BELAJAR DARI SYAIKH ALI JABER DAN SUNAN AMPEL SERTA WALI SONGO PUTIHAN
Bismillaah.
Dari TV dan berbagai sumber berita:
Keluarga dari Ustadz/Syaikh Ali Jaber - rahiimahulloh - da'i dan hafidzul Qur'aan terkenal Republik Indonesia kelahiran Arab Saudi, tidak mengadakan 'Tahlilan' (*).
Dan di Indonesia serta dunia, banyak sekali yang tidak melakukannya. Misalnya:
Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, DDII, Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, HASMI, Puldapii, dst.
Di wilayah kaum muslimiin Bosnia, Kroasia, Turkistan, Tajikistan, Uzbekistan, Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, UEA, Oman, Yaman, Bahrain, Palestina, Suriah, Libanon, Yordania, 'Iraq, Somalia, Nigeria, Mesir, Aljazair, Libya, Maroko, hingga Eropa, Amerika, dst.
(*) Peringatan kematian 'tradisi Jawa' sesuai hitungan peringatan hari kematian Hindu-Jawa. Yang menjadi kebiasaan 'Islam versi Jawa ('Islam Kejawen')'. Ini juga dapat disimak di: http://hindudamai.blogspot.com/ ATAU http://suparjo.blogspot.com/
Di antara cuplikannya:
“Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu"
(Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193)
“Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”
(Ida Bedande Adi Suripto lihat kitab “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa”)
Baca buku dengan judul “NILAI-NILAI HINDU DALAM BUDAYA JAWA”, karya Prof. DR. Ida Bedande Adi Suripto (dia ADALAH DUTA DARI AGAMA HINDU UNTUK NEGARA NEPAL, INDIA, VATIKAN, ROMA, & BELIAU MENJABAT SEBAGAI SEKRETARIS PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA)
Dia menyatakan SELAMATAN SURTANAH, GEBLAK, HARI PERTAMA, KETIGA, KETUJUH, KESERATUS, MENDHAK PISAN, MENDHAK PINDHO, NYEWU (1000 harinya) ADALAH IBADAH UMAT HINDU dan beliau menyatakan pula NILAI-NILAI HINDU SANGAT KUAT MEMPENGARUHI BUDAYA JAWA.
KITAB SAMAWEDHA SAMHITA buku satu, bagian satu, halaman 20:
PURWACIKA PRATAKA PRATAKA PRAMOREDYA RSI BARAWAJAH MEDANTITISUDI PURMURTI TAYURWANTARA MAWAEDA DEWATA AGNI CANDRA GAYATRI AYATNYA AGNA AYAHI WITHAIGRANO HAMYADITAHI LILTASTASI BARNESI AGNE.
Dipaparkan dengan jelas pada ayat Wedha di atas bahwa, “lakukanlah pengorbanan pada orang tuamu dan lakukanlah kirim do’a pada orang tuamu hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, mendak pisan, mendhak pindho, nyewu.”
TUGAS WALI SONGO MENGISLAAMKAN JAWA DAN MEMBERANTAS TAKHAYYUL - BID’AH - KHUROFAT SERTA BERBAGAI KEMAKSIATAN BELUM SELESAI
Oleh: JAPRI (Jaringan Penjaga Risalah Islaam)
Bismillaah.
Islaam, adalah agama yang dinamai oleh Beliau - Allaah, Tuhan Yang Maha Esa - sendiri. Berbeda dengan penamaan agama-agama lain yang kita kenal kini, yang dinamai oleh pengkiutnya sendiri (dan mereka ubahi isi ajarannya). Lihat, sebagai salah satu dalil yang mudah dari banyak dalil, di Al Qur'aan surah Al Maaidah ayat 3.
Dan ini, adalah sebagai agama sejak awal jaman (dalam Tawhiid, Ketuhanan Yang Maha Esa), dan menjadi standar final yang berlaku sampai Akhir Jaman (Kiamat) bahkan sampai Akhirat. Bukan agama Arab, karena ribuan nabi dan rosul itu berasal dari semua etnis, kaum, golongan. Dalam satu urusan: tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengatur lengkap semua aspek, sisi, detail kehidupan. "Sejak manusia bangun tidur, hingga tidur kembali, dan bahkan saat dia tidur", demikian istilah yang populer di kalangan para ulama.
Dan ada sebanyak 124.000 nabi dan rosul, sejak awal jaman, diutusNya. Di BumiNya, yang konon - menurut Sains - telah berusia sekitar hampir 5 milyar tahun ini. Tentu saja, Allaah, Al Ilaah, Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tak akan membiarkan manusia dan jin hidup di Bumi, di DuniaNya, sampai tanpa petunjukNya. Dan beruntunglah, salaamah - lah (selamatlah) orang yang mau menurutinya.
