masyarakat, agar kebenaran bisa tegak dihadapan orang-orang sebanyak-benyaknya. Musa berkata kepada Firáun:
مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَنْ يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى
“Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik” (QS Thaha : 59)
Kaum Ibrahim inginnya Ibrahim dipermalukan dihadapan seluruh masyarakat, sebagaimana juga Firáun juga ingin Musa dipermalukan di hadapan masyarakat, akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kebenaran ditegakan dan kebatilan dihancurkan. Hal ini sebagaimana juga kisah Ghulam (sang pemuda) dalam kisah Ashaabul Ukhduud yang ketika ingin dibunuh oleh raja maka ia mempersyaratkan agar dihadapan seluruh penduduk negeri, agar mereka beriman.
([13]) Ini menunjukan bahwa Ibrahim masyhur dan terkenal diantara mereka suka mencela tuhan-tuhan mereka.
([14]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 526
([15]) Lihat Tafsir as-Sa’di hal 526
([16]) Lihat Qashas Al-Anbiya’ 1/179
Subhaanallah, mereka kaum Ibrahim meskipun terjerumus dalam kesyirikan tetap masih saja tersisa fithroh naluri tauhid, bahwasanya harus ada satu tuhan yang terbaik. Sehingga mereka membuat dari sekian banyak tuhan tersebut satu berhala yang terbesar.
Dan inilah yang banyak dilakukan oleh kaum musyrikin yang ada saat ini. Kaum Hindu meskipun meyakini ada tiga dewa, namun menurut mereka dewa yang terhebat adalah dewa Brahmana. Kaum Nashrani meskipun meyakini trinitas tapi naluri mereka tetap berusaha menafsirkan trinitas tersebut dengan makna “ke-esa-an”.
([17]) Lihat Fadhoil As-Shohabah karya Ahmad bin Hanbal 1/397, Al-Mu’jam Al-Kabir karya At-Thabrani 24/106
([18]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi 8/144
([19]) Lihat Tafsir As-Sa’di hal 526
([20]) Makna firman Allah ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ “kemudian kepala mereka terbalik (yaitu berada di bawah dan kaki mereka berada di atas). Tentunya kenyataannya kapala mereka tidak menjadi terbalik ke bawah, akan tetapi maksudnya mereka kalah dalam berhujjah (berargumentasi), bahkan sebaliknya mereka ingin berhujjah untuk mengalahkan Ibrahim, justru hujjah tersebut malam membela Ibrahim dan menyerang mereka sendiri. (Lihat Tafsir At-Thobari 16/303)
([21]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir 17/105
([22]) Lihat Tafsir at-Thobari 16/306
([23]) Yaitu firman Allah:
وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dan Ibrahim berkata : Sesungguhnya aku berhijrah menuju Rabbku, sesungguhnya Dia adalah Maha Perkasa dan Maha Bijak” (QS Al-Ánkabuut : 26)
([24]) Al-Muharror al-Wajiiz 4/480, lihat tafsir at-Thobari 19/576
([25]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 5/308
([26]) Lihat Maussuah at-Tafsiir al-Ma’tsuur 14/571
([27]) Lihat Maussuah at-Tafsiir al-Ma’tsuur 14/569
([28]) HR. Bukhari 6/39 no. 4564
([29]) HR Al-Bukhari no 3359
([30]) HR Ahmad no 24780
([31]) Nabi shallallahu álaihi wasallam menamakan cicak dengan fuwasiq (yaitu pengganggu kecil).
