Type Here to Get Search Results !

 


ULAMA SYAFI'IYYAH ANTARA SALAFY DAN ASY'ARY

 

Mukaddimah

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ، ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

(أما بعد)

Di kalangan mayoritas kaum muslimin di Indonesia terkenal dengan istilah “Ahlus Sunnah wal Jamaah”. Mereka menyatakan bahwa ahlus sunnah itu harus memilih salah satu dari keempat madzhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dan khusus Muslimin Indonesia memilih Madzhab Syafi’i. Dan dalam bidang akidah mereka harus mengikuti akidah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Mereka juga mempunyai ulama pendahulu yang menyatakan demikian. Di antaranya adalah al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (wafat 974 H) rahimahullah. Beliau menyatakan:

وَالْمُرَادُ بِالسُّنَّةِ مَا عَلَيْهِ إمَامَا أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ الشَّيْخُ أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُو مَنْصُورٍ الْمَاتُرِيدِيُّ ، وَالْبِدْعَةُ مَا عَلَيْهِ فِرْقَةٌ مِنْ فِرَقِ الْمُبْتَدِعَةِ الْمُخَالِفَةِ لِاعْتِقَادِ هَذَيْنِ الْإِمَامَيْنِ وَجَمِيعِ أَتْبَاعِهِمَا

“Yang dimaksud dengan ‘as-Sunnah’ adalah apa yang dianut oleh kedua imam Ahlus Sunnah wal Jamaah; Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syaikh Abu Manshur al-Maturidi. Bid’ah adalah apa yang dianut oleh kelompok-kelompok yang menyelisihi akidah kedua imam tersebut.” (Az-Zawajir an Iqtirafil Kabair: 1/254).

Pernyataan beliau dan ulama-ulama yang se-ide dengan beliau merupakan sebuah kerancuan, karena al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari lahir pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H, sedangkan Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 H. 

Pernyataan di atas memberikan konsekuensi bahwa keempat imam madzhab bukanlah Ahlus Sunnah, karena mereka hidup sebelum al-Asy’ari dan al-Maturidi.

Konsekuensi yang lebih parah –dari pernyataan diatas- adalah bahwa ulama Salaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan pengikut mereka radliyallahu anhum bukanlah Ahlus Sunnah, karena mereka hidup jauh sebelum al-Asy’ari dan al-Maturidi.
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H)  rahimahullah menyatakan:
ومذهب أهل السنة والجماعة مذهب قديم، معروف، قبل أن يخلق الله أبا حنيفة ومالكا والشافعي وأحمد، فإنه مذهب الصحابة الذين تلقوه عن نبيهم، ومن خالف ذلك كان مبتدعا عند أهل السنة والجماعة فإنهم متفقون على أن إجماع الصحابة حجة، ومتنازعون في إجماع من بعدهم

“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan madzhab yang sudah lama dan dikenal, jauh sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah madzhab para sahabat yang menerima madzhab tersebut dari nabi mereka shallallahu alaihi wasallam. Barangsiapa menyelisihinya, maka ia adalah ahlul bid’ah menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, karena mereka bersepakat bahwa ijma’ (konsensus) para sahabat adalah hujjah dan mereka berbeda pendapat tentang ijma generasi setelah mereka.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah: 2/363).

Dalam tulisan ini akan dipaparkan sejarah perkembangan ajaran Asy’ariyah, dan para ulama dari kalangan Syafi’iyah yang masih konsisten memegang akidah Salaf di dalam sifat-sifat Allah. Tujuan pemaparan ini adalah agar kita –generasi belakangan ini- bisa belajar dan beristiqamah di atas akidah Salafi dari mereka.

Dan memang demikian tujuan pemaparan fakta sejarah. Dengan sejarah kita bisa menganalogikan dan mengambil pelajaran dari kaum terdahulu.

Allah ta’ala menyatakan:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111).

Ide untuk menulis kisah-kisah ulama Syafi’iyah yang konsisten dengan akidah Salaf ini diawali ketika Penulis membuka-buka situs ‘Multaqa Ahlil Hadits’. Di dalam situs tersebut terdapat topik pembahasan ‘Irsyadul Khalaf bi Man Kaana minasy Syafi’iyah min Atba’is Salaf’ (Bimbingan bagi Generasi Khalaf tentang Ulama Syafi’iyah yang Menjadi Pengikut Salaf). Dari topik tersebut Penulis kemudian memperluas dan menambah dari kitab-kitab tarikh, sirah dan thabaqat karya ulama kita terdahulu rahimahumullah.


