Oleh: Syaikh Abdul Aziz Ar Rays
بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Amma Ba’du,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Agama Islam itu telah ditetapkan oleh Allah yang memiliki sifat Al Hakim dan Al Alim. Sebagaimana firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. An Naml: 6)
Dan juga firman-Nya:
وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Az Zukhruf: 84)
Allah Ta’ala juga berfirman:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At Tiin: 8)
yang sulit menurut kita untuk dikerjakan, tetap harus dikerjakan. Yang mudah pun demikian. Karena kita ini hanyalah hamba, dan seorang hamba sepatutnya mengikuti keinginan sayyid-nya, dalam hal ini adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Abdullah bin Syukhair Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
السيد الله تبارك تعالى
“As Sayyid adalah Allah Tabaaraka Wa Ta’ala”
Dua Metode Yang Ditetapkan Syari’at
Sehubungan dengan hal tersebut, syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:
- Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu , Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya”
Baca juga: Puasa Arofah, ikut wukuf di Arofah atau ikut Pemerintah?
2. Jika hilal tidak nampak, bulan sya’bab digenapkan menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً
“(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari”
Para Ulama Telah Ber-Ijma
Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:
وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”
Lalu orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:
Pertama, metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas.
Kedua, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal Ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.
Ketiga, para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu ‘Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (14/325) menuturkan:
ولم يتعلق أحد من فقهاء المسلمين – فيما علمت – باعتبار المنازل في ذلك ، وإنما هو شيء روي عن مطرف بن الشخير وليس بصحيح عنه – والله أعلم – ولو صح ما وجب اتباعه لشذوذه ولمخالفة الحجة له ، وقد تأول بعض فقهاء البصرة في معنى قوله في الحديث فاقدروا له – نحو ذلك . والقول فيه واحد ، وقال ابن قتيبة في قوله: فاقدروا له . أي فقدروا السير والمنازل وهو قول قد ذكرنا شذوذه ومخالفة أهل العلم له ، وليس هذا من شأن ابن قتيبة ، ولا هو ممن يعرج عليه في هذا الباب
“Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari hadits yang diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahu’alam. Andaikan hadits tersebut shahih, ia harus memiliki mutaba’ah karena syadz dan bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai lafadz hadits فاقدروا له (‘Perkirakanlah’), maksudnya adalah ‘perkirakanlah sekitar itu‘. Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan). Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna فاقدروا له adalah ‘perkirakanlah orbit dan posisi bulan‘, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang kompeten dalam masalah ini (fiqih)”.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ
“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata:
وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ
“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.
Beberapa Syubhat
Ada beberapa syubhat yang cukup berpengaruh dalam hal ini, dan sepatutnya kita tidak tertipu olehnya karena syubhat semestinya dikembalikan kepada yang muhkam (jelas). Demikianlah metode para ahli ilmu yang dipuji oleh Allah, berbeda dengan orang yang memiliki penyakit hati di dalamnya, sebagaimana firman Allah:
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. Al Imran: 7)
Berkaitan dengan ayati ini, Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya, I’laamul Muwaqqi’in, memberikan 99 permisalan. Silakan membacanya karena sangat bermanfaat dalam hubungannya dengan pembahasan ini. Adapun syuhbat-syubhat tersebut ialah:
Syubhat pertama, metode hisab falaki itu lebih akurat daripada ru’yah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang dikira sebagai hilal.
Jawaban terhadap syubhat ini, yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagai patokan adalah penglihatan kita terhadap hilal, bukan posisi aktual (waqi’ al haal) dari hilal. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya”
Mafhum mukhalafah dari hadits ini, jika kita tidak melihat hilal maka tidak puasa, itulah yang diperintahkan. Adapun orang yang menggunakan hisab falaki, mereka mempersulit diri dengan sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah dan tidak diisyaratkan oleh Allah sedikit pun. Padahal Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi di masa depan, andaikan Allah Ta’ala menginginkan hisab falaki digunakan dalam hal ini, tentu Allah akan mengisyaratkan dalam dalil. Namun nyatanya dalil-dalil yang ada tidak ada yang mengisyaratkan demikian.
