Type Here to Get Search Results !

 


HAKIKAT KEHIDUPAN DUNIA

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Kita tahu bahwasanya dunia ini hanyalah tempat persinggahan, dan kita sebagai manusia hakikatnya adalah seorang musafir yang sedang berjalan menuju pertemuan dengan pencipta kita Rabb al-‘Alamin. Kita akan menempuh berbagai macam fase kehidupan. Kita telah menempuh fase janin, dan kita saat ini berada pada fase yang kedua yaitu fase kehidupan dunia. Setelah itu, kita akan masuk pada fase ketiga yaitu fase alam barzakh, yang entah berapa lama kita akan berada di fase tersebut. Setelah itu, kita akan masuk pada fase berikutnya yaitu fase kebangkitan di padang mahsyar yang satu hari pada hari itu seperti lima puluh ribu tahun. Setelah itu, barulah kita akan masuk pada fase penentuan, apakah kita akan dimasukkan ke dalam surga atau neraka. Jadi, kita semua sedang berjalan menuju satu titik pertemuan yaitu menuju alam barzakh, yang merupakan fase berikutnya setelah fase kehidupan dunia ini. Kita semua sedang berjalan menuju fase kematian, dan saat ini kita sedang berada di garis antrean tersebut, hanya saja kita tidak tahu siapa yang ada di depan kita dan siapa yang ada di belakang kita, akan tetapi kita semua saat ini sedang berjalan menuju titik pertemuan tersebut, yaitu alam barzakh.

Ketika kita telah mengetahui bahwasanya kehidupan dunia ini hanya sementara, maka kita harus saling mengingatkan agar jangan sampai kita teperdaya dengan kehidupan yang sementara ini. Mengapa demikian? Karena fase kehidupan berikutnya, fase alam barzakh, padang mahsyar, dan seterusnya hingga surga atau neraka, semuanya bergantung pada kehidupan kita di dunia yang sangat sebentar ini.

Allah ﷻ telah menyebutkan tentang hakikat dunia dalam banyak ayat dalam Al-Quran. Di antaranya seperti firman Allah ﷻ,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Demikian juga firman Allah ﷻ,

فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

“Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah: 38)

Demikian juga firman Allah ﷻ,

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali-‘Imran: 185)

Intinya, banyak sekali ayat-ayat yang seperti ini di dalam Al-Quran, yaitu Allah ﷻ menyebutkan bahwasanya kehidupan di dunia ini isinya hanya berupa kenikmatan yang semu.

Oleh karena itu, melalui pembahasan ini kita akan menyebutkan bagaimana hakikat-hakikat dunia tersebut, dan bagaimana sikap yang seharusnya kita lakukan setelah mengetahui hakikat kehidupan dunia tersebut.

Penjelasan tentang hakikat dunia bisa kita rinci menjadi tiga sebagai berikut:

    Dunia hanya sementara

Apa maksud dari dunia hanya sementara? “Sementara” maksudnya dunia ini waktunya lebih singkat jika dibandingkan dengan fase-fase kehidupan setelahnya. Telah kita sebutkan bahwasanya kita telah dan akan melewati beberapa fase-fase kehidupan. Di antaranya adalah kita telah melewati fase janin, kemudian kita sekarang sedang berada di fase kehidupan di dunia, kemudian kita akan menuju fase alam barzakh, kemudian fase padang mahsyar, kemudian akan berakhir di surga atau neraka.

Kalau kita mau merenungkan, kita berada di fase janin hanya selama kurang lebih sembilan bulan. Setelah itu, kehidupan kita di dunia hanya berkisar 60-70 tahun, bahkan bisa jadi kurang daripada itu, dan sangat sedikit yang bisa lebih daripada itu, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ، إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Usia umatku berkisar antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit sekali mereka yang melebihi (usia) tersebut.”([1])

Artinya, ada orang-orang yang Allah ﷻ berikan usia lebih dari tujuh puluh tahun, akan tetapi hal itu jarang. Kebanyakannya adalah seseorang maksimal usianya berkisar 60-70 tahun. Setelah itu, seseorang kemudian akan masuk di alam barzakh, yang tidak seorang pun tahu berapa lama dia akan berada di fase tersebut. Setelah itu, di fase padang mahsyar, seseorang akan berada di sana selama 50.000 tahun, lalu kemudian seseorang akan abadi di surga atau di akhirat.