Mengapa hanya dikhususkan dengan pembahasan ulama ‘Syafi’iyah’ saja, bukan ‘Hanafiyah’ atau ‘Malikiyah’ atau ‘Hanabilah’ dan sebagainya?

Alasan pertama: karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mempelajari dan mengamalkan fikih ulama ‘Syafi’iyah’. 

Tetangga kita, teman sekantor dan orang-orang yang bermuamalah dengan kita di masjid, di pasar dan sebagainya kebanyakannya ‘mengaku’ mengikuti “Syafi’iyah”. Maka termasuk dari hikmah dalam berdakwah adalah memperkenalkan Manhaj dan Akidah Salaf kepada mereka melalui ulama Syafi’iyah.

  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فإنه حكى لي الشيخ محمد بن يحيى عن القاضي أبي يعلى أنه قصده فقيه ليقرأ عليه مذهب أحمد، فسأله عن بلده فأخبره، فقال له: إن أهل بلدك كلهم يقرءون مذهب الشافعي فلماذا عدلت أنت عنه إلى مذهبنا؟ فقال له: إنما عدلت عن المذهب رغبة فيك أنت، فقال له: إن هذا لا يصلح فإنك إذا كنت في بلدك على مذهب أحمد وباقي أهل البلد على مذهب الشافعي لم تجد أحدا يعبد معك ولا يدارسك، وكنت خليقا أن تثير خصومة وتوقع نزاعا، بل كونك على مذهب الشافعي حيث أهل بلدك على مذهبه أولى، ودله على الشيخ أبي إسحاق وذهب به إليه، فقال: سمعا وطاعة، أقدمه على الفقهاء

Ini karena Syaikh Muhammad bin Yahya telah men-hikayatkan kepadaku (Ibnu Taimiyah, pen) dari al-Qadli Abu Ya’la (al-Hanbali al-Farra’, pen) bahwa seorang ahli fikih datang kepadanya untuk belajar fikih Madzhab Imam Ahmad. Kemudian Abu Ya’la bertanya kepada ahli fikih tersebut tentang negeri asalnya. Kemudian ia menceritakan negeri asalnya. Kemudian Abu Ya’la berkata: “Sesungguhnya penduduk negerimu semuanya mempelajari fikih madzhab Syafi’i. Lantas mengapa kamu berpaling dari Madzhab Syafi’i ke madzhab kami (Hanbali, pen)?” Ia menjawab: “Aku berpaling dari madzhabku karena menyukai Anda.” Abu Ya’la menjawab: “Sesungguhnya ini tidak pantas, karena jika kamu di negerimu bermadzhab Hanbali, sedangkan semua penduduknya bermadzhab Syafi’i, maka kamu tidak akan menemukan orang yang beribadah bersamamu dan orang yang menjadi teman diskusimu. Dan kamu akan menjadi orang yang memicu perselisihan dan perdebatan di antara mereka.” Kemudian Abu Ya’la menunjukkan orang itu kepada asy-Syaikh Abu Ishaq (asy-Syairazi asy-Syafi’i, pen). Maka orang itu berkata: “Aku mendengar dan taat. Aku akan mendatanginya sebelum ahli fikih lainnya.” (Al-Mustadrak ala Majmu’ al-Fatawa: 2/274).

Alasan kedua: untuk menghindarkan kita dari ta’ashub atau fanatisme golongan atau hizbiyah. 

Penyakit hizbiyah ini sudah mulai menggerogoti orang-orang yang mengaku ‘Salafi’ di Indonesia. Mereka membatasi salafiyah hanya pada kelompok tertentu, atau ustadz tertentu dan jaringannya. Orang yang tidak beralifiasi kepada jaringan ustadz tersebut bukanlah salafi, meskipun manhaj dan akidahnya sesuai dengan kaum Salaf. Padahal di sana dijumpai salafi dari kalangan Syafi’iyah, salafi dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah.
  • Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
فإن كل طائفة منها معها حق وباطل فالواجب موافقتهم فيما قالوه من الحق ورد ما قالوه من الباطل ومن فتح الله له بهذه الطريق فقد فتح له من العلم والدين كل باب ويسر عليه فيهما الأسباب

“Maka setiap kelompok (atau madzhab, pen) mempunyai pendapat yang benar dan juga pendapat yang batil. Maka yang wajib adalah mencocoki mereka di dalam pendapat mereka yang benar dan membantah pendapat mereka yang batil. Barangsiapa yang dibukakan oleh Allah untuk menempuh jalan ini, maka dibukakan baginya setiap pintu dari ilmu dan agama ini dan dimudahkan baginya untuk menempuh sebab-sebab menggapai ilmu dan agama ini.” (Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: 570).

