Meringankan Shalat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Jika salah seorang diantara kalian shalat mengimami orang banyak, maka hendaklah ia memperingan shalatnya, karena diantara mereka ada yang lemah, sakit, tua. Jika salah seorang diantara kalian shalat sendirian, maka hendaklah ia memanjangkannya sekehendak hati’.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya (2/199), no. 703 ; Imam Muslim dalam Shahih-nya (4/184), no. 467 dan ada tambahan ash shaghir (ada yang kecil).
Pemahaman yang Benar
Tentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ
Jika salah seorang diantara kalian shalat mengimami orang banyak, maka hendaklah ia memperingan shalatnya.
Di dalam kitab Syarhi Muslim (4/184), Imam Nawawi mengatakan :”Dalam hadits ini terdapat perintah kepada imam agar memperingan (mempercepat, pent) shalatnya, tanpa mengurangi sunnah dan makna shalat. Dan jika shalat sendirian, dia boleh memanjangkan sekehendak hati pada rukun-rukun yang memungkinkan untuk dipanjangkan. Misalnya, seperti berdiri, ruku’, sujud dan tasyahhud, bukan pada i’tidal dan duduk antara dua sujud.”
Syaikh Raid Shabri hafizhahullah mengatakan, kata “meringankan” dalam sabda dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah sama maknanya dengan perbuatan “meringankan” yang biasa dilakukan oleh pencuri[1] dalam shalat. Kata “meringankan” dalam hadits ini maksudnya, ialah sebagaimana yang ditunjukkan oleh perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah riwayat yang sah dari Ibnu Umar disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالتَّخْفِيفِ وَيَؤُمُّنَا بِالصَّافَّاتِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami meringankan shalat, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami dengan membaca surat Ash Shaffat.[2]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “meringankan” lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan maksud kata ini. Dan sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan sesuatu yang kemudian Beliau sendiri menyelisihinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui, bila di belakangnya ada orang tua, orang sakit dan orang yang sedang memiliki keperluan.
Di dalam Zaadul Maad (1/213-214) Ibnul Qayyim menyatakan, bahwa maksud kata “meringankan” harus dikembalikan kepada perbuatan dan kebiasaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak bisa didasarkan kepada kemauan para makmum. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan sesuatu, yang kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanggar perintah itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui di belakangnya ada orang tua, orang lemah dan orang yang mempunyai keperluan. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan shalatnya. Mungkin shalat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih panjang. Sehingga yang demikian ini lebih ringan dibandingkan dengan shalat yang lebih lama. Biasanya, petunjuk yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan berfungsi sebagai hakim (pemutus) pada masalah yang diperselisihkan oleh orang-orang yang berselisih. Demikian ini ditunjukkan dalam riwayat Imam Nasa’i dan yang lainnya dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالتَّخْفِيفِ وَيَؤُمُّنَا بِالصَّافَّات
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami meringankan shalat, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami dengan membaca surat Ash Shaffat.
Jadi membaca surat Ash Shaffat (setelah membaca Al Fatihah, pent) termasuk perbuatan “meringankan” yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Wallahu a’lam.
Pemahaman yang Keliru
Hadits ini difahami secara keliru oleh sebagian yang mematuk[3] dalam shalat. Mereka berpegang dengan kalimat “hendaklah ia meringankan shalatnya”, tanpa melihat kepada kalimat sebelum dan sesudahnya. Kita dapat menyaksikan, sebagian imam pada zaman ini membaca surat Al Ikhlash dalam tiga raka’at shalat tarawih. Ini akibat pemahaman yang keliru terhadap kata “meringankan” yang terdapat pada hadits di atas. Sebagian lagi ada yang shalat dengan membaca surat Adh Dhuha dalam shalat selama satu malam. Dengan ini, berarti mereka telah menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluar dari jalan kebenaran.
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan mengatakan dalam Al Qaulul Mubin (hlm. 236),”Banyak imam merasa cukup dengan membaca sedikit Al Qur’an dalam shalat jahriyah (shalat yang dikeraskan bacaannya). Bahkan ada sebagian yang mencukupkan dengan membaca firman Allah.
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
sampai akhir surat. Ini menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ibnul Qayyim di dalam Zaadul Ma’ad (1/212) mengatakan,”Adapun mencukupkan dengan membaca bagian akhir dari dua surat (yaitu Al Jum’ah dan Al Munafiqun, pent), mulai dari يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا sampai akhir surat ; perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu dilakukan.”
Mungkin sebagian diantara mereka berargumen dengan menggunakan kata “meringankan” yang terdapat pada hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti hadits Anas dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan shalat ketika mendengar tangis bayi. Adapun hadits Anas Radhiyallahu anhu, dia mengatakan:
مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ إِمَامٍ قَطُّ أَخَفَّ صَلَاةً وَلَا أَتَمَّ صَلَاةً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Saya tidak pernah shalat di belakang imam yang lebih ringan dan lebih sempurna shalatnya dibandingkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]
Menurut Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan dalam Al Qaulul Mubin (hlm. 237), kata “meringankan” yang terdapat dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm bukan berarti “meringankan” (lebih tepat disebut mempercepat, pent) yang biasa dilakukan oleh para pencuri dan pematuk dalam shalat. Yang dijelaskan oleh Anas Radhiyallahu anhu tentang perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan shalat, dilanjutkan (juga) dengan penjelasan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia tentang kesempurnaan shalat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan di depan. Dan Anas Radhiyallahu anhu juga yang menjelaskan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm yang memanjangkan dua rukun i’tidal, sebagaimana dalam hadits lain yang shahih. Anas Radhiyallahu anhu mengatakan, ”Sampai-sampai para makmum mengatakan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa.”