Dari sini kita sudah bisa melihat, fase yang akan seseorang jalani setelah fase kehidupan dunia sangatlah lama, bahkan lamanya waktu tersebut menjadi tidak ada bandingannya dengan waktu hidup seseorang di dunia. Di fase alam barzakh saja seseorang bisa berada di sana selama ratusan atau bahkan hingga ribuan tahun. Belum lagi di fase padang mahsyar selama 50.000 tahun, dan juga kehidupan surga atau neraka yang seseorang akan kekal abadi. Apa perbandingan itu semua dengan umur seseorang yang masih kemungkinan dia akan hidup paling lama tujuh puluh tahun? Tidak ada bandingannya sama sekali. Oleh karenanya, Allah ﷻ menyebutkan bagaimana manusia ketika kelak telah melihat hari kiamat,

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

“Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (QS. An-Nazi’at: 46)

Pada hari kiamat kelak, manusia akan merasakan bahwasanya mereka seakan-akan hidup satu sore atau hanya sampai di waktu duha. Tentu, itu seakan-akan waktu yang sangat singkat. Tidak lain mereka merasakan demikian, karena mereka melihat betapa dahsyatnya hari kiamat ketika itu. Demikian juga ketika Allah ﷻ bertanya kepada manusia ketika mereka telah dibangkitkan,

قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ، قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ

“Dia (Allah) berfirman, ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung’.” (QS. Al-Mu’minun: 112-113)

Mengapa manusia akan menjawab demikian? Karena mereka melihat di depan mata mereka bahwasanya fase kehidupan mereka di akhirat itu adalah kehidupan yang sangat panjang, bahkan jika dibandingkan dengan kehidupan mereka selama di dunia maka kehidupan mereka di dunia terasa sangat sedikit.

Hidup kita di dunia ini sangat singkat sekali, sehingga waktu kita untuk mempersiapkan kehidupan akhirat tidaklah banyak. Bahkan, jika sekiranya saja usia kita bisa mencapai 70 tahun, angka itu belum kita kurangi untuk aktivitas-aktivitas dunia yang lain, yang tidak ada kaitannya dengan keperluan kita di akhirat kelak. Akan tetapi, meskipun kehidupan seseorang di dunia sangatlah singkat, namun di fase kehidupan dunia inilah menjadi fase yang sangat penting bagi seseorang di akhirat. Mengapa demikian? Karena pada fase kehidupan di dunia inilah penentu kehidupan seseorang di fase kehidupan berikutnya. Fase alam barzakh, fase padang mahsyar, dan fase surga atau neraka, semuanya bergantung pada kehidupan seseorang di dunia. Maka, ingatlah bahwasanya kehidupan dunia itu adalah tempat kita menanam, adapun fase kehidupan berikutnya adalah tempat kita memanen apa yang kita tanam selama di dunia.

Ada banyak dalil yang Allah ﷻ sebutkan bahwasanya kehidupan di dunia ini hanya sebentar saja dan tidak lama. Allah ﷻ mengingatkan kepada kita akan hal ini dalam banyak ayat, karena kita berpotensi untuk lupa akan banyak hal. Bahkan, meskipun kita telah melihat tanda-tanda di depan mata kita bahwasanya kita akan sirna. Di antara tanda yang sering kita lihat adalah kita melihat bagaimana saudara-saudara kita yang meninggal dunia, terlebih ketika wabah sedang melanda maka kita bisa melihat banyaknya orang yang meninggal dunia. Selain itu, kita juga bisa melihat tanda yang ada di tubuh kita. Ketika Allah ﷻ berfirman,

وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ

“Padahal telah datang kepadamu pemberi peringatan.” (QS. Fathir: 37)

Sebagian salaf menafsirkan bahwa peringatan yang dimaksud di dalam ayat ini adalah uban. Uban yang seseorang miliki itu merupakan tanda bahwasanya dia akan selesai dari kehidupan dunia, dan dia akan segera masuk pada fase kehidupan berikutnya. Namun, ketahuilah bahwasanya tanda ini termasuk di antara rahmat Allah ﷻ, sebab jika uban itu tidak ada dan seseorang akan meninggal dunia, maka orang tersebut tentu tidak memiliki persiapan. Akan tetapi, ketika tanda-tanda itu ada, adanya uban, mata mulai rabun, gerak tubuh mulai tidak lincah seperti ketika masih muda, pendengaran mulai lemah, kekuatan tidak seperti ketika masih muda, maka seseorang akan sadar bahwasanya sebentar lagi dia akan berpindah kepada fase kehidupan selanjutnya. Intinya, kita melihat tanda-tanda yang menunjukkan bahwasanya kita hidup di dunia ini tidak lama.

