Type Here to Get Search Results !

 


ORANG TUA DURHAKAI ANAK


Judul artikel: Pengaruh Orang Tua Terhadap Anak

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya—belahan hatinya—di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.” (Tuhfatul Maudud hlm. 351)

Beliau rahimahullah menyatakan pula,

“Mayoritas anak menjadi rusak dengan sebab yang bersumber dari orang tua, dan tidak adanya perhatian mereka terhadap si anak, tidak adanya pendidikan tentang berbagai kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Orang tua telah menyia-nyiakan anak selagi mereka masih kecil, sehingga anak tidak bisa memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya ketika sudah lanjut usia. Ketika sebagian orang tua mencela anak karena kedurhakaannya, si anak menjawab, ‘Wahai ayah, engkau dahulu telah durhaka kepadaku saat aku kecil, maka aku sekarang mendurhakaimu ketika engkau telah lanjut usia. Engkau dahulu telah menyia-nyiakanku sebagai anak, maka sekarang aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau telah berusia lanjut’.” (Tuhfatul Maudud hlm. 337)

(Diambil dari Huququl Aulad ‘alal Aba’ wal Ummahat hlm. 8—9, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari hafizhahullah)

Sumber:  https://asysyariah.com/

Kewajiban Seorang Ayah dalam Menasihati Sang Anak

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Sebagian ayah yang istiqamah (dalam menjalankan syariat, pent.) … anak-anaknya yang tidak berpegang dengan hukum-hukum Islam secara sempurna. Misalnya, sang ayah melihat bahwa sang anak menjaga shalat wajib dan pokok-pokok Islam yang lain, akan tetapi  anak mereka tersebut terjerumus dalam sebagian maksiat. Seperti menonton film, memakan riba, tidak menghadiri shalat berjamaah -terkadang-, memangkas jenggot, dan kemungkaran yang lain. Lalu, bagaimanakah sikap seorang ayah yang istiqamah tersebut dalam menghadapi anak-anak mereka tersebut? Apakah mereka harus bersikap keras ataukah bersikap lembek kepada anak-anak mereka?

Jawaban:

Yang menjadi pendapatku adalah hendaknya sang ayah mendakwahi (menasihati) anaknya sedikit demi sedikit. Jika sang anak terjerumus ke dalam banyak maksiat, maka dia lihat manakah maksiat yang paling parah. Dari situ, dia mulai menasihati, terus-menerus berbicara (berdialog) dengan sang anak dalam maksiat (yang paling parah) tersebut. Sampai Allah Ta’ala memudahkan usahanya dan sang anak pun akhirnya bisa meninggalkan maksiat tersebut. 

Namun jika sang anak tidak mau menerima nasihat sang ayah, maka perlu diketahui bahwa maksiat itu bervariasi. Sebagian maksiat tidak dapat ditolerir, tidak mungkin Engkau menyetujui anakmu masih berbuat maksiat tersebut, sementara dia masih bersamamu. Dan sebagian maksiat yang lain, levelnya di bawah itu. Kaidahnya, jika seseorang menghadapi dua mafsadah (dalam hal ini maksiat yang dilakukan sang anak), dan dua-duanya terjadi, atau terjadi salah satunya, maka dia boleh mengambil salah satu mafsadah yang lebih ringan. Inilah keadilan dan hal itu pun dibenarkan. 

Akan tetapi, juga terdapat musykilah (kejanggalan) yang lain, sebagai kebalikan dari pertanyaan tersebut. Yaitu, sebagian pemuda tidak melakukan penyimpangan yang dilakukan oleh sang ayah. Maksudnya, pemuda tersebut (sang anak) adalah istiqamah di atas syariat, sedangkan ayahnya adalah kebalikannya. Dia pun menjumpai ayahnya bertentangan dengannya dalam banyak permasalahan. 