Akidah Salaf tentang Sifat-sifat Allah

Dan sudah diketahui bersama bahwa manhaj as-Salaf di dalam memahami teks ayat al-Quran dan hadits tentang nama-nama dan sifat Allah taala adalah mengimani teks-teks tersebut apa adanya, tidak melakukan ‘takwil’ atau ‘tahrif’ (memalingkan dari makna dhahirnya, pen), tidak melakukan ‘tamtsil’ (menyerupakannya dengan sifat makhluk, pen) dan tidak membahas kaifiyat (tata cara) atas sifat tersebut. Berikut ini adalah penukilan dari Salafus Shaleh tentang sifat-sifat Allah ta’ala.
  • Pertama: al-Imam Malik bin Anas rahimahullah (wafat tahun 179 H) berkata tentang ayat ‘bersemayamnya Allah di atas Arsy’ (QS. Thaha: 5):

الاستواء غير مجهول ، والكيف غير معقول ، والإيمان به واجب ، والسؤال عنه بدعة

“Bersemayam-Nya diketahui, kaifiyat (tata cara) bersemayam-Nya tidak diketahui. Mengimaninya adalah wajib dan menanyakan tata caranya adalah bid’ah.” (Atsar riwayat al-Khathib dalam Syarafu Ash-habil Hadits: 6 (7), al-Baihaqi dalam al-Madkhal: 171 (1/173) dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi: 1084 (2/283)).

  • Kedua: al-Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (murid al-Imam Abu Hanifah, wafat tahun 189 H) rahimahullah berkata:

اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في صفة الرب عز و جل من غير تغيير ولا وصف ولا تشبيه فمن فسر اليوم شيئا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه و سلم وفارق الجماعة فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا ولكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا

“Para fuqaha’ semuanya dari timur hingga ke barat bersepakat di dalam beriman terhadap al-Quran dan hadits-hadits yang dibawa oleh orang-orang tsiqat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang sifat Rabb azza wajalla, tanpa mengubah makna, tanpa membahas tatacara sifat tersebut, tanpa menyerupakan dengan sifat makhluk. Barangsiapa melakukan takwil (dari zhahir lafazhnya, pen) terhadap salah satu dari sifat tersebut, maka ia telah keluar dari jalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menyelisihi al-Jamaah, karena mereka tidak membahas tatacara sifat tersebut dan tidak mengubah makna zhahirnya, tetapi mereka berfatwa dengan sifat-sifat Rabb yang tersebut dalam al-Kitab dan as-Sunnah kemudian mereka diam.” (Atsar riwayat al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 740 (3/432)).

  • Ketiga: al-Imam al-Walid bin Muslim rahimahullah  (wafat tahun 195 H) menyatakan:

سألت الأوزاعي وسفيان الثوري ومالك بن أنس والليث بن سعد عن هذه الأحاديث التي جاءت في الصفات فقالوا أمروها كما جاءت بلا كيف

“Aku bertanya kepada (al-Imam) al-Auzai, (al-Imam) Sufyan ats-Tsauri, (al-Imam) Malik bin Anas dan (al-Imam) Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, maka mereka menjawab: “Jalankanlah (yakni: imanilah, pen) hadits-hadits tersebut apa adanya sebagaimana datangnya tanpa membahas kaifiyat (tata cara) sifat-sifat tersebut!” (Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid: 7/149, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah: 1/171 dan al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 735 (2/469)).

  • Keempat: al-Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullah (wafat tahun 190 H) berkata:

كل ما وصف الله تعالى من نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته ، والسكوت عليه

“Segala sifat yang mana Allah ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, maka tafsirnya adalah bacaannya dan berdiam diri dari membahas kaifiyatnya.” (Al-Asma’ wash-Shifat lil Baihaqi: 2/412 (838)).

