Tafsir Surat Thaha Ayat-5
5. ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ
ar-raḥmānu ‘alal-‘arsyistawā
5. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.
Tafsir:
Makhluk paling besar yang dapat kita lihat sekarang adalah langit, yang padanya terdapat matahari, rembulan, bintang-bintang, meteor-meteor, planet-planet, dan selainnya. Namun ternyata ada makhluk yang jauh lebih besar dari langit, yaitu Al-Kursiyy, sebagaimana yang Allah ﷻ firmankan,
﴿وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ﴾
“Kursi Allah ﷻ meliputi langit dan bumi.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Dan ternyata masih ada yang lebih besar lagi dari kursi Allah ﷻ, yaitu ‘Arsy Allah ﷻ. Disebutkan dalam sebuah riwayat,
مَا الْكُرْسِيُّ فِي الْعَرْشِ إلَّا كَحَلْقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ أُلْقِيَتْ بَيْن ظَهْرَيْ فَلَاة مِنْ الْأَرْض
“Tidaklah Al-Kursiyy jika dibandingkan dengan ‘Arsy, melainkan hanya bagaikan perbandingan antara gelang besi dengan padang pasir yang tak bertepi.” ([1])
Lalu, bagaimana dengan Allah ﷻ yang menciptakan itu semua?! Tentu Allah ﷻ jauh lebih besar nan agung daripada itu semua.
Dalam ayat ini Allah ﷻ mengatakan bahwa diri-Nya ber-istiwa diatas ‘arsy. Istiwa’ dalam bahasa Arab artinya (عَلَا وَ ارْتَفَعَ, yakni berada di atas sesuatu. Banyak sekali ayat yang menyebutkan bahwa (استوى على) bermakna berada di atas sesuatu. Contohnya firman Allah ﷻ,
﴿وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ﴾
“(bahtera itupun) berlabuh di atas bukit Judi.” (QS. Hud: 44)
Makna ini sangatlah dimaklumi dalam Bahasa Arab. Karenanya Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang istiwa’ Allah ﷻ, beliau pun terdiam dan merasa pertanyaan ini sangat berbahaya, lantas menjawab,
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Istiwa’ (dalam bahasa Arab) diketahui (maknanya, yaitu berada di atas). Adapun bagaimana cara Allah ﷻ beristiwa, maka tidak ada yang tahu. Beriman terhadap Allah ﷻ beristiwa di atas ‘Arsy hukumnya wajib, sedangkan bertanya bagaimana Allah ﷻ ber-istiwa’ adalah bid’ah!” ([2])
Kemudian Imam Malik rahimahullah pun mengusir si penanya tersebut. Kemarahan ini dikarenakan pertanyaan ini tidak masuk akal, karena tidak mungkin seseorang mengetahui bagaimana hakekat sifat Allah ﷻ kecuali jika ia telah mengetahui bagaimana hakekat dzat Allah ﷻ. Sebagaimana kaidah,
الْكَلاَمُ فِي الصِّفَاتِ فَرْعٌ عَنِ الْكَلاَمِ فِي الذَّاتِ
“Pembicaraan tentang bagaimana-nya sifat Allah ﷻ adalah cabang dari pembicaraan bagaimana-nya dzat Allah ﷻ.” ([3])
Kalau kita tahu bagaimana dzat, kita akan tahu bagaimana sifat dzat tersebut. Tapi kalau tidak tahu bagaimana dzat tertentu, maka kita tidak tahu pula bagaimana sifatnya.
Kita meyakini bahwa Allah ﷻ memiliki tangan. Jika ada orang yang bertanya, “Bagaimana tangan Allah ﷻ?” Maka kita tanyakan kembali kepadanya, “Bagaimana dzat Allah ﷻ? Apakah kamu tahu bagaimana Dzat Allah ﷻ? Kalau kamu tahu bagaimana dzat Allah ﷻ maka kamu akan tahu bagaimana tangan-Nya. Karena kamu tidak tahu bagaimana dzat Allah ﷻ maka kamu tidak akan tahu bagaimana tangan Allah ﷻ.”
Untuk mengetahui bagaimana istiwa’ Allah ﷻ di atas ‘Arsy, maka,
Pertama: Anda harus tahu bagaimana dzat Allah ﷻ terlebih dahulu, kemudian…
Kedua: Anda harus tahu bagaimana hakekat ‘Arsy.
Karena kedua poin di atas tidaklah kita ketahui, maka sikap ahlussunah adalah beriman bahwa Allah ﷻ beristiwa di atas ‘arsy, tanpa sibuk bertanya-tanya tentang bagaimana hakekat istiwa’ tersebut.
Sikap ini berbeda dengan sikap sebagian ahlul bid’ah atau sebagian ulama yang tergelincir dalam hal ini, yang mengatakan bahwa (الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ) berarti Allah ﷻ menguasai ‘Arsy.
Terkait penafsiran ala mereka itu, mari kita simak firman Allah ﷻ,
﴿ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ﴾
“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-Hadid: 4)
Mari kita tanyakan kepada mereka, jika ayat di atas maknanya adalah “kemudian Allah ﷻ menguasai ‘Arsy”, berarti sebelum itu ‘Arsy berada di bawah kekuasaan sesuatu selain Allah ﷻ, apakah benar begitu? Jika iya, siapa atau apakah sesuatu tersebut?
Saudaraku, nalar manusia sangatlah terbatas kemampuannya. Sadarilah itu, agar jangan sampai ketika akal kita tidak bisa memahami sebuah ayat, lantas kita menolak ayat tersebut, atau kita takwilkan dengan makna yang menurut kita masuk akal, padahal sejatinya ia adalah makna yang salah.
Baca juga:
______
Footnote
([1]) HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Al-‘Arsy, 58; Tafsir Ath-Thabariy, 3/3/10; Tafsir Ibnu Katsir, 1:317, Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifat, 510. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Al-‘Uluw, hlm. 130 dan Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1:173
([2]) Al-‘Arsy karya Adz-Dzahabi 1/214
([3]) Syarhu Al-Fatwa Al-Hamawiyyah 16/1
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/