Nasihatku kepada sang ayah adalah hendaknya mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala, berkaitan dengan diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Hendaklah mereka berpandangan bahwa keshalihan dan keistiqamahan anak-anak mereka sebagai nikmat Allah Ta’ala yang harus disyukuri. Hal ini karena keshalihan anak-anak mereka tersebut akan bermanfaat untuk mereka, baik ketika masih hidup maupun ketika sang ayah tersebut meninggal dunia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah; (2) ilmu yang bermanfaat; (3) atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Kemudian aku juga menujukan nasihatku kepada anak-anak, baik laki-laki dan perempuan, bahwa ayah dan ibu mereka, jika memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh ditaati. (Perintah mereka) tidak wajib ditaati. Melawan (menyelisihi) perintah mereka -meskipun mereka menjadi marah- bukanlah termasuk dalam perbuatan durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan, hal itu termasuk dalam berbuat baik kepada kedua orang tua, karena dosa dan kedzaliman orang tua tidak menjadi bertambah ketika kalian mematuhi perintah maksiat yang berasal dari orang tua. Oleh karena itu, jika kalian menolak berbuat maksiat yang diperintahkan kepada kalian, maka kalian pada hakikatnya telah berbuat baik kepada mereka. Hal ini karena kalian telah mencegah bertambahnya dosa atas mereka, maka janganlah taat dalam berbuat maksiat sama sekali. 

Adapun dalam perkara ketaatan yang apabila ditinggalkan bukanlah maksiat (yaitu, perkara sunnah, pent.), maka hendaknya seseorang melihat manakah yang lebih baik. Jika dia melihat bahwa yang lebih baik adalah menyelisihi (perintah orang tua), maka hendaknya dia menyelisihinya. Akan tetapi, dia bisa bersikap basa-basi. Yaitu apabila perintah orang tua itu masih memungkinkan untuk diingkari (tidak ditaati), namun dengan sembunyi-sembunyi, maka hendaknya tidak taat dan menyembunyikannya dari mereka berdua. Namun jika tidak mungkin disembunyikan dari mereka, maka hendaklah ditampakkan, dan hendaknya membuat mereka tenang (lega) dengan menjelaskan kepada orang tua bahwa perbuatan tersebut tidak menimbulkan mudharat (bahaya) bagi mereka (kedua orang tua) dan juga bagi dirinya sendiri, atau kalimat-kalimat sejenis yang bisa menenangkan hati kedua orang tua. 

Sumber: https://muslim.or.id/

Berikut Ini Bukan Durhaka Kepada Orang Tua

Pada artikel “Perintah Berbakti Kepada Orang Tua” telah kami jelaskan dalil-dalil dalam Al Quran dan As Sunnah yang memerintahkan kita untuk berbakti kepada orang tua. Dan bahwa berbakti kepada orang tua merupakan amalan yang agung kedudukannya dalam Islam, serta durhaka kepada orang tua adalah dosa yang besar.

Namun pembaca yang budiman, rahimakumullah, bukan berarti taat dan berbakti kepada orang tua itu tanpa batasan. Tidak berarti orang tua adalah pihak yang harus kita taati dalam segala hal dan segala keadaan. Pada bahasan kali ini akan kami paparkan batasan-batasan berbakti kepada orang tua.

Dua kaidah agung yang membatasi berbakti kepada orang tua

Berbakti kepada orang tua haruslah mengindahkan dua kaidah syar’iyyah yang agung berikut ini.

Kaidah pertama:

حب الله و رسوله أعظم

“Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya itu yang paling besar (dari yang lain)”

Betapapun cinta kita kepada orang tua, betapapun besarnya bakti kita kepada orang tua, tidak boleh melebihi cinta dan ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih besar dari yang lain. Sehingga tidak boleh kita dalam berbakti kepada orang tua malah melakukan hal-hal yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ولا يُؤمِنُ أحَدُكم حتى أكونَ أحَبَّ إليه من وَلَدِهِ، ووَالِدِهِ والنَّاسِ أجْمعينَ

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga aku (Rasulullah) menjadi yang paling dicintainya daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia” (HR. Bukhari no. 15, Muslim no. 44).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ثَلاثٌ مَن كُنَّ فيه وجَدَ طَعْمَ الإيمانِ: مَن كانَ يُحِبُّ المَرْءَ لا يُحِبُّهُ إلَّا لِلَّهِ، ومَن كانَ اللَّهُ ورَسولُهُ أحَبَّ إلَيْهِ ممَّا سِواهُما، ومَن كانَ أنْ يُلْقَى في النَّارِ أحَبَّ إلَيْهِ مِن أنْ يَرْجِعَ في الكُفْرِ بَعْدَ أنْ أنْقَذَهُ اللَّهُ منه

“Tiga jenis orang yang jika termasuk di dalamnya maka seseorang akan merasakan lezatnya iman: orang yang mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya paling ia cintai daripada selain keduanya, dan orang yang dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai daripada ia kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran” (HR. Bukhari no. 6041, Muslim no.43).

Kaidah kedua:

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.”

