Peran Suami dalam Rumah Tangga
Setiap rumah tangga membutuhkan pemimpin yang mengatur dan mengelola urusan rumah tangga, demikian juga menjaga dan memperhatikan kondisi anggota keluarga. Pemimpin ini haruslah didengar, dipatuhi, dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Ta’ala.
Pemimpin dalam rumah tangga ini adalah laki-laki (suami). Dan yang mengangkat laki-laki sebagi pemimpin adalah Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)
Mengapa Suami Dijadikan Pemimpin?
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala sebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan Allah Ta’ala sebutkan sebabnya.
Keutamaan Laki-Laki Lebih dari Wanita
Sebab pertama yang Allah Ta’ala sebutkan adalah karena Allah telah memberikan keutamaan pada laki-laki lebih dari wanita. Misalnya, dari sisi penciptaan, laki-laki secara umum memiliki kekuatan fisik melebihi wanita. Laki-laki mampu melakukan berbagai pekerjaan berat yang tidak mampu dikerjakan oleh wanita.
Laki-laki diberi kelebihan akal oleh Allah Ta’ala. Yang dimaksud dengan “kelebihan dari sisi akal” di sini adalah laki-laki mampu berpikir jernih tentang tindakan yang terbaik, mampu berpikir panjang dan jauh ke depan, sehingga lebih hati-hati dan lebih tepat dalam mengambil keputusan. Demikian pula kesabaran yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka.
Sehingga kenabian itu hanya Allah Ta’ala khususkan bagi kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Kami tidaklah mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)
Dalam masalah kepemimpinan, syariat menetapkan kepemimpinan itu pada laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Bukhari no. 4425)
Dalam masalah fiqh persaksian, Allah Ta’ala jadikan persaksian seorang laki-laki setara dengan persaksian dua orang perempuan. Dalam masalah fiqh waris, Allah Ta’ala jadikan bagian untuk wanita itu separuh bagian kaum laki-laki.
Dalam masalah pernikahan, seorang laki-laki boleh menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Namun, seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami saja di satu waktu, tidak boleh lebih. Dalam masalah perceraian (thalaq), Allah Ta’ala jadikan hak thalaq dan ruju’ itu bagi kaum laki-laki (suami), tidak bagi kaum wanita (istri). Dalam masalah nasab, seorang anak itu dinasabkan (di-“bin”-kan) kepada bapaknya, kecuali dalam sedikit kasus saja yang dinasabkan kepada sang ibu.
Dalam syariat jihad, Allah Ta’ala jadikan kewajiban berjihad itu bagi kaum laki-laki, bukan kaum wanita. Demikian pula, mayoritas masalah berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar itu berkaitan dengan laki-laki, dan bukan wanita. Meskipun boleh dalam sebagian kasus, seorang wanita melakukan nahi mungkar selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Maka hal ini menunjukkan bahwa “jenis” laki-laki Allah Ta’ala berikan keutamaan lebih dari jenis wanita. Hal ini sebagaimana dikuatkan pula oleh firman Allah Ta’ala,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Penanggung Jawab Nafkah Istri dan Keluarga
Sebab kedua Allah Ta’ala menjadikan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah karena kaum laki-laki (suami) adalah penanggung jawab terhadap nafkah istri dan keluarga. Sejak akad nikah, suami wajib memberikan nafkah untuk sang istri, di samping mahar yang telah diberikan. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri berkaitan dengan kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal (rumah). Oleh karena itu, dalam sebagian harta yang dimiliki suami terdapat hak bagi sang istri. Namun tidak sebaliknya, harta istri adalah milik istri, kecuali istri memberikan kerelaan berupa sedekah kepada sang suami.
Karena sebab kepemimpinan laki-laki adalah nafkah kepada sang istri, maka jika suami membebankan nafkah rumah tangga kepada istri, maka kepemimpinannya telah jatuh. Demikian pula, jika istri ikut bertanggung jawab terhadap sebagian nafkah keluarga, maka pada asalnya istri telah mengambil sebagian kepemimpinan laki-laki.
Oleh karena itu kami nasihatkan, jika suami mengizinkan istri untuk bekerja (sehingga konsekuensinya memiliki penghasilan sendiri), maka jadikanlah penghasilan istri itu untuk dirinya (istri) sendiri. Adapun kebutuhan nafkah untuk keluarga, maka 100% tetap di tangan suami. Hal ini mengingat sebab kepemimpinan laki-laki adalah karena laki-laki yang memegang urusan nafkah kepada istri dan keluarganya. Juga agar laki-laki bisa menegakkan kepalanya di depan sang istri dan tetap menjaga kewibawaannya di hadapan sang istri. Selain itu, jika istri memegang dan bertanggung jawab terhadap sebagian urusan nafkah, hal ini akan menjadi salah satu sebab seorang istri kemudian durhaka kepada suami karena merasa telah banyak berjasa kepada sang suami.