Di antaranya yang menunjukkan bahwa hidup kita di dunia ini hanya sebentar adalah dalil-dalil sebagai berikut:

    Allah ﷻ banyak berfirman di dalam Al-Quran bahwa kehidupan dunia itu sementara. Di antaranya seperti firman Allah ﷻ,

مَتَاعٌ قَلِيلٌ

“(Dunia) itu hanyalah kesenangan sementara.” (QS. Ali-‘Imran: 197)

    “Dunia” dinamakan dengan dunia karena memang artinya adalah sebentar. الدُّنْيَا dalam bahasa Arab berasal dari kata دَنِي yang artinya dekat. Oleh karenanya, dunia itu hanya sementara, dan sebentar lagi seseorang akan masuk pada fase kehidupan berikutnya.

    Allah ﷻ juga menamakan dunia dengan زَهْرَةٌ yang artinya adalah mawar. Dalam surah Taha Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Dan janganlah engkau panjangkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, itu hanya (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131)

Allah ﷻ menamai dunia dengan bunga kehidupan dunia, dan kita juga tahu bahwa yang namanya mawar akan cepat sekali layu. Memang dia indah, warnanya memesona, baunya harum, menyenangkan orang yang melihatnya, akan tetapi kenyataannya adalah dia sangat cepat layu. Oleh karenanya ini menunjukkan bahwasanya dunia ini hanya sebentar, sebagaimana bunga mawar yang indah namun cepat layu.

    Allah ﷻ juga menyamakan dunia dengan air hujan. Allah ﷻ berfirman,

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا

“Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, yaitu ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45)

Pada ayat ini, ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang apa maksud perumpamaan ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwasanya dunia seperti air. Di antara sifat air adalah air itu tidak menetap dan sering berubah zatnya tergantung kondisi. Maka demikian pula dengan dunia, kondisi kita tidak stabil, kadang sehat dan kadang sakit, kadang tertawa dan kadang juga sedih, terkadang ekonomi bagus dan terkadang ekonomi juga sempit, dan perubahan-perubahan yang lainnya. Selain itu, di antara sifat air juga adalah jika banyak, maka akan berbahaya, bisa banjir dan yang lainnya. Maka, demikian pula dengan dunia jika diambil terlalu banyak akan memberi mudarat, bisa melupakan seseorang dengan akhirat, akan mengalami hisab yang panjang di akhirat, dan yang lainnya, maka dari itu hendaknya mengambil dari dunia secukupnya saja. Selain itu, orang yang mengambil air itu biasanya akan basah, maka demikian pula dengan seseorang yang mengambil dunia, ada risiko mudarat yang mungkin dia dapatkan dari mengambil dunia tersebut.

Pendapat kedua mengatakan bahwasanya ayat ini secara utuh menjadi gambaran tentang dunia. Pada ayat ini disebutkan bahwa dunia itu seperti tumbuhan yang hijau, enak dilihat, enak dipandang, akan tetapi kemudian akan menjadi kering, berguguran lalu hilang tertiup angin. Demikianlah ayat ini menggambarkan perumpamaan dunia yang sangat sebentar. Kita sering melihat betapa banyak orang yang sedang berada di puncak-puncak kejayaannya, namun tiba-tiba dia meninggal dunia. Dunia itu sementara, ditinjau dari dunianya yang mudah sirna, dan juga ditinjau dari diri kita sendiri yang juga mudah untuk sirna ([2]).

    Allah ﷻ berfirman dalam surah Al-Hadid tentang hakikat dunia. Allah ﷻ berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu, serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Pada ayat ini, Allah ﷻ menyebutkan lima hakikat dunia, yaitu permainan, senda gurau, perhiasan, saling berbangga-bangga, saling berlomba untuk memperbanyak sesuatu. Para ulama menyebutkan bahwa demikianlah hakikat kehidupan dunia ([3]). Permainan itu maksudnya seseorang akan melalui masa kanak-kanak yang kerjanya hanya bermain. Ketika seseorang itu sudah mulai remaja, maka kehidupannya sudah mulai diisi dengan senda gurau. Setelah umur sudah di atas dua puluh tahun, seseorang kemudian mulai memperhatikan penampilannya, dan itulah yang dimaksud dengan perhiasan. Setelah seseorang berumur empat puluh tahun ke atas, maka mulailah seseorang dengan yang lainnya saling berbangga-bangga dengan prestasi yang dia raih. Setelah itu, orang-orang akan saling “berusaha memperbanyak” dalam segala hal, baik keturunan maupun harta. Inilah hakikat kehidupan dunia, dan ada orang-orang yang terjebak pada salah satu atau lebih dari lima bentuk hakikat dunia ini. Bahkan Allah ﷻ mengatakan dalam ayat yang lain tentang dunia,

وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ

“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan.” (QS. Al-‘Ankabut: 64)

Kenapa kehidupan lebih sering disebut sebagai “senda gurau dan permainan”? Karena yang namanya senda gurau dan permainan itu hanya sebentar, tidak lama setelah itu kita akan masuk dalam suatu keseriusan. Maka demikianlah dunia, hanya sebentar dan kemudian kita akan masuk pada fase kehidupan yang serius..

