Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepadaNya, serta menyari’atkan kepada mereka apa yang menjadi kebijaksanaanNya supaya membalas mereka terhadap apa yang telah mereka lakukan. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata yang tiada sekutu baginya. Dia memiliki kekuasaan dan pujian, serta Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, yang diutus kepada manusia dan jin untuk memberi kabar gembira dan peringatan. Semoga shalawat dan salam sebanyak-banyaknya terlimpah atasnya, keluarganya, para sahabatnya dan siapa yang mengikuti mereka dengan baik.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kukuh” [Adz-Dzariyat/51 : 56-58]
Jin adalah alam ghaib yang diciptakan dari api, dan mereka diciptakan sebelum penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ﴿٢٦﴾ وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ
“Dan sesungguhnya Kami telah meciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas” [Al-Hijr/15 ; 26-27]
Mereka diberi tugas. Perintah dan larangan Allah ditujukan kepada mereka. Di antara mereka ada yang taat dan di antara mereka ada yang bermaksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka.
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ ۖ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَٰئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا ﴿١٤﴾ وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam” [Al-Jinn/72 : 14-15]
Dia berfirman.
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَٰلِكَ ۖ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan diantara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda”[Jinn/72 : 11]
Yakni, golongan dan hawa nafsu yang bermacam-macam, sebagaimana yang berlaku pada manusia. Yang kafir di antara mereka akan masuk neraka menurut ijma’ sedangkan yang mukmin akan masuk surga sebagaimana manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ ﴿٤٦﴾ فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Dan bagi orang yang takut saat menghadap Rabbnya ada dua surga. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan” [Ar-Rahman/55 : 46-47]
Kezaliman antara mereka dengan manusia diharamkan, sebagaimana kezhaliman di antara manusia, berdasarkan firman Allah dalam hadits qudsi.
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezhaliman atas diriKu dan Aku menjadikannya di antara kalian sebagai keharaman, maka janganlah saling menzhalimi”[1][HR Muslim]
Meskipun demikian, mereka kadangkala berbuat zhalim kepada manusia. Demikian pula manusia kadangkala berbuat zahalim kepada mereka. Di antara kezhaliman manusia terhadap mereka ialah bersitinjak dengan tulang atau kotoran. Dalam Shahih Muslim dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa jin meminta perbekalan kapada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda.
لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِى أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا وَكُلُّ بَعَرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ
“Untuk kalian ialah segala tulang yang disebutkan nama Allah atasnya yang jatuh di tangan kalian yang masih ada dagingnya, dan semua kotoran untuk makanan hewan ternak kalian”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
فَلاَ تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا طَعَامُ إِخْوَانِكُمْ
“Oleh karenanya, janganlah bersitinjak dengan keduanya. Sebab, keduanya adalah makanan saudara-saudara kalian” [2]
Di antara permusuhan jin terhadap manusia ialah mereka menguasai manusia dengan was-was yang mereka masukkan dalam hatinya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan supaya berlindung dari hal itu seraya berfirman.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ﴿١﴾مَلِكِ النَّاسِ﴿٢﴾إِلَٰهِ النَّاسِ﴿٣﴾مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ﴿٤﴾الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ﴿٥﴾مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
“Katakanlah, Aku berlindung kepada Rabb manusia, Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia” [An-Nas/114 : 1-6]
Allah menyebutkan jin di awal, karena was-was mereka ini sangat besar, dan sampainya mereka kepada manusia itu sangat tersembunyi.
Jika kamu bertanya, “Bagaimana mereka sampai kepada dada manusia dan membisiki di dalamnya?”
Maka, dengarlah jawaban dari Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda kepada dua orang Anshar.