  • Kelima: al-Imam Abbas bin Muhammad ad-Dauri rahimahullah (wafat tahun 271 H) berkata:

سمعت أبا عبيد القاسم بن سلام ، وذكر عنده هذه الأحاديث : « ضحك ربنا عز وجل من قنوط عباده ، وقرب غيره ، والكرسي موضع القدمين ، وأن جهنم لتمتلئ فيضع ربك قدمه فيها ، وأشباه هذه الأحاديث ؟ فقال أبو عبيد : » هذه الأحاديث عندنا حق يرويها الثقات بعضهم عن بعض إلا أنا إذا سئلنا عن تفسيرها قلنا : ما أدركنا أحدا يفسر منها شيئا ونحن لا نفسر منها شيئا نصدق بها ونسكت

“Aku mendengar al-Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat tahun 273 H) rahimahullah –salah satu murid al-Imam asy-Syafi’i- dan ditanyakan di hadapan beliau beberapa hadits ini; hadits: “Rabb kita azza wajalla tertawa atas hamba-hamba-Nya yang berputus asa”,  hadits tentang “Kedekatan Allah kepada hamba-Nya”, hadits: “Kursi adalah tempat kedua telapak kaki (Allah, pen)”, dan hadits: “Neraka Jahanam menjadi penuh kemudian Rabb meletakkan telapak kaki-Nya di dalamnya”. Maka beliau menjawab: “Hadits-hadits ini menurut kami adalah benar, diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sebagian dari sebagian lainnya. Hanya saja jika kita ditanya tentang tafsirnya (baca: takwilnya, pen), maka kita menjawab: “Kita tidak pernah menjumpai salah seorang pun (dari kalangan Salaf, pen) yang mentakwilkan teks-teks tersebut. Dan kami pun tidak akan mentakwilkannya. Kami membenarkan (meng-imani) teks-teks tersebut dan bersikap diam.” (Atsar riwayat al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah: 733 (2/467)).

Atsar-atsar di atas menunjukkan bahwa Salafus Shaleh mengimani semua sifat Allah ta’ala yang tercantum dalam al-Quran dan hadits-hadits yang shahih, tanpa melakukan takwil (memalingkan dari makna zhahirnya, pen), tanpa tamtsil (menyerupakan dengan sifat makhluk, pen) dan tanpa membahas kaifiyat atau tata cara sifat tersebut. Allah ta’ala memuji sikap Salafus Shaleh ini dalam ayat-Nya:

وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat tersebut, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (QS. Ali Imran: 7).

  • Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari

Madzhab Asy’ariyah tidak terlepas dari sosok Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah (wafat tahun 324 H). Pengikut Asy’ariyah mempunyai klaim bahwa merekalah pengikut sah dari sang imam. Padahal sang imam berlepas diri dari mereka.

Al-Allamah Murtadla az-Zubaidi al-Husaini al-Hanafi rahimahullah (wafat tahun 1205 H) berkata:

وقال ابن كثير: ذكروا للشيخ أبي الحسن الأشعري ثلاثة أحوال (أولها) حال الاعتزال التي رجع عنها لا محالة (الحال الثاني) اثبات الصفات العقلية السبعة وهي الحياة والعلم والقدرة والإرادة والسمع والبصر والكلام وتأويل الجزئية كالوجه واليدين والقدم والساق ونحو ذلك (والحال الثالث) اثبات ذلك كله من غير تكييف ولا تشبيه جريا علي منوال السلف وهي طريقته في الأبانة التي صنفها أخرا انتهى

“Al-Imam Ibnu Katsir berkata: “Para ulama menyebutkan tiga (3) fase kehidupan Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari:

Pertama: fase mu’tazilah (menolak semua sifat Allah, pen) yang kemudian beliau rujuk (baca: meralat, pen) dari pendapat ini.

Fase kedua: menetapkan sifat-sifat aqliyah yang berjumlah tujuh (7) yaitu sifat hayat (hidup), ilmu, qudrah (berkuasa), iradah (berkehendak), sama’ (mendengar), bashar (melihat) dan kalam (berbicara), serta melakukan takwil terhadap sifat-sifat juz’iyah seperti wajah, kedua tangan, telapak kaki, betis Allah dan sebagainya.