Aisyah berkata:
قَالَ لِلْوَزَغِ: «فُوَيْسِقٌ»
Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berkata tentang cicak : “Fuwaisiq (pengganggu kecil)” (HR al-Bukhari no 1831)
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا»
Dari Ámir bin Saád dari Ayahnya (Saád bin Abi Waqqosh) bahwsanya Nabi shalllahu álaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh cicak dan Nabi menamakannya dengan Fuasiq” (HR Muslim no 2238)
Yang dimaksud dengan fuasiq (dari kata hewan fasiq) yaitu yang mengganggu dan memberikan kemudorotan. Ada beberapa hewan yang lain yang Nabi namakan dengan fasiq, Nabi bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ، يُقْتَلْنَ فِي الحَرَمِ: الفَأْرَةُ، وَالعَقْرَبُ، وَالحُدَيَّا، وَالغُرَابُ، وَالكَلْبُ العَقُورُ
“Lima hewan fasiq dibunuh (meskipun di tanah haram), tikus, kalajengking, semacam elang, gagak, dan anjing buas” (HR Al-Bukhari 3314 dan Muslim no 1198, dalam riwayat yang lain : ular)
An-Nawawi berkata:
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْوَزَغَ مِنَ الْحَشَرَاتِ الْمُؤْذِيَاتِ… وَأَمَّا تَسْمِيَتُهُ فُوَيْسِقًا فَنَظِيرُهُ الْفَوَاسِقُ الْخَمْسُ الَّتِي تُقْتَلُ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ وَأَصْلُ الْفِسْقِ الْخُرُوجُ وَهَذِهِ الْمَذْكُورَاتُ خَرَجَتْ عَنْ خَلْقِ مُعْظَمِ الْحَشَرَاتِ وَنَحْوِهَا بِزِيَادَةِ الضَّرَرِ وَالْأَذَى
Para ulama sepakat bahwasanya cicak termasuk serangga yang mengganggu….adapun dinamakan dengan fasiq kecil maka ia seperti lima hewan yang semisalnya yang dibunuh di tanah halal dan di tanah haram. Dan asal dari kata fasiq adalah “keluar”, dan hwan-hewan fasiq ini keluar (berbeda) dengan keumuman hewan-hewan serangga dan semisalnya dengan, yaitu berbeda dengan kelebihan memberi mudorot dan gangguan” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/236-237)
Riset medis modern menunjukan bahwa salah satu jenis bakteri yang bisa ditemui di dalam tubuh cicak adalah Escherichia Coli atau E.Coli. Bakteri E.Coli dikenal luas sebagai salah satu penyebab utama sakit perut atau gangguan pencernaan lainnya.
Karena alasan inilah, ada baiknya kita memastikan bahwa lauk atau makanan yang akan kita konsumsi ditutup dengan tudung saji dengan rapat sehingga tidak akan mudah dimasuki oleh cicak. Selain itu, sendok nasi juga sebaiknya tidak diletakkan dengan sembarangan agar tidak mudah disentuh oleh cicak sehingga tidak akan mudah terkontaminasi bakteri E.Coli yang berbahaya (Lihat https://doktersehat.com/bahaya-banyak-cicak-di-rumah/)
([32]) Peringatan : Jangan disalah pahami seakan-akan Nabi shallallahu álaihi wasallam mengakui adanya dosa turunan (yaitu cicak sekarang ikut menanggung dosa cicak zaman nabi Ibrahim álaihis salam), karena masalah membunuh cicak ada sebab yang lainnya, yaitu Nabi menggolongkannya sebagai hewan fasiq (yang mengganggu), karenanya seandainya cicakpun tidak pernah meniup api nabi Ibrahim tetap saja dianjurkan untuk dibunuh. Ternyata cicak juga dulu pernah meniup api nabi Ibrahim álaihis salam, maka selain diperintahkan untuk dibunuh agar terhindar dari gangguannya sekalian juga untuk mengingat perjuangan dan perngorbanan Nabi Ibrahim álaihis salam. Dalam istilah kita sekali mendayuh dua hingga tiga pulau terlampaui.