Meringankan shalat yang diisyaratkan oleh sahabat Anas Radhiyallahu anhu, yaitu memendekkan waktu berdiri bersamaan dengan memanjangkan ruku’ dan sujud. Ini berbeda dengan perbuatan sebagian orang yang diingkari shalatnya oleh para shahabat yang memperlama waktu berdiri dan memperpendek ruku’, sujud dan dua i’tidal.
Adapun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan shalat ketika mendengar tangis seorang bayi, ini tidak bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sah mengenai cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits itu juga:
إِنِّي أَدْخُلُ فِي صَلاَتِي وَأَنَا أُرِيْدُ أَنْ أُطِيْلَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ
Aku masuk (memulai) shalat, dan ingin memperpanjangnya. Lalu aku mendengar tangis bayi, maka aku persingkat.[5]
Ini merupakan perbuatan “meringankan” karena ada yang menyebabkannya. Dan ini juga termasuk sunnah. Begitu pula Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperpendek shalat dalam safar (perjalanan), shalat khauf (shalat ketika perang). Semua perbuatan “meringankan” yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikarenakan ada faktor penyebabnya. Sebagaimana ada riwayat yang sah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat At-Tin pada shalat Isya’, begitu juga Beliau membaca al muawwidzatain (Surat An Nas dan Al Falaq, pent) dalam shalat shubuh, jika sedang safar.[6]
Kesimpulan
Meringkas dan meringankan shalat yang diperintahkan, serta memanjangkan shalat yang terlarang, tidak mungkin dikembalikan kepada kebiasaan golongan atau pengikut satu madzhab (sebagai ukurannya, pent). Juga tidak bisa dikembalikan kepada keinginan dan kesukaan para makmum. Demikian juga tidak bisa dikembalikan ke ijtihad para imam yang mengimami shalat. Dalam hal ini, semua pendapat dan keinginan yang beragam itu tidak bisa diterapkan, karena akan merusak ketentuan shalat, sehingga ukuran lama dan pendeknya shalat disesuai dengan kemauan orang.
Kondisi seperti ini tidak akan didapatkan dalam syari’at. Namun, yang menjadi penentunya, yaitu berhukum kepada perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika orang yang shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang lemah, tua, kecil dan orang yang memiliki kebutuhan, sementara itu tidak ada imam lain di Madinah selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka juga tidak lari (pergi) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[7]
Sedangkan kadar shalat (shalat lama) yang menyebabkan banyaknya orang yang lari (tidak mendatangi shalat berjama’ah), kecuali dalam keadaan malas (atau) para penganggur yang terbiasa shalat dengan (gaya) mematuk seperti shalatnya orang-orang munafik, yang mereka ini tidak memilki apa-apa dalam shalat selain perasaan, tidak merasakan ketenangan, maka, larinya orang-orang ini tidak perlu diperhitungkan. (Karena) diantara mereka ada yang berdiam diri di hadapan para makhluk sepanjang harinya, dia mengabdi dengan pengabdian yang tinggi, namun orang ini tidak resah dengan waktu yang lama tersebut dan tidak bosan. Tapi, jika ia berdiri di hadapan Rabb-nya untuk mengabdi sebentar saja, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan waktu yang dipakai di hadapan makhluk dalam rangka mengabdi kepadanya, dia akan merasakan berat berada di hadapan Rabb. Seakan-akan dia berada di atas bara api, menggeliat. Barangsiapa yang kebenciannya seperti ini dalam mengabdi kepada Rabb-nya dan berdiri di hadapanNya, maka Allah lebih benci kepada pengabdiannya ini, daripada kebencian pelakunya.[8] Artinya, Allah tidak akan menerima ibadahnya.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
(Diangkat dari kitab Tashihul Akhtha’ Wal Auham Al Waqi’ah Fi Fahmi Ahaditsin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 79-83. Oleh Syaikh Raid Shabri bin Abu Alfah)
_______
Footnote
[1] Pencuri shalat, maksudnya orang yang tidak sempurna dalam melakukan gerakan-gerakan shalat, red
[2] Dikeluarkan Imam Nasa’i dalam Al Mujtaba dengan sanad yang shahih.
[3] Orang yang mematuk dalam shalat, maksudnya orang yang sujud dan ruku’ secara cepat, sehingga diibaratkan seperti ayam mematuk makanan, red
[4] Dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya (4/186).
[5] Dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya (4/186,187).
[6] Lihat Shahih Bukhari (2/250) dan Shahih Muslim (4/181).
[7] Lihat tentang pendek dan ukuran masing-masing shalat pada kitab Man Amma Fal Yukhaffif, hlm. 93-103, karya Syaikh Muhammad bin At Tharhuni; kitab Iqtidha’ Shiratil Mustaqim, hlm. 93-103; Tahdzib Sunan Abi Daud (1/409-417); Ash Shalatu Wa Hukmu Tarikiha, hlm. 151-171; Zaadul Ma’ad, (1/213-214); Syarhu Tsulatsiyatil Musnad, (2/202-206) dan Ta’liq Syaikh Ahmad Syakir terhadap Jami’ Tirmidzi (1/463).
[8] Lihat Tahdzib Sunan Abi Daud (1/415-417).
Sumber: https://almanhaj.or.id/