Taruhlah, andaikan sinar bintang muncul bertepatan di tempat seharusnya hilal muncul, lalu orang-orang melihatnya dan mengira itu hilal. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak membebani manusia kecuali sebatas apa yang dilihat dan menjadi dugaan kuat bahwa itu hilal. Para sahabat pun dahulu ketika melihat hilal dari tempat mereka, sangat mungkin yang mereka lihat terkadang meteor atau sinar bintang, namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tetap menjadikan penglihatan itu sebagai patokan. Inilah syariat Islam yang mudah dan gamblang, yang syariat ini pun telah menjelaskan bahwa jika hilal tidak terlihat maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, selesai. Lalu mengapa menolak hukum Allah ini dengan aturan lain yaitu metode hisab falaki?
Syubhat kedua, hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh.
Jawabannya, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda.
Syubhat ketiga, hisab falaki dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa dilihat ataukah tidak
Jawabannya, syari’at hanya memerintahkan kita untuk melihat hilal. Jika kita melihat hilal, maka kita puasa. Jika tidak maka tidak. Kita tidak diperintahkan lebih dari itu, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.
Waspada Terhadap Pendapat Nyeleneh
Telah kami jelaskan tentang tidak bolehnya menggunakan hisab falaki dalam menentukan awal Ramadhan, serta kami jelaskan pula bahwa pendapat yang menyatakan demikian adalah pendapat yang nyeleneh, bertentangan dengan ijma’ ulama. Dan salah satu ciri pendapat nyeleneh adalah bertentangan dengan ijma’ ulama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri pendapat nyeleneh serta memilih pendapat yang sesuai dengan kaidah syar’iyyah, agar terhindar dari budaya ikut-ikutan, salah kaprah, atau ganatik golongan.
Jika permasalahan agama tidak mengikuti kaidah syar’iyyah, manusia menjadi goncang. Terkadang membuat mereka berbuat bid’ah dan terkadang membuat mereka berlebih-lebihan dari syar’iat. Misalnya masalah yang kita bahas ini, menggunakan hisab falaki adalah nyeleneh dan bertentangan dengan ijma‘. Namun, sebagian orang mencoba membuat pendapat nyeleneh ini menjadi nampak biasa, yaitu membandingkannya dengan masalah pembolehan melempar jumrah sebelum matahari terbit pada tanggal 12 Dzulhijjah di Mina. Padahal pembolehan ini tidak bertentangan dengan ijma‘, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf seperti Al Fakihi dari Abdullah bin Zubair Radhiallahu’anhuma. Demikian juga pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.
Khilafiyah Seputar Ru’yah Hilal
Adapun kaitannya dengan hukum seputar ru’yah hilal, para ulama berselisih pendapat mengenai apakah ru’yah hilal penduduk suatu negeri juga berlaku bagi seluruh negeri yang lain ataukah hanya bagi negeri itu sendiri. Yang lebih kuat, wallahu’alam, ru’yah hilal setiap negeri berlaku bagi negeri itu sendiri saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Kuraib, ia berkata:
دمت الشام ، واستهل علي هلال رمضان ، وأنا بالشام ، فرأينا الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر ، فسألني ابن عباس ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال؟ قلت: رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته ليلة الجمعة؟ قلت: نعم ، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية . فقال: لكن رأيناه ليلة السبت ، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه . فقلت: ألا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Saya datang ke Syam, lalu melihat hilal bulan Ramadhan ketika saya di sana. Kami melihat hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian saya pergi ke Madinah pada akhir bulan. Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal: ‘Kapan engkau melihat hilal?’. Saya katakan: ‘Kami di Syam melihatnya pada malam Jum’at’. Ibnu Abbas berkata: ‘Engkau melihatnya malam Jum’at?’. Kujawab: ‘Ya, orang-orang melihatnya kemudian berpuasa, dan Mu’awiyah pun berpuasa’. Ia berkata lagi: Tapi orang-orang di sini melihatnya pada malam Sabtu. Kami tidak puasa hingga sya’ban genap 30 hari atau karena kami melihatnya’. Aku berkata kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan berpuasa bersama mereka (penduduk Syam)?’. Ia menjawab: ‘Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam’”.
Dari atsar ini bisa kita lihat bahwa penduduk Syam berpuasa mengikuti pemerintah mereka sendiri, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu’anhuma. Sedangkan penduduk Madinah berpuasa mengikuti pemerintah mereka, yaitu Ali bin Abi Thalin Radhiallahu’anhu. Ini juga merupakan pendapat Al Qasim bin Muhammad, Ikrimah, Ishaq bin Rahawaih dan yang lainnya.
Dengan demikian, setiap penduduk suatu negeri berpuasa mengikuti ru’yah masing-masing negerinya. Jika mereka tidak bisa melihat hilal, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Adapun jika negara mereka menggunakan acuan metode hisab falaki, maka penetapan awal Ramadhan yang demikian tidak dianggap. Kaum muslimin di negara itu dianggap tidak melihat hilal sehingga hendaknya mereka menggenapkan sya’ban menjadi 30 hari. Sedangkan jika tinggal di negeri kafir, hendaknya mereka membentuk sebuah lembaga atau tim yang menjadi rujukan untuk melakukan ru’yah. Kemudian kaum muslimin di sana beracuan pada ketetapan dan hasil ru’yah dari tim atau lembaga ini, dengan syarat tim ini haruslah menggunakan ru’yah syar’iyyah. Jika tidak ada tim atau lembaga semacam ini, hendaknya mereka menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari.
Beberapa Fatwa Ulama
Berikut ini beberapa fatwa dari para ulama di masa ini seputar hal yang kita bicarakan:
Fatwa Lajnah Ad Da’imah Saudi Arabia (10/104) :
ولم يكلفنا معرفة بدء الشهر القمري بما لا يعرفه إلا النزر اليسير من الناس، وهو علم النجوم، أو علم الحساب الفلكي، وبهذا جاءت نصوص الكتاب والسنة بجعل رؤية الهلال ومشاهدته أمارة على بدء صوم المسلمين شهر رمضان، والإفطار منه برؤية هلال شوال، وكذلك الحال في ثبوت عيد الأضحى ويوم عرفات قال الله تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }وقال تعالى :{ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ }وقال النبي صلى الله عليه وسلم : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين » فجعل عليه الصلاة والسلام الصوم لثبوت رؤية هلال شهر رمضان، والإفطار منه لثبوت رؤية هلال شوال، ولم يربط ذلك بحساب النجوم وسير الكواكب، وعلى هذا جرى العمل زمن النبي صلى الله عليه وسلم وزمن الخلفاء الراشدين والأئمة الأربعة والقرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وسلم بالفضل والخير، فالرجوع في إثبات لشهور القمرية إلى علم النجوم في بدء العبادات والخروج منها دون الرؤية من البدع التي لا خير فيها، ولا مستند لها من الشريعة
“Dalam mengetahui awal bulan hijriah, kita tidak dibebani dengan sesuatu yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil manusia saja, yaitu ilmu astronomi atau hisab falaki. Oleh karena itu, dalil-dalil Al Qur’an dan sunnah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan puasa, juga dalam penentuan hari lebaran, dengan melihat hilal Syawal. Hal ini juga berlaku dalam penentuan Idul Adha dan hari Arafah. Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
‘Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu‘ (QS. Al Baqarah: 185)
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
‘Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji‘ (QS. Al Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
‘Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya. Jika hilal tidak tampak, genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari‘
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan Ramadhan, dan menetepkan Idul Fitri dengan ru’yah hilal syawal. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sama sekali tidak mengkaitkannya dengan perhitungan astronomis atau perjalanan bintang-bintang. Oleh karena itulah, yang diamalkan pada masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, masa khulafa ar rasyidin, pada masa imam empat mazhab juga pada masa salafus shalih adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang tentu lebih utama dan lebih baik. Adapun, menjadikan ilmu astronomi sebagai acuan untuk menentukan awal dimulainya suatu ibadah dan berakhirnya, ini adalah bid’ah yang sama sekali tidak memiliki kebaikan, dan tidak memiliki sandaran hukum dalam syari’at”
Juga fatwa Lajnah Ad Daimah yang lain (3127):
لا يعتبر الحساب الفلكي أصلا يثبت به بدء صيام شهر رمضان ونهايته، بل المعتبر في ذلك رؤية الهلال، فإن لم يروا هلال رمضان ليلة ثلاثين من شعبان أكملوا شعبان ثلاثين يوما من تاريخ رؤيته أول الشهر، وكذا إذا لم يروا هلال شوال ليلة ثلاثين من رمضان أكملوا عدة رمضان ثلاثين يوما
“Hisab falaki jika digunakan sebagai acuan dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan, yang demikian tidak teranggap. Yang dianggap adalah menggunakan ru’yah hilal, dan jika hilal tidak nampak pada malam ke 30, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari dihitung dari tanggal 1 Sya’ban. Demikian juga jika hilal syawal tidak terlihat, maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari”.
Syaikh Al Allamah ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, sebagaimana yang tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau (15/110), berkata:
ومن هذا يتبين أن المعول عليه في إثبات الصوم والفطر وسائر الشهور هو الرؤية، أو إكمال العدة، ولا عبرة شرعا بمجرد ولادة القمر في إثبات الشهر القمري بدءا وانتهاء بإجماع أهل العلم المعتد بهم ، ما لم تثبت رؤيته شرعا. وهذا بالنسبة لتوقيت العبادات، ومن خالف في ذلك من المعاصرين فمسبوق بإجماع من قبله وقوله مردود ؛ لأنه لا كلام لأحد مع سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا مع إجماع السلف. أما حساب سير الشمس والقمر فلا يعتبر في هذا المقام ؛ لما ذكرنا آنفا ، ولما يأتي:
أ- أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالصوم لرؤية الهلال والإفطار لها في قوله: « صوموا لرؤيته وأفطروارؤيته » وحصر ذلك فيها بقوله: « لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »
وأمر المسلمين إذا كان غيم ليلة الثلاثين أن يكملوا العدة، ولم يأمر بالرجوع إلى علماء النجوم. ولو كان قولهم هو الأصل وحده، أو أصلا آخر مع الرؤية في إثبات الشهر لبين ذلك. فلما لم ينقل ذلك ، بل نقل ما يخالفه ، دل ذلك على أنه لا اعتبار شرعا لما سوى الرؤية، أو إكمال العدة ثلاثين في إثبات الشهر، وأن هذا شرع مستمر إلى يوم القيامة. قال الله تعالى : { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا }
ودعوى أن الرؤية في الحديث يراد بها العلم، أو غلبة الظن بوجود الهلال، أو إمكان رؤيته لا التعبد بنفس الرؤية مردودة ؛ لأن الرؤية في الحديث متعدية إلى مفعول واحد ، فكانت بصرية لا علمية، ولأن الصحابة فهموا أنها رؤية بالعين، وهم أعلم باللغة ومقاصد الشريعة من غيرهم. وإن تعليق إثبات الشهر القمري بالرؤية يتفق مع مقاصد الشريعة السمحة ؛ لأن رؤية الهلال أمرها عام يتيسر لأكثر الناس من العامة والخاصة في الصحاري والبنيان ، بخلاف ما لو علق الحكم بالحساب فإنه يحصل به الحرج ويتنافى مع مقاصد الشريعة؛ لأن أغلب الأمة لا يعرف الحساب، ودعوى زوال وصف الأمية بعلم النجوم عن الأمة غير مسلمة
“Dari sini, jelaslah sudah bahwa yang menjadi acuan dalam penentuan awal bulan puasa dan lebaran, juga bulan-bulan lainnya adalah ru’yah. Sedangkan kemunculan bulan baru secara aktual tanpa menggunakan ru’yah syar’iyyah tidaklah teranggap, ini berdasarkan ijma‘ para ulama yang dijadikan pegangan ummat. Ini dalam hal penetapan waktu-waktu yang berkaitan dengan ibadah. Adapun sebagian orang dimasa ini yang engga memakai ru’yah, ijma‘ ulama menjadi jawaban bagi mereka. Karena tidak boleh ada yang mendebat sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak boleh ada yang mendebat ijma‘ salaf. Perjalanan matahari atau bulan dalam hal ini tidak teranggap karena sebab yang kami sebutkan barusan, dan juga beberapa sebab lain yaitu:
Pertama, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita berpuasa jika melihat hilal dan berlebaran jika melihat hilal, dalam sabda beliau
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
‘Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya‘
Lalu beliau menafsirkan sendiri perkataan beliau:
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه
‘Jangan berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berlebaran hingga kalian melihat hilal‘
Kedua, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita, jika langit tertutup awan pada malam ke 30 sya’ban, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Beliau tidak memerintahkan manusia untuk bertanya kepada para ahli astronomi. Andaikata, hasil perhitungan dari ahli astronomi itu sudah cukup untuk menetapkan bulan puasa dan lebaran, atau andaikan perhitungan ini dijadikan bahan pertimbangan lain selain ru’yah, tentu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentu akan menjelaskannya. Selama tidak ada riwayat yang menyatakan demikian, maka selain metode ru’yah dan penggenapan bulan tidaklah teranggap secara syar’i. Karena aturan agama yang sudah ada itu terus berlaku hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
‘Dan Rabb-mu itu tidak pernah lupa‘ (QS. Maryam: 64)
Ketiga, anggapan bahwa yang dimaksud ru’yah hilal dalam hadits di atas maknanya adalah ‘mengetahui hilal’ atau sangkaan kuat mengenai kemunculan hilal, dan ru’yah (melihat) di sini bukanlah esensi yang diperintahkan, anggapan ini tertolak. Karena ru’yah dalam hadits ini adalah fi’il muta’addi yang mengacu pada satu maf’ul saja, yang menunjukkan makna ‘penglihatan’ bukan ‘pengilmuan’. Para sahabat Nabi sangat paham sekali bahwa yang disebut ru’yah itu menggunakan mata. Dan merekalah yang paling paham terhadap bahasa arab dan maqashid syar’iyyah dibanding orang yang lain. Justru perintah ru’yah hilal lebih pas dengan maqashid syar’iyyah bahwa Islam itu agama yang mudah. Karena ru’yah hilal itu diperintahkan kepada umat muslim secara umum, yang dapat dengan mudah dilakukan oleh orang-orang, baik yang di gurun maupun di gedung-gedung. Berbeda keadaanya jika hisab falaki yang menjadi acuan, akan menimbulkan kesulitan dan bertentangan dengan maqashid syar’iyyah. Karena umumnya manusia tidak paham ilmu astronomi. Lebih lagi klaim bahwa orang zaman sekarang sudah tidak awam lagi terhadap ilmu astronomi, klaim tersebut berasal dari orang-orang non-muslim”
Aku memohon kepada Allah agar melimpahkan nikmat-Nya dengan diizinkannya kami bertemu Ramadhan dan aku memohon agar kita semua dijadikan hamba yang dapat menegakkan shalat malam dan berpuasa karena iman dan mengharap pahala.
____
Abdul Aziz Ar Rays, Pengasuh situs http://islamancient.com
Referensi: http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5904
Penerjemah: Yulian Purnama
Sumber: https://muslim.or.id/
HUKUM MENENTUKAN RAMADHAN DENGAN METODE HISAB
Soal:
Di sebagian negara kaum muslimin, banyak orang dengan sengaja berpuasa dengan tidak bersandar pada ru’yah (melihat bulan) namun justru hanya mencukupkan diri bergantung pada penanggalan/kalender. Apa hukum hal ini?
Jawab:
Tidak boleh memulai puasa bulan Ramadhan kecuali dengan melihat bulan, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم؛ فاقدروا له
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (bulan) dan berbukalah (laksanakanlah idul fitri) karena melihatnya.” (HR. Bukhari pada kitab shahihnya, 2/229)
Dan juga tidak boleh bersandar pada hisab karena hisab bertentangan dengan hukum syariat dan hisab sering keliru. Akan tetapi orang yang tinggal di negara bukan islam dan di sana tidak ada sekelompok kaum muslimin yang perhatian terhadap ru’yah hilal maka ia mengikuti negara islam yang terdekat dengannya dan yang lebih tepercaya dalam penyelidikan bulan. Namun jika ia tidak mendapatkan berita yang dapat ia gunakan sebagai sandaran tentang hal itu maka tidak mengapa jika ia bersandar pada kalender, hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah sekuat kemampuan kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)
Alhamdulillah sekarang ini sarana komunikasi sangat lengkap dan kedutaan negara-negara islam telah tersebar di seluruh dunia, demikian juga pusat-pusat kegiatan keislaman dapat dijumpai di sebagian besar negara-negara di dunia. Sehingga wajib atas setiap muslim untuk mengenali hal ini serta perkara-perkara agama yang lain. [Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan dari kitab Al Muntaqa Min Fatawa Asy Syaikh al Fauzan]
___
Penerjemah: Sigit Hariyanto, Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Sumber: https://muslim.or.id/