Pada ayat ini Allah ﷻ juga mengingatkan perumpamaan dunia itu, yaitu seperti hujan yang turun menumbuhkan tanaman-tanaman, hijau dan keindahannya memberikan kebahagiaan bagi para petani. Akan tetapi tidak lama setelah itu tanaman tersebut akan menjadi kering, kuning dan akhirnya hancur. Demikian pula kita di dunia, mungkin saat ini kita masih muda, akan tetapi tidak lama kelak kita akan semakin tua, kulit semakin keriput, rambut mulai putih, kemudian tiba-tiba meninggal dunia. Oleh karenanya, di akhir ayat Allah ﷻ menyebutkan bahwasanya kehidupan dunia itu adalah kesenangan yang menipu, karena banyak orang yang teperdaya.

    Dunia dijadikan indah dalam pandangan mata sebagai ujian

Terlalu banyak dalil yang menunjukkan bahwasanya dunia memang dijadikan indah oleh Allah ﷻ. Di antaranya seperti firman Allah ﷻ,

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7)

Demikian juga firman Allah ﷻ yang telah kita sebutkan sebelumnya,

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Dan janganlah engkau panjangkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, itu hanya (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131)

Allah ﷻ menyebut dunia dengan bunga mawar, dan tidak ada di antara kita yang meragukan bahwasanya mawar itu indah dengan beragam warna yang dimilikinya.

Demikian juga firman Allah ﷻ,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali-‘Imran: 14)

Selain firman Allah ﷻ, Nabi Muhamad ﷺ juga pernah bersabda,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepadamu sekalian. Kemudian Allah memperhatikan apa yang kalian kerjakan.”([4])

Jadi, kita harus tahu bahwasanya dunia itu memang dibuat indah oleh Allah ﷻ, sehingga ketertarikan kepada dunia itu adalah sesuatu hal yang manusiawi. Tentu banyak hal yang membuat kita tertarik, bisa dengan wanita bagi laki-laki, bisa dengan anak-anak, bisa dengan harta, bisa dengan pekerjaan, bisa dengan pemandangan-pemandangan yang indah, bisa dengan barang-barang yang mewah, dan yang lainnya. Semua hal di dunia ini bisa membuat kita tergoda, akan tetapi kita harus sadar bahwasanya kehidupan dunia adalah ujian.

    Dunia hanyalah tempat ujian

Hakikat dunia hanya sebagai ujian sangat banyak kita temukan dalam firman-firman Allah ﷻ di dalam Al-Quran. Di antaranya seperti firman Allah ﷻ,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 35)

Pada ayat ini Allah ﷻ menyebutkan bahwasanya Dia menguji hamba-Nya dengan kebaikan dan keburukan. Sesungguhnya ketika kita masuk ke alam dunia ini, maka kita ibarat sedang masuk dalam ruangan ujian. Maka, jangan kemudian kita menyangka bahwasanya ujian itu hanya berbentuk keburukan seperti sakit, kekurangan ekonomi, atau bahkan musibah. Akan tetapi, kebaikan seperti kesehatan, kecerdasan, prestasi, jabatan, harta yang banyak, dan kebaikan yang lainnya, itu semua juga merupakan ujian. Semua kebaikan-kebaikan yang merupakan ujian tersebut akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah ﷻ.

Di antara ayat lain yang menunjukkan bahwasanya dunia adalah tempat ujian yaitu firman Allah ﷻ,

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Dan janganlah engkau panjangkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, itu hanya (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131)

Demikian juga firman Allah ﷻ,

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Hud: 7)

Allah ﷻ juga berfirman,

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)

Inilah tiga kesimpulan kita dari pembahasan tentang hakikat dunia, yaitu dunia itu hanya sementara dan sangat singkat, kemudian dunia memang dibuat indah oleh Allah ﷻ sebagai ujian, dan yang terakhir dunia memang asalnya adalah tempat ujian.

Sikap seseorang terhadap dunia

Pembahasan ini menjadi poin yang terpenting setelah kita mengetahui tentang hakikat dunia. Untuk membahas hal ini, kita bisa mengklasifikasikan sikap seseorang terhadap dunia menjadi tiga.

