Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Ada dikenal hak khiyar, yaitu ingin lanjut atau batal dalam akad jual beli. Berikut keterangannya dalam matan taqrib.
Al-Qadhi Abu Syuja rahimahullah menyebutkan dalam Matan Taqrib sebagai berikut,
أَحْكَامُ الخِيَارِ:
وَ المُتَبَايِعَانِ بِالخِيَاِر مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَلَهُمَا أَنْ يَشْتَرِطَا الخِيَارَ إِلَى ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَ إِذَا وُجِدَ بِالمَبِيْعِ عَيْبٌ فَلِلْمُشْتَرِي رَدُّهُ وَلاَ يَجُوْزُ بَيْعُ الثَّمَرَةِ مُطْلَقاً إِلاَّ بَعْدَ بُدُوِّ صَلاَحِهَا وَلاَ بَيْعُ مَا فِيْهِ الرِّبَا بِجِنْسِهِ رَطْباً إِلاَّ اللَّبَنَ.
Penjual dan pembeli berhak memilih (khiyar) sebelum keduanya berpisah. Keduanya boleh mensyaratkan khiyar selama tiga hari. Jika barang yang dibeli tersebut mengandung cacat, maka pembeli boleh mengembalikannya.
Tidak boleh menjual buah-buahan secara mutlak kecuali setelah tampak kematangannya. Tidak boleh melakukan jual beli sesuatu yang mengandung riba dengan sejenisnya dalam keadaan basah, kecuali menjual susu.
Penjelasan:
Khiyar adalah antara meneruskan atau membatalkan suatu akad.
Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، وَكَانَا جَمِيعًا ، أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ ، فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ ، وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا ، وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ ، فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
“Jika dua orang melakukan jual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki hak khiyar selama belum berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lain. Maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut, sudah (terjadi) jual beli. Bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak meninggalkan jual beli maka telah terjadi jual beli.” (HR. Bukhari no. 2112 dan Muslim no. 1531)
Ada beberapa macam hak khiyar, yaitu:
Pertama: Khiyar majelis, yaitu khiyar dalam setiap akad jual beli, termasuk akad salam (akad pesan). Bentuk khiyar majelis menjadi terputus dengan:
Berpisahnya badan dari majelis antara orang yang berakad.
Memilih agar akad menjadi lazim (akad menjadi diteruskan). Namun, jika salah satu pihak saja yang memilih akad lazim, maka hak khiyar gugur darinya, sedangkan yang lain tetap ada.
Kedua: Khiyar syarat, hal ini terkait barang dagangan. Khiyarnya berlaku selama tiga hari. Tiga hari tersebut dihitung dari waktu akad, bukan dari waktu berpisah. Akad ini menjadi batal jika:
- Lebih dari tiga hari.
- Barang dagangan menjadi rusak dalam waktu yang disyaratkan.
Ketiga: Khiyar aib, yaitu adanya aib yang diterima sebelum menerima di mana aib tersebut dapat mengurangi harga barang atau bentuk barang tidak sebagaimana mestinya, maka pembeli bisa mengembalikan barang tersebut.
Kaidah:
Setiap aib yang mengharuskan mengembalikan barang kepada penjual akhirnya menjadi batal untuk dikembalikan jika terjadi kerusakan di tangan pembeli.
Boleh mengembalikan barang dengan syarat:
Aib itu sudah ada sebelumnya di tangan penjual atau aib terjadi sebelum qabdh (serah terima).
Umumnya barang semacam itu selamat dari aib.
Barang tidak dipakai karena bisa jadi barang itu rusak di tangan pembeli.
Pembeli segera memberitahukannya kepada penjual.
Kaidah:
Sebelum qabdh (serah terima), barang itu menjadi dhaman (jaminan) dari penjual. Setelah qabdh (serah terima), barang itu menjadi dhaman (jaminan) dari pembeli.
Syarat sebagian penjual: Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi
Jika penjual memberikan syarat bahwa barang yang dijual ini selamat dari aib sehingga pembeli tidak boleh mengembalikan barang yang sudah dibeli karena sebab aib, hal ini dirinci menjadi dua:
Jika barang yang dijual adalah hewan, maka asalnya tidak ada aib, syarat seperti itu dibenarkan.
Jika barang yang dijual adalah bukan hewan, maka syarat tersebut adalah syarat yang batil, syarat tersebut tidak memiliki pengaruh. Pembeli berhak mengembalikan barang tersebut dan tidak berlaku yang dipersyaratkan oleh penjual.
Tidak Boleh Menjual Buah Sampai Tampak Matang
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا نَهَى البَائِعَ والمشْتَرِي
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli buah-buah sampai tampak matangnya. Hal ini dilarang bagi penjual dan pembeli.” (HR. Bukhari, no. 1486 dan Abu Daud, no. 3367. Lafaznya adalah dari Abu Daud).
Hal ini dilarang karena adanya gharar dan pengelabuan. Biji-bijian dan buah-buahan tersebut harus tampak jelas karena nantinya menjual barang yang ghaib yang tidak bisa dilihat, yang tidak diketahui sifatnya, timbangannya, dan kematangannya. Karena yang nantinya akan merugi adalah si pembeli.
Kaidah:
Boleh menjual pohon berisi buah-buahan tanpa ada syarat karena buah-buahan menjadi ikutan dari pohon.
Tidak Boleh Menjual Barang Ribawi yang Dalam Keadaan Basah Kecuali untuk Susu
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ . وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً ، وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muzabanah. Yang dimaksud muzabanah adalah seseorang membeli buah (yang masih di pohon) ditukar dengan kurma yang sudah dikilo atau membeli anggur yang masih di pohon ditukar dengan anggur yang sudah dikilo” (HR. Bukhari no. 2185 dan Muslim no. 1542).
Muhaqolah adalah jual beli dengan menukar gandum yang ada pada mayang (bulir) dengan gandum yang bersih hanya dengan mentaksir. Jika hal ini terjadi pada gandum, maka terdapat riba karena dalam tukar menukar gandum dengan gandum harus diketahui takaran yang sama.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muhaqolah dan muzabanah” (HR. Bukhari no. 2187 dan Muslim no. 1536).
Namun ada bentuk jual beli yang dibolehkan padahal semisal dengan muzabanah dan muhaqolah yaitu yang dikenal dengan jual beli ‘aroya. ‘Aroya adalah menukar kurma basah dengan kurma kering di saat ada hajat (butuh). Ibnu Hajar berkata,
لَا تَجُوزُ الْعَرِيَّة إِلَّا لِحَاجَةِ صَاحِبِ الْحَائِطِ إِلَى الْبَيْعِ أَوْ لِحَاجَةِ الْمُشْتَرِي إِلَى الرُّطَبِ
“Tidak boleh melakukan transaksi ‘aroya kecuali dalam keadaan hajat yaitu si penjual sangat butuh untuk menjual atau si pembeli sangat butuh untuk mendapatkan kurma basah” (Fathul Bari, 4: 393).
Referensi:
Diambil dari Fathul Qarib, Al-Imta’ bi Syarh Matn Abu Syuja’, dan Tashilul Intifa’ bi Matan Abi Syuja’ wa Syai’ Mimma Tata’allaq bihi Min Dalil wa Ijma’
Sumber: https://rumaysho.com/