Tingginya Kedudukan Suami di Sisi Sang Istri
Kalau kita merenungkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita dapati bagaimanakah tingginya kedudukan suami di sisi sang istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ
لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)
Dalam riwayat Al-baihaqi terdapat tambahan,
لِمَا عَظَّمَ اللهُ مِنْ حَقِّهِ عَلَيْهَا
“Karena Allah telah mengagungkan hak suami yang wajib ditunaikan istri.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 7: 475, dengan sanad yang shahih)
Perlu diketahui, ada dua macam sujud, yaitu (1) sujud ibadah dan (2) sujud tahiyyah (sujud karena penghormatan). Sujud ibadah ini hanya boleh ditujukan untuk Allah Ta’ala, sehingga haram ditujukan kepada selain Allah Ta’ala dalam semua syariat para Nabi dan Rasul. Adapun contoh sujud tahiyyah adalah sujud malaikat kepada Nabi Adam ‘alaihi salaam, dan juga sujud anak-anak Nabi Ya’qub kepada ayah dan ibunya, sebagaimana yang terdapat di surat Yusuf. Sujud tahiyyah tersebut diperbolehkan di sebagian syariat terdahulu, namun diharamkan di syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa seandainya sujud tahiyyah itu diperbolehkan dalam syariat Muhammad, niscaya dia akan perintahkan istri untuk sujud kepada sang suami.
Tingginya kedudukan suami, juga digambarkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau meengatakan,
أَنَّ رَجُلًا أَتَى بِابْنَةٍ لَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ ابْنَتِي هَذِهِ أَبَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ، قَالَ: فَقَالَ لَهَا: أَطِيعِي أَبَاكِ قَالَ: فَقَالَتْ: لَا، حَتَّى تُخْبِرَنِي مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ؟ فَرَدَّدَتْ عَلَيْهِ مَقَالَتَهَا قَالَ: فَقَالَ: حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَ بِهِ قُرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا، أَوِ ابْتَدَرَ مَنْخِرَاهُ صَدِيدًا أَوْ دَمًا، ثُمَّ لَحَسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ قَالَ: فَقَالَتْ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا قَالَ: فَقَالَ: لَا تُنْكِحُوهُنَّ إِلَّا بِإِذْنِهِنَّ
“Seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disertai anak perempuannya. Kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini, dia enggan untuk menikah.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada perempuan tersebut, “Patuhilah bapakmu.”
Perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebanaran, aku tidak mau menikah sampai Engkau mengabarkan kepadaku apa hak suami yang wajib ditunaikan istri.” Dia terus mengulang-ulang permintaan tersebut.
Rasulullah bersabda, “Hak suami yang wajib ditunaikan istri itu bagaikan jika suami memiliki luka, lalu sang istri menjilati luka tersebut, atau jika dari kedua lubang hidung suami keluar nanah atau darah, kemudian sang istri menjilatinya, belumlah dinilai memenuhi hak suami.”
Perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebanaran, aku tidak akan menikah selamanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sang ayah, “Janganlah Engkau menikahkannya, kecuali dengan seijinnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4: 303; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7: 291; An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 3: 383)
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan tingginya kedudukan suami. Sampai-sampai jika suami terluka dan berdarah, lalu sang istri menjilati darah tersebut, hal itu dinilai belum menunaikan hak suami. Karena itulah, anak perempuan tersebut tidak mau menikah, dan hal ini disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dapat diambil faidah dari hadits ini bahwa seorang perempuan boleh untuk memilih tidak menikah. Dan juga dalil tidak bolehnya nikah paksa dalam ajaran Islam.
Kedudukan Mulia Seorang Istri yang Taat Suami
Para istri yang taat kepada suami inilah yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wanita terbaik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا، وَلَا فِي مَالِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah wanita yang paling baik?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Yaitu para wanita yang membuat senang ketika dipandang, taat jika diperintah sang suami, tidak menyelisihi suami dalam perkara-perkara yang dibenci suami, baik berkaitan dengan dirinya (istri) atau hartanya (suami).” (HR. Ahmad 2: 251, dengan sanad yang shahih)
“Berkaitan dengan diri istri”, misalnya suami mengatakan, “Aku tidak suka parfummu yang ini, karena aku tidak suka baunya.” Maka istri yang baik, dia akan taat dan tidak memakai parfum yang tidak disukai istri.
“Berkaitan dengan harta suami”, misalnya suami mengatakan, “Jika Engkau ingin sedekah (dengan harta suami) lebih dari sekian, ngomong dulu sama saya.” Maka istri yang baik, dia akan menaati perintah suaminya.
Seorang istri, bisa jadi sangat ringan untuk shalat, puasa, sedekah, dan ibadah-ibadah lainnya. Akan tetapi, dia sangat berat untuk taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Dan inilah salah satu ujian untuk para istri di kehidupan rumah tangannya bersama sang suami.
Bersambung: Laki-laki adalah Pemimpin Rumah Tangga [2]
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
Sumber: https://muslim.or.id/