Apalagi, karena memang telah dipertunjukkan di berbagai keterangan Al Qur'aan, Hadits, Tarikh (Sejarah), dsb., bahwa memang selalu ada kaum manusia dan jin, yang mengubahinya, menyesatkan!
Maka telah diutuslah, Rosuululloh (Utusan Allaah, atau Utusan Tuhan Yang Maha Esa) yang terakhir.
Sekaligus sebagai tanda bahwa ini memang telah masa Akhir, menuju puncak Akhir Jaman. Beliau bernama Muhammad (atau Ahmad) - shollollohu ‘alaihi wa sallam - menerima risalah, ajaran, hukum, kabar gembira, peringatan, dsb. melalui firmanNya, yang disampaikan oleh malaikat Jibril ‘alaihis salaam. Bahkan termasuk Bisyaroh atau berita tentang apa yang akan terjadi di masa depan sepeninggal (sesudah wafatnya) rosuululloh Muhammad (atau Ahmad) - shollollohu ‘alaihi wa sallam - yang bahkan - maa syaa Allaah - satu per satu memang terjadi, dibuktikanNya.
Misalnya mengenai akan adanya gedung-gedung tinggi di jaziroh Arabia (kini kita lihat di Kuwait, Qatar, Oman, UEA, Saudi, setidaknya), perang-perang utama (di Syam (Palestina, Suriah, Libanon, Yordania), di Iraq, di Yaman, setidaknya), Riba yang memang menggurita, Zinah yang jadi mudah, Khamr yang ditawarkan dengan berbagai muslihat bentuk, beredarlah beraneka kebohongan dan kecurangan, adanya Ruwaibidhoh (ornag bodoh yang menguasai urusan masyarakat-umat, memerintah), adanya Ulama Suu' (orang kira dia adalah ulama namun sebenarnya adalah orang penyesat, perusak), adanya pengkhianatan-kecurangan yang meluas, kaum penjaga kemananan (penegak hukum, macam polisi, jaksa, hakim, dsb) yang malahan dimurkai Allaah karena mereka adalah penjahat berselubung, dll.
Termasuk bahwa sepeninggal rosuululloh Muhammad (atau Ahmad) - shollollohu ‘alaihi wa sallam - akan ada Bid’ah.
Yang Bid’ah ini, justru menimbulkan perpecahan, firqoh-firqoh, aliran-aliran, hingga - sesuai hadits - akan ada puluhan, 73 golongan yang semuanya mengaku sebagai penganut, pelaksanan ajaran Islaam yang paling benar! Namun 72 di antaranya salah, dan (berisiko) masuk (atau sementara akan di) Neraka!
Hanya satu yang benar-benar selamat, yakni yang benar-benar murni mengikuti, dan menjalankan ajaran Muhammad (atau Ahmad) - shollollohu ‘alaihi wa sallam - yang diajarkan kepada para Shahabah Nabi (Sahabat Nabi), yang lalu diteruskan ke generasi Tabi’iin, dan ke generasi Tabi’ut Tabi’iin, yang 3 generasi mereka ini masih dijamin Allaah sebagai yang terbaik, terbenar. Dan selamatlah siapapun yang mengikuti mereka.
Yang di masa menjelang Akhir Jaman ini, memang diberitahukan kepada kita melalui Hadits, bahwa yang menegakkan As Sunnah - yang dapat diperincikan menjadi banyak aspek di hal ibadah, manajemen, hukum, sosial, ekonomi, politik, bisnis, keamanan, pertahanan, dll. - akan macam "menggenggam bara api", namun juga akan menerima balasan setara 50 kali lipat para Shahabah Nabi!
Mari kita lihat, pelaksanaaannya di Nusantara
Diketahui, dan sudah diverifikasi, Sumatra menerima Islaam lebih dulu daripada Jawa. Sebelum masa Wali Songo di Jawa. Bahkan penelitian terakhir, 'versi islaam' yang masuk ke Sumatra, sudah sejak masa rosuululloh Muhammad (atau Ahmad) - shollollohu ‘alaihi wa sallam - belum wafat, masih beramar ma'ruf nahi munkar, masih berda'wah. Dan diketahui pula, pengaruh serta kekuatan Geopolitik penguasa Jawa di masa silam - ahkan kiranya berisaa sampai kini - dikenal sarat akan legenda, mitos, simbolisme, cerita rakyat, kepercayaan, sangkaan, dsb.
Sementara Takhayyul, Bid'ah, Khurofat, biasanya berkaitan dengan legenda, mitos, simbolisme, cerita rakyat, kepercayaan, sangkaan, dsb. Termasuk sampai di Nusantara yang pernah mengalami masa dominasi Animisme, Dinamisme, Buddha, Hindu,dsb.