Di antara kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, beliau bertemu dengan Raja yang sangat kafir yang mendebat Ibrahim tentang Allah. Mayoritas ahli tafsir menyatakan bahwa Raja tersebut bernama Numrud bin Kanán. Namun para ulama berselisih kapan kisah pertemuan atau perdebatan antara Ibrahim dan Numrud tersebut?. Sebagian yang lain berpendapat bahwa kejadiannya adalah setelah Ibrahim dibakar, yaitu ketika ia selamat, ia lalu dibawa untuk bertemu dengan Numrud. Jadi kejadiannya sebelum beliau diusir dari Babil([1]).
Raja Numrud adalah salah satu dari dua Raja yang pernah mengaku sebagai tuhan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Raja yang pernah mengaku sebagai tuhan adalah Fir’aun, sedangkan Numrud juga pernah mengaku dirinya sebagai tuhan, akan tetapi kisahnya tidak terlalu terkenal seperti Fir’aun. Disebutkan oleh sebagian ulama bahwa ada empat orang yang kekuasaannya sangat luas di muka bumi ini. Dua orang tersebut adalah muslim, dan dua yang lainnya kafir. Dua orang muslim tersebut adalah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan Dzulqarnain, dan dua orang kafir tersebut adalah Numrud dan Bukhtanasshar([2]). Dan Numrud adalah Raja pertama yang menguasai bumi([3]). Bahkan disebutkan ia menjadi Raja selama 400 tahun([4]).
Allah Subhanahu wa ta’ala memulai kisah pertemuan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan Namrud dalam firmanNya,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan([5]) orang yang mendebat([6]) Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan) ([7]). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah : 258)
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Qatadah dan ulama lainnya mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa Numrud dapat menghidupkan dan mematikan, Numrud mendatangkan dua orang yang akan dihukum mati. Ia kemudian menyuruh membunuh salah seorang dari keduanya dan memberikan kebebasan kepada yang lain dan tidak membunuhnya. Dan itulah makna menghidupkan dan mematikan menurut anggapannya. Ini adalah jawaban yang tidak nyambung dari Namrud. Tentu ini menunjukan kebodohan Numrud, padahal maksud Ibrahim bukan demikian. Seakan-akan ia bodoh atau pura-pura bodoh, lantas orang bodoh bagaimana bisa menjadi tuhan?. Namun Ibrahim tidak mendebatnya untuk menunjukan kebodohannya, karena susah menunjukan kebodohan dari orang bodoh yang meyakini kebodohannya adalah ilmu dan kepintaran. Karenanya Ibrahim berpindah pada hujjah berikutnya yang tidak mungkin bisa diakalin oleh Namrud. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat“([8]). Maksudnya adalah jika benar apa yang dikatakan Namrud sebelumnya dan dia benar adalah tuhan, maka konsekuensinya adalah dia mampu mengatur hal-hal yang sifatnya sunnatullah di alam semesta. Maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meminta Numrud untuk mengubah sunnatullah tersebut dengan menerbitkan matahari dari barat. Maka ketika Numrud mengetahui ketidakmampuannya dan bahwa tidak sanggup berbuat apa-apa dengan kesombongan itu, ia pun tercengang, membisu tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Dan hujjah pun telah jelas atas dirinya([9]).
Oleh karenanya definisi mukjizat adalah suatu kejadian luar biasa di luar sunnatullah yang Allah berikan kepada para Nabi sebagai bukti bahwa Nabi tersebut adalah utusan Allah([10]). Sehingga Allah menyertakan kepada para Nabi suatu aturan yang berubah dari aturan alam. Seperti halnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, aturan alam (sunatullah) dari api yang membakarnya adalah sifatnya panas, akan tetapi karena yang menciptakan api adalah Allah, sehingga mudah bagi Allah mengubah aturan tersebut dari panas menjadi dingin. Begitu pula mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam yang tongkat kayu berubah menjadi ular. Sedangkan kita ketahui bahwa tidak ada perubahan senyawa kimia dari kayu menjadi daging. Oleh karenanya para penyihir yang melawan Nabi Musa ‘alaihissalam tahu bahwa itu adalah Mukjizat.
Akhirnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diusir oleh Numrud dari Babil. Sebagian ahli tafsir menyebutkan akhirnya Allah mengirimkan seekor lalat atau nyamuk yang masuk ke dalam hidungnya dan tinggal di dalam tubuhnya, maka lalat tersebut tinggal di kepalanya selama 400 tahun, dan selama itu pula kepalanya dipukul dengan palu. Jika kepalanya dipukul maka sakitnya berkurang. Dan orang yang paling rahmat kepadanya adalah orang yang mengumpulkan kedua tangannya lalu memukulkannya ke kepalanya. Ia menjadi Raja yang sombong selama 400 tahun, maka Allahpun mengadzabnya selama 400 tahun, lalu Allah membinasahkannya([11]). Allah menghinakan Namrud yang merasa bahwa dirinya hebat dengan dibuat mati karena seekor hewan yang sangat kecil dengan penuh ketersiksaan([12]).
Ibrahim meninggalkan Babil
Ibrahimpun diusir oleh Numrud. Ketika beliau tiba di pintu kota keluar kota maka ia bertemu dengan Luth álaihis salam yang merupakan keponakannya. Nabi Ibrahim pun mendakwahinya lalu iapun beriman kepada Ibrahim([13]).
Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah meninggalkan kampungnya, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلًّا جَعَلْنَا نَبِيًّا
“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi Nabi.” (QS. Maryam : 49)
Ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Ayah dan kaumnya, beliau pergi seorang diri, akhirnya karena kepergian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang karena Allah, maka Allah anugerahkan anak-anak yang saleh yang kelak akan menjadi Nabi dan yang akan menemaninya yaitu Nabi Ishak dan Ya’qub ‘alaihimassalam. Bahkan seluruh Nabi setelah beliau adalah keturunan beliau([14]). Kata para ulama, bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa ketika seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan ganti dengan yang lebih baik. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلَّا بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah ‘Azza wa Jalla, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” ([15])
Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan Babil, disebutkan bahwa dia pergi bersama Nabi Luth ‘alaihissalam, karena Nabi Luth ‘alaihissalam beriman kepada beliau. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَآمَنَ لَهُ لُوطٌ وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Maka Luth membenarkan (keNabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-‘Ankabut : 26)
Ibrahim pun pergi menuju Harran (di perbatasan negeri Syaam dan Turki), sementara Nabi Luth ‘alaihissalam berangkat menuju negeri Syam di daerah Sodom.
Ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tiba di Harran beliau menikah dengan Sarah([16]).
Footnote:
_______
([1]) Ini adalah pendapat as-Suddy (lihat Tafsir Ibn Abi Hatim 2/498 no 2636 dan Tafsir At-Thobari 4/575)
([2]) Disebutkan oleh Mujahid dan dinukil oleh Ibnu katsir dalam tafsirnya, lihat Tafsir Mujahid hal.450 dan Tafsir Ibnu Katsir 1/525.
([3]) Lihat Tafsir at-Thobari 4/569
([4]) Lihat Tafsir Ibn Katsir 1/686
([5]) firman Allah adalah أَلَمْ تَرَ adalah ar-Ru’yah al-Qolbiyah, sehingga maksudnya adalah melihat dengan hati (bukan melihat dengan mata), atau merenungkan kabar yang sampai kalian tentang kisah tersebut. (Lihat Tafsir ats-Tsa’labi 1/506)
([6]) Hal ini menunjukan bahwa seorang daí terkadang harus bersiap untuk didebat dan mendebat. Dan keduanya dilakukan oleh Ibrahim álaihis salam, beliau mendebat dan beliau didebat. Bahkan terkadang al-haq (kebenaran) nampak dalam perdebatan. Akan tetapi tentunya ini hanya terkadang dan hanya boleh dilakukan oleh seorang dai yang mahir dalam hal ini. Sehingga secara tidak langsung seorang dai yang ingin masuk dalam ajang perdebatan dia harus menguasai metode-metode dalam mendebat. Wallahu a’lam.