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ ، وَإِنِّى خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِى قُلُوبِكُمَا سُوءًا – أَوْ قَالَ – شَيْئًا
“Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia lewat aliran darah, dan aku khawatir ia akan melemparkan keburukan dalam hatimu atau mengatakan sesuatu” [3]
Dalam sebuah riwayat : “Ia sampai pada manusia lewat aliran darah” [4]
Di antara kezhaliman jin kepada manusia ialah mereka menakut-nakuti mereka dan memasukkan rasa takut dalam hati mereka, terutama ketika manusia berlindung kepada mereka dan meminta perlindungan kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” [Al-Jinn/72 : 6]
Yakni, takut dan segan
Di antara kezhaliman jin terhadap manusia ialah jin menggulat manusia dan menghempaskannya serta membiarkannya terguncang hingga pingsan. Adakalanya jin menggiringnya kepada perkara yang membuat kebinasaannya seperti melemparkannya dalam lobang, air yang membuatnya tenggelam, atau api yang membakarnya. Allah menyerupakan pemakan riba, ketika mereka bangkit dari kubur mereka, dengan orang yang terkena penyakit gila karena kerasukan setan. Allah Subhanahu wa Ta’ala.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” [Al-Baqarah/2 : 275]
Ibnu Jarir berkata, “Setanlah yang merasukinya lalu mebuatnya menjadi gila”. Ibnu Katsir berkata, “Tidak lain seperti orang yang terkena penyakit gila ketika gila dan setan merasukinya”. Al-Baghawi berkata, “Setan merasukinya, yakni membuatnya menjadi gila”. Artinya, orang yang makan riba akan dibangkitkan pada hari Kiamat seperti orang gila (karena kerasukan setan)”.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Ya’la bin Murrah Radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa anaknya yang kerasukan jin. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada jin yang berada dalam tubuh anak itu).
‘Keluarlah, wahai musuh Allah. Aku adalah Rasulullah”
Lalu, kata perawi, anak itu sembuh, lantas ibunya menghadiahkan kepada Nabi dua ekor domba dan keju serta minyak samin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil keju dan samin serta seekor domba, dan mengembalikan seekor domba lainnya kepadanya [5]. Sanadnya dapat dipercaya. Ia mempunyai beberapa jalan periwayatan, yang dinyatakan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah”. Ini adalah jalan-jalan periwayatan yang baik dan banyak, yang memberikan praduga yang kuat atau kepastian bagi kalangan berilmu bahwa Ya’la bin Murrah menceritakan kisah ini pada umumnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang cemerlang, berkata dalam kitabnya, Zad Al-Ma’ad, 4/66. “Gila itu ada dua macam, gila karena ruh jahat yang ada di bumi, dan gila karena stress. Yang kedua inilah yang dibicarakan oleh para dokter jiwa tentang sebabnya dan penyembuhannya. Adapun kegilaan karena roh jahat maka para tokoh kedokteran dan cendekiawan mengakuinya dan tidak menolaknya. Adapun para dokter yang bodoh dan peringkat bawah serta meyakini kezindikan sebagai keutamaan, maka mereka mengingkari penyakit gila karena roh jahat. Mereka tidak mengetahui bahwa roh tersebut dapat berpengaruh dalam tubuh orang yang terkena penyakit gila. Tiada yang menyertai mereka kecuali kebodohan. Jika tidak, maka tidak ada dalam aktifitas kedokteran yang menolak hal itu, dan kenyataannya membuktikannya. Barangsiapa mempunyai akal dan pengetahuan tentang ruh-ruh ini dan pengaruh-pengaruhnya, maka ia akan mentertawakan kebodohan mereka dan kelemahan akal mereka.
Wahai manusia, untuk terbebas dari penyakit gila jenis ini ada dua perkara : membentengi dan menyembuhkan.
Untuk membentengi ialah dengan membaca wirid-wirid yang disyariatkan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dengan kekuatan jiwa dan tidak mengikuti was-was dan khayalan yang tiada hakikatnya. Sebab, mengikuti was-was dan praduga dapat menyebabkan praduga dan was-was ini semakin membesar hingga menjadi kenyataan.
Adapun penyembuhannya, yakni menyembuhkan penyakit gila karena ruh jahat, para tokoh kedokteran mengakui bahwa resep-resep kedokteran tidak berpengaruh padanya. Penyembuhannya ialah dengan doa-doa, bacaan Al-Qur’an dan nasehat. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah biasanya mengobati dengan bacaan ayat Kursi dan Mu’awwidzatain, serta acapkali membaca di telinga orang yang terkena penyakit gila tersebut.
