Type Here to Get Search Results !

 


10 KAIDAH PENYUCIAN JIWA

DAFTAR ISI:

  1. PENDAHULUAN
  2. KAIDAH PERTAMA: Tauhid adalah kunci pokok penyucian jiwa
  3. KAIDAH KEDUA: Doa adalah kunci penyucian jiwa
  4. KAIDAH KETIGA: Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber mata air penyucian jiwa
  5. KAIDAH KEEMPAT: Mencari seseorag sebagai panutan dan teladan yang baik
  6. KAIDAH KELIMA: Membersihkan dan menghiasi Jiwa
  7. KAIDAH KEENAM: Menutup pintu yang dapat mengeluarkan seseorang dari kesucian jiwa, menjauhkannya dari keutamaan dan menjerumuskannya kedalam kehinaan
  8. KAIDAH KETUJUH: Mengingat kematian dan perjumpaan dengan Allah Ta’ala
  9. KAIDAH KEDELAPAN: Memilih teman dalam bergaul
  10. KAIDAH KESEMBILAN: Waspada dari sikap ujub dan tertipu dengan diri sendiri
  11. KAIDAH KESEPULUH: Mengenali hakikat jiwa

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah Ta’ala, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi yang paling mulia, penutup para rasul, teladan dan penyejuk mata kita, yaitu Nabi Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan sahabat beliau seluruhnya, serta semua orang yang berjalan di atas petunjuk beliau sampai hari kiamat nanti.

Jiwa manusia yang memiliki dua sisi (yaitu baik dan buruk, pent.), sangatlah penting dan urgen untuk diperhatikan. Allah Ta’ala telah bersumpah dengan sejumlah makhluk-Nya yang agung, yang menunjukkan keagungan-Nya dalam surat Asy-Syams, bahwasanya di sana ada jiwa yang beruntung dan ada jiwa yang tidak beruntung,

وَالشَّمْسِ وَضُحاها (1) وَالْقَمَرِ إِذا تَلاها (2) وَالنَّهارِ إِذا جَلاَّها (3) وَاللَّيْلِ إِذا يَغْشاها (4) وَالسَّماءِ وَما بَناها (5) وَالْأَرْضِ وَما طَحاها (6) وَنَفْسٍ وَما سَوَّاها (7) فَأَلْهَمَها فُجُورَها وَتَقْواها (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها (9) وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها (10)

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 1-10)

Allah Ta’ala berfirman sebagaimana ayat di atas,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.”

Makna asal kata “az-zakaat” adalah bertambahnya kebaikan, sehingga yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bahwa siapa saja yang berusaha untuk menyucikan, memperbaiki, dan mengisi jiwa dengan memperbanyak amalan ketaatan dan kebaikan, serta menjauhi segala keburukan, maka pastilah dia akan beruntung.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها

“Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Makna asal kata “tadsiyyah” adalah menutupi. Orang yang bermaksiat, artinya dia telah menutupi jiwanya yang mulia dengan melakukan berbagai macam dosa, menguburnya dengan berbagai hal yang rendah dan hina, menghancurkan dan merusaknya dengan melakukan berbagai hal yang tercela, sehingga jiwanya pun menjadi jiwa yang rendah dan hina. Sehingga dengan hal itu, jiwa tersebut berhak mendapatkan kesengsaraan dan kerugian (di akhirat). Wal ‘iyaadhu billah.

“Jiwa yang mulia, tidaklah ridha terhadap sesuatu, kecuali terhadap sesuatu yang paling tinggi, paling mulia dan paling terpuji (paling baik) hasil akhirnya. Adapun jiwa yang rendah, dia hanya berputar di sekeliling perkara yang hina, dia menghampiri perkara hina itu sebagaimana lalat menghinggapi kotoran. Jiwa yang mulia dan tinggi, tidak akan ridha terhadap tindak kedzaliman, hal yang vulgar, pencurian, dan pengkhianatan, karena jiwanya lebih besar dan lebih mulia dari itu semua. Sedangkan jiwa yang hina dan rendah, berkebalikan dengan hal itu. Maka setiap jiwa akan cenderung kepada sesuatu yang selaras dan sesuai dengannya.” (Al-Fawaaid karya Ibnul Qayyim, hal. 178)

Oleh karena pentingnya penyucian jiwa tersebut, maka setiap muslim yang ingin memperbaiki diri wajib memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, memaksa jiwanya untuk mewujudkan tujuan yang terpuji ini dalam kehidupannya, sehingga dia beruntung di dunia dan akhirat, serta menikmati kebahagiaan yang hakiki.
Sesungguhnya, jiwa seorang muslim memiliki hak, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وإن لنفسك عليك حقا

“Sesungguhnya jiwamu memiliki hak atas dirimu.”

Sungguh keliru orang yang menyangka bahwa hak jiwa tersebut adalah dengan bersikap keras kepadanya dan menghalanginya dari fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana juga keliru orang yang menyangka bahwa hak jiwa tersebut adalah dengan meremehkan dan abai memperbaiki, serta membiarkannya tenggelam dalam syahwat.

Sangatlah jauh dari kebenaran, penyucian jiwa bukanlah semacam itu. Bahkan, penyucian jiwa itu adalah dengan menempuh jalan-jalan syariat, dengan sikap pertengahan, tanpa disertai sikap berlebih-lebihan (ifraath) dan sikap meremehkan (tafriith). Akan tetapi, penyucian jiwa itu adalah dengan berpegang teguh dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalannya yang lurus.

Penulis (Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullah) akan menyebutkan sepuluh kaidah penting dalam kitab yang ringkas ini, yang akan membantu seorang muslim dalam menyucikan, memperbaiki dan membersihkan jiwa dari segala hal yang akan mengotorinya.

Penulis memohon kepada Allah Ta’ala untuk menyucikan jiwa kami, memperbaiki amal kami, meluruskan ucapan kami, menunjukkan kebenaran kepada kami, dan memberikan taufik untuk mengikutinya, menjauhkan dari fitnah, baik yang tampak atau yang tersembunyi. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga dan para sahabatnya, aamiin.



  • KAIDAH PERTAMA: Tauhid adalah kunci pokok penyucian jiwa
Sesungguhnya, tauhid adalah tujuan Allah Ta’ala ketika menciptakan kita, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51] : 56)

Tauhid juga merupakan poros dakwah para nabi dan rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ


“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul kepada setiap umat untuk (menyerukan), “Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut.“ (QS. An-Nahl [16]: 36)

Tauhid adalah kewajiban pertama yang harus dilaksanakan manusia agar masuk ke dalam agama Islam. Demikian pula, tauhid adalah materi pertama yang wajib diajarkan oleh para juru dakwah. Hal ini sebagaimana kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke negeri Yaman,

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى

“Sesungguhnya Engkau akan berdakwah kepada sebuah kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah perkara pertama kali yang Engkau serukan adalah agar mereka menauhidkan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 7372)

Dan sungguh Allah Ta’ala telah mengancam orang-orang yang tidak menyucikan jiwanya dengan tauhid dan iman bahwa mereka akan diadzab dengan pedih pada hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman,

وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ ؛ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ


“Dan celakalah orang-orang musyrik. (Yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan az-zakat dan mereka ingkar (kafir) akan adanya (kehidupan) akhirat.“ (QS. Fushshilat [41]: 6-7)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata menjelaskan tafsir ayat tersebut,

وهي التوحيد والإيمان الذي به يزكو القلب فإنه يتضمن نفي إلهية ما سوى الحق من القلب وإثبات إلهية الحق في القلب وهو حقيقة لا إله إلا الله . وهذا أصل ما تزكو به القلوب


“Az-Zakah pada ayat di atas adalah tauhid dan iman, yang dengannya, jiwa menjadi bersih. Tauhid mengandung makna menafikan hak uluhiyyah dari selain Al-Haq (Allah Ta’ala) dari dalam hati, dan menetapkan hak uluhiyyah bagi Al-Haq (Allah Ta’ala) di dalam hati. Inilah hakikat dari kalimat tauhid, laa ilaaha illallah. Dan inilah pokok yang dapat menyucikan jiwa.” (Majmuu’ Al-Fataawa, 10: 97)

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

قال أكثر المفسرين من السلف ومن بعدهم : هي التوحيد : شهادة أن لا إله إلا الله والإيمان الذي به يزكو القلب … وهو أصل كل زكاة ونماء …

“Mayoritas ahli tafsir dari kalangan salaf dan setelahnya berkata, “Az-Zakah pada ayat tersebut berarti tauhid, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan iman, yang dengannya hati menjadi bersih … Tauhid adalah sumber dari segala pertambahan dan peningkatan kebaikan… “ (Ighaatstaul Lahfaan, 1: 79)

Sebagaimana tauhid adalah pokok penyucian dan pembersihan jiwa, maka kesyirikan adalah perkara yang paling mengotori dan merusak jiwa manusia. Bahkan, kesyirikan akan menghapus seluruh amalan kita, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ’Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar [39]: 65)

Kesyirikan adalah dosa yang apabila dibawa mati, Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa itu selama-lamanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)

Allah Ta’ala mengharamkan surga bagi setiap orang yang mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah [5]: 72)

Jika seorang hamba memurnikan tauhid, maka akan terwujudlah kesucian (jiwa) yang sempurna, dia akan mendapatkan hidayah dan rasa aman yang sempurna di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am [6]: 82)

Ketika seorang hamba mengikhlaskan penghambaan diri dan rasa cinta (mahabbah) kepada Allah Ta’ala, maka amalnya pun menjadi ikhlas dan tepat, jiwanya pun menjadi bersih (suci) dan baik. Dan ketika masuk hal-hal yang merusaknya, berupa kotoran syirik, maka masuklah noda dan kotoran ke dalam jiwa sesuai dengan kadarnya.

Oleh karena itu, jiwa tak akan suci kecuali dengan memurnikan tauhid dan mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, serta mengikhlaskan amal hanya untuk-Nya. 
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Ingatlah, hanya milik Allah-lah agama yang murni (dari syirik).” (QS. Az-Zumar [39]: 3)

Dan begitu pula jiwa tak akan suci kecuali dengan membersihkan jiwa dari segala bentuk kesyirikan,dan segala sesuatu yang membatalkan dan melemahkan tauhid.

Sumber: Sumber Kedua
  • KAIDAH KEDUA: Doa adalah kunci penyucian jiwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ

“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah dibandingkan doa.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahiihul Jaami’, no. 5392)

Doa merupakan salah satu ibadah yang paling utama di sisi Allah Ta’ala, karena di dalamnya terkandung sikap menampakkan kelemahan, kefakiran, perendahan diri, hati yang luluh dan pengakuan terhadap kekuatan; kekuasaan; kekayaan dan kemampuan-Nya mengayakan; serta kebesaran-Nya. Bahkan bagi musuh-musuh-Nya (orang musyrik dan kafir), doa adalah solusi atas keputusasaan mereka, apalagi bagi para kekasih dan wali-Nya yang mulia. (Mirqaatul Mafaatih Syarh Misykaatul Mashaabih, 4: 1527)

Doa memiliki berpengaruh besar dalam membuka pintu-pintu kebaikan. 
Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’la ketika berwasiat kepada Abul Qasim Al-Maghribi,

الدعاء مفتاح كل خير

“Doa adalah kunci semua kebaikan.” (Majmuu’ Al-Fataawa, 10: 661)

Semua kebaikan yang Engkau harapkan dan inginkan, baik berupa kebaikan di dunia dan di akhirat, maka mintalah kepada Allah Ta’ala, bersandarlah kepada-Nya dalam meraih dan mewujudkannya.
Allah Ta’ala telah berjanji akan mengabulkan doa orang-orang yang berdoa dan menyandarkan diri kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan Rabb kalian berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.” (QS. Ghafir [40]: 60)

Amirul mukminin ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,

إني لا أحمل هم الإجابة، ولكن هم الدعاء؛ فإذا ألهمت الدعاء فإن الإجابة معه

“Sungguh aku tidak mementingkan tentang kapan suatu doa dikabulkan, justru yang terpenting bagiku adalah bagaimana aku dapat memanjatkan doa. Apabila aku diberi ilham (taufik) agar bisa berdoa, maka sungguh pengabulan doa akan menyertainya.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829 dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam At-Targhiib, 2: 270)

Diriwayatkan dari Mutharrif bin Asy-Syikhir, beliau berkata,

تَذَكَّرْتُ مَا جِمَاعُ الْخَيْرِ فَإِذَا الْخَيْرُ كَثِيرٌ: الصَّوْمُ وَالصَّلَاةُ وَإِذَا هُوَ فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِذَا أَنْتَ لَا تَقْدِرُ عَلَى مَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَنْ تَسْأَلَهُ فَيُعْطِيَكَ، فَإِذَا جِمَاعُ الْخَيْرِ الدُّعَاءُ

“Aku merenungkan apakah pokok segala kebaikan, ternyata kebaikan itu banyak. Kebaikan itu mencakup shalat dan puasa, yang urusannya berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Apabila ternyata engkau tidak mampu melakukan hal yang berada di tangan Allah, kecuali setelah memohon kepada-Nya, sehingga Dia memberikannya kepadamu, maka hal itu berarti pokok segala kebaikan itu adalah doa.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az-Zuhd no. 1344)

Dalam bab “At-Tazkiyah”, telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata dalam doanya,

اللهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا


“Ya Allah, berikanlah diriku ketakwaan, sucikanlah, karena Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang mensucikannya, Engkaulah yang menguasai dan menjaganya.“ (HR. Muslim no. 2722)

Dalam doa ini terdapat isyarat dan peringatan bahwa penyucian jiwa itu ada di tangan Allah, Dzat Yang mengetahui hal yang ghaib. Sedangkan kunci pembukanya yang agung adalah doa dan merasa butuh di hadapan Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali berdoa,

يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat Yang membolak-balik hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 2140, shahih)

Ketika hamba memfokuskan hati; jujur dengan kebutuhan dan kekurangannya, kuat rasa harapnya, tidak tergesa-gesa ingin dikabulkan, dan mencari waktu-waktu berdo’a yang utama, niscaya mustahil doanya ditolak.

Faktor terbesar yang dapat membantu kita untuk berdoa adalah menyadari bahwa kesucian jiwa kita terletak di tangan Allah Ta’ala. Allah-lah Dzat yang membersihkan jiwa siapa saja yang Dia kehendaki. Semua urusan adalah milik Allah Ta’ala dan berada di bawah kehendak-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ

“Sebenarnya Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 49)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ

“Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.“ (QS. An-Nuur [24]: 21)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang firman Allah Ta’ala, “niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih” (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu),

ما اهتدى منكم من الخلائق لشيء من الخير ينفع به نفسه، ولم يتق شيئا من الشرّ يدفعه عن نفسه

“Tidak ada seorang makhluk pun yang dapat memberikan hidayah berupa kebaikan yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan tidak pula menjauhi sesuatu berupa kejelekan yang dia cegah dari dirinya sendiri.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya, 17: 222)

Artinya, itu semua adalah semata-mata karunia dari Allah Ta’ala.

Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ يَنْقُلُ مَعَنَا التُّرَابَ، وَلَقَدْ وَارَى التُّرَابُ بَيَاضَ بَطْنِهِ، وَهُوَ يَقُولُ: وَاللهِ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا، وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَ
ا

“Ketika terjadi perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turut bersama-sama dengan kami mengangkat tanah. Sehingga perut putih beliau menjadi kotor karena tanah. Beliau pun bersenandung, “Ya Allah, sekiranya bukan karena Engkau, tidaklah kami mendapatkan petunjuk, tidaklah kami bersedekah, dan tidaklah kami mendirikan shalat.“ (HR. Bukhari no. 4104 dan Muslim no. 1803)

Hidayah, iman, dan kebaikan, semuanya ada di tangan Allah Ta’ala semata.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanamkan hal ini di jiwa para sahabat dan menekankannya berulang-ulang. Di antara pembuka khutbah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberikan hidayah kepadanya.” (HR. Muslim no. 868 dari riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Abu Dawud no. 1097, Tirmidzi no. 1105, An-Nasa’i no. 3277, Ibnu Majah no. 1892, semuanya dari riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Hal ini adalah adalah pintu terbesar yang mesti dilalui dalam penyucian jiwa. Barangsiapa yang mengetahui bahwa kebaikan, kesucian dan keistiqamahan jiwanya berada di tangan Allah Ta’ala, dia akan bersandar kepada-Nya. Dia akan menghadap dan memintanya dengan berdoa, dalam kondisi sangat-sangat berharap untuk meraih kesucian, keselamatan, dan keberuntungan jiwanya di dunia dan di akhirat.

Sumber: Sumber Ketiga

  • KAIDAH KETIGA: Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber mata air penyucian jiwa
Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 164)

Al-Qur’an adalah sarana terbesar untuk menyucikan jiwa. Al-Qur’an adalah kitab penyucian jiwa yang menjadi sumber dan mata air penyucian jiwa. Barangsiapa yang menginginkan kesucian jiwa, hendaklah mencarinya dalam Al-Qur’an.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

ضَمِنَ اللَّهُ لِمَنِ اتَّبَعَ الْقُرْآنَ أَنْ لَا يَضِلَّ فِي الدُّنْيَا وَلَا يَشْقَى فِي الْآخِرَةِ» ، ثُمَّ تَلَا: ” {فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى}

“Allah menjamin bagi orang yang mengikuti ajaran Al-Qur’an bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” Kemudian Ibnu ‘Abbas membacakan ayat (yang artinya), “Lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha [20]: 123)” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 35926)

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57)

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

فَالْقُرْآنُ هُوَ الشّفَاءُ التّامّ مِنْ جَمِيعِ الْأَدْوَاءِ الْقَلْبِيّةِ وَالْبَدَنِيّةِ وَأَدْوَاءِ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Al-Qur’an adalah obat yang paling sempurna untuk seluruh penyakit hati dan jasmani; serta untuk penyakit dunia dan akhirat.” (Zaadul Ma’aad, 4: 119)

Allah Ta’ala berfirman,


الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ

“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 121)

Yang dimaksud dengan “bacaan yang sebenarnya“ adalah dengan membaca, menghafal, memahami, merenungkan dan mengamalkannya, sebagaimana penjelasan (tafsir) dari para sahabat dan tabi’in.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

كان الرجلُ منا إذا تعلَّم عشرَ آياتٍ لم يجاوزهن حتى يعرف معانيَهُن والعمل بهن

“Dulu, orang-orang di antara kami jika mempelajari sepuluh ayat (dari Al-Qur’an), tidak akan berpindah (ke ayat yang lainnya) sampai dia memahami makna dan mengamalkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad no. 23482)

Membaca Al-Qur’an tanpa memahami makna dan mengamalkan isi kandungannya, tidaklah dianggap “membaca” dengan sebenarnya. 
Oleh karena itu, Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu Ta’ala berkata,

إنما نزل القرآن ليعمل به، فاتخذ الناس قراءته عملا

“Al-Qur’an itu diturunkan semata-mata untuk diamalkan. Sedangkan manusia menyangka dengan cukup membaca Al-Qur’an, mereka telah mengamalkannya.” (Diriwayatkan oleh Al-Aajuri dalam Akhlaq hamalatul Qur’an, hal. 41)

Jika Allah Ta’ala memuliakan hamba-Nya dengan (memberikan taufik agar dapat) membaca, merenungkan makna, dan memaksa jiwa dalam mengamalkan al-Quran, niscaya dia akan meraih kesucian jiwa.

Sumber Keempat
  • KAIDAH KEEMPAT: Mencari seseorag sebagai panutan dan teladan yang baik
Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.“ (QS. Al-Ahzab [33]: 21)

Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala berkata,

هَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ أَصْلٌ كَبِيرٌ فِي التَّأَسِّي بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ وَأَحْوَالِهِ

“Ayat yang mulia ini merupakan landasan (pokok) penting dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam ucapan, perbuatan dan keadaan beliau.” (Tafsir Ibnu Katsir, 11: 133)

Al-Hasan rahimahullahu Ta’ala berkata, “Sekelompok orang berkata pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya kami mencintai Rabb kami.”
Maka Allah Ta’ala turunkan ayat ini,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 31)

Mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukti benarnya kecintaan seseorang kepada Allah Ta’ala. Hal ini karena mengikuti dan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menempuh jalan beragama beliau yang lurus adalah penyucian jiwa itu sendiri. Dan tidaklah mungkin seorang bisa mencapai penyucian jiwa tanpa mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Gembong-gembong kesesatan di setiap masa berinovasi dengan menciptakan metode-metode baru lagi mungkar, dan mengklaim hal itu mampu menyucikan jiwa, menjernihkan hati, memperkuat hubungan dengan Allah Ta’ala, dan klaim-klaim lain dalam perkataan mereka. Mereka pun memberi wejangan untuk mengasingkan diri dari masyarakat (jamaah) dan menyendiri di tempat-tempat yang gelap, mengulang-ulang model dzikir dan kalimat (lafadz) tertentu, dan mereka menyangka hal itu bisa menyucikan, menjernihkan, memelihara jiwa, dan klaim-klaim lain yang batil (dusta).

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

وتزكية النفوس : أصعب من علاج الأبدان وأشد فمن زكى نفسه بالرياضة والمجاهدة والخلوة التي لم يجىء بها الرسل فهو كالمريض الذي يعالج نفسه برأيه وأين يقع رأيه من معرفة الطبيب فالرسل أطباء القلوب فلا سبيل إلى تزكيتها وصلاحها إلا من طريقهم وعلى أيديهم وبمحض الانقياد والتسليم لهم والله المستعان

“Menyucikan jiwa lebih sulit dan lebih berat daripada mengobati badan. Barangsiapa menyucikan jiwanya dengan riyadhah (latihan-latihan rohani untuk menyucikan jiwa, pent.), mujahadah (usaha sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu menurut pengikut tasawwuf, pent.) dan khulwah (menyendiri) yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti orang yang mengobati diri sendiri dengan mengandalkan pendapat sendiri. Apakah pendapatnya itu akan sesuai dengan ilmu yang dimiliki oleh para dokter? Para rasul adalah dokter hati. Tidak ada jalan untuk menyucikan dan memperbaiki hati manusia kecuali mengikuti jalan dan melalui arahan mereka, dan dengan semata-mata menaati dan menerima ajaran mereka. Wallahul musta’an (Dan Allah adalah sebaik-baik tempat untuk meminta pertolongan).” (Madaarijus Saalikiin, 2: 300)

Demikian pula, seluruh amal yang tidak dilandasi tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut tertolak. 
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dengan amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahu Ta’ala bekata,

إن رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الميزان الأكبر، فعليه تعرض الأشياء؛ على خلقه، وسيرته، وهديه، فما وافقها فهو الحق، وماخالفها فهو الباطل

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-mizan al-akbar (parameter kebenaran yang agung), segala sesuatu diperbandingkan dengan beliau, baik dengan akhlaknya, sejarah hidupnya, maupun dengan petunjuknya. Apa yang sesuai dengannya, itulah kebenaran. Dan apa yang bertentangan dengannya, itulah kebatilan.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Jaami’ li akhlaaq ar-raawi wa adaab as-saami’, 1: 79)

Oleh karena itu, wajib bagi orang yang ingin menyucikan jiwanya untuk bersungguh-sungguh mengikuti, mencontoh dan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjauhi berbagai perkara dan metode-metode baru (bid’ah) yang diklaim oleh para pencetusnya bahwa hal itu dapat menyucikan jiwa.

Sumber: Sumber Kelima

  • KAIDAH KELIMA: Membersihkan dan menghiasi Jiwa
Sesungguhnya hakikat penyucian jiwa adalah diawali dengan membersihkan jiwa (takhliyyah) (تخلية), yaitu membersihkannya dari kotoran, maksiat, dan perbuatan dosa, setelah itu menghiasinya (tahliyyah) (تحلية) dengan melakukan berbagai amal ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 103)

Dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya) “membersihkan mereka” terdapat isyarat tentang kedudukan “takhliyyah” dari keburukan, yaitu membersihkan diri dari perbuatan dosa.


Dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya) “menyucikan mereka” terdapat isyarat tentang kedudukan “tahliyyah”, yaitu menghiasi diri dengan keutamaan dan kebaikan.

Mendahulukan “pembersihan” (thath-hiir) (
تطهير) dari “penyucian” (tazkiyyah) (تزكية) pada ayat di atas, layaknya mendahulukan (takhliyyah) sebelum melakukan tahliyyah. Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bagi orang yang ingin menyucikan jiwanya agar melepaskan diri terlebih dahulu dari dosa dan pelanggaran yang dapat merusak dan menutupi hatinya dari cahaya hidayah dan keimanan. 
Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [المطففين: 14]

“Apabila seorang hamba melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila dia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila dia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan dengan “ar-raan” yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka”. (QS. Al-Muthaffifiin [83]: 14)” (HR. Tirmidzi no. 3334 dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhiib wa At-Tarhiib 2: 268)

Kemudian, setelah itu dia dapat bersungguh-sungguh memperbanyak amal shalih yang dapat menyucikan jiwanya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 69)


Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata,

فالتزكية وإن كان أصلها النماء، والبركة وزيادة الخير، فإنما تحصل بإزالة الشر؛ فلهذا صار التزكي يجمع هذا وهذا

“At-tazkiyah, meskipun makna asalnya adalah pertumbuhan, keberkahan dan pertambahan kebaikan, namun hal itu hanya bisa tercapai dengan menjauhi segala keburukan. Sehingga jadilah tazkiyah itu mengumpulkan antara menjauhi keburukan dan meningkatkan kebaikan.” (Majmuu’ Al-Fataawa, 10: 97)

Ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala,

بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ

“Sebenarnya Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 49)

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata,

أي: بالإيمان والعمل الصالح بالتخلي عن الأخلاق الرذيلة، والتحلي بالصفات الجميلة

“Yaitu Allah membersihkan diri mereka dengan iman dan amal shalih, yaitu dengan at-takhalli, membersihkan diri dari akhlak yang buruk, dan at-tahalliy, menghiasi diri dengan sifat-sifat yang mulia.” (Taisiir Karimirrahman, hal. 182)
  • KAIDAH KEENAM: Menutup pintu yang dapat mengeluarkan seseorang dari kesucian jiwa, menjauhkannya dari keutamaan dan menjerumuskannya kedalam kehinaan
Seorang hamba memiliki kebutuhan yang sangat mendesak untuk menutup pintu yang dapat merusak dan mengotori jiwanya. Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat suatu permisalan untuk kita yang menjelaskan bahaya masuknya pengaruh seseorang ke dalam perkara yang dapat merusak agamanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ سُورَانِ، فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا، وَلَا تَتَعَرَّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ يَفْتَحُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ، فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ، وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ: حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ: مَحَارِمُ اللَّهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ: كِتَابُ اللَّهِ، وَالدَّاعِي مِنِ فَوْقَ الصِّرَاطِ: وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ

“Allah memberikan perumpamaan berupa jalan yang lurus. Kemudian di atas kedua sisi jalan itu terdapat dua dinding. Dan pada kedua dinding itu terdapat pintu-pintu yang terbuka lebar. Kemudian di atas setiap pintu terdapat tabir penutup yang halus. Dan di atas pintu jalan terdapat penyeru yang berkata, ‘Wahai sekalian manusia, masuklah kalian semua ke dalam shirath dan janganlah kalian menoleh kesana kemari.’ Sementara di bagian dalam dari Shirath juga terdapat penyeru yang selalu mengajak untuk menapaki Shirath, dan jika seseorang hendak membuka pintu-pintu yang berada di sampingnya, maka ia berkata, ‘Celak kamu, jangan sekali-kali kamu membukanya. Karena jika kamu membukanya maka kamu akan masuk kedalamnya.’ Ash Shirath itu adalah Al Islam. Kedua dinding itu merupakan batasan-batasan Allah Ta’ala. Sementara pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Dan adapun penyeru di depan shirath itu adalah Kitabullah (Al Qur`an) ‘azza wajalla. Sedangkan penyeru dari atas shirath adalah penasihat Allah (naluri) yang terdapat pada setiap kalbu seorang mukmin.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 17909)

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullahu Ta’ala berkata, “Siapa saja yang ketika berada di dunia tidak istiqamah di atas jalan agama yang lurus, sehingga dia membuka pintu-pintu keharaman yang ada di tirai di sebelah kanan dan kiri jalan tersebut; masuk ke dalamnya, baik hal yang diharamkan itu berupa syahwat ataupun syubhat; maka dia akan disambar oleh pengait yang terdapat di sebelah kanan dan kiri ash–Shirath (pada hari kiamat), sesuai dengan kadar pintu keharaman yang dibukanya ketika di dunia.” (Majmu’ Rasail Ibnu Rajab, 1: 206)

Berkaitan dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nuur [24]: 30)

Abu Hayyan Al-Andalusi rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Menundukkan pandangan itu lebih didahulukan daripada menjaga kemaluan karena pandangan mata adalah pos menuju zina, pengantar kekejian, dan musibah di dalamnya itu lebih parah dan lebih banyak.” (Al-Bahru Al-Muhiith karya Ibnu Hayyan Al-Andalusi, 8: 33)

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala,

فإن من حفظ فرجه وبصره، طهر من الخبث الذي يتدنس به أهل الفواحش، وزكت أعماله، بسبب ترك المحرم، الذي تطمع إليه النفس وتدعو إليه، فمن ترك شيئا لله، عوضه الله خيرا منه

“Barangsiapa yang menjaga kemaluan dan penglihatan, dirinya akan tersucikan dari berbagai kotoran yang menodai pelaku kemaksiatan; amalnya murni karena meninggalkan keharaman yang menjadi kecondongan dan keinginan jiwa manusia. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah Ta’ala akan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik baginya.” (Taisiir Karimirrahman, hal. 660)

Oleh karena itu, termasuk di antara tanda kebaikan agama seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, baik berupa berlebih-lebihan dalam berbicara, memandang dan yang lainnya.

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

وأكثر المعاصي إنما تولدها من فضول الكلام والنظر وهما أوسع مداخل الشيطان فإن جارحتيهما لا يملأن ولا يسأمان

“Mayoritas kemaksiatan semata-mata disebabkan oleh sikap berlebih-lebihan dalam berbicara dan memandang. Keduanya adalah pintu masuk setan yang paling luas. Karena mulut dan mata adalah dua anggota tubuh yang jarang lelah dan bosan.“ (Badaai’ Al-Fawaaid, 2: 820)

Maka hendaklah seorang hamba itu berakal lagi cerdas, sehingga dapat memohon kesabaran dan keselamatan kepada Allah Ta’ala; dan memohon agar Allah Ta’ala menutup jalan yang dapat mengantarkannya menuju kebinasaan dan kemaksiatan. Agama adalah harta seseorang yang paling berharga. Menyia-nyiakan, acuh tak acuh terhadap agama, terkandung kerugian di dunia dan di akhirat. Lebih-lebih di zaman kita, dimana berbagai fitnah turun menimpa manusia seperti derasnya hujan. Berbagai pintu syubhat dan syahwat terbuka dengan keberadaan perangkat teknologi terkini, situs-situs asusila, dan program-program televisi amoral, sehingga banyak manusia berjalan menuju kesesatan dan berpaling dari hidayah. Kami meminta keselamatan hanya kepada Allah Ta’ala.

Sumber Ketujuh
  • KAIDAH KETUJUH: Mengingat kematian dan perjumpaan dengan Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).“ (QS. Al-Hasyr [59]: 18)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ ، يَعْنِي الْمَوْتَ

“Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan.” (yaitu, kematian) (HR. Ibnu Majah no. 4258 dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ 3: 145)

Kematian adalah pemisah antara negeri dunia dan negeri akhirat, juga pemisah antara waktu beramal dan waktu pembalasan amal. Juga merupakan batasan yang membedakan antara menyiapkan perbekalan dan menjumpai balasannya. Setelah kematian, tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan memohon ampun dari kesalahan. 

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 18)

Kematian itu pasti akan menemui dan menjumpai kita, tanpa ada keraguan di dalamnya. 
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ

“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.“ (QS. Al-Jumu’ah [62]: 8)

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.“ (QS. An-Nisa’ [4]: 78)

Bersamaan dengan itu, kematian itu mendatangi orang yang sedang tidur dengan tiba-tiba. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.“ (QS. An-Nahl [16]: 61)

Betapa banyak orang yang keluar dari rumah dengan mengendarai mobil, lalu dia kembali dengan terbungkus kain kafan. Betapa banyak orang yang berkata kepada istri, “Siapkan makanan untukku”, lalu dia meninggal dan belum sempat memakannya. Betapa banyak orang yang memakai pakaian, mengancingkan baju, lalu yang melepas kancing bajunya adalah orang yang memandikan jenazahnya.

Dengan mengingat kematian, terdapat manfaat besar. 

Dengan mengingat kematian, hati yang lalai menjadi tersadar; hati yang mati menjadi hidup; hamba kembali mau menghadap kepada Allah Ta’ala; serta hilanglah sikap lalai dan berpaling dari ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata
,
لو فارق ذكر الموت قلبي، خشيت أن يفسد علي قلبي

“Seandainya hatiku berpisah dari mengingat kematian, aku khawatir hal itu justru akan merusak hatiku.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az-Zuhd no. 2210)

Seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama dia mengingat posisinya di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat dan tempat kembalinya setelah kematian.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahu Ta’ala berkata,

مَثَّلْتُ نَفْسِي فِي الْجَنَّةِ، آكُلُ ثِمَارَهَا، وَأَشْرَبُ مِنْ أَنْهَارِهَا، وَأُعَانِقُ أَبْكَارَهَا، ثُمَّ مَثَّلْتُ نَفْسِي فِي النَّارِ، آكُلُ مِنْ زَقُّومِهَا، وَأَشْرَبُ مِنْ صَدِيدِهَا، وَأُعَالِجُ سَلَاسِلَهَا وَأَغْلَالَهَا؛ فَقُلْتُ لِنَفْسِي: أَيْ نَفْسِي، أَيُّ شَيْءٍ تُرِيدِينَ؟، قَالَتْ: أُرِيدُ أَنْ أُرَدَّ إِلَى الدُّنْيَا؛ فَأَعْمَلَ صَالِحًا قَالَ: قُلْتُ: فَأَنْتِ فِي الْأُمْنِيَةِ فَاعْمَلِي


“Aku umpamakan diriku sedang berada di surga, memakan buah-buahannya, minum dari sunga-sungainya, dan memeluk bidadari. Kemudian aku umpamakan diriku sedang berada di neraka, aku makan dari buah zaqum, aku minum dari nanah, dan aku berhadapan dengan rantai dan belenggu neraka. Lalu aku berkata kepada diriku, “Wahai jiwaku, mana yang Engkau inginkan?” Jiwaku berkata, “Aku ingin kembali ke dunia dan beramal shalih.” Aku berkata, “Engkau sekarang sedang berada di dunia, maka beramallah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Muhaasabatun Nafs hal. 26)

Berkatalah kepada jiwa juga, “Wahai jiwa, jika aku mati, siapakah yang menshalatkanku setelah aku mati, siapakah yang berpuasa untukku, dan siapakah yang memohonkan ampun untukku dari dosa dan kecerobohanku?”

  • KAIDAH KEDELAPAN: Memilih teman dalam bergaul
Allah Ta’ala berfirman,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا


“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.“ (QS. Al-Kahfi [18]: 28).

Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala berkata,


ففيها الأمر بصحبة الأخيار، ومجاهدة النفس على صحبتهم، ومخالطتهم وإن كانوا فقراء فإن في صحبتهم من الفوائد، ما لا يحصى

“Dalam ayat ini terkandung perintah untuk bergaul dengan orang-orang terbaik (pilihan), bersungguh-sungguh untuk berteman dan bersama dengan mereka, meskipun mereka miskin. Karena sesungguhnya, terdapat faidah yang tidak terhitung dalam pergaulan dengan mereka.” (Taisiir Karimirrahman, hal. 547)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya. Oleh karena itu, perhatikanlah siapa yang menjadi sahabat kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4833. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 634)

Abu Sulaiman Al-Khithabi rahimahullahu Ta’ala berkata, “Makna dari ‘Seseorang itu sesuai dengan agama sahabatnya’ adalah janganlah engkau bergaul kecuali dengan orang yang bagus agamanya dan memiliki sifat amanah. Karena jika engkau bergaul dengannya, engkau akan meneladaninya dalam agama dan pemikirannya (pendapatnya). Janganlah engkau tertipu dengan agamamu dan janganlah engkau mempertaruhkan dirimu, sehingga engkau bergaul dengan orang yang cuek dengan agama dan rusak pemikirannya.” (Al-‘Uzlah, hal. 56)

Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,


اعتبروا الناس بأخدانهم، فإن المرء لايخادن إلا من يعجبه


“Nilailah manusia dengan sahabat dekatnya. Karena seseorang tidaklah bersahabat kecuali dengan orang yang dikaguminya.“ (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah Al-Kubra no. 376)

Terpengaruh dengan Teman-Teman Lama

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ، وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ، كَحَامِلِ الْمِسْكِ، وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Hanyalah perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk itu ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak wangi atau Engkau bisa membeli minyak wangi darinya. Dan kalaupun tidak, Engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) akan mengenai (membakar) pakaianmu. Dan kalaupun tidak, Engkau tetap mendapatkan bau asap yang tidak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu Ta’ala mengatakan,

“Dalam hadits di atas terkandung (pelajaran) agar menjauhi interaksi dengan orang-orang yang buruk; bermajelis dengan orang yang jahat, ahli bid’ah, dan orang-orang yang suka menipu manusia. Karena semua orang tersebut akan menimbulkan pengaruh pada teman duduknya. Dan juga terkandung dorongan (motivasi) untuk bermajelis dengan orang-orang yang baik; mempelajari ilmu, adab, hidayah (petunjuk), dan akhlak yang terpuji (dari mereka).” (Ikmaalul Mu’allim bi Fawaaidi Muslim, 8: 108)
  • KAIDAH KESEMBILAN: Waspada dari sikap ujub dan tertipu dengan diri sendiri
Allah Ta’ala berfirman,

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.“(QS. An-Najm [53]: 32)

Allah Ta’ala melarang memuji diri sendiri dengan sesuatu yang menunjukkan jiwa ini baik dan bersih. Karena ketakwaan itu letaknya di hati. Sedangkan Allah Ta’ala lebih mengetahui siapa yang mencapai ketakwaan. Dan juga, memuji diri sendiri itu adalah sebab masuknya ‘ujub dan sebab munculnya riya’ yang akan menghapuskan amal.

Seorang mukmin, bagaimana pun dia bersungguh-sungguh dalam beramal shalih dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, dia akan tetap memiliki kekurangan dan menzalimi diri sendiri. Ketika Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, pribadi yang paling jujur dalam keimanan di umat ini dan manusia terbaik setelah Nabi, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkannya doa ketika salat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengajarkannya untuk berdoa,

اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ


“Ya Allah, sesungguhnya aku menzalimi diriku sendiri dengan kezaliman yang banyak. Tidak ada yang mengampuni dosaku kecuali Engkau. Ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu. Rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705)

Lalu bagaimana lagi dengan keadaan orang-orang yang kedudukannya di bawah beliau radhiyallahu ‘anhu? 

Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu Ta’ala ‘Anha bertanya tentang firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ


“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.“ (QS. Al-Mu’minuun [23]: 60)

Ibunda ‘Aisyah berkata,

أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟

“Apakah mereka itu orang yang minum khamr dan mencuri?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ، وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ، وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا تُقْبَلَ مِنْهُمْ

“Bukan wahai binti Ash-Shiddiq. Akan tetapi, mereka itu adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan bersedekah. Dan mereka takut jika amal mereka tidak diterima.” (HR. Tirmidzi no. 3175 dan dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 162)

‘Abdullah bin Abu Mulaikah rahimahullahu Ta’ala berkata,

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ

“Aku berjumpa dengan lebih dari tiga puluh orang shahabat, dan mereka semua takut kemunafikan ada dalam diri mereka.” [Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dengan shigat jazm (ungkapan tegas) sebelum nomor 834]

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu Ta’ala berkata,

إن المؤمن جمع إحسانا وشفقة، وإن المنافق جمع إساءة وأمنا


“Seorang mukmin mengumpulkan antara berbuat baik dan sikap hati-hati, sedangkan orang munafik mengumpulkan antara perbuatan buruk dan rasa aman.”
Kemudian beliau membaca ayat,

إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka,“(QS. Al-Mu’minun [23]: 57) (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya, 17: 28)

Sumber Kesepuluh
  • KAIDAH KESEPULUH: Mengenali hakikat jiwa
Di antara keharusan dalam menyucikan jiwa adalah mengenali hakikat jiwa ini, mengetahui sifat-sifatnya, sehingga mudah untuk melindungi, menjaga, dan mengobatinya dari penyakit yang masuk ke dalamnya.

Allah Ta’ala telah mendeskripsikan jiwa manusia dalam Alquran Al-Karim dengan tiga sifat yang telah umum dan diketahui. Sifat-sifat ini kembali kepada keadaan jiwa. Ketiga sifat jiwa tersebut adalah:

An-Nafs Al-Muthma’innah, yaitu jiwa yang mantap dengan keimanan, mengingat Allah Ta’ala, beribadah dan selalu kembali kepada Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,


الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوب

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ؛ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً ؛ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي؛ وَادْخُلِي جَنَّتِي

“jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam kumpulan hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)

An-Nafs Al-Lawwaamah, yaitu jiwa yang mencela pemiliknya karena melakukan dosa (kesalahan), meremehkan kewajiban atau ketaatan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,


وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah [75]: 2)

An-Nafs Al-Ammaarah bis Suu’, yaitu jiwa yang mendorong pemiliknya untuk mengerjakan hal yang haram; melakukan dosa; menuntunnya menuju tempat-tempat yang mungkar dan hina; serta memotivasinya untuk melakukan hal-hal yang jelek dan hina, sebagaimana firman Allah Ta’ala,


وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي

“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf [12]: 53)

Ketiga sifat jiwa ini pada dasarnya adalah kondisi-kondisi yang berkaitan dengan jiwa. Oleh karena itu, kondisi-kondisi ini bisa berubah-ubah sesuai dengan apa yang dialami oleh jiwa manusia. Dan terkadang ketiga kondisi ini terdapat dalam manusia pada saat yang sama sesuai dengan kondisi jiwa itu sendiri.

Para ulama telah membuat permisalan yang dapat menjelaskan kondisi jiwa dalam diri manusia agar mudah dipahami seseorang, sehingga setelah itu dia mampu bersungguh-sungguh memperbaiki dan menyucikan jiwanya.


Berikut ini ringkasan dua permisalan yang dijelaskan dua ulama yang mulia.

Pertama, permisalan yang dibuat oleh Imam Al-Aajuri rahimahullahu Ta’ala dalam kitab “Adaabun Nufuus.” Beliau berkata,

“Aku membuat permisalan untuk kalian yang mudah dipahami, insya Allah. Sesungguhnya jiwa manusia itu seperti anak kuda yang bagus. Jika seseorang memandangnya, dia akan terpesona dengan kebagusan dan keindahannya. Pakar perkudaan akan berkata tentangnya, “Anak kuda ini belum bisa ditunggangi sampai dijinakkan dan dilatih dengan baik. Ketika hal itu telah dilakukan, maka kuda ini akan bisa dimanfaatkan, bisa diperintah dan ditunggangi. Orang yang menungganginya pun akan memuji hasil penjinakan dan pelatihan anak kuda tersebut. Jika anak kuda tersebut tidak dilatih, maka tidak bisa dimanfaatkan, dan orang yang menungganginya pun akan kecewa ketika memanfaatkannya.”

Jika pemilik anak kuda tersebut menerima nasihat pakar tersebut, dia akan mengetahui bahwa ini adalah perkataan yang benar. Dia pun akan membawanya ke seorang yang ahli menjinakkan atau melatih kuda.

Kemudian, seseorang tidaklah mungkin bisa menjadi pelatih kuda yang baik kecuali dia memiliki ilmu bagaimana melatih kuda yang juga disertai kesabaran. Jika pelatih tersebut memiliki ilmu melatih kuda, maka pemilik kuda akan bisa memanfaatkan kudanya.

Jika pelatih kuda tersebut tidak memiliki ilmu tentang melatih dan menjinakkan kuda, maka ia hanya akan merusak anak kuda tersebut, membuat dirinya sendiri letih dan orang yang menunggang kuda tersebut juga tidak akan memuji hasil latihannya.

Jika pelatih kuda tersebut memiliki ilmu tentang melatih dan menjinakkan kuda, namun tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi masa-masa sulit melatih kuda, ingin enaknya sendiri, dan tidak semangat dalam melaksanakan kewajibannya melatih kuda, maka anak kuda itu pun akan menjadi rusak dan jelek, tidak bisa diperintah, tidak bisa juga ditunggangi. Hanya enak dipandang, namun tidak bisa apa-apa.

Jika pemiliknya adalah pelatihnya itu sendiri, dia akan menyesal karena kecerobohannya, pada hari dimana tidak bermanfaat lagi penyesalan, yaitu ketika dia melihat orang lain saat memerintah kudanya, dan perintah itu dilaksanakan, dan di saat ketika kuda itu ditunggangi, kuda itu bisa berjalan dengan baik dan selamat. Sedangkan ketika dia memerintah kudanya sendiri, tidak dilaksanakan, dan ketika dia menunggangi kudanya, namun celaka. Semua itu karena kecerobohannya dalam melatih kuda dan minimnya kesabaran, padahal dia mengetahui ihwal perkudaan.

Kemudian dia pun berbicara kepada jiwanya sendiri, sembari mencela, dia berkata, “Mengapa engkau ceroboh dan lalai? Seluruh yang aku benci berbalik kepadaku karena minimnya kesabaranku.” Wallahul musta’an.

Semoga Allah Ta’ala merahmatimu, renungkanlah permisalan jiwa ini, dan pahamilah, semoga engkau beruntung dan selamat.” (Adaabun Nufuus, hal. 261 karya Al-Aajuri)

Inilah permisalan pertama yang dijelaskan oleh Imam Al-Aajuri rahimahullahu Ta’ala tentang jiwa manusia, bahwa jiwa manusia itu seperti anak kuda yang membutuhkan latihan dan kesabaran dalam melatihnya. Latihan tersebut pun hendaknya didasari pengilmuan terhadap perkara-perkara yang dapat memperbaiki dan menyucikan jiwa manusia. Jika seseorang ceroboh atau meremehkan ilmu dan latihan tersebut, niscaya dia akan sangat menyesal

Kedua, permisalan yang dibuat oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala. Beliau berkata,

“Jiwa itu seperti gunung besar yang merintangi orang yang menempuh jalan menuju Allah Ta’ala. Tak ada jalan lain bagi mereka kecuali dengan melewatinya. Akan tetapi, di antara mereka ada yang merasa berat menghadapinya, dan ada juga yang merasa mudah, karena sesungguhnya perjalanan itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala.

Sesungguhnya, di gunung itu ada lembah, bukit, jurang, tanaman berduri dan beracun, perampok yang membegal di jalan, lebih-lebih orang yang berjalan di malam hari yang gelap gulita.

Jika mereka tidak memiliki bekal keimanan, lentera keyakinan yang dinyalakan dengan minyak perendahan diri, niscaya berbagai penghalang tersebut akan merintangi dan menyulitkan mereka, sehingga menghalangi perjalanan tersebut.

Sesungguhnya mayoritas orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala, akan berbalik ke belakang karena tidak mampu menaklukannya dan tidak mau bersusah payah.

Setan yang berada di atas gunung memperingatkan manusia bahwa gunung tersebut sulit didaki dan dinaiki, ia menakut-nakuti mereka. Maka berkumpullah menjadi satu: pendakian yang sulit; hasutan setan yang duduk di puncak gunung, menakut-nakuti manusia bahwa hanya sedikit yang mampu mendaki; dan lemahnya tekad dan niat orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala. Hal itu menyebabkan mereka putus asa dan kembali, kecuali mereka yang berada dalam penjagaan Allah .

Setiap kali orang tersebut terus mendaki gunung, maka gangguan, ancaman, dan teror semakin gencar. Jika pendaki tersebut mampu mengatasinya dan mencapai puncak gunung, maka berubahlah semua ketakutan tadi menjadi rasa aman, ketika itu perjalanan terasa mudah, hilanglah gangguan-gangguan dan kesulitan di jalan, dia melihat jalan yang luas dan aman, yang mengantarkan ke tempat singgah dan tempat minum, yang di atasnya terdapat penanda dan di dalamnya terdapat tempat tinggal yang disiapkan untuk orang-orang yang menuju kepada keridaan Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Penyayang.

Penghalang antara hamba dan kebahagiaan/kesuksesan adalah adanya tekad yang kuat, kesabaran yang besar, keberanian jiwa, dan keteguhan hati. Semua itu adalah karunia Allah Ta’ala yang berada di Tangan-Nya dan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah yang memiliki keutamaan yang agung.” (Madaarijus Saalikiin, 2: 10 karya Ibnul Qayyim)

Permisalan ini juga menggambarkan kondisi jiwa, bahwa jiwa itu membutuhkan perbekalan dan pengobatan yang diusahakan pemiliknya. Jika dia tidak bersungguh-sungguh memperbaiki jiwanya dengan metode yang sejalan dengan agama dan bersabar dalam menempuhnya, niscaya jiwa itu akan lepas kendali dan merugikan pemiliknya.


Penutup: Perkataan para salaf dalam bab pensucian jiwa

Setelah menjelaskan kaidah-kaidah yang dapat membantu seorang hamba dalam membersihkan dan menyucikan jiwa, nampak secara jelas kebutuhan hamba untuk mengintrospeksi diri selama masih berada di dunia, yang merupakan negeri fana dan tempat untuk beramal, sebelum hamba berdiri di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat, yang apabila dia lalai memperbaiki diri, niscaya hal itulah yang menjadi sebab kebinasaannya.

Dulu, para salafus shalih telah memperingatkan dan mewasiatkan manusia betapa pentingnya menyucikan dan memperbaiki jiwa sebelum terlambat dan tak ada lagi kesempatan. Di akhir risalah ini, kami mengutip sebagian wasiat salafush shalih yang tercakup dalam topik ini, terutama wasiat keempat Khulafaur Rasyidin.

Khalifah Ar-Rasyid yang pertama, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata,

اعْلَمُوا عِبَادَ اللَّهِ أَنَّكُمْ تَغْدُونَ وَتَرُوحُونَ فِي أَجَلٍ قَدْ غُيِّبَ عَنْكُمْ عِلْمُهُ , فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْقَضِيَ الْآجَالُ وَأَنْتُمْ فِي عَمَلِ اللَّهِ فَافْعَلُوا , وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا ذَلِكَ إِلَّا بِاللَّهِ , فَسَابِقُوا فِي مَهَلٍ آجَالَكُمْ قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ آجَالُكُمْ فَيَرُدَّكُمْ إِلَى أَسْوَأِ أَعْمَالِكُمْ , فَإِنَّ أَقْوَامًا جَعَلُوا آجَالَهُمْ لِغَيْرِهِمْ وَنَسُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَنْهَاكُمْ أَنْ تَكُونُوا أَمْثَالَهُمْ فَالْوَحَاءَ الْوَحَاءَ، وَالنَّجَاءَ النَّجَاءَ , فَإِنَّ وَرَاءَكُمْ طَالِبًا حَثِيثًا مَرُّهُ سَرِيعٌ


“Ketahuilah wahai hamba Allah, sesungguhnya kalian memasuki waktu pagi dan sore, berada pada batas ajal yang tidak terjangkau oleh pengetahuan kalian. Jika kalian mampu untuk menghabiskan batas ajal tersebut dalam keadaan beribadah kepada Allah, maka lakukanlah. Dan kalian tidak akan sanggup melakukannya kecuali dengan adanya pertolongan Allah. Karena itu bergegaslah beramal sebelum tiba ajal kalian, lalu dia mengembalikan kalian kepada amal-amal kalian yang paling buruk. Karena ada suatu kaum yang menyerahkan ajal mereka kepada orang lain, dan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Maka, aku melarang kalian untuk menjadi seperti mereka. Sesungguhnya di belakang kalian ada pengejar yang tangkas, dan bergerak begitu cepat (baca: kematian).”​(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 35572)

Khalifah Ar-Rasyid yang ke dua, ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata,


حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ , يَوْمَ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ


“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (pada hari kiamat). Timbanglah amal kalian sebelum ditimbang (pada hari kiamat). Bersiaplah untuk tujuan yang agung, yaitu hari di mana tidak ada perkara samar yang tersembunyi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 35600)

Khalifah Ar-rasyid yang ke tiga, ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata,


“Wahai keturunan Adam, ketahuilah bahwa malaikat maut yang ditugaskan kepadamu senantiasa mengintaimu dan meninggalkan orang lain sejak kamu berada di dunia. Seolah-olah dia berpaling dari orang lain dan menuju kepadamu."

Maka waspadalah, siapkan dirimu dan jangan lalai. Karena sesungguhnya malaikat maut tidak pernah lalai darimu.

Ketahuilah wahai keturunan Adam, jika engkau lalai dari dirimu sendiri dan tidak membekali diri, orang lain tidak akan menyiapkan perbelakan bagi jiwamu, dan pasti akan ada pertemuan dengan Allah Ta’ala. Maka, persiapkanlah bekal bagi dirimu sendiri dan jangan menyerahkannya kepada orang lain.” (Diriwayatkan oleh Abu Bakr Ad-Dainuri dalam Al-Majaalis wal Jawaahir no. 207)

Khalifah Ar-rasyid yang ke empat, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata,

“Wahai manusia, yang paling aku takutkan atas kalian adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Panjang angan-angan akan melalaikan kalian dari akhirat. Sedangkan mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan kalian dari kebenaran.
Ketahuilah, bahwa dunia telah berlalu di belakang, sedangkan akhirat ada di depan.

Dan keduanya (dunia dan akhirat), memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat, dan jangan menjadi anak-anak dunia. Karena sesungguhnya di hari ini (di dunia) adalah waktu beramal dan tidak ada hisab. Sedangkan hari esok (di akhirat) adalah waktu dihisab dan tidak ada waktu lagi untuk beramal.” (Diriwayatkan oleh Bukhari tanpa sanad dengan shighat jazm [ungkapan tegas] sebelum hadits no. 6417)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Seorang mukmin adalah pemimpin untuk dirinya sendiri, dia menghisab dirinya sendiri. Pada hari kiamat, hisab itu ringan bagi orang-orang yang menghisab dirinya sendiri ketika di dunia. Dan hisab itu berat bagi orang-orang yang tidak menghisab dirinya di dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd no. 307).

Maimun bin Mihran rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Seseorang tidak dikatakan bertakwa sampai dia lebih intens mengoreksi diri sendiri, melebihi koreksi seorang terhadap rekan bisnisnya.” (Diriwayatkan oleh Waki’ dalam Az-Zuhd no. 239).

Kondisi ini semakin ditekankan pada zaman ini dimana banyak terjadi fitnah dan berbagai hal yang memalingkan seseorang dari kebenaran, selain banyaknya kejelekan yang membujuk jiwa untuk melakukan dan menghias-hiasi kebatilan.

‘Abdullah bin Mubarak rahimahullahu Ta’ala, salah seorang ulama tabi’in yang mulia, berkata pada zaman beliau,


إِنَّ الصَّالِحِينَ فِيمَا مَضَى كَانَتْ أَنْفُسُهُمْ تُوَاتِيهِمْ عَلَى الْخَيْرِ عَفْوًا وَإِنَّ أَنْفُسَنَا لَا تَكَادُ تُوَاتِينَا إِلا عَلَى كُرْهٍ فَيَنْبَغِي لَنَا أَنْ نُكْرِهَهَا


“Sesungguhnya orang-orang shalih terdahulu, mereka terbiasa melakukan kebaikan secara spontan/tanpa paksaan, sementara diri-diri kita ini nyaris tidak terbiasa (berbuat kebajikan) melainkan harus dengan paksaan. Karena itu sepatutnya kita memaksa diri kita (agar terbiasa melakukan kebaikan).” (Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam Dzammul Hawa, hal. 47).

Menurut anda, bagaimana halnya dengan kondisi di zaman kita ini?!

Kami meminta kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama dan sifat-Nya yang agung untuk memperbaiki agama kami yang merupakan harta kami yang paling berharga, untuk memperbaiki dunia kami yang merupakan tempat kami tinggal, untuk memperbaiki akhirat kami yang merupakan tempat kami kembali, dan untuk menjadikan hidup kami sebagai sarana bertambahnya semua kebaikan, dan menjadikan kematian sebagai tempat istirahat dari semua keburukan.

Ya Allah, berikanlah jiwa-jiwa kami ketakwaan dan sucikanlah, Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang mensucikannya, Engkaulah pelindung dan penolongnya.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga dan sahabatnya.

Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Sumber: https://muslim.or./