Dasar Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush-Shalih[1]
Islam bersumber kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shalih. Sedangkan yang dimaksud Salafus Shalih adalah para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang muslim berkewajiban untuk mengikuti (ittiba’) kepada manhaj (metode) Salafush Shalih ini. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
A. Dalil-Dalil dari Al-Qur-an
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [Al-An’aam/6: 153]
Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa jalan itu hanya satu, sedangkan jalan selainnya adalah jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahlul bid’ah. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu anhum. Jalan ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah Azza wa Jalla.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah hanya SATU… Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada Allah kecuali melalui jalan yang satu ini.[2]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa’/4: 115]
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum mukminin sebagai sebab seseorang akan terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam dengan masuk Neraka Jahannam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah prinsip terbesar dalam Islam yang memiliki konsekuensi wajibnya umat Islam untuk mengikuti jalannya kaum mukminin dan jalannya kaum mukminin adalah jalannya para Shahabat Radhiyallahu anhum. Karena ketika turunnya wahyu tidak ada orang yang beriman kecuali para Shahabat, seperti firman Allah Azza wa Jalla:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Rasul (Muhammad) telah beriman kepada Al-Qur-an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah/2: 285]
Orang-orang mukmin ketika itu hanyalah para Shahabat Radhiyallahu anhum, tidak ada yang lain
Ayat di atas menunjukkan bahwasanya mengikuti jalan para Shahabat dalam memahami syari’at adalah wajib dan menyalahinya adalah kesesatan.[3]
Firman Allah Azza wa Jalla lainnya:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” [At-Taubah/9: 100]
Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Shahabat Radhiyallahu anhum adalah benar. Dan orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap mukmin. Kalau mereka tidak mau mengikuti maka mereka akan mendapatkan hukuman dan tidak men-dapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla dan ini harus diperhatikan.[4]
Firman Allah Azza wa Jalla:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” [Ali ‘Imran/3: 110]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menetapkan keutamaan bagi para Shahabat atas sekalian umat-umat yang ada, dan hal ini menunjukkan keistiqamahan para Shahabat dalam setiap keadaan karena mereka tidak menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Azza wa Jalla mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap yang ma’ruf (baik) dan mencegah setiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka (Shahabat) adalah hujjah atas orang-orang setelah mereka sampai Allah Azza wa Jalla mewariskan bumi dan seisinya[5].
B. Dalil-Dalil dari As-Sunnah
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
(وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ)خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًا، وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ (مُتَفَرِّقَةٌ)، لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَى:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tidak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaitan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.’” [Al-An’aam/6: 153][6]
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ يَجِئُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ، وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.”[7]
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang kebaikan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta keutamaannya. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya dan lain-lainnya. Oleh karena itu mereka dikatakan sebaik-baik manusia[8]. Dan dalam riwayat lain disebutkan dengan kata (خَيْرُكُمْ) ‘sebaik-baik kalian’ dan dalam riwayat yang lain disebutkan (خَيْرُ أُمَّتِيْ)“sebaik-baik umatku.”
Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فاَبْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ.
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek.”[9]
Dan dalam hadits lain pun disebutkan tentang wajibnya mengikuti manhaj Salafush Shalih (para Shahabat), yaitu hadits yang terkenal dengan hadits ‘Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arbain an-Nawawiyah (no. 28):
قَالَ الْعِرْبَاضُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَناَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْناَ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami lalu beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Pegang erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”[10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada umatnya, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar untuk selamat di dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para Shahabatnya Radhiyallahu anhum. Hal ini menunjukkan tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan Sunnah para Shahabatnya Radhiyallahu anhum.
Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan):
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ.
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahlul kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”[11]
Dalam riwayat lain disebutkan:
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.
“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya”[12]
Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu anhum. Jadi jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Shahabat).
Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya adalah termasuk ke dalam al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Sedangkan yang menyelisihi (tidak mengikuti) para Shahabat, maka mereka adalah golongan yang binasa dan akan mendapat ancaman dengan masuk ke dalam Neraka.
C. Dalil-Dalil dari Penjelasan Salafush Shalih
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
C. Dalil-Dalil dari Penjelasan Salafush Shalih
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: اِتَّبِعُوْا وَلاََ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.[1]
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu juga mengatakan:
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ.
“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus”[2]
Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan:
اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُواْ، وَكُفَّ عَمَّا كُفُّوْا، وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَّالِحَ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ.
“Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.”[3]
Beliau rahimahullah juga berkata:
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ لَكَ بِالْقَوْلِ.
“Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauh-kanlah dirimu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah”[4]
Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata:
كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ: إِذَا كَانَ الرَّجُلُ عَلَى اْلأَثَرِ فَهُوَ عَلَى الطَّرِيْقِ.
“Mereka mengatakan, ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (Sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.’”[5]
Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata:
أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلاِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ الْبِدَعِ وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ.
“Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat Radhiyallahu anhum dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[6]
Imam al-Barbahary rahimahullah[7] (wafat th. 329 H) berkata:
“Ketahuilah sesungguhnya Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam dan masing-masing tidak dapat dipisah-pisahkan.”
“Termasuk bagian dari Sunnah adalah tetap di atas al-Jama’ah, barangsiapa condong kepada selain al-Jama’ah dan menyelisihinya, maka ia telah melepas tali Islam dari pundaknya dan telah sesat dan menyesatkan.”
“Landasan dan tolok ukur al-Jama’ah adalah para Shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam -semoga Allah merahmati mereka semua-, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa yang tidak mengambil kebenaran dari mereka, maka ia telah memilih jalan kesesatan dan kebid’ahan. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap pelaku kesesatan diancam menjadi penghuni Neraka.”[8]
“‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, ‘Allah tidak menerima udzur bagi seorang pun yang berbuat kesesatan yang dia anggap petunjuk. Begitu juga Allah tidak menerima udzur bagi seorang pun yang meninggalkan petunjuk yang ia anggap sebagai kesesatan karena semua perkara telah dijelaskan secara tuntas dan hujjah telah ditegakkan secara sempurna sehingga tidak ada celah bagi siapa pun untuk mencari-cari alasan.’”[9]
As-Sunnah dan al-Jama’ah telah meletakkan kerangka agama secara sempurna dan telah tampak jelas kepada seluruh orang yang mengikutinya.
“Ketahuilah wahai saudaraku rahimakallaah (semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepadamu) bahwa agama hanyalah ajaran yang datang dari Allah Azza wa Jalla dan bukan berdasarkan pada ketetapan akal dan pemikiran manusia.
“Semua ilmu agama bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga engkau terhempas dari agama dan keluar dari Islam. Tidak ada alasan bagimu sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang Sunnah kepada seluruh umatnya dan mengajarkan secara tuntas kepada semua para Shahabatnya, mereka adalah al-Jama’ah dan Sawadul A’zham. Sawadul A’zham ialah kebenaran dan para pembelanya, maka barang-siapa yang menyelisihi para Shahabat Rasul dalam sebagian masalah agama, ia telah kafir.”[10]
Perhatian Para Ulama Terhadap Aqidah Salafush Shalih
Sesungguhnya para ulama mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ‘aqidah Salafush Shalih. Mereka menulis kitab-kitab yang banyak sekali untuk menjelaskan dan menerangkan ‘aqidah Salaf ini, serta membantah orang-orang yang menentang dan menyalahi ‘aqidah ini dari berbagai macam firqah dan golongan yang sesat. Karena sesungguhnya ‘aqidah dan manhaj Salaf ini dikenal dengan riwayat bersambung yang sampai kepada imam-imam Ahlus Sunnah dan ditulis dengan penjelasan yang benar dan akurat.
Adapun untuk mengetahui ‘aqidah dan manhaj Salaf ini maka kita bisa melihat:
Pertama, penyebutan lafazh-lafazh mereka dan riwayat Ahlul Hadits dengan sanad-sanad yang shahih.
Kedua, yang meriwayatkan ‘aqidah dan manhaj Salaf adalah seluruh ulama kaum muslimin dari berbagai macam disiplin ilmu, yaitu: Ahlul Ushul, Ahlul Fiqh, Ahlul Hadits, Ahlut Tafsir, dan yang lainnya.
Sehingga ‘aqidah dan manhaj Salaf ini diriwayatkan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu secara mutawatir.
Penulisan dan pembukuan ‘aqidah dan manhaj Salaf (seiring) bersamaan dengan penulisan dan pembukuan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pentingnya berpegang dengan ‘aqidah Salaf ini di antara ‘aqidah-‘aqidah yang lainnya, yaitu antara lain :
Dengan ‘aqidah Salaf, seorang muslim akan mengagungkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, adapun ‘aqidah yang lain karena mashdarnya (sumbernya) hawa nafsu, maka mereka akan mempermainkan dalil, sedang dalil dan tafsirnya mengikuti hawa nafsu.
Dengan ‘Aqidah Salaf, seorang muslim akan terikat dengan generasi yang pertama, yaitu para Shahabat Radhiyallahu anhum, mereka adalah sebaik-baik manusia dan umat.
Dengan ‘aqidah Salaf, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan bersatu sehingga dapat mencapai kemuliaan serta menjadi sebaik-baik umat. Hal ini karena ‘aqidah Salaf berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat. Adapun ‘aqidah selain ‘aqidah Salaf, maka dengannya tidak akan tercapai persatuan bahkan yang akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran. Imam Malik rahimahullah berkata:
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا.
“Tidak akan baik umat ini melainkan apabila mereka mengikuti baiknya generasi yang pertama umat ini (Shahabat).”[11]
‘Aqidah Salaf adalah ‘aqidah yang jelas, mudah dan jauh dari ta’wil, ta’thil dan tasybih. Oleh karena itu, dengan kemudahan ini setiap muslim akan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan merasa tenang dengan qadha’ dan qadar -Nya Subhanahu wa Ta’ala.
‘Aqidah Salaf adalah ‘aqidah yang selamat, karena as-Salafush Shalih lebih selamat, lebih mengetahui dan lebih bijaksana (aslam, a’lam, ahkam). Dan dengan ‘aqidah Salaf ini akan membawa seseorang kepada keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, berpegang pada ‘aqidah Salaf ini hukumnya wajib.
Kewajiban Mengikuti Salafush Shalih
Kewajiban mengikuti Salafush Shalih bukanlah perkara bid’ah, bahkan ini adalah perkara wajib sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat an-Nisaa’ ayat 115.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa’/4: 115]
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi ultimatum keras terhadap siapa saja yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menentang beliau dan menyalahi jalannya orang-orang yang beriman yaitu jalannya para Shahabat. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang muslim yang mengaku pengikut Al-Qur-an dan As-Sunnah untuk mengikuti pemikiran atau pendapat yang dipegang oleh generasi Salafush Shalih. Sebab apa yang mereka pegang merupakan penjelasan dari Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Kita sama-sama mengetahui bahwa As-Sunnah merupakan penjabaran dan penjelasan dari isi Al-Qur-anul Karim, sebagaimana Allah berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan Al-Qur-an kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka…” [An-Nahl/16: 44][12]
Penulis: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
_______
Footnote
[1] Lihat pembahasan ini pada buku saya, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 60-74), cet. II, Pustaka at-Taqwa, th. 2004 H.
[2] Tafsiirul Qayyim lil Ibnil Qayyim (hal. 14-15).
[3] Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarh Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 54).
[4] Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarh Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 43).
[5] Lihatlah kitab Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy (hal. 86), oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly
[6] Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimi (I/67-68), al-Hakim (II/318), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 97) dan an-Nasa-i dalam Tafsiirnya (no. 194). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Sunnah libni Abi ‘Ashim (no. 17). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
[7] Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533 (212)) dan yang lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu. Hadits ini mutawatir sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishaabah (I/12), al-Munawy dalam Faidhul Qadir (III/478) serta disetujui oleh al-Kattaany dalam kitab Nadhmul Mu-tanatsir (hal 127). Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 87).
[8] Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 86-87).
[9] HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’uz Zawaa-id (I/177-178).
[10] HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95-96), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany juga menshahihkannya.
[11] HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241), al-Ajury dalam asy-Syari’ah, al-Laalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 203, 204).
[12] HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahiihul Jami’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. Daarul Raayah, 1410 H.
_______
Footnote
[1] Dikeluarkan oleh Imam Waki’ dalam kitabnya, az-Zuhud, Imam Ahmad, ad-Darimy dalam Sunannya; Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/96 no. 104)
[2] Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no. 1810), tahqiq: Abul Asybal.
[3] Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/174 no. 315).
[4] Imam al-Ajurry dalam as-Syari’ah (I/445 no. 127) dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby (hal. 138), Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120).
[5] HR. Ad-Darimy (I/54), Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah (I/356 no. 242). Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaiy (I/98 no. 109).
[6] Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama‘ah oleh al-Laalikai (I/175-185 no. 317).
[7] Lihat Syarhus Sunnah lil Imam al-Barbahary, tahqiq Khalid bin Qasim ar-Raddady (point 1-5, hal. 59-60).
[8] Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka.” (HR. Nasa’i III/188 dan al-Baihaqy dalam Asma’ wa Shifat, dari hadits Jabir yang di-shahihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa al-Kubra III/163)
[9] Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra (162) dari jalan al-Auza’i bahwa ‘Umar Radhiyallahu anhu menyampaikan kepadanya namun sanadnya munqathi’. Dan al-Mawarzi mengeluarkan dalam as-Sunnah (95) dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ia berkata, “Setelah datang Sunnah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk melakukan suatu kesesatan, sementara hal itu dianggap petunjuk.” (Lihat Syarhus Sunnah hal. 60)
[10] Ini tidak secara mutlak, sebab kufur tidak bisa dituduhkan kepada orang per orang, kecuali telah nyata-nyata melakukan kekufuran sementara tidak ada penghalang untuk dikafirkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (XII/487) berkata, “Meng-kafirkan orang memiliki beberapa syarat dan penghalangnya yang mungkin tidak ada pada seseorang, sebab mengkafirkan secara umum tidak melazimkan takfir secara orang per orang kecuali setelah memenuhi syarat dan tidak ada penghalangnya.”
[11] Lihat Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhisy Syaitan (hal. 313) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Khalid ‘Abdul Latiif as-Sab’il ‘Alamiy, cet. Daarul Kitab al-‘Araby, 1422 H; Sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar (hal. 73) oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany.
[12] Dinukil dan diringkas dari kitab at-Ta’liiqaat as-Saniyyah Syarah Ushuulud Da’wah as-Salafiyyah (hal. 23-24, 31-32) oleh Muhaddits al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, disusun oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim
Sumber: https://almanhaj.or.id/