Fase ketiga: menetapkan semua sifat-sifat tersebut tanpa membahas kaifiyat (tata cara) dan tanpa melakukan tasybih (menyerupakan dengan sifat makhluk), karena mengikuti Manhaj Salaf. Ini adalah jalan beliau ketika menulis kitab ‘al-Ibanah’ di akhir fase beliau.” (Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarh Ihya’ Ulumiddin: 2/3).

Akhir Perjalanan Pendiri Ajaran Asy’ari

Pada akhirnya Allah ta’ala menunjukkan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah untuk bertaubat dari fase kedua –yaitu Madzhab Kullabiyah- dan memasuki fase ketiga yaitu Madzhab Salaf.

  • Abu Abdillah al-Hamrani berkata:

لما دخل الأشعري إلى بغداد جاء إلى البربهاري فجعل يقول: رددت على الجبائي وعلى أبي هاشم ونقضت عليهم وعلى اليهود والنصارى والمجوس وقلت لهم وقالوا وأكثر الكلام في ذلك فلما سكت قال البربهاري: ما أدري مما قلت قليلاً ولا كثيراً ولا نعرف إلا ما قاله أبو عبد الله أحمد بن حنبل قال: فخرج من عنده وصنف كتاب ” الإبانة ” فلم يقبله منه ولم يظهر ببغداد إلى أن خرج منها

“Ketika Abul Hasan al-Asy’ari memasuki Baghdad, beliau mendatangi al-Imam al-Barbahari (wafat tahun 328 H). Beliau mengatakan: “Aku telah membantah al-Juba’i dan Abu Hasyim. Aku telah membantah mereka. Aku juga telah membantah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Aku berkata kepada mereka demikian dan demikian…dst. Ketika beliau diam, maka giliran al-Imam al-Barbahari berkata: “Aku tidak mengenal pendapatmu sedikit ataupun banyak kecuali pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Al-Hamrani berkata: “Kemudian Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari majelis al-Barbahari dan menulis kitab ‘al-Ibanah an Ushulid Diyanah’. Al-Barbahari masih tidak mau menerimanya. Beliau tidak muncul di Baghdad sampai kemudian keluar dari Baghdad.” (Thabaqat al-Hanabilah li Ibni Abi Ya’la: 2/16, al-Maqshadul Arsyad li Ibni Muflih: 1/329, Siyar A’lamin Nubala’: 15/90 dan al-Wafi bil Wafayat lish Shafadi: 4/173).

Di antara pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dalam ‘al-Ibanah’ adalah:

قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها التمسك بكتاب الله ربنا عز و جل وبسنة نبينا محمد صلى الله عليه و سلم وما روى عن السادة الصحابة والتابعين وأئمة الحديث ونحن بذلك معتصمون وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل – نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته – قائلون…الخ

“Pendapat yang kami pegangi dan agama yang mana kami beragama dengannya adalah: berpegang teguh dengan Kitab Allah Rabb kami azza wajalla, dengan sunnah Nabi kami Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan juga dengan riwayat dari para pembesar sahabat, tabiin dan para imam ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan kami juga berpendapat dengan pendapat al-Imam Ahmad bin Hanbal –semoga Allah menjadikan wajah beliau berseri, mengangkat derajat beliau dan memperbanyak pahala beliau-…dst.” (Al-Ibanah an Ushulid Diyanah: 20).

Di antara pernyataan beliau dalam kitab tersebut adalah:

وأن له سبحانه وجها بلا كيف كما قال : ( ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام ) ( 27 ) وأن له سبحانه يدين بلا كيف كما قال سبحانه : ( خلقت بيدي ) من الآية ( 75 ) وكما قال : ( بل يداه مبسوطتان ) من الآية ( 64 ) وأن له سبحانه عينين بلا كيف كما قال سبحانه : ( تجري بأعيننا ) من الآية ( 14 ) …الخ

“Dan bahwa Allah subhanahu itu mempunyai wajah tanpa membahas tatacaranya, sebagaimana firman-Nya: “Dan abadilah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27). Allah juga mempunyai dua tangan tanpa membahas tatacaranya, sebagaimana firman-Nya: “Aku menciptakan Adam dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shad: 75), dan firman-Nya: “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.” (QS. Al-Maidah: 64). Allah ta’ala juga mempunyai dua mata tanpa membahas tatacaranya, sebagaimana firman-Nya: “(Perahu tersebut) berjalan dengan kedua mata-Ku.” (QS. Hud: 14)…dst.” (Al-Ibanah an Ushulid Diyanah: 20).