Maka taat kepada orang tua itu tidak mutlak dalam segala perkara dan setiap keadaan. Ketaatan kepada orang tua hanya dalam perkara yang ma’ruf. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Perkara yang ma’ruf didefinisikan oleh As Sa’di:

المعروف: الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه

“Al ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat.” (Tafsir As Sa’di, 1/194-196).

Maka jika orang tua memerintahkan perkara yang membahayakan diri orang tua, atau membahayakan diri sang anak, atau bukan perkara yang dianggap bagus oleh akal sehat, perkara yang memalukan, perkara yang menjatuhkan wibawa, dan semisalnya ketika itu tidak wajib taat kepada orang tua.

Beberapa perkara yang bukan durhaka kepada orang tua

Jika telah dipahami dua kaidah agung di atas, maka ketahuilah ketika seorang anak tidak melakukan apa yang diinginkan orang tua karena terjadi pelanggaran pada dua kaidah di atas, ini bukanlah durhaka kepada orang tua. Berikut ini beberapa contoh kasus yang banyak disangka sebagai durhaka kepada orang tua, namun bukan kedurhakaan dalam pandangan syariat.

1. Tidak taat orang tua ketika diperintahkan maksiat

Tidak boleh seorang anak taat kepada orang tuanya dalam perkara maksiat. Ketika seorang anak tidak taat ketika itu, tidak dianggap sebagai durhaka kepada orang tua.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 15).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Maksudnya, jika kedua orang tua berupaya sepenuh tenaga untuk membuatmu mengikuti agama mereka yang kufur, maka jangan ikuti mereka berdua. Namun hal ini tidak boleh menghalangimu untuk tetap mempergauli mereka dengan ma’ruf di dunia, yaitu dengan baik. Dan tetaplah ikuti jalannya kaum yang beriman.” (Tafsir Ibnu Katsir).

Ayat di atas turun terkait dengan kisah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu’anhu. Ummu Sa’ad (ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan berbicara kepada anaknya dan tidak mau makan dan minum karena menginginkan Sa’ad murtad dari ajaran Islam. Ummu Sa’ad mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya berkata, “Aku tahu Allah menyuruhmu berbuat baik kepada ibumu dan aku menyuruhmu untuk keluar dari ajaran Islam ini”. Kemudian selama tiga hari Ummu Sa’ad tidak makan dan minum. Bahkan memerintahkan Sa’ad untuk kufur. Sebagai seorang anak Sa’ad tidak tega dan merasa iba kepada ibunya. Namun turunnya ayat tersebut semakin menambah keimanan Sa’ad dan semakin jauhnya ia dari kemurtadan. Dan ia pun tetap berbuat baik kepada ibunya hingga akhirnya ibunya mau kembali makan.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Mendengar dan ta’at (kepada penguasa) itu memang benar, selama mereka tidak diperintahkan kepada maksiat. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan ta’at.” (HR. Bukhari no.2955).

Ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf. Perkara ma’ruf adalah perkara yang dianggap baik oleh akal sehat, atau adat istiadat dan tidak bertentangan dengan syariat. Dalam sebuah hadits dari ‘Ali radhiyallahu’anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَقَالَ لِلْآخَرِينَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus satu pasukan dan mengangkat seorang laki-laki sebagai panglima mereka. Kemudian panglima itu menyalakan api dan berkata (kepada pasukannya): “Masuklah kamu ke dalam api!” Sebagian pasukan berkehendak memasukinya, orang-orang yang lain mengatakan,”Sesungguhnya kita lari dari api (neraka),” kemudian mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda kepada orang-orang yang berkehendak memasukinya, “Jika mereka memasuki api itu, mereka akan terus di dalam api itu sampai hari kiamat”. Dan beliau bersabda kepada yang lain,”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

2. Meninggalkan ta’ashub jahiliyah

Diantara ta’ashub jahiliyah adalah fanatik golongan; membela keluarga, suku, marga, trah, walaupun di atas kesalahan. Ketika seseorang tidak ikut membela, maka itu bukan durhaka kepada orang tua. Namun karena takut kepada Allah dan mengharap ridha-Nya.

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

– كنا في غزاة – قال سفيان مرة : في جيش – فكسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال الأنصاري : يا للأنصار ، وقال المهاجري : يا للمهاجرين ، فسمع ذاك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : (ما بال دعوى جاهلية ) . قالوا : يا رسول الله ، كسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال : (دعوها فإنها منتنة)

“Suatu ketika di Gaza, (sebuah pasukan) ada seorang dari suku Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (ayo berpihak padaku).’ Orang muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (ayo berpihak padaku)’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar kejadian tersebut, beliau bersabda: ‘Pada diri kalian masih terdapat seruan-seruan Jahiliyyah.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah mendorong seorang dari suku Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan sikap yang demikian karena yang demikian adalah perbuatan busuk.’” (HR. Al Bukhari no.4905).

