Type Here to Get Search Results !

 


KAPAN RIYA' DAN SUM'AH MENJADI SYIRIK BESAR?


Oleh Muhammad Halid Syar'i

Beramal dengan ikhlas merupakan suatu hal yang selalu dituntut oleh Allah Ta’ala. Hal ini karena sebuah amal harus bersih dari riya’ atau sum’ah.

Sum’ah merupakan perbuatan menonjolkan ibadah agar didengar oleh orang atau menyebutkan amal yang dikerjakan agar orang-orang memujinya. Seperti seseorang yang melakukan suatu amalan di malam hari, lalu di pagi atau siang harinya, dia ceritakan kepada teman-temannya.

Jadi, perbedaan antara riya’ dengan sum’ah adalah bahwa riya’ itu berkaitan dengan ibadah yang ingin diliat orang. Adapun sum’ah berkaitan dengan ibadah yang ingin didengarkan orang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

“Siapa yang memperdengarkan amalanya (kepada orang lain), Allah akan memperdengarkan (bahwa amal tersebut bukan untuk Allah). Dan siapa saja yang ingin mempertontonkan amalnya, maka Allah akan mempertontonkan aibnya (bahwa amalan tersebut bukan untuk Allah). (HR. Bukhari)

Dan dua penyakit tersebut dihukumi syirik kecil. Sebagaiamana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ ” قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ” الرِّيَاءُ،

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil.”

Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?”

Rasulullah menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad)

Lalu, kapan dua syirik kecil ini dapat menjadi syirik besar?

Yaitu dengan tiga hal,

Pertama, jika dia tidak akan pernah melakukan ibadah, kecuali dengan praktek riya. atau sum’ah. Dia sembunyikan kufurnya, dan dia perlihatkan imannya. Ini yang dikatakan riya’ murni, tidak terbayangkan ada pada seseorang yang mempunyai iman melakukannya, karena riya atau sum’ah murni ini biasanya dipraktekan oleh para munafik.

Kedua, mayoritas amalannya berjalan di atas riya atau sum’ah.

Ketiga, keinginan pelaku dalam amalannya adalah dunia, tidak pernah mengharapkan wajah Allah atau balasan di akhirat.

Semoga Allah membebaskan kita dari syirik besar dan kecil.

Penulis: Muhammad Halid Syarie, Lc.

____

Referensi:

Al-Mufid fii Muhimmati Tauhid, karya Dr. Abdul Qadir bin Muhammad Ato Sufi.


Sejatinya, telah kita ketahui bersama bahwa syarat diterimanya amalan ialah ikhlas dan mengikuti petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (mutaba’ah). Ikhlas yaitu bahwasanya amalan tersebut dilakukan murni karena mengharap wajah Allah, dan mutaba’ah yaitu amalan tersebut sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhlas dalam beramal merupakan bentuk dari niat yang benar, karena niat merupakan penentu dari amal perbuatan seseorang. Amal perbuatan akan menjadi baik atau rusak, diterima atau ditolak, diberi pahala atau tidak diberi pahala, tergantung dari niatnya (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam hal 65). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya : amal perbuatan itu tergantung pada niatnya (H.R. Bukhari dan Muslim, tercantum sebagai hadits pertama di Arbain An Nawawi).

Pentingnya niat beserta fungsinya

Niat itu sangat penting, sampai-sampai Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Saya menganjurkan bagi setiap orang yang mengerjakan ibadah seperti shalat, puasa, sedekah atau berbagai jenis kebaikan lainnya untuk mendahulukan niat dalam aktivitas ibadah tersebut. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam hal 64).

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada wajah dan harta kalian tetapi dia memandang kepada hati dan perbuatan kalian.” (H.R. Muslim).

Maksud dari perkataan memandang hati di sini ialah memandang niat kalian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa memperbaiki hati atau niat lebih didahulukan daripada memperhatikan amalan fisik atau lahiriyyah.

Niat menurut para ulama memiliki beberapa fungsi yaitu:
  •     Sebagai pembeda ibadah satu dengan ibadah yang lainnya.
Semisal niat untuk membedakan shalat Zhuhur dari shalat Ashar. Shalat Zhuhur dan Shalat Ashar keduanya berjumlah 4 rokaat dan secara zhahir tidak ada perbedaan dalam gerakannya. Namun yang menjadi pembeda ialah niatnya.
  •     Sebagai pembeda antara amal yang baik dengan yang buruk
Dengan adanya niat, maka akan jelas tujuan dari dilakukannya amal perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu, “Setiap orang hanya akan memperoleh apa yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Maksudnya, seseorang tidak memperoleh dari amal perbuatannya kecuali sesuai dengan apa yang ia niatkan. Bila ia meniatkan untuk kebaikan maka dia akan memperoleh kebaikan dan bila ia meniatkan untuk keburukan, maka dia akan memperoleh keburukan juga.
  •     Sebagai sarana untuk mendapat pahala.
Sejatinya suatu amalan tidak mungkin ada kecuali dengan niat. Amalan-amalan dunia seperti makan, minum, mandi, dan lainnya bila diniatkan untuk akhirat maka akan bernilai pahala. Adapun bila hanya dilakukan atas dasar kebiasaan saja maka tidak ada pahala di dalamnya. Begitu pula untuk amalan-amalan akhirat. Bila amalan-amalan ibadah diniatkan bukan untuk ibadah maka tidak ada ada pahala atau nilai ibadah di dalamnya, bahkan justru bisa mendapatkan dosa.

Pentingnya ikhlas

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi seseorang yang mana kemudian ia berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang karena mengharap pahala dan pujian, apakah yang didapatkannya?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia tidak mendapatkan apapun”, beliau pun mengulanginya sebanyak tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Dia tidak mendapatkan apapun”. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali yang ikhlas dan mengharapkan wajah Allah” (H.R. An Nasai, Syaikh Al Albani menyebutkan dalam ash shahihah 52 : isnadnya hasan.)

Pada hadits ini, yang menjadi poin penting ialah hendaknya seseorang tidak mengharapkan dunia sepenuhnya, melainkan seseorang tersebut juga mengharapkan pahala. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa orang yang ditanyakan tersebut tidak mendapatkan apapun, yang kemudian dapat disimpulkan bahwa amalan jihad orang tersebut tidak diterima. Hal ini berarti seseorang harus benar-benar ikhlas dalam beramal untuk dapat diterima oleh Allah Ta’ala.

Ibnul Qayyim rahimahullahu memberikan perumpamaan yang indah tentang manisnya ikhlas dan tauhid, baik di dunia maupun di akhirat, “Ikhlas dan tauhid seperti pohon yang mengakar di dalam hati, sementara cabangnya merupakan amalan, dan buahnya ialah kebaikan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat. Sebagaimana buah di surga yang tidak akan terputus atau tidak akan berhenti, dan tidak ada seorangpun yang akan terhalang darinya, begitu pula buah dari tauhid dan ikhlas di dunia. Adapun syirik, dusta, dan riya` ialah seperti pohon yang mengakar di daam hati, buahnya di dunia merupakan rasa takut, sedih, khawatir, dan sempitnya dada, serta gelapnya hati.  Sementara di akhirat buahnya ialah zaqqum dan azab yang abadi.” (Al Fawaid hal. 164).

Ikhlas juga dapat menjadi penyebab seseorang untuk menghindari dosa dan maksiat. Hal ini sesuai firman Allah di dalam Surat Yusuf ayat ke-24 (yang artinya), “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda dari Rabbnya. Demikianlah agar kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba yang mukhlis (ikhlas)”.

Di dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala memalingkan Nabi Yusuf ‘alaihis salam dari perbuatan buruk dan keji, karena ia termasuk hamba-hamba Allah yang ikhlas. Ikhlas juga dapat melindungi pelakunya dari masuk neraka berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang bersaksi tidak ada ilah selain Allah, secara ikhlas dan yakin dari hatinya, niscaya ia tidak akan masuk  neraka.” (H.R. Ahmad, dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani).

Apakah mengharap pahala atau surga atau balasan akhirat lainnya dapat mencacati keikhlasan? 

Sebagian orang berpendapat bahwa ikhlas berarti tidak boleh mengharap pahala atau surga dari Allah Ta’ala. Mereka beralasan apabila seseorang beribadah dengan mengharap balasan di akhirat, maka hal itu dapat mencacati keikhlasannya.

Hal ini tentu tidak benar, dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami sendiri memohon surga (atau berlindung dari neraka-penj)” (H.R. Abu Daud).

Oleh karena itu, mengharapkan  balasan yang telah dijanjikan oleh Allah tidak mengapa. Dikarenakan yang namanya ikhlas ialah seseorang beramal dengan mengharap segala apa yang ada disisi Allah.

Bahaya riya` dan sum’ah

Riya` maksudnya ialah menampakkan ibadah dengan tujuan untuk dilihat oleh manusia agar dipuji. Sementara itu, sum’ah kurang lebih sama dengan riya`, yaitu memperdegarkan amalnya untuk didengar oleh manusia dan dipuji. Kedua perilaku ini sangat berbahaya, selain menyebabkan amal tidak diterima oleh Allah Ta’ala, juga kedua perilaku ini termasuk ke dalam syirik, yang mana syirik merupakan dosa yang paling besar dari dosa-dosa besar lainnya.  (Fathul Majid).

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… Barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan dicampuri perbuatan syirik kepada-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima) amal syiriknya itu.” (H.R. Muslim).

Perilaku riya dan sum’ah ini juga merupakan perilaku orang munafik. Hal ini sesuai dengan firman Allah di Surah An Nisa ayat 142 (yang artinya), “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”.

Bahaya riya` dan sum’ah yang lainnya adalah terhapusnya amal shalih. Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam Surah Al Baqarah ayat 264 (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunujuk kepada orang-orang kafir.”

Kiat kiat untuk ikhlas dalam beramal

Beberapa kiat yang dapat membantu untuk ikhlas:
  1.     Banyak berdoa kepada Allah agar diberikan keikhlasan oleh Allah.
  2.     Berusaha untuk menyembunyikan amal kebaikan.
  3.     Tidak merasa amalnya besar, namun memandang kecil amalnya tersebut.
  4.     Selalu merasa takut apabila amalnya tidak diterima.
  5.     Tidak mempedulikan perkataan orang lain, dan menyadari bahwasanya manusia bukanlah pemilik surga atau neraka.
Demikianlah pembahasan mengenai keikhlasan yang semoga dapat menambah keikhlasan kita kepada Allah Ta’ala.

Ziyadah

Berkata Al Hafizh Abu Hasan Thahir bin Mufawwiz Al Muafiri Al Andalusi:

“Pilar agama bagi kami ada empat kalimat dari perkataan sebaik baik manusia: Jauhi syubhat, bersikap zuhud, tinggalkan yang tidak bermanfaat, dan beramal dengan niat.”

Penulis : David Erlangga C. (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Murajaagh : Ustaz Abu Salman, B.I.S.

Tags