([7]) Lihatlah bagaimana kenikmatan (berupa kekuasaan dan kerajaan) menjadikan Namrud akhirnya sombong sehingga mengaku sebagai tuhan. Karenanya kenikmatan dan anugrah terkadang merupakan sebab menjadikan seseorang melampaui batas dan lupa daratan. Lihatlah Namrud tidaklah mengaku sebagai tuhan kecuali setelah Allah menganugrahkan kepadanya kerajaan dan kekuasaan. Sebaliknya terkadang musibah dan penyakit serta kemiskinan merupakan kenikmatan bagi seorang hamba, dimana dengan musibah tersebut ia kembali kepada Allah. Seseorang yang senantiasa berada dalam kenikmatan terkadang lupa kepada Pemberi anugrah tersebut dan akhirnya melampaui batas.
([8]) Ini adalah pendapat sebagian ushuliyun (ahli ushul fiqh), sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qoyyim di Miftaah Daaris Saáadah 2/204. Yaitu Ibrahim tidak menjelaskan kepada Numrud bukan maksud mematikan dan menghidupkan sebagaimana yang kau pahami. Akan tetapi Ibrahim berpindah kepada hujjah yang lebih tegas dan jelas tentang matahari terbih dari timur.
Akan tetapi tafsir ini dikritik oleh Ibnul Qoyyim, beliau menjelaskan bahwa Ibrahim tidaklah berpindah dari hujjah yang kurang jelas kepada yang lebih jelas (mengingat Namrud yang tidak paham), akan tetapi Ibrahim sebenarnya melanjutkan hujjahnya. Yaitu ketika Namrud mengaku dia bisa melakukan perbuatan seperti perbuatan Tuhan dengan menghidupkan dan mematikan, maka Ibrahimpun melanjutkan hujjahnya, jika demikian berarti engkau ya Namrud harusnya bisa melakukan perbuatan yang lain dari Tuhan, yaitu menerbitkan matahari. Jadi menurut Ibnul Qoyyim hujjah menghidupkan dan mematikan adalah landasan untuk hujjah berikutnya yaitu menerbitkan matahari. Timbul pertanyaan, kenapa Numrud tidak berkata kepada Ibrahim, “Kalau begitu apakah Tuhanmu bisa menerbitkan matahari dari barat sebagaimana yang kau minta dariku?”. Hal ini karena dia kawatir jika Tuhannya Ibrahim ternyata benar-benar menerbitkan dari barat maka selesailah dia dihadapan rakyatnya. (LIhat Miftaah Daaris Saáadah 2/204-205). Terlebih lagi Numrud sudah melihat keajaiban Ibrahim yang tidak terbakar oleh api yang begitu besar.
([9]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/525
([10]) Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 34/217
([11]) Lihat Tafsir At-Thobari 4/572 dan Tafsir Muqotil bin Sulaiman 1/216-217
([12]) Lihat Tafsir At-Thobari 14/204
([13]) Sebagaimana penjelasan As-Suddiy, lihat Tafsir Ibn Abi Hatim 7/2253 no 12310
([14]) Lihat Qoshosh al-Anbiyaa’ 1/191
([15]) HR. Ahmad 5/363 no. 23124
([16]) Sebagian ulama memandang bahwa Ibrahim sudah menikah dengan Sarah ketika di Babil, sehingga tatkala Ibrahim meninggalkan Babil beliau sudah pergi bersama Sarah. Dan ini pendapat yang dipilih oleh Ibnu Katsir (Lihat Qashah Al-Anbiya’ 1/192 dan Fathul Baari, Ibn Hajar 6/392). Namun sebagian ulama memandang bahwa Ibrahim menikah dengan Sarah di Harran. Ini adalah pendapat As-Suddiy. Sarah adalah putri Raja Harran, dan ia mencela agama kaumnya, akhirnya iapun menikah dengan Ibrahim. (Lihat Tafsir At-Thobari 16/313)
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/