Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?“ (QS. Al-Qamar:17).
Allah memudahkan lafazhnya untuk dibaca dan maknanya untuk dipahami. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتبِهَاتٌ
“Sesungguhnya perkara halal itu sudah jelas dan perkara haram itu sudah jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar”. (Muttafaqun ‘alaih).
Oleh karena itu, kebatilan hanya laku pada orang yang tidak memiliki ilmu dan ma’rifah sama sekali, dan tidak memiliki perhatian terhadap nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah serta ucapan-ucapan Sahabat dan Tabi’in.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Sesungguhnya muncul penentangan orang yang menentang, dikarenakan kedangkalan ilmu mereka terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. (I’lamul Muwaqqi’in 1/44).
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “dan tidaklah kamu mendapati seseorang yang terjerumus dalam bid’ah kecuali karena ia kurang mengikuti petunjuk Sunnah dalam aspek pengetahuan dan pengamalannya” (Syarhu Hadits ‘Laa Yazni az-Zani’ hlm.35).
Ya Allah, tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan kepada mereka, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat.
BANYAK BELUM TENTU BENAR
Parameter kebenaran bukanlah berdasarkan kuantitas, banyak atau sedikit. Akan tetapi, “kebenaran itu (disebut kebenaran) tatkala sesuai dengan dalil (al-Qur`an dan Hadits shahih dengan bertumpu pada pemahaman Salaful ummah) tanpa perlu menengok banyaknya orang yang menerima atau minimnya penolakan orang. Antipati manusia atau respon positif mereka tidak otomatis menunjukkan kebenaran atau penyimpangan satu pendapat. Tiap pendapat dan perbuatan haruslah berdasarkan dalil (yang shahih) kecuali pendapat (ucapan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , karena ucapan beliau sudah menjadi hujjah (dasar, dalil)”. (Lihat Manhajul Istidlâl 2/695).
Allâh Ta’âla telah mengabarkan tentang umat terdahulu bahwa kaum minoritas bisa saja berada di atas al-haq. Allâh Ta’âla berfirman:
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS Hûd/11:40).
Maka, siapa saja berada di atas al-haq yang berlandaskan dalil yang shahih dan lurus, berkomitmen kuat dengannya dalam ucapan, perbuatan, keyakinan, meskipun ia sendirian, dialah orang yang benar dan lurus, dan selanjutnya pantas diikuti oleh orang lain.
Bahkan, seandainya pun tidak ada seorang pun yang berpegang teguh dengan al-haq, selama itu merupakan kebenaran, tetaplah merupakan kebenaran dan menjadi sumber keselamatan. (Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah hlm. 61).
Apabila kebanyakan orang hanyut dalam kebatilan dengan melanggar syariat, tidak konsisten dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalla yang diutus untuk menyampaikan ilmu dan hidayah kepada semua manusia, mengadakan hal-hal baru dalam agama Islam yang tidak ada dasarnya yang jelas dan tidak pernah dikenal oleh generasi terbaik umat Islam, dalam kondisi demikian, pendapat mereka harus ditolak dan tidak boleh terpedaya dengan jumlah mereka yang ada di mana-mana.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga telah menggariskan pesan pentingnya, “Janganlah engkau (mudah) tertipu dengan apa yang mengelabui orang-orang jahil. Mereka itu mengatakan, ‘Jika orang-orang itu (yang berada di atas al-haq) betul-betul di atas kebenaran, mestinya jumlah mereka tidak akan sedikit. Sementara manusia lebih banyak yang tidak sejalan dengan mereka’. Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang (yang berada di atas al-haq) itulah manusia (sebenarnya). Sedang orang-orang yang bertentangan dengan mereka hanyalah serupa dengan manusia, bukan manusia. Manusia (sebenarnya) hanyalah orang-orang yang mengikuti al-haq meskipun mereka berjumlah paling sedikit”. (Miftâhu Dâris Sa’âdah 1/147).
Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
لاَ يَكُنْ أَحُدُكُمْ إِمَّعَةً يَقُوْلُ: “أَنَا مَعَ النَّاسِ”. لِيُوَطِّنَ أَحَدُكُمْ عَلَى أَنْ يُؤْمِنَ وَلَوْ كَفَرَ النَّاسُ
“Janganlah seseorang dari kalian menjadi latah (dengan) mengatakan, ‘Aku bergabung dengan (arus) manusia (saja)’. Hendaknya ia melatih diri untuk beriman walaupun orang-orang telah kafir”.
Maka, bertolak dari nasehat berharga di atas, mari kita tanamkan pada diri kita, “Hendaknya kita melatih diri (dan berusaha keras) untuk berkomitmen dengan petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun banyak orang telah meremehkan, mengabaikan petunjuk beliau dan mengadakan hal-hal baru dalam Islam “.
Semoga Allâh Ta’âla memberikan hidayah, rasyâd dan taufik-Nya kepada kita semua.
Penulis: Ustadz Muhammad Ashim Musthafa, Lc.
Sumber: https://muslim.or.id/