    Dunia digunakan sebagai sarana meraih akhirat

Para ulama menjelaskan bahwasanya dunia menjadi sesuatu yang tercela ketika dijadikan sebagai akhir dari tujuan, akan tetapi ketika dunia tersebut dijadikan sebagai sarana untuk meraih akhirat maka dunia menjadi terpuji. Contohnya, terlalu banyak dalil-dalil dalam Al-Quran maupun hadits bahwasanya kita diperintahkan untuk berinfak, kita diperintahkan untuk membantu orang lain, kita diperintahkan untuk membantu fakir miskin dan anak yatim, dan bahkan kita diperintahkan untuk memberi dan berbuat baik kepada kerabat. Akan tetapi, untuk melakukan itu semua, akan kurang sempurna jika kita tidak memiliki dunia. Bagaimana kita mau berinfak kalau kita tidak punya harta? Bagaimana kita mau menyenangkan istri, anak-anak, orang tua, dan kerabat kalau kita tidak punya dunia? Mungkin kita bisa menyenangkan mereka dengan kata-kata, tapi itu akan kurang sempurna.

Oleh karena itu, ketika dunia digunakan sebagai sarana untuk mencari akhirat, maka tidak mengapa kita mencari dunia sebanyak-banyaknya, asal kita ingat bahwasanya tujuannya adalah mencari akhirat. Tentunya, Allah ﷻ tahu niat kita, maka hendaknya kita tanamkan dalam diri kita bahwasanya dunia kita gunakan untuk meraih akhirat. Contoh sederhana, seorang dokter yang memeriksa orang-orang, kemudian dia menerapkan biaya yang murah dan untuk memudahkan dan membantu orang-orang yang susah dengan niat mencari akhirat. Atau seorang karyawan, dia bekerja dengan giat agar mendapatkan hasil yang banyak, untuk kemudian dia berikan kepada orang tuanya sebagai bentuk berbakti. Misalnya juga seseorang bersusah payah dalam bekerja, kemudian hasil pekerjaannya untuk membangun pondok. Atau seseorang bersusah payah dalam mendapatkan sebuah proyek, dia menghabiskan waktu, akan tetapi hasilnya dia gunakan untuk membantu para fakir miskin, anak yatim, atau para janda.

Oleh karena itu, ini menunjukkan bahwa kita tidak dilarang mencari dunia, akan tetapi jangan kemudian kita jadikan dunia sebagai tujuan, jangan lupakan akhirat. Oleh karenanya, kita dapati Allah ﷻ memuji para pedagang yang jujur. Allah ﷻ berfirman,

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Seorang (pedagang) yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).” (QS. An-Nur: 37)

Ayat ini berbicara tentang pedagang yang dipuji oleh Allah ﷻ karena perdagangannya tidak melupakan dia dari akhirat. Maka, jika kita bekerja sebagai karyawan, sebagai dokter, sebagai pejabat, atau bahkan pengusaha, tidak mengapa kita kerja mencari dunia, akan tetapi jadikan niat kita itu karena Allah ﷻ, agar pekerjaan kita berkah. Ketika seseorang mencari dunia dengan niat akhirat, maka dia pasti akan tulus dalam mencari dunia, karena sejak awal niatnya adalah untuk berbakti kepada orang tua, untuk membantu kerabat, untuk membantu fakir miskin, atau yang lainnya.

Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda kepada ‘Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu,

يَا عَمْرُو، نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحِ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Wahai ‘Umar, sebaik-baik harta yang baik adalah milik orang yang baik (saleh).”([5])

Hadits ini menunjukkan bahwasanya ada harta yang baik dan ada harta yang buruk. Adapun harta yang baik adalah harta yang digunakan di jalan Allah ﷻ, adapun harta yang buruk adalah harta yang digunakan untuk kesenangan duniawi semata. Oleh karena itu, sikap pertama yang harus kita miliki dalam menyikapi dunia adalah hendaknya kita mencari dunia untuk meraih akhirat.

    Mencari keperluan dunia secukupnya

Sikap selanjutnya terhadap dunia adalah hendaknya seseorang mencari dunia secukupnya saja. Jangan seseorang terlalu memaksakan diri untuk mengumpulkan harta yang banyak, karena semakin banyak harta seseorang, maka hisabnya akan semakin lama di akhirat kelak. Lihatlah Nabi Muhammad ﷺ, ketika Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mendapati beliau tidur beralaskan tikar yang membuat adanya bekas di badan Nabi Muhammad ﷺ, maka Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pun kemudian menyarankan agar Nabi Muhammad ﷺ diberikan tempat tidur yang lebih layak, maka Nabi Muhammad ﷺ menjawab,

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia tidak lain seperti pengendara yang bernaung di bawah pohon setelah itu pergi dan meninggalkannya.”([6])

Nabi Muhammad ﷺ dalam hadits ini menggambarkan tentang perumpamaan seseorang di dunia, yaitu seseorang di dunia itu seperti seseorang yang berkendara, kemudian dia mampir dan istirahat di bawah naungan pohon, kemudian pergi melanjutkan perjalanan. Seseorang yang bersafar lalu beristirahat di bawah naungan pohon, pasti hanya akan beristirahat secukupnya, karena naungan pohon pasti akan mengecil dari waktu ke waktu, dan juga dia tidak akan bisa sampai ke tempat tujuannya jika dia hanya beristirahat terus, sehingga dia harus melanjutkan perjalanannya. Maka, apakah pantas seseorang yang bersafar kemudian singgah di bawah pohon lalu membuat rumah di situ? Tentu tidak, pohon tersebut hanya tempat singgah sementara baginya. Maka, demikianlah dengan dunia, seseorang akan tinggal di dunia sebentar saja. Oleh karena kita di dunia ini hanya sebentar, maka carilah dunia secukupnya saja. Syariat tentu tidak melarang kita mengambil dunia, bahkan kata Allah ﷻ,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?’ Katakanlah, ‘Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat’. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 32)

Maka, tidak mengapa seseorang memiliki istana di dunia, akan tetapi janganlah dia lupa agar bisa memiliki istana di surga. Kita boleh makan enak sampai kenyang, akan tetapi jangan lupa untuk bersedekah, jangan lupa memberi makan fakir miskin, jangan lupa bantu kerabat-kerabat kita. Kita boleh membeli mobil yang mewah, akan tetapi jangan lupa sebagian rezeki yang kita punya juga untuk diinfakkan di jalan dakwah.

Wahai saudaraku, ingatlah bahwa hidup kita hanya sebentar, lalu setelah itu kita akan selesai dari dunia ini, tinggal kita kemudian memanen apa yang kita lakukan selama di dunia. Oleh karena itu, hendaknya kita mengambil dunia secukupnya saja. Kalau kita akhirnya mengambil dunia secara berlebih-lebihan dan akhirat itu sedikit, maka Allah ﷻ telah memberi peringatan kepada kita, Allah ﷻ berfirman,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ، كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ، ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ، كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ، لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ، ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ، ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“Bermegah-megah telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahanam, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 1-8)

Bermegah-megah atau berlomba dalam banyak-banyakan inilah yang membuat kita tidak bisa berhenti mencari dunia. Inilah yang membuat waktu kita habis, yaitu mengejar dunia tanpa henti. Punya harta banyak untuk keperluan itu tidak mengapa, tapi kalau tidak ada keperluan, maka gunakanlah secukupnya.

Kebanyakan orang yang tenggelam dalam dunia biasanya beralasan bahwa dia berusaha untuk masa depan anak dan keluarganya. Maka, kita katakan bahwa itu hal yang benar untuk dilakukan, akan tetapi kalau sampai hal itu membuat seseorang melupakan bahwasanya masa depannya di akhirat lebih penting untuk dia rencanakan daripada di dunia, maka itu adalah sebuah kesalahan besar. Seharusnya seseorang lebih memikirkan masa depannya di akhirat, bukan hanya memikirkan keluarganya di dunia. Mengapa? Seorang syaikh pernah bercerita, ada seorang suami berbelanja di sebuah toko buah untuk membeli anggur, karena dia, istri dan anak-anaknya suka dengan anggur. Setelah membeli, dia kemudian menyuruh orang untuk membawakan anggur tersebut ke rumahnya, karena dia masih harus mengerjakan urusan yang lain, dan dia akan memakan anggurnya setelah dia pulang ke rumah. Setelah urusannya semua telah selesai, kemudian dia pulang dan bertanya di mana anggur yang dia beli, ternyata istrinya mengatakan bahwa anggurnya sudah habis dimakan oleh dia dan anaknya, sedangkan dia lupa untuk menyisakan untuknya. Mengetahui hal itu, sang suami kemudian tersadarkan bahwa jika di dunia saja istri dan anaknya bisa lupa dengan dirinya, maka bagaimana lagi dengan di akhirat?

Oleh karenanya, benar bahwasanya seseorang mengajak keluarganya kepada kebaikan dengan memenuhi segala kebutuhannya sebagai bentuk menyelamatkan keluarganya di akhirat, akan tetapi dia sendiri juga harus punya tabungan yang akan menyelamatkan dirinya di akhirat. Namun, apabila seseorang masih terus berlomba-lomba dalam banyak-banyakan, bahkan sampai rambut sudah tua juga masih ingin mobil ini dan mobil itu, mau sampai kapan seperti itu? Semua itu tidak ada nilainya bagi kita ketika kita telah meninggal dunia. Peringatan ini bukan hanya untuk laki-laki, wanita juga perlu diperingatkan. Banyak sekali para wanita yang suka mengoleksi tas, sepatu, alat kosmetik, pakaian, dan yang lainnya. Jika waktu kita habis untuk mengoleksi yang demikian, kapan waktu kita untuk membaca Al-Quran? Kapan kita mau pergi mendengar pengajian? Jika dunia sudah mengambil waktu kita yang begitu banyak dengan banyak-banyakan dunia, apakah kita baru memikirkan akhirat ketika sudah tua?