Dari Jundub bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من قُتِلَ تحتَ رايةٍ عميّةٍ ، يدعو عصبيّةً ، أو ينصُر عصبيّةً ، فقتلةٌ جاهلية

“Barangsiapa yang mati di bawah bendera fanatik buta, ia mengajak pada (ashabiyyah) fanatik golongan, atau membantu untuk berfanatik golongan, maka ia mati secara Jahiliyyah.” (HR. Muslim no. 1850).

Dari Watsilah bin Al Asqa’, ia mengatakan:

سألْتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فقلْتُ: يا رسولَ اللهِ، أَمِنَ العصَبيَّةِ أنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَومَه؟ قال: لا، ولكنْ مِنَ العصَبيَّةِ أنْ يَنصُرَ الرَّجُلُ قَومَه على الظُّلْمِ

“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “wahai Rasulullah apakah termasuk ashabiyyah (fanatik golongan) jika seseorang mencintai kaumnya?”. Nabi menjawab: “Tidak demikian, namun ashabiyyah itu kalau dia membela kaumnya di atas kezaliman.”” (HR. Ahmad no.16989, dihasankan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

3. Bersaksi kebenaran yang memberatkan orang tua

Ketika seorang anak menjadi saksi atas tuduhan yang dijatuhkan kepada orang tuanya, maka wajib baginya untuk tetap jujur dalam bersaksi. Ketika persaksiannya justru memberatkan orang tua, maka tidak dianggap sebagai durhaka kepada orang tua.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An Nisa: 135).

Selain itu, persaksian palsu itu merupakan dosa besar. Allah Ta’ala berfirman:

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al-Hajj: 30).

As Sa’di menjelaskan: “Maksudnya, jauhi semua perkataan yang haram karena semua itu termasuk perkataan dusta, dan termasuk di dalamnya persaksian palsu.” (Tafsir As Sa’di).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

أكبرُ الكبائرِ : الإشراكُ بالله ، وقتلُ النفسِ ، وعقوقُ الوالدَيْنِ ، وقولُ الزورِ . أو قال : وشهادةُ الزورِ

“dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu.” (HR. Bukhari-Muslim dari sahabat Anas bin Malik).

Kaidah ini juga berlaku ketika menyelesaikan persengketaan antara orang tua dan orang lain.

4. Tidak taat orang tua ketika diperintahkan untuk menceraikan istri

Apakah seorang suami wajib menceraikan istrinya jika orang tuanya memerintahkan untuk menceraikan istrinya?

Jawabnya, perlu dirinci. Jika orang tuanya adalah orang yang shalih dan alasan mereka memerintahkan untuk bercerai adalah alasan yang dibenarkan syari’at, maka wajib untuk ditaati.

Diantara dalilnya adalah kisah Nabi Ismail dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam Shahih Bukhari: “Di kemudian hari Ibrahim datang setelah Ismail menikah untuk mengetahui kabarnya, namun dia tidak menemukan Ismail. Ibrahim bertanya tentang Ismail kepada istri Ismail. Istrinya menjawab, “Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.” Lalu Ibrahim bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istri Ismail menjawab, “Kami mengalami banyak keburukan, hidup kami sempit dan penuh penderitaan yang berat.” Istri Ismail mengadukan kehidupan yang dijalaninya bersama suaminya kepada Ibrahim. Ibrahim berkata, “Nanti apabila suami kamu datang sampaikan salam dariku dan katakan kepadanya agar mengubah palang pintu rumahnya.”

Ketika Ismail datang dia merasakan sesuatu lalu dia bertanya kepada istrinya; “Apakah ada orang yang datang kepadamu?” Istrinya menjawab, “Ya. Tadi ada orang tua begini dan begitu keadaannya datang kepada kami dan dia menanyakan kamu lalu aku terangkan dan dia bertanya kepadaku tentang keadaan kehidupan kita maka aku terangkan bahwa aku hidup dalam kepayahan dan penderitaan.” Ismail bertanya, “Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?” Istrinya menjawab, “Ya. Dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mengubah palang pintu rumahmu.” Ismail berkata, “Dialah ayahku dan sungguh dia telah memerintahkan aku untuk menceraikan kamu, maka kembalilah kamu kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya.