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dkembalikan kepada Kami” [Al-Mu’minun/23 : 115]
Muridnya, Ibnul Qayyim mengatakan, “Beliau bercerita kepada kami bahwa beliau suatu kali membaca ayat ini di telinga orang yang terkena penyakit gila, lalu ruh jahat itu mengatakan, “Ya” seraya melengkingkan suaranya dengannya. Beliau mengatakan, ‘Lalu aku mengambil tongkat untuknya dan memukulnya dengannya pada urat lehernya hingga tanganku capek karena memukulnya’. Ketika itulah ia mengatakan, ‘Aku menyukainya’. Aku katakan, ‘Dia tidak menyukaimu’. Ia mengatakan, ‘Aku ingin berhaji dengannya.’ Aku katakan kepadanya.’ Ia tidak ingin berhaji bersamamu’. Ia mengatakan, ‘Aku meninggalkannya karena menghormatimu.’ Aku katakan, “Tidak, tetapi karena mentaati Allah dan Rasulnya.’ Ia mengatakan, ‘Kalau begitu aku keluar.’ Lalu orang yang terkena penyakit gila itu duduk sambil melihat ke kanan dan ke kiri seraya mengatakan, ‘Apa yang membawaku kepada Syaikh yang mulia ini”. Demikianlah pernyataan Ibnu Al-Qayyim rahimahullah dari Syaikhnya.
Ibnu Muflih, salah seorang murid Syaikhul Islam juga, mengatakan dalam kitabnya, Al-Furru’, ‘Syaikh kami apabila datang kepada orang yang terkena penyakit gila (lantaran ganguan jin), maka beliau menasihati jin yang membuatnya menjadi gila, memerintahkan dan melarangnya. Jika ia berhenti dan berpisah dengan orang dirasukinya, maka beliau meminta janjinya untuk tidak kembali lagi. Jika ia tidak patuh, tidak berhenti dan tidak terpisah, maka beliau memukulnya hingga meninggalkannya. Pukulan ini secara lahiriahnya pada orang yang terkena penyakit gila, tetapi pada hakikatnya memukul jin yang membuatnya gila”
Imam Ahmad mengutus seseorang kepada orang yang gila, lalu jin yang merasukinya itu meninggalkannya. Ketika Ahmad meninggal, jin tersebut kembali kepada orang tesebut.
Dengan ini jelaslah bahwa gangguan jin kepada manusia itu nyata berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta fakta. Ini diingkari oleh Mu’tazilah. Sekiranya bukan karena akibat yang ditimbulkan seputar masalah ini berupa kekacauan dan perdebatan yang menyebabkan Kitab Allah dijadikan sebagai argumen atas pengertian-pengertian imajinatif yang tiada hakikatnya, dan sekiranya pengingkaran ini tidak berkonsekuensi mendungukan para imam dan ulama kita dari Ahlus Sunnah, atau mendustakan mereka, niscaya saya katakan, “Seandainya bukan karena ini dan itu, maka saya tidak berbicara mengenai masalah ini. Karena masalah ini merupakan perkara-perkara yang telah diketahui secara inderawi dan bisa disaksikan. Apa yang sudah nyata dengan indera dan dapat disaksikan, tidak perlu kepada dalil. Karena perkara-perkara yang inderawi adalah bukti itu sendiri, dan mengingkarinya adalah kecongkakan. Oleh karena itu, janganlah menipu diri kalian sendiri dan jangan tergesa-gesa. Berlindunglah kepada Allah dari keburukan makhlukNya dari jin dan manusia. Memohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepadaNya, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Menerima taubat lagi Maha penyayang.
[Fatawa Al-Aqidah, Ibnu Utsaimin, hal. 323-328]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
______
Footnote
[1]. HR Muslim, no. 2577, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah
[2]. HR Muslim, no. 450, kitab Ash-Shalah
[3]. HR Al-Bukhari, no. 2038, kitab Al-I’tikaf, Muslim, no. 2175, kitab As-Salam
[4]. HR Al-Bukhari, no. 2035, kitab Al-I’tikaf, dan Muslim, no. 2175, kitab As-Salam
[5]. HR Ahmad dalam Al-Musnad, no. 17098-17113, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/617, 618 dan menilainya sebagai shahih, disetujui oleh Adz-Dzahabi dan dinilai baik oleh Al-Mundziri
Sumber: https://almanhaj.or.id/