Kemudian sebagian tokoh ulama mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh beliau ketika masih dalam fase kedua –padahal beliau sudah bertaubat dari fase kedua menuju fase ketiga- lalu mereka menamakannya dengan Madzhab Asy’ariyah.

Sebenarnya tidak tepat jika fase kedua disebut dengan Madzhab Asy’ariyah. Akan tetapi lebih tepat jika dinyatakan dengan Madzhab Kullabiyah.
  • Al-Allamah Abul Fath asy-Syahrastani (wafat tahun 548 H) berkata:
حتى انتهى الزمان إلى عبد الله بن سعيد الكلابي وأبي العباس القلانسي والحارث بن أسعد المحاسبي وهؤلاء كانوا من جملة السلف إلا أنهم باشروا علم الكلام وأيدوا عقائد السلف بحجج كلامية وبراهين أصولية  وصنف بعضهم ودرس بعض حتى جرى بين أبي الحسن الأشعري وبين أستاذه مناظرة في مسألة من مسائل الصلاح والأصلح فتخاصم وانحاز الأشعري إلى هذه الطائفة فأيد مقالتهم بمناهج كلامية وصار ذلك مذهبا لأهل السنة والجماعة وانتقلت سمة الصفاتية إلى الأشعرية

“Maka sampailah pada masa Abdullah bin Said bin Kullab (pendiri Madzhab Kullabiyah), Abil Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi. Mereka ini (dulunya) termasuk pengikut Salaf, hanya saja mereka mempelajari ilmu kalam (logika) dan memperkuat akidah (keyakinan) Salaf dengan argumentasi logika dan bukti teologis. Sebagian dari mereka menulis kitab dan sebagian yang lainnya mempelajari ilmu-ilmu tersebut sampai terjadi perdebatan antara Abul Hasan al-Asy’ari dan gurunya (yaitu: Abu Ali al-Juba’i yang berakidah mu’tazilah, pen) di dalam masalah islah dan kebaikan. Keduanya saling berdebat dan akhirnya al-Asy’ari lebih cenderung ke kelompok ini (yaitu Kullabiyah, pen). Maka al-Asy’ari memperkuat pendapat-pendapat Kullabiyah dengan metode ilmu kalam (logika) dan jadilah ini sebuah madzhab bagi Ahlussunnah wal Jamaah. Kemudian berpindahlah nama Shifatiyah menjadi Asy’ariyah.” (Al-Milal wan Nihal: 1/91).
  • Begitu pula menurut Al-Imam adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H) rahimahullah. Beliau berkata:
ابن كلاب  رأس المتكلمين بالبصرة في زمانه… وأصحابه هم الكلابية، لحق بعضهم أبو الحسن الاشعري…الخ

“Ibnu Kullab adalah pemimpin ahlul Kalam di Bashrah pada masanya…. Murid-muridnya disebut dengan Kullabiyah. Abul Hasan al-Asy’ari bergabung dengan sebagian murid-muridnya..dst.” (Siyar A’lamin Nubala’: 11/174)

Madzhab Kullabiyah atau Asy’ariyah inilah yang kemudian diingkari dan diperingatkan bahayanya oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah.
  • Al-Imam Abul Qasim an-Nashrabadzi (wafat tahun 367 H) rahimahullah menyatakan:
بلغني أن الحارث المحاسبي تكلم في شيء من الكلام فهجره أحمد بن حنبل فاختفي في دار ببغداد ومات فيها ولم يصل عليه الا أربعة نفر

“Telah sampai berita kepadaku bahwa al-Harits al-Muhasibi berbicara dalam masalah Kalam (yaitu memahami sifat-sifat Allah dengan ilmu logika, pen). Maka al-Imam Ahmad bin Hanbal memboikotnya kemudian ia bersembunyi di sebuah rumah di Baghdad. Kemudian ia mati dan tidak ada men-shalatkan jenazahnya kecuali hanya 4 orang saja.” (Atsar riwayat al-Khathib dalam Tarikh Baghdad: 8/215).
  • Dan Abu Ali ats-Tsaqafi –yang terpengaruh dengan Madzhab Asy’ariyah atau Kullabiyah- bertanya kepada al-Imam Ibnu Khuzaimah atas pengingkaran beliau kepadanya:
ما الذي أنكرