JUDUL ARTIKEL: BAKTIMU, KEPADA ORANG TUA !
TAUHID DAN BAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA, DUA SAYAP YANG HARUS SALING BERSANDING
Hak kedua orang tua atas anak-anak mereka sangat agung. Karena itu, Allah menyandingkan perintah untuk beribadah kepadaNya dengan keharusan berbakti kepada mereka berdua. Allah berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu. [Al Isra/17`: 23].
Lantaran begitu tingginya hak mereka, Allah memerintahkan kita untuk selalu menyuguhkan kebaikan kepada mereka dan berinteraksi dengan mereka dengan sikap yang ma’ruf (pantas). Kendatipun mereka dalam kungkungan kekafiran. Sekalipun mereka memaksamu, wahai sang anak, untuk menyekutukan Allah dengan obyek yang tidak jelas kedudukannya. Allah berfirman:
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergauilah kedunya dengan baik”. [Luqman/31: 15].
Saking besarnya martabat mereka dipandang dari kacamata syari’at, Nabi mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi sabilillah. Ibnu Mas’ud berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah,”Amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab,”Mendirikan shalat pada waktunya.” Aku bertanya kembali,”Kemudian apa?” Jawab Beliau,”Berbakti kepada ke orang tua,” lanjut Beliau. Aku bertanya lagi,”Kemudian?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [HR Bukhari no. 5.970].
Perlu dipahami, perintah berbakti kepada Allah merupakan titah ilahi yang sudah berlaku pada umat sebelumnya. Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin… [Al Baqarah/2:83].
Demikian juga Allah menyanjung para nabi karena telah berbuat baik dengan baktinya kepada orang tua. Secara khusus, Allah menyebut nama Nabi Yahya atas baktinya kepada kedua orang tuanya yang telah tua renta. Dan bakti akan bernilai lebih tinggi, tatkala dilaksanakan dalam waktu yang dibutuhkan. Masa tua dengan segala problematikanya adalah masa yang sangat membutuhkan perhatian ekstra, terutama dari orang terdekat, anak-anaknya. Allah berfirman:
وَبَرَّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. [Maryam/19:14].
Begitu pula Allah memuji Nabi Isa, lantaran beliau telah melayani sang ibu dengan sepenuh hati, dan bahkan merasa mendapat kehormatan dengan sikapnya itu. Allah berfirman:
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
Dan berbakti kepada ibuku dan Dia (Allah) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. [Maryam/19:32].
NILAI POSITIF BAKTI KEPADA ORANG TUA
Berbakti kepada orang tua, akan melahirkan banyak kebaikan; terangkatnya musibah, lenyapnya masalah dan kesedihan. Sebagai bukti konkretnya, yaitu kisah tiga orang yang terperangkap di sebuah goa sempit karena sebongkah batu besar menutupi mulut goa. Mereka berdo’a dan bertawasul dengan amal shalih yang pernah mereka kerjakan. Salah seorang di antara tiga orang itu, bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tua. Dia memanjatkan do’a kepada Allah, dengan lantaran baktinya tersebut, hingga akhirnya menjadi sebab sirnanya kesengsaraan yang menghimpit. Dalam kisah nyata ini, seorang mukmin meyakini bahwa bakti kepada orang tua, menjadi salah satu faktor hilangnya musibah.
Berbakti kepada orang tua juga akan menggoreskan kenangan kebaikan di benak anak-anaknya. Sehingga anak-anak juga akan menjadi insan-insan yang berbakti kepadanya, sebagai balasan baik dari budinya kepada ayah bundanya dahulu. Sebab, al jaza` min jinsil ‘amal, balasan yang diterima oleh seseorang sejenis dengan apa yang dahulu pernah ia kerjakan.
Sedangkan balasan akhiratnya, ialah syurga, yang luasnya seluas langit dan bumi. Dikisahkan dari Mua’wiyah bin Jahimah, ia bercerita: Aku bersama Nabi untuk meminta pertimbangan dalam berjihad. Maka Beliau bertanya,”Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Aku jawab,”Ya (masih hidup)!” Beliau berkata,”Temanilah mereka berdua. Sesungguhnya syurga berada di bawah telapak kaki keduanya.” [Shahih At Targhib Wat Tarhib].
KEHARUSAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA SEPANJANG MASA
Bagaimana saya harus berbakti kepada orang tua? Mungkin pertanyaan ini pernah mengganggu dan membingungkan kita. Dalam masalah ini, sebenarnya Al Quran telah memaparkannya secara gamblang melalui ayat (artinya): “Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua”. [Al Isra`: 23].
Saat menafsirkan ayat di atas, Syaikh As Sa’di menyatakan: “Berbuat baiklah kepada mereka berdua dengan seluruh jenis kebaikan, baik dengan ucapan maupun tindakan”. Pasalnya, perintah dalam ayat itu dengan kalimat yang menunjukkan keumuman, sehingga mencakup seluruh jenis kebaikan, disenangi anak ataupun tidak, tanpa perdebatan, membantah atau berat hati. Perkara ini harus benar-benar diperhatikan. Sebab, sebagian orang melalaikannya. Mereka mengira, berbakti kepada orang tua hanya terbatas dengan melakukan apa yang disenangi anak saja. Padahal, hakikat berbakti tidak sekadar seperti itu. Bakti yang sejati tercermin dengan ketaatan anak kepada perintah orang tua meskipun tidak sejalan dengan keinginan sang anak.
Ada beberapa syarat yang menjadikan perbuatan baik seorang anak terhitung sebagai bakti kepada kedua orang tuanya. Pertama, mengutamakan ridho kedua orang tua di atas kepentingan pribadi, ridha istri, anak dan orang lainnya. Kedua, mentaati kedua orang tua dalam masalah perintah dan larangan mereka, baik sesuai dengan keinginan anak ataupun berlawanan dengan keinginannya, selama tidak ada aturan syar’i yang dilanggar. Ketiga, dengan perasaan senang sepenuh hati memiliki inisiatif untuk memberi kepada kedua orang tua, sesuatu yang sekiranya mereka inginkan, meskipun tidak diminta. Juga, tetap memiliki anggapan bahwa apa yang diberikannya kepada orang tua, masih tidak ada artinya dibadingkan dengan jasa besar mereka.
Termasuk amalan yang baik buat orang tua, yaitu mendakwahi mereka agar masuk Islam atau mendakwahi mereka kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat. Inilah kebaikan yang tertinggi nilainya. Sebab, ajakan ini akan menyelamatkan mereka dari siksa Allah. Meski demikian, semestinya harus dengan cara lembut dan santun, sebagaimana diceritakan Allah tentang Nabi Ibrahim ketika mendakwahi ayahnya.
Bakti Nabi Ibrahim kepada ayahnya telah sampai titik klimaks. Ayahnya diseru menuju syurga, namun sang ayah justru menyerunya menuju neraka. Nabi Ibrahim mendakwahi ayahnya agar beribadah kepada Allah semata, justru ia mendakwahi supaya Nabi Ibrahim menyembah berhala-berhala. Sang bapak marah dan mengancam seperti dikisahkan Allah Ta’ala, (artinya): Apakah engkau benci kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim. Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam. Dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama. (Maryam:46). Nabi Ibrahim meresponnya secara lemah-lembut dengan berkata sebagaimana dalam ayat, (artinya): Ibrahim berkata: “Semoga keselamatan bersamamu. Aku akan memohonkan ampun kepada Rabb-ku untukmu”. [Maryam: 47].
Allah membalas sikap luhurnya kepada ayah dengan karunia anak, Isma’il yang sangat taat kepada orang tuanya, meskipun harus mempertaruhkan nyawanya dalam kisah penyembelihan yang sudah kita ketahui bersama.
Berbakti kepada orang tua tidak berhenti, meskipun kematian telah menjemput mereka. Masih ada sekian banyak cara yang harus ditempuh untuk meneruskan bakti kepada orang tua yang sudah tiada. Dasarnya, yaitu hadits Anas bin Malik As Sa’idi, ia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا َصِلَةَ لَكَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا فهو الذي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ مَوْتِهِمَا
Saat aku duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba ada seorang lelaki dari kaum Anshar yang datang dan bertanya: “Wahai, Rasulullah! Apakah masih ada (perkara) yang tersisa yang menjadi tanggung jawabku berkaitan dengan bakti kepada orang tuaku setelah mereka berdua meninggal yang masih bisa aku lakukan?” Nabi menjawab: “Betul. (Yaitu) ada empat hal: engkau do’akan dan mintakan ampunan bagi mereka, melaksanakan janji mereka, serta memuliakan sahabat-sahabat mereka, juga menyambung tali silaturahmi dengan orang yang ada hubungannya dengan ayah ibu. Inilah (kewajiban) yang masih tersisa dalam berbakti kepada orang tuamu setelah mereka meninggal”. [HR Abu Dawud dan Ahmad].