Kemudian Ismail menikah lagi dengan seorang wanita lain dari kalangan penduduk yang tinggal di sekitar itu lalu Ibrahim pergi lagi meninggalkan mereka dalam kurun waktu yang dikehendaki Allah. Setelah itu, Ibrahim datang kembali untuk menemui mereka namun dia tidak mendapatkan Ismail hingga akhirnya dia mendatangi istri Ismail lalu bertanya kepadanya tentang Ismail. Istrinya menjawab, “Dia sedang pergi mencari nafkah untuk kami.” Lalu Ibrahim bertanya lagi, “Bagaimana keadaan kalian?” Dia bertanya kepada istrinya Ismail tentang kehidupan dan keadaan hidup mereka. Istrinya menjawab, “Kami selalu dalam keadaan baik-baik saja dan cukup.” Istri Ismail juga memuji Allah. Ibrahim bertanya, “Apa makanan kalian?” Istri Ismail menjawab, “Daging.” Ibrahim bertanya lagi, “Apa minuman kalian? Istri Ismail menjawab, “Air.” Maka Ibrahim berdoa, “Ya Allah, berkahilah mereka dalam daging dan air mereka”.

Ibrahim selanjutnya berkata, “Jika nanti suamimu datang, sampaikan salam dariku kepadanya dan perintahkanlah dia agar memperkokoh palang pintu rumahnya”.

Ketika Ismail datang, dia berkata, “Apakah ada orang yang datang kepadamu?” Istrinya menjawab, “Ya. Tadi ada orang tua dengan penampilan sangat baik datang kepada kita dan istrinya memuji Ibrahim. Dia bertanya kepadaku tentang kamu, maka aku terangkan lalu dia bertanya kepadaku tentang keadaan hidup kita, maka aku jawab bahwa aku dalam keadaan baik.” Ismail bertanya, “Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?” Istrinya menjawab, “Ya.” Dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mempertahankan palang pintu rumahmu.” Ismail berkata, “Dialah ayahku dan palang pintu yang dimaksud adalah kamu. Dia memerintahkanku untuk mempertahankan kamu.” (HR. Bukhari).

Namun jika orang tua bukanlah orang yang shalih, atau alasan permintaan cerai mereka bukan alasan yang dibenarkan syari’at maka tidak wajib menaatinya. Dan ini bukan durhaka kepada orang tua. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al Kahfi: 28).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya mengenai lelaki yang sudah menikah, punya beberapa anak, namun ibunya tidak suka dengan istrinya dan memintanya untuk menceraikan istrinya. Maka Ibnu Taimiyah menjawab: “tidak halal baginya untuk menceraikan istrinya sekedar karena perintah ibunya. Namun wajib baginya untuk tetap berbuat baik pada ibunya, namun bukan dengan cara menceraikan istrinya.” (Majmu Al Fatawa, 33/112).

5. Tidak taat orang tua dalam masalah pemilihan calon pasangan

Orang tua tidak boleh memaksakan kehendak kepada anaknya dalam masalah pemilihan calon pasangan. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا تُنكحُ الأيِّمُ حتى تُستأمرَ ، و لا تُنكحُ البكرُ حتى تُستأذنَ ، قيل : و كيف إذْنُها ؟ قال : أنْ تسكتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan sampai ia menyatakan persetujuan dengan lisan, dan tidak boleh seorang perawan dinikahkan sampai ia menyatakan persetujuan”. Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana persetujuan seorang perawan?”. Nabi bersabda: “dengan diamnya ketika ditanya” (HR. Bukhari – Muslim).

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Maknanya, pernikahan tidak sah hingga mempelai wanita diminta persetujuan lisannya. Berdasarkan sabda Nabi [حتى تُستأمرَ] menunjukkan tidak sahnya pernikahan hingga ia setuju secara lisan. Namun dalam hadits ini bukan berarti tidak disyaratkan adanya wali dalam pernikahan, bahkan justru terdapat isyarat bahwa disyaratkan adanya wali.” (Fathul Baari, 9/192).

Demikian pemaparan yang singkat ini, semoga Allah ta’ala merahmati orang tua kita semua dan memberikan kita hidayah untuk bisa berbakti kepada mereka dengan baik. Wallahu waliyyut taufik was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.

____

Disarikan dari kitab Fiqhu at Ta’amul Ma’al Walidain, karya Syaikh Musthafa Al ‘Adaw

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags