Beranggapan Sial Berbau Syirik
Segala puji bagi Allah tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kita paling mendengar ada yang beranggapan sial dengan nama anaknya. Buktinya, ketika anaknya di usia belia sakit-sakitan, maka ada yang beranggapan sial bahwa itu karena namanya yang terlalu berat. Ada juga yang menganggap bahwa karena salah nama, anaknya jadi bandel. Intinya, nama anak akhirnya yang disalahkan.
Beranggapan sial bukan hanya seperti di atas, banyak contohnya. Ujung-ujungnya beranggapan sial itu mengarah pada kesyirikan.
Memahami Thiyaroh atau Tathoyyur
Pembahasan beranggapan sial ini dalam bahasan akidah diistilahkan dengan thiyaroh atau tathoyyur. Thiyaroh berasal dari kata burung, artinya dahulu orang Arab Jahiliyah ketika memutuskan melakukan safar, mereka memutuskan dengan melihat pergerakan burung. Jika burung tersebut bergerak ke kanan, maka itu tanda perjalanannya akan baik. Jika burung tersebut bergerak ke kiri, maka itu tanda mereka harus mengurungkan melakukan safar karena bisa jadi terjadi musibah ketika di jalan.
Namun maksud thiyaroh di sini adalah umum, bukan hanya dengan burung saja. Thiyaroh adalah beranggapan sial ketika tertimpanya suatu musibah pada sesuatu yang bukan merupakan sebab dilihat dari sisi syar’i atau inderawi, baik itu dengan orang, dengan benda tertentu, dengan tumbuhan, dengan waktu, dengan angka tertentu atau dengan tempat tertentu.
Contoh dari thiyaroh atau beranggapan sial:
- Menganggap anak sakit-sakitan karena nama yang terlalu berat diemban sehingga harus ada penggantian nama.
- Mengganggap datangnya musibah itu karena si A yang baru datang ke kampung, sebelumnya tidak pernah terjadi. Sebagaimana dahulu Fir’aun beranggapan datangnya bencana gara-gara Nabi Musa ‘alaihis salam.
- Menganggap bulan Suro atau bulan Muharram adalah bulan keramat sehingga tidak boleh mengadakan hajatan, walimahan atau acara besar lainnya.
- Jika lewat di depan kuburan, selalu sial dan sering melihat hantu gentayangan.
- Anggapan sial dengan angka 13.
- Menabrak kucing di anggap bakal ketiban sial
- Ketiban cicak di anggap akan ketiban sial
- Larangan menggunakan baju berwarna hijau saat berwisata di pesisir, terutama di pantai selatan Jawa
Thiyaroh Termasuk Akidah Jahiliyah
Beranggapan sial atau thiyaroh termasuk akidah jahiliyah. Bahkan sudah ada di masa sebelum Islam. Lihatlah bagaimana Fir’aun beranggapan sial pada Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya. Ketika datang bencana mereka katakan itu gara-gara Musa. Namun ketika datang berbagai kebaikan, mereka katakana itu karena usaha kami sendiri, tanpa menyebut kenikmatan tersebut berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131).
Kesialan yang dianggap sesungguhnya tidaklah benar. Yang shahih, Musa dan orang beriman sebagai pengikutnya adalah sebab datangnya kebaikan dan barokah. Karena para Rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam membuat perbaikan di muka bumi dengan ketaatan yang mereka perbuat, sehingga turunlah barokah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al A’raf: 96). Dan sebenarnya sebab datangnya musibah adalah karena pembakangan ahli maksiat, orang musyrik dan kafir, bukan dari orang beriman.
Kesialan dan bencana sebenarnya karena kekurang ajaran orang kafir itu sendiri. Sebagaimana hal ini dapat kita ambil pelajaran dari surat Yasin tentang kisah penduduk negeri yang mendustakan dua sampai tiga utusan Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (13) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ (14) قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ (15) قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ (16) وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (17) قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (19)
“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang diutus kepadamu”. Mereka menjawab: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka”. Mereka berkata: “Rabb kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu”. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”. Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas“.” (QS. Yasin: 13-19). Penduduk negeri tersebut menganggap nasib sial menimpa mereka karena kedatangan para utusan tersebut. Namun hal itu dibantah oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala nyatakan sendiri bahwa kesialan itu karena sebab pembangkangan penduduk itu sendiri.
Begitu pula orang-orang musyrik pernah menganggap datangnya nasib malang, itu karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”.” (QS. An Nisa’: 78).
Larangan Thiyaroh
Thiyaroh atau beranggapan sial termasuk kesyirikan sebagaimana dinyatakan dalam hadits.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220). Dalam hadits ini disebutkan tidak bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada tempat dan waktu tertentu seperti pada bulan Shafar. Di negeri kita yang terkenal adalah beranggapan sial dengan bulan Suro, maka itu pun sama terlarangnya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ » . قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ « كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ »
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan al fa’lu membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al fa’lu?” “Kalimat yang baik (thoyyib)”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 5776 dan Muslim no. 2224)
Apa beda al fa’lu dan thiyaroh? Al fa’lu adalah berangan kebaikan. Sedangkan thiyaroh adalah berperasaan akan datangnya keburukan. Berangan datangnya kebaikan adalah suatu anjuran karena hal ini termasuk husnu zhon (berprasangka baik) pada Allah. Contoh fa’lu adalah ketika kita mendengar ucapan-ucapan yang baik, maka cerialah hati kita. Atau kita melihat seorang yang tampil menawan hati, kita pun menjadi tenang, tanda mengharap kebaikan dan husnu zhon pada Allah. Fa’lu termasuk perkara yang baik. Dari sinilah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam takjub. Ketika mendengar nama atau ucapan yang baik atau berlalu di tempat kebaikan, hati menjadi tenang, dan tanda husnu zhon pada Allah. Demikian penjelasan Syaikhuna, Dr. Sholeh Al Fauzan dalam I’anatul Mustafid.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia menyebutkan hadits secara marfu’ –sampai kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ ».
“Beranggapan sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan”. Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3910 dan Ibnu Majah no. 3538. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa thiyaroh atau beranggapan sial termasuk bentuk syirik. Kesyirikan dalam masalah thiyaroh ini bisa dirinci menjadi dua:
- Jika menganggap bahwa yang mendatangkan manfaat dan mudhorot adalah makhluk, ini syirik akbar.
- Jika menganggap bahwa yang memberi manfaat atau mudhorot hanyalah Allah, namun makhluk hanyalah sebagai sebab, ini termasuk syirik ashgor.
Catatan: Tidak setiap anggapan jelek itu terlarang. Ada anggapan jelek yang masih dibolehkan selama ada sebab yang syar’i atau hissiy (inderawi). Seperti misalnya kita sudah mengetahui gerak-gerik si pencuri, dan kita berprasangka jelek padanya, maka ini ada bukti atau sebab, sehingga prasangka jelek ini tidak bermasalah.
Kuncinya Tawakkal
Anggapan sial mengurangi tauhid seorang muslim dan dinilai syirik. Penilaian syirik ini dilihat dari beberapa sisi: (1) bergantung pada sesuatu yang bukan sebab secara hakiki, (2) memutuskan suatu kejadian seakan-akan menentang takdir Allah, dan (3) mengurangi tauhid. Untuk menghilangkan persangkaan sial di sini hanyalah dengan tawakkal. Karena tawakkal terdapat ketergantungan hati pada Allah. Hadits yang telah lewat disebutkan, “Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal”.
Penulis Fathul Madjid (335) berkata, “Akan tetapi jika kita bertawakkal pada Allah dalam meraih maslahat dan menolak mudhorot, maka was-was untuk beranggapan sial akan hilang dengan izin Allah.”
Syaikh Sholeh Al Fauzan berkata, “Penyembuh dari beranggapan sial adalah dengan bertawakkal pada Allah. Kemudian meninggalkan anggapan sial dan tidak memiliki keraguan lagi dalam hati.” Ini perkataan beliau dalam I’anatul Mustafid (2: 16).
Ingatlah pelajaran dari firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).
Jangan menuduh kesialan itu pada tanggal, hari, angka, bulan, tempat atau nama anak. Buang jauh-jauh anggapan sial dan ganti dengan tawakkal pada Allah Ta’ala. Ketika mendapatkan hal yang tidak mengenakkan, ucapkanlah:
اللَّهُمَّ لاَ يَأْتِى بِالْحَسَنَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ
[Allahumma laa ya’ti bilhasanaati illa anta. Wa yadfa’us sayyi-ati illa anta. Wa laa hawla wa laa quwwata illa billah] “Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali engkau. Tidak ada yang dapat menolak bahaya kecuali engkau. Tidak ada daya dan upaya melainkan denganmu.”
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
____
Referensi:
Faedah dari Durus Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syitsriy Kamis 17 Rabi’ul Awwal 1433 H di Jami’ Syaikh Nashir Asy Syitsri, Riyadh, KSA, dalam bahasan Kitab Tauhid, tema “Maa Jaa-a fii Tathoyyur.
Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta’, cetakan ketujuh, 1431 H.
I’anatul Mustafid, Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Muassasah Ar Risalah.
Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Hamd bin ‘Abdullah Al Hamd, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, 1431 H.
MITOS terkait Ratu Pantai Selatan memunculkan “larangan” menggunakan baju berwarna hijau saat berwisata di pesisir, terutama di pantai selatan Jawa. Mereka yang mengenakan pakaian hijau, bisa hanyut ditelan ombak karena diculik Ratu Pantai Selatan.
Bagaimana seorang muslim meyakini mitos memakai baju hijau di pantai selatan? Apakah diharamkan dan termasuk syirik?
Itu mitos yang dihukumi syirik
Mitos seperti ini bila tidak didasari landasan ilmiah, maka termasuk syirik.
Mitos, takhayul, dan khurafat termasuk dalam bentuk tathayyur atau thiyarah. Hal ini termasuk kesyirikan. Karena thiyarah itu menggantungkan hati pada perkara yang khayalan (tidak punya kaitan apa-apa), hati meyakini perkara tadi bisa mendatangkan kebaikan atau bahaya.
Para ulama berkata bahwa tathayyur (thiyarah) adalah beranggapan sial dengan sesuatu yang didengar atau dilihat, bisa juga beranggapan sial dengan tempat atau waktu.
Thiyarah berasal dari kata burung (thayr). Dahulu orang Arab Jahiliyah ketika memutuskan melakukan safar, mereka melihat terlebih dahulu pergerakan burung. Jika burung tersebut bergerak ke kanan, itu tanda perjalanan akan lancar. Jika burung tersebut bergerak ke kiri, itu sebagai pertanda harus mengurungkan niat bersafar karena bisa terjadi suatu musibah di perjalanan nantinya.
Kaidah thiyarah (tathayyur) yang diharamkan adalah dijadikan alasan untuk melakukan atau membatalkan sesuatu.
Hukum thiyarah dapat dirinci menjadi dua:
Dihukumi syirik akbar (syirik besar) jika meyakini bahwa yang dianggap mendatangkan sial itu bisa berpengaruh dengan sendirinya dalam mendatangkan atau menolak bahaya.
Dihukumi syirik ashgar (syirik kecil) jika meyakini bahwa yang dianggap mendatangkan sial itu hanya menjadi sebab dalam mendatangkan atau menolak bahaya.
Kapan beranggapan sial termasuk syirik?
Kami contohkan mengenai mitos memakai baju hijau ketika berada di pantai selatan karena akan mendatangkan sial atau celaka. Kapan beranggapan sial kala itu dihukumi syirik?
Coba perhatikan rincian berikut ini:
- Jika diyakini bahwa memakai baju hijau akan mendatangkan sial ketika berada di pantai selatan, karenya ia lebih memilih mengenakan baju warna lain, hal ini dihukumi syirik.
- Jika tetap memakai baju hijau ketika berada di pantai selatan lalu berada dalam penuh kekhawatiran atau kegelisahan, ini tetap haram dan bisa sampai pada tingkatan syirik.
- Jika tetap memakai baju hijau dan tidak ada kekhawatiran sama sekali dan menganggap tidak ada pengaruh bahaya apa pun, inilah hamba yang bertauhid sejati.
Agar tidak beranggapan sial, yang mesti dilakukan adalah:
- Tawakal kepada Allah;
- Tetap melakukan yang diinginkan;
- Berdoa kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Islam melarang beranggapan sial
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit bisa menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Safar.” (HR. Bukhari, no. 5757 dan Muslim, no. 2220).
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia menyebutkan hadits secara marfu’–sampai kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam–,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ ».
“Beranggapan sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan”. Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun, Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan seeorang tawakal.” (HR. Abu Daud, no. 3910 dan Ibnu Majah, no. 3538. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Yang beranggapan sial ini akan sulit masuk dalam 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Dalam hadits disebutkan mengenai sifat mereka adalah,
هُمُ الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka itu tidak beranggapan sial, tidak meminta untuk diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan hanya kepada Rabb merekalah, mereka bertawakal.” (HR. Bukhari, no. 5752)
Semoga Allah menyelamatkan kita dari berbagai mitos, takhayul, khurafat yang menyesatkan. Moga Allah mematikan kita dalam keadaan bertauhid.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
____
Referensi:
Al-Qawa’id Al-Jaami’ah ‘ala Kitab At-Tauhid. Cetakan pertama, Tahun 1441 H. Syaikh Ahmad bin ‘Aqil Al-‘Anzi. Hlm. 78-79.
Sumber: https://rumaysho.com/