Wahai saudaraku, dunia itu tidak dilarang, akan tetapi seperlunya saja, dan jangan sampai hal itu melalaikan kita. Ketika seseorang telah mengambil lebih dari yang dia butuh, maka pasti akan ada rasa ingin lagi dan ingin lagi. Jika sekiranya seseorang berusaha mencari dunia dengan semaksimalnya untuk meraih akhirat, maka tidak masalah, akan tetapi kebanyakan yang demikian hanya akan melalaikan seseorang dari akhirat. Oleh karena itu, silakan hidup kaya, tetapi ingatlah agar tidak berlebih-lebihan dalam urusan dunia, karena itu pasti akan menyita banyak dari waktu kita.

    Memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya

Ketahuilah bahwa umur efektif kita hanya sedikit. Jika sekiranya umur kita sampai tujuh puluh tahun saja, meskipun kemungkinannya juga kecil, umur tersebut belum dikurangi dengan 15 tahun waktu kita yang belum balig, kemudian juga belum dipotong 20 tahun atas waktu tidur kita selama hidup, kemudian belum dipotong waktu kita untuk urusan dunia murni yang tidak ada kaitannya dengan akhirat. Maka pertanyaannya, berapa waktu dari seluruh umur kita untuk Allah ﷻ yang pada hakikatnya menjadi usia kita yang sebenarnya? Sangat sedikit. Oleh karenanya Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah berkata,

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ اليَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلٌ

“Sesungguhnya dunia semakin menjauh, sementara akhirat semakin mendekat. Masing-masing memiliki anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Hari ini adalah waktu beramal bukan hisab, dan kelak adalah hari hisab dan tidak ada kesempatan untuk beramal.”([7])

Benar bahwasanya dunia ini semakin menjauh dari diri kita. Oleh karenanya Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga pernah berkata,

يَا ابْنُ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيّامٌ فَإِذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ، وَيُوشِكُ إِذَا ذَهَبَ بَعْضُكَ أَنْ يَذْهَبَ كُلَّكَ

“Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari-hari. Maka apabila telah pergi sebagian hari-hari, maka pergi pula sebagian dari dirimu. Dan dikhawatirkan jika telah pergi sebagian dari dirimu, maka akan hilang seluruh dari dirimu.”([8])

Akhirat semakin mendekat kepada kita, dan kita semua sedang berada dalam antrean menuju kepada kematian untuk menuju akhirat, dan tidak ada satu pun yang keluar dari antrean tersebut, hanya saja kita tidak tahu siapa yang ada di depan kita atau di belakang kita, dan kita bahkan tidak tahu kapan giliran kita. Oleh karenanya, hari ini kita di dunia adalah waktu untuk menanam. Silakan kita menanam apa saja yang kita kehendaki. Jika kita menanam kebaikan maka kita akan memanen kebaikan, jika kita menanam keburukan maka kita juga akan menanam keburukan, dan tidak ada yang menghisab kita pada hari ini. Akan tetapi, ingatlah pula bahwasanya ketika di akhirat nanti yang ada hanyalah hisab (memanen), dan tidak ada lagi kesempatan untuk beramal.

Oleh karena itu, mumpung kita masih hidup, maka manfaatkanlah sebaik-baiknya umur kita. Jangan teperdaya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Ingatlah bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.”([9])

Ingatlah, bahwasanya urusan yang lebih penting bagi kita itu masih sangat banyak. Kita masih belum mengerti cara shalat dengan benar dan baik, kita belum mengerti baca Al-Quran yang benar dan baik, kita belum bisa mengurus anak dan istri kita dengan baik, masih banyak ilmu yang perlu untuk kita pelajari, dan urusan penting lainnya. Apa yang menjadi tugas kita maka tekunilah, dan jauhkan diri kita dari hal-hal yang tidak berhubungan dengan sesuatu yang bukan tugas kita. Demikian pula, untuk bertemu kawan, hendaknya secukupnya saja, jangan berlebih-lebihan sampai melupakan yang penting bagi diri kita. Ingatlah bahwa umur kita tinggal sedikit, dan setelah itu akan ada perhitungan amalan kita, dan jika perhitungannya buruk, maka yang ada hanyalah penyesalan yang tidak berujung.

Inilah beberapa nasehat bagi diri kita, terkhusus bagi penulis, tentang hakikat dunia. Intinya, kita harus pandai dalam menyikapi dunia karena kita tidak tahu kapan kita akan dipanggil oleh Allah ﷻ. Seorang penyair pernah berkata,

تَزَوَّدْ مِنَ التَّقْوَى فَإِنَّكَ لَا تَدْرِيْ *** إِذَا جَنَّ لَيْلٌ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِ

“Berbekallah dengan ketakwaan, sesungguhnya engkau tidak tahu jika telah tiba malam hari apakah engkau masih hidup hingga pagi hari.”

فَكَمْ مِنْ عَرُوْسٍ زَيَّنُوْهَا لِزَوْجِهَا *** وَقَدْ قُبِضَتْ أَرْوَاحُهُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ

“Betapa banyak mempelai wanita yang dirias untuk dipersembahkan kepada mempelai lelaki, padahal ruh mereka telah dicabut tatkala di malam lailatulqadar.”

وَكَمْ مِنْ صِغَارٍ يُرْتَجَى طُوْلُ عُمُرِهِمْ *** وَقَدْ أُدْخِلَتْ أَرْوَاحُـــهُمْ ظُلْمَـــةَ الْقَــبْرِ

“Betapa banyak anak-anak yang diharapkan panjang umur, padahal tubuh mereka telah dimasukkan dalam kegelapan kuburan.”

وَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ *** وَكَمْ مِنْ سَقِيْمٍ عَاشَ حِيْنًا مِنَ الدَّهْرِ

“Betapa banyak orang sehat tiba-tiba meninggal tanpa didahului oleh sakit, dan betapa banyak orang sakit ternyata masih hidup lama.”

وَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا *** وَقَدْ نُسِجَتْ أَكْفَانُهُ وَهُوَ لَا يَدْرِيْ

“Betapa banyak pemuda yang tertawa di pagi dan petang hari, padahal kafan mereka sedang ditenun dalam keadaan mereka tidak sadar.”

Oleh karena itu, tidak seorang pun yang tahu kapan maut menjemputnya, maka hendaknya setiap orang pun bersiap-siap untuk hal itu. Sisa umur yang dimiliki hendaknya tidak dibuang percuma, karena sesungguhnya setiap waktu yang kita miliki itu sangat berharga, karena setiap detik dari waktu kita akan memengaruhi nasib kita di alam barzakh dan akhirat kelak. Maka, jika kita salah dalam menyikapi dunia, maka kita akan menyesal seumur hidup di akhirat, dan penyesalan pada hari itu tidak lagi bermanfaat. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

إِنَّ لِلَّهِ عِباداً فُطَنا تَرَكوا الدُّنْيَا وَخَافُوْا الفِتَنَا، نَظَرُوا فِيْهَا فَلَمَّا عَلِمُوْا، أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا، جَعَلُوْهَا لُجَّةً وَاتَّخَذُوْا صَالِحَ الأَعْمَالِ فِيْهَا سُفُنَا

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang cerdas, mereka meninggalkan dunia dan takut terhadap fitnah-fitnah. Ketika mereka memandang hakikat dunia, maka mereka tahu bahwasanya dunia bukanlah tempat tinggal yang sesungguhnya. Mereka menjadikan dunia sebagai ombak yang bisa menenggelamkan, dan lantas mereka menjadikan amal saleh sebagai kapal yang menyelamatkan mereka dari dunia.”([10])

Oleh karena itu, marilah kita masing-masing introspeksi diri. Mari kita menjalani dunia dengan benar, jangan sampai dunia masuk ke dalam hati-hati kita, jangan sampai itu menjadikan kita lalai dari tujuan kita yang sesungguhnya yaitu akhirat, karena di dunia ini kita hakikatnya hanya sebagai musafir.

____

Footnote:

([1]) HR. Ibnu Majah No. 4236, Al-Albani mengatakan hadits ini hasan sahih.

([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thabari, (18/30).

([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, (17/255).

([4]) HR. Muslim No. 2742.

([5]) HR. Bukhari No. 229 dalam Adab Al-Mufrad, dinyatakan sahih oleh Al-Albani.

([6]) HR. At-Tirmidzi No. 2377, dinyatakan sahih oleh Al-Albani.

([7]) Shahih Al-Bukhari, (8/89).

([8]) Fashl al-Khitab fi Az-Zuhd wa Ar-Raqaaiq wa Al-Adab, (3/509).

([9]) HR. At-Tirmidzi No. 2317, dinyatakan sahih oleh Al-Albani.

([10]) Diwan Asy-Syafi’i, (1/84-85).

Sumber: https://bekalislam.firanda.com/

Tags