Perjuangan Wali Songo
Sejak dulu, di kalangan Wali Songo, tim para da’i yang berda’wah di Jawa, yang dikenal dikirim sebagai utusan Kerajaan Islaam Turki Utsmaniyyaah untuk syi'ar Islaam terbagi menjadi dua kelompok, yakni:
(1) Golongan Putihan, yang menda’wahkan Islaam, Tawhiid, yang murni dengan pemahaman standar (manhaj) sesuai kaum Salafush Sholih (para Sahabat Nabi, para Tabi’iin, para Tabi’ut Tabi’iin, dan para pengikut mereka, termasuk Imaam Madzhab Yang Empat.
(2) Golongan Abangan, yang masih berupaya ‘memutar’, membungkus da’wah murni Tawhiid, dengan mengubah budaya lokal Jawa atau Kejawen (yang sebenarnya adalah masih terpengaruh Dinamisme, Animisme, Simbolisme, Hindu, Buddha, dsb.) bertahap.
Dan konon, dalam bahasa dan kebudayaan Jawa, kota Jombang di Jawa Timur, daerah asal atau pusat salah-satu organisasi massa Islaam di Nusantara bernama Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri sejak tahun 1926 Masehi, adalah berasal dari gabungan kata "Ijo" (hijau), sebagai lambang 'versi Sufi-mistikus' dari Islaam, dan "Abang" (merah) sebagai lambang kebudayaan Jawa yang bertanah merah "lemah abang".
Maka ada dokumen sejarah Wali Songo yang berjudul "HET BOOK VAN BONANG" di perpustakaan Leiden, di negeri Kerajaan Belanda. Ditulis oleh Sunan Bonang pada abad XV Masehi, yang berisikan tentang ajaran-ajaran Islaam, dan yang berkaitan dengannya. Di antaranya, ada yang menarik di dalamnya, menceritakan tentang kebijakan Sunan Ampel yang memperingatkan Sunan Kali Jogo yang dikenal masih melestarikan 'Selamatan Jawa (Kejawen)'.
”Jangan ditiru perbuatan semacam itu, karena termasuk Bid’ah”, demikianlah nasihat Sunan Ampel yang dianggap senior dari jajaran tim Wali Songo tersebut, ayah dari Sunan Giri dan anak dari Maulana Malik Ibrahim.
Sunan Kali Jogo menjawab, “Biarlah nanti generasi setelah kita, ketika Islaam telah tertanam di hati masyarakat, yang akan menghilangkan budaya Tahlilan itu.”
Demikian.
Siapa di antaramu yang mau meneruskan perjuangan pemurnian pelaksanaan Islaam di Jawa-Nusantara ini?
Lanjutkanlah, jika kau mengaku mengagumi, mengikuti, mencintai Wali Songo.
Dalam buku "Kisah Dan Ajaran Wali Songo" yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang, Surabaya, juga mengupas panjang-lebar mengenai masalah ini. Kelompok 'pecahan' Wali Songo yang dikenal sebagai kelompok kaum ‘Abangan’, macam Sunan Kali Jogo, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria, berbeda pandangan mengenai menyikapi adat-istiadat sisa Kejawen itu, dengan Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat yang dikenal sebagai: kaum ‘Putihan’.
Sunan Kali Jogo mengusulkan agar adat-istiadat lama seperti Selamatan (termasuk Selamatan Kematian), bersaji atau Sesajen, Wayang dan Gamelan dimasuki rasa keislaaman.
Sunan Ampel berpandangan lain:
“Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat-istiadat dan upacara lama itu, nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi Bid’ah?”
Sunan Kudus menjawab beliau, bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari ada yang menyempurnakannya (hal 41, 64).
Demikian.
Siapa di antaramu yang mau meneruskan perjuangan pemurnian pelaksanaan Islaam di Jawa-Nusantara ini?
Lanjutkanlah, jika kau mengaku mengagumi, mengikuti, mencintai Wali Songo.
Di keterangan lain, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islaam secara murni , baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk Sinkretisme/mencampurkan, memadukan ajaran Hindu dan Budfha dngn Islam.
Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Mencampurkannya. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti Sekatenan (Syahaadatain), Ruwatan, Sholawatan, Tahlilan, Nujuh Bulanan dll. Sumber: Abdul Qadir Jailani, "Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia", halaman 22-23, Penerbit P. T. Bina Ilmu.
Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Bonang” itu adalah peringatan dari Sunan Bonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta-kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan Bid’ah, sebagai berikut:
“Ee … mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah.”
Artinya: “Wahai saudaraku … Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan Bid’ah.”
Dokumen ini adalah sumber tentang Wali Songo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan otentik, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti independen. Di antaranya thesis dari Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910 , dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.
Demikian.
Siapa di antaramu yang mau meneruskan perjuangan pemurnian pelaksanaan Islaam di Jawa-Nusantara ini?
Lanjutkanlah, jika kau mengaku mengagumi, mengikuti, mencintai Wali Songo. Apalagi jika mengaku mengagumi, mengikuti, mencintai
rosuululloh Muhammad (atau Ahmad) - shollollohu ‘alaihi wa sallam - yang jelas tidak pernah mengajarkan dan melakukan itu semua.
Tinjauan Islaam Dan Ilmu Perbandingan Agama Mengenai ‘Tahlilan’ dan Yang Berkaitan
Dalam agama Hindu ada semacam 'syahadat' keyakinan yang dikenal dengan Panca Sradha (Lima Keyakinan). Lima keyakinan itu meliputi percaya kepada Sang Hyang Widhi, Roh leluhur, Karma Pala, Samskara, dan Moksa. Dalam keyakinan Hindu roh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dari manusia [Kitab Weda Smerti Hal. 99 No. 192].
Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya Samskara (menitis/reinkarnasi). Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi:
“Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu.
Dalam buku media Hindu yang berjudul “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan:
“Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu.”
Di dalam kitab Samawedha Samhita (kitab ajaran umat Hindu) buku satu, bagian satu, hal.20 yang berbunyi:
"Purwacika prataka-prataka pramoredya rsi barawajah medantitisudi purmurti tayurwantara mawaeda dewata agni candra gayatri ayatna agna ayahi withaigrano hamyaditahi liltastasi barnesi agne".
Yang artinya: "Lakukanlah pengorbanan pada orangtuamu dan lakukanlah kirim doa pada orangtuamu di hari pertama (1), ketiga (3), ketujuh (7), empat puluh (40), seratus (100), mendak pisan, mendak pindo".
Di dalam prosesi menuju alam nirwana menghadap ida sang hyang widhi wasa mencapai alam moksa, diperintahkan untuk selamatan atau kirim do’a pada 1 harinya, 2 harinya, 7 harinya, 40 harinya, 100 harinya, mendak pisan, mendak pindho, nyewu (1000 harinya).
Telah jelas bagi kita pada awalnya hitungan hari macam ajaran ini berasal dari agama Hindu, selanjutnya umat islam di pulau Jawa, mulai memasukkan ajaran-ajaran islam dicampur kedalam ritual ini. Menjadi Sinkretisme (pencampur-adukan hal agama), Bid'ah!
Disusunlah rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yaa Siin kepada si mayit dan dipadukan dengan ritual-ritual selamatan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Yang bahkan antara satu buku Yaa Siinan dengan lainnya, sampai ada bermacam-macam versi! Yang dapat pula seenak kehendak, seenak hati si pelakunya. Belum lagi makan-makan dan 'amplopan' mengikutinya. Dan lain-lain.
Di Nusantara, ini tidak dilakukan warga Muhammadiyah (1912) Al Irsyaad (1914), Persis (1923), seluruh atau sebagian besar warga DDII (1967), Hidayatullah (1974), Wahdah Islamiyah (1988), HASMI (2005), Puldapii (2017), dll.
Dan jelas sekali tidak pernah diajarkan, dilakukan rosuululloh Muhammad - shollollohu 'alaihi wa sallam - dan semua Ahlul Baitnya, semua Sahabat Nabi, rodhiyollohu 'anhum. Di masa itu.
Juga tidak dilakukan para Tabi'iin, para Tabi'ut Tabi'iin. Termasuk para Ahlu Bait Nabi yang generasi para murid mereka.
Tidak dilakukan Imaam Yang Empat (Imaam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad bin Hanbal). Tidak dilakukan semua murid Imaam Yang Empat.
Tidak ditemui di masa kerajaan Islaam Daulah Islaamiyyaah Umayyah, Abbasiyyaah, Mamluk, Sholahudin Al Ayyubi, Turki Utsmaniyyaah, dst.
Baru ditemukan di Jawa.
Dan tidak pula dilakukan mayoritas umat Islaam dunia, misalnya di negara Arab Saudi, Oman, Yaman, Qatar, Kuwait, UEA, Mesir, Pakistan, Tajikistan, Turkistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Inggris, Amerika, Jerman, dll.
Maka, tega kah engkau membiarkan masyarakat Jawa tetap demikian?
Keadaan semakin kompleks, karena kaum Jawa ini, dengan 'Kejawaannya' (Kejawennya) sudah menyebar pula, terutama sejak kebijakan Transmigrasi sejak masa Orde Baru. Yang herannya, sebagiannya tetap tak mau belajar. Meneruskan kebiasaan saja! Kebiasaaan bapaknya, ibunya, kakeknya, nenek-moyangnya. Tak perduli bahwa tak ada satu pun dalil yang menjamin kebenaran kebiasaan itu!
Jadi, tega kah engkau membiarkan masyarakat Jawa - dan yang terpengaruh olehnya - tetap demikian?
Sumber: Dari Berbagai Sumber