Karena itu, Allah meninggikan kedudukan orang tua lantaran istighfar anak buat mereka. Terlah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى لِيْ هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
Ada seorang lelaki yang kedudukannya terangkat di syurga kelak.” Ia pun bertanya,”Bagaimana ini?” Maka dijawab: “Lantaran istighfar anakmu.
IBUMU, BERILAH PERHATIAN LEBIH!
Seorang ibu menempati kedudukan yang tinggi dalam Islam, bahkan berbanding tiga dari kedudukan sang ayah. Dalam suatu riwayat disebutkan ada sahabat yang bertanya kepada Nabi:
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Wahai Rasulullah, Siapa orang yang harus aku berbakti kepadanya?” Beliau menjawab,”Ibumu.” Aku bertanya lagi,”Kemudian siapa?” Beliau menjawab,”Ibumu.” Aku bertanya,”Kemudian siapa?” Beliau menjawab,”Ibumu.” Aku bertanya,”Kemudian siapa?” Beliau menjawab,”Ayahmu.” [HR Bukhari no. 5.971].
‘Atha bin Yasar meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ada lelaki yang mengadukan: “Aku meminang wanita, tetapi ia menolakku. Dan ada lelaki lain meminangnya, dan wanita itu menginginkannya. Aku pun cemburu, dan aku bunuh dia. Apakah aku masih punya kesempatan bertaubat?” Ibnu ‘Abbas bertanya: “Apakah ibumu masih hidup?” Jawabnya,”Tidak.” (Ibnu Abbas pun berkata): “Kalau begitu, bertaubatlah kepada Allah dan berbuat baiklah sebisamu.” Aku bertanya kepada ‘Ibnu ‘Abbas : “Mengapa engkau bertanya tentang ibunya?” Ia menjawab,”Aku tidak mengetahui ada amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah melebihi bakti kepada ibu.” [Shahihah, 2.799].
Seorang wanita atau ibu, lantaran beratnya kehidupan yang ia jalani bersama anaknya, sejak berada di rahimnya sampai sang anak tumbuh menjadi manusia remaja. Ditambah lagi, wanita mempunyai perasaan yang sangat sensitif dibandingkan sang ayah, maka kondisi ini menuntut komunikasi dengan tutur kata yang baik demi terjaganya perasaan sang ibu. Oleh karenanya, perhatian secara khusus sudah sepantasnya diberikan kepada seorang sang ibu.
ANCAMAN DURHAKA KEPADA ORANG TUA
Wahai saudaraku, Rasulullah menghubungkan kedurhakaan kepada kedua orang tua dengan berbuat syirik kepada Allah. Dalam hadits Abi Bakrah, Beliau bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
Maukah kalian aku beritahukan dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab,”Tentu.” Nabi bersabda,”(Yaitu) berbuat syirik, durhaka kepada orang tua.” [HR Bukhari no. 5.975].
Dalam sebuah hadits, Rasulullah memberikan peringatan: “Setiap dosa, Allah akan menunda (hukumannya) sesuai dengan kehendakNya pada hari Kiamat, kecuali durhaka kepada orang tua. Sesungguhnya orangnya akan dipercepat (hukumannya sebelum hari Kiamat).” [HR Bukhari]
Membuat menangis orang tua juga terhitung sebagai perbuatan durhaka. Tangisan mereka berarti terkoyaknya hati, oleh polah sang anak.
Ibnu ‘Umar pernah menegaskan: “Tangisan kedua orang tua termasuk kedurhakaan dan dosa besar“. [HR Bukhari, Adabul Mufrad hlm. 31. Lihat Ash Shahihah, 2.898].
Bagaimana tidak disebut sebagai kedurhakaan? Bukankah ucapan “uh” atau “ah” dilarang dilontarkan kepada mereka berdua? Allah berfirman, (artinya): Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al Isra`: 23). Maksudnya, seperti dipaparkan Ibnu Katsir, jika mereka telah memasuki usia saat kekuataan melemah dan memerlukan perlakuan yang baik, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka “ah”. Ini adalah sikap menyakitkan yang paling ringan, sebagai petunjuk atas sikap menyakiti lainnya yang lebih besar. Maknanya, janganlah kalian menyakiti mereka dengan sesuatu apapun, meskipun kecil.
Dalam hadits lain, Nabi bersabda: Kalau Allah mengetahui sikap menyakitkan orang tua yang lebih rendah dari kata “ah”, niscaya akan melarangnya. Orang yang durhaka hendaknya berbuat apa saja, namun ia tidak akan masuk syurga. Dan anak yang berbakti hendaknya berbuat apa saja, tidak akan masuk neraka”.
Menurut Syaikh As Sa’di kedurhakaan terbagi dua. Pertama, sengaja bersikap buruk kepada orang tua, dan ini dosanya lebih besar. Kedua, sikap tidak mau berbuat baik kepada keduanya tanpa ada unsur menyakiti. Ini tetap haram, tetapi tidak seperti yang pertama.
SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA
Anakku, ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.
Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik.
Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagianku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat di depan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.
Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada ibu untuk membuatkan sesuatu.
Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat. Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang ingin mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.
Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hakku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.
Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.
Anakku, seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada ibu? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada ibu?
Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi ibu? Baiklah, anggap ibu sebagai pembantu, mana upah ibu selama ini? Anakku, ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya. Anakku, bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya duniaku.
Anakku, perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat. Anakku, takutlah kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada ibu. Sekalah airmataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri.
Anakku, ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayang dan kelelahan ibu saat engkau sakit. Ingatlah… ingatlah…. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dengan wasiat:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Wahai, Rabb-ku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.[Al-Isra/17: 24]
Anakku, Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal. [Yusuf/12: 111].
Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.
Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia bercerita:
كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الْإِسْلَامِ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَأَسْمَعَتْنِي فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَكْرَهُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الْإِسْلَامِ فَتَأْبَى عَلَيَّ فَدَعَوْتُهَا الْيَوْمَ فَأَسْمَعَتْنِي فِيكَ مَا أَكْرَهُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَخَرَجْتُ مُسْتَبْشِرًا بِدَعْوَةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جِئْتُ فَصِرْتُ إِلَى الْبَابِ فَإِذَا هُوَ مُجَافٌ فَسَمِعَتْ أُمِّي خَشْفَ قَدَمَيَّ فَقَالَتْ مَكَانَكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَسَمِعْتُ خَضْخَضَةَ الْمَاءِ قَالَ فَاغْتَسَلَتْ وَلَبِسَتْ دِرْعَهَا وَعَجِلَتْ عَنْ خِمَارِهَا فَفَتَحَتْ الْبَابَ ثُمَّ قَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ وَأَنَا أَبْكِي مِنْ الْفَرَحِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَبْشِرْ قَدْ اسْتَجَابَ اللَّهُ دَعْوَتَكَ وَهَدَى أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ خَيْرًا
Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu: “Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah.” Rasulullah bersabda: “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah.” Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata: “Tetap di situ Abu Hurairah.” Aku mendengar kucuran air. Ibu ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata: “Wahai, Abu Hurairah! Asyhadu an Laa ilaaha Illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluhu.” Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata,”Wahai, Rasulullah. Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku.” Maka Beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik. [HR Muslim].
Ibnu ‘Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya: “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku), wahai Ibnu ‘Umar?” Beliau menjawab: “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitannya (saat bersalin).”
Zainal ‘Abidin, adalah seseorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepada, (dan berkata): “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam?” Ia menjawab,”Aku khawatir, tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya.”
Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih syurga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.
Dalam Shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata: Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka: “Apakah Uwais bin ‘Amir bersama kalian?” Sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya,”Engkau Uwais bin ‘Amir?” Ia menjawab,”Benar.” ‘Umar bertanya,”Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab,”Benar”. Umar bertanya,”Apakah engkau dulu pernah sakit lepra dan sembuh, kecuali kulit yang sebesar uang dirham?” Ia menjawab,”Benar.” ‘Umar bertanya,”Engkau punya ibu?” Ia menjawab,”Benar.” Umar (pun) mulai bercerita,”Aku mendengar Rasulullah bersabda,’Akan datang pada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu’.” (Umar berkata),”Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku,” maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya,”Kemana engkau akan pergi?” Ia menjawab,”Kufah.” Umar berkata,”Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab,”Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal.”
Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin ‘Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.
KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai ke jalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata: “Cukup. Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan.” Sang anak menimpali: “Itulah balasanmu. Adapun tambahan ini sebagai sedekah dariku!”
Kisah perih lainnya, seorang ibu yang mengisahkan kepedihannya: “Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku ke suatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagi menemuiku.”
Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju syurga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.
Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
“Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah, siapakah gerangan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Orang yang mendapati orang tuanya masih hidup, atau salah satunya pada hari tuanya, namun justru ia tidak masuk surga.” [HR Muslim].
(Diadaptasi dari ‘Idatush Shabirin karya Abdullah bin Ibrahim Al Qar’awi, Cetakan III, Penerbit Dar Tharafain, Tahun 1421H dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al Jannah, karya Shalih bin Rasyid Al Huwaimil, Penerbit Dar Ibnu Atsir, Cetakan I, Tahun 1422H)
MENGGAPAI RIDHA ALLAH DENGAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga. Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya masalah berbakti kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji secara khusus.
Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.
Seperti tersurat dalam surat al-Israa’ ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Ya Rabb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” [Al-Israa’/17 : 23-24]
Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat 36:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil[1], dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” [An-Nisaa’/4 : 36]
Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut/ 29: 8]
Lihat juga surat Luqman/31 ayat 14-15.
ANJURAN BERBUAT KEPADA KEDUA ORANG TUA BAIK DAN LARANGAN DURHAKA KEPADA KEDUANYA
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu ‘Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syari’at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah ‘Azza wa Jalla).
Sedangkan ‘uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan “ah” atau “cis”, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturrahim, atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.
KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN PAHALANYA
1. Merupakan Amal Yang Paling Utama
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata.
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّالْوَالِدَيْنِ، قَالَ: قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’[2]
2. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua
Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ
“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua”[3]
3. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya adalah hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengenai kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya bertawassul dengan bakti kepada ibu bapaknya.
Haditsnya sebagai berikut:
انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيْتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوْهُ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهَا الْغَارَ. فَقَالُوْا : إِنَّهُ لاَيُنْجِيْكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوْا اللهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ: اَللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَكُنْتُ أَغْبِقُ قَبْلَ هُمَا أَهْلاً وَ لاَ مَالاً، فَنَأَى بِي فِي طَلَبِ شَيْئٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَ فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوْقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ. فَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْمَالاً، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هَذِه الصَّخْرَةِ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا
“ …Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena mengharap wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun bergeser sedikit..”[4]
4. Akan Diluaskan Rizki Dan Dipanjangkan Umur
Sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan di-panjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyam-bung silaturrahimnya”[5]
Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang sering berkunjung kepada teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu bersama orang tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua, karena dekat kepada keduanya -insya Allah- akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umurnya.
5. Akan Dimasukkan Ke Surga Oleh Allah ‘Azza wa Jalla
Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan merupakan jalan menuju Surga. Sedangkan durhaka kepada orang tua akan mengakibatkan seorang anak tidak masuk Surga. Dan di antara dosa-dosa yang Allah ‘Azza wa Jalla segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak berbuat baik kepada orang tuanya, Allah akan menghindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla dan akan dimasukkan ke Surga.
BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA
- Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau pun perbuatan yang mem-buat orang tua sedih atau sakit hati.
- Berkata “ah” atau “cis” dan tidak memenuhi pang-gilan orang tua.
- Membentak atau menghardik orang tua.
- Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebih mementingkan yang lain daripada mengurus orang tuanya, padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
- Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, “kolot”, dan lain-lain.
- Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa, dan karena itu seorang anak harus berterima kasih dan membantu orang tua.
- Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
- Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap rokok, dan lain-lain.
- Lebih mentaati isteri daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian orang yang tega mengusir ibunya demi menuruti kemauan isterinya. Nas-alullaahas salaamah wal ‘aafiyah
- Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggal ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.
BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Bergaul bersama keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada seseorang mukmin termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberi kegembiraan kepada orang tua kita
Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan adab ber-bicara antara kepada kedua orang tua dengan ke-pada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.
Tawadhu’ (rendah hati). Tidak boleh kibr (sombong) apabila sudah meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi makan, minum, dan pakaian oleh orang tua.
Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada hakikatnya semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta itu kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta ataupun tidak.
Mendo’akan kedua orang tua. Di antaranya dengan do’a berikut:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
“Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sewaktu kecil.”
Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo’a siang dan malam agar orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang benar.
APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL
Maka yang harus kita lakukan adalah:
- Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat durhaka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.
- Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
- Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
- Membayarkan hutang-hutangnya.
- Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
- Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.
Semoga dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita dimudahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Aamiin.
_______
Footnote
[1] Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu-bapaknya.
[2] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410, 439).
[3] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 2), Ibnu Hibban (no. 2026 al-Mawaarid), at-Tirmidzi (no. 1899), al-Hakim (IV/151-152), ia menshahihkan atas syarat Muslim dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Syaikh al-Albani rahimahullaah mengatakan hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua (al-Hakim dan adz-Dzahabi). Lihat Shahiih Adabul Mufrad (no. 2).
[4] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2272), Fathul Baari (IV/449), Muslim (no. 2743), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[5] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5985, 5986), Muslim (no. 2557), Abu Dawud (no. 1693), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
Sumber: https://almanhaj.or.id/