Dalam sehari semalam, minimal 17 kali kita memohon kepada Allah. Dalam shalat, kita senantiasa dengan berdoa. ” اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ Ihdinash Shiratal Mustaqim” yang artinya, “Ya Allah, Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Permohonan berupa petunjuk ke jalan yang lurus mencakup tiga permohonan.
- Pertama, Memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Masih banyak di antara petunjuk Allah yang belum kita ketahui. Kita tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki.
Kita sering berdoa kepada Allah.
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَقَلْبًا خَاشِعًا وَلِسَانًا ذَاكِراً وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyuk, lisan yang selalu basah berzikir, dan amal yang diterima.”
Kita juga meminta perlindungan kepada Allah dengan doa.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabul.”
Sudahkah kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu Islam? Sudahkah kita serius mempelajari dan memahami Alquran dan Hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti pemahaman para sahabat Rasulullah?
“Ihdinash Shiratal Mustaqim.” Kita ucapkan benar-benar dari hati. Bukan sekadar basa-basi atau main-main. Doa tersebut perlu pembuktian.
- Kedua, kita memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam mengamalkan ilmu yang telah Allah karuniakan. Di antara doa yang sering kita panjatkan,
اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِك
“Ya Allah, bantulah aku untuk dapat mengingat-Mu, untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu, dan untuk dapat beribadah kepada-Mu dengan baik.”
Tidaklah menjadi jaminan seseorang yang telah mengetahui kebenaran itu mengamalkannya. Ada faktor-faktor yang menghalangi seseorang untuk mengikuti kebenaran meskipun ia tahu dan berilmu.
Hasad, sombong, cinta harta, cinta kedudukan, cinta kepada lawan jenis, ambisi kekuasaan, fanatisme kepada suku, kelompok, kampung halaman, nenek moyang dan adat istiadat, itu semua dapat menghalangi seseorang untuk mengikuti kebenaran. Hal itu juga dapat menjerumuskan seseorang pada jalan yang dimurkai Allah (sesat).
Diperlukan kejujuran, kesabaran, dan kebesaran jiwa serta keberanian untuk merenung, mengevaluasi, dan segera memperbaiki diri. Setan akan selalu berusaha untuk menghiasi agar kita memandang indah kebatilan dan untuk mencari-cari dalil sebagai pembenaran.
Akan tetapi, nurani kita tidak bisa dibohongi. Mintalah kepada Allah agar memberi kekuatan kepada kita dalam mengekang hawa nafsu dan melawan godaan setan yang terkutuk.
- Ketiga, Kita memohon kepada Allah untuk meneguhkan hati agar tetap istiqamah sampai akhir hayat. Hati manusia mudah berbolak-balik. Pagi hari beriman, sore bisa menjadi kafir. Hari ini bersih dan ikhlas, besok bisa ternoda dan berubah niat.
Di antara doa yang kita mintakan kepada Allah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Rabb, janganlah Engkau palingkan hati kami pada kesesatan setelah Engkau beri hidayah kepada Kami, berilah untuk kami rahmat (kasih sayang) dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Mahapemberi.” [Ali Imran/3 : 8].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku agar selalu (istiqamah) berada di atas rel din (agama) Mu.”
Ketiga poin ini tercakup dalam اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (Ihdinash Shiratal Mustaqim).
Semoga Allah mengabulkan doa kita. Amin.
MENCARI JALAN LURUS
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ ۚ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nuur: 46)
Penjelasan ayat
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah menyatakan bahwa Dia telah menurunkan Alquran berupa hukum, hikmah, permisalan yang jelas, dan itu banyak sekali. Alquran itu bisa dipikirkan dan dipahami oleh orang yang mau berpikir. Karenanya Allah Ta’ala katakan, ‘Dan Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:557)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Kami telah rahmati hamba Kami, Kami telah menurunkan kepada mereka ayat-ayat yang jelas yang mengandung maqashid syariah, adab-adab yang terpuji, petunjuk yang lurus. Maka jalan yang lurus akan tampak jelas, akan tampak amal yang lurus dari amal yang sesat, akan tampak ilmu yang lurus dari ilmu yang sesat. Kalau Alquran itu begitu jelas, maka tidak mungkin ada lagi syubhat dan kerancuan bagi orang yang menginginkan kebenaran. Karena Alquran ini turun dari Allah yang sempurna ilmu-Nya, sempurna rahmat-Nya, sempurna penjelasan-Nya. Maka tak mungkin ada yang binasa dengan mempelajari Alquran.
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَىٰ مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ ۗ
“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (QS. Al-Anfal: 42)
“Dan Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya” yaitu siapa yang memang semangat dalam kebaikan dan jujur dalam mencari kebenaran, maka ia akan diantarkan “kepada jalan yang lurus” yaitu jalan yang jelas, ringkas, dan mengantarkan kepada Allah, kepada surga-Nya, yang berisi mengetahui kebenaran, mengutamakan ilmu, dan mengamalkannya. Maka penjelasan yang sempurna berlaku pada semuanya, namun hidayah pada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Inilah karunia Allah.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 601-602
Hidayah itu ada dua macam yaitu:
- Hidayah irsyad wa dalalah, maksudnya adalah hidayah berupa memberi petunjuk pada orang lain.
- Hidayah taufik, maksudnya adalah hidayah untuk membuat seseorang itu taat pada Allah.
Pendakwah Hanya Menyampaikan, Hidayah Milik Allah
Hidayah pertama, bisa disematkan pada manusia. Contohnya pada firman Allah,
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52). Memberi petunjuk yang dimaksud di sini adalah memberi petunjuk berupa penjelasan. Ini bisa dilakukan oleh Nabi dan yang lainnya.
Namun untuk hidayah kedua, yaitu hidayah supaya bisa beramal dan taat tidak dimiliki kecuali hanya Allah saja. Seperti dalam firman Allah Ta’ala,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufiq) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qasshash: 56)
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 272) (Lihat bahasan Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid, 1: 618 dan Hasyiyah Kitab At-Tauhid, hlm. 141)
Jalan yang Lurus
Dalam surah Al-Fatihah disebutkan,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَصِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan yang diminta dalam surah Al-Fatihah adalah hidayah taufik, yaitu hidayah untuk bisa menerima kebenaran dan mengamalkannya, bukan sekadar hidayah untuk dapat ilmu. Jadi maksudnya kata beliau, kita minta pada Allah, tunjukkankah kita pada jalan yang lurus.
Adapun makna ash-shirothol mustaqim, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dengan menukil perkataan dari Imam Abu Ja’far bin Jarir bahwa para ulama sepakat bahwa shirathal mustaqim yang dimaksud adalah jalan yang jelas yang tidak bengkok.
Akan tetapi, para ulama pakar tafsir yang dulu dan sekarang punya ungkapan yang berbeda-beda untuk menjelaskan apa itu ash-shirothol mustaqim. Ada yang mengungkapkan dengan:
- Mengikuti jalan nabi
- Mengikuti generasi salaf dari para sahabat seperti Abu Bakar dan ‘Umar
- Mengikuti kebenaran
- Mengikuti Islam
- Mengikuti Al-Qur’an
Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan bahwa semua pengertian di atas itu benar dan semua makna di atas itu saling terkait. Siapa yang mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti sahabat sesudahnya yaitu Abu Bakar dan Umar, maka ia telah mengikuti kebenaran. Siapa yang mengikuti kebenaran, berarti ia telah mengikuti Islam. Siapa yang mengikuti Islam, berarti ia telah mengikuti Al-Qur’an (Kitabullah), itulah tali Allah yang kokoh. Itulah semua ash-shirothol mustaqim (jalan yang lurus). Semua pengertian di atas itu benar saling mendukung satu dan lainnya. Walillahil hamd. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:213.
Secara jelas jalan yang lurus diterangkan pada ayat selanjutnya,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Jalan yang engkau beri nikmat pada mereka.”
Adh-Dhahak berkata dari Ibnu ‘Abbas bahwa jalan tersebut adalah jalan yang diberi nikmat dengan melakukan ketaatan dan ibadah pada Allah. Jalan tersebut telah ditempuh oleh para malaikat, para nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang saleh. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Allah,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’: 69). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:214.
Kesimpulannya, ciri ajaran yang lurus adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan pemahaman yang benar dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Faedah dari ayat
- Pertama: Alquran itu Allah turunkan untuk menjelaskan mana yang benar, mana yang batil, manakah orang-orang baik dan manakah orang-orang jelek, juga Alquran menerangkan berbagai hukum.
- Kedua: Alquran itu jelas namun belum tentu semuanya mendapatkan hidayah. Allah beri hidayah kepada siapa saja yang Allah kehendaki.
- Ketiga: Tidak boleh seseorang menggantungkan pada dirinya dalam hidayah. Yang harus dilakukan adalah ia meminta kepada Allah hidayah dan agar bisa terus dikokohkan di atas hidayah.
- Keempat: Syariat Islam seluruhnya itu lurus, tidak bengkok. Dalam ayat disebutkan,
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)
- Kelima: Jika hidayah itu dari Allah apakah ada sebab untuk memperolehnya? Jawabannya, manusia mencari kebenaran adalah sebab adanya hidayah. Oleh karena itu dalam ayat disebutkan,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (QS. Ash-Shaff: 5)
Bahasan ayat selanjutnya dari surah An-Nuur akan menunjukkan bahwa hidayah itu mesti dicari. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hidayah itu mesti dicari seseorang yang ingin memperoleh kebenaran. Jika ia sudah berusaha mencarinya, maka Allah akan memberinya petunjuk kepada kebenaran tersebut. Adapun jika ia enggan mencari kebenaran atau berpaling, maka Allah tidak akan memberi petunjuk kepadanya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surah An-Nuur, hlm. 213-214)
Semoga Allah menunjukkan kita pada jalan yang lurus dan kita dimudahkan terus istiqamah.
____
Referensi:
- Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
- Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah An-Nuur. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Sumber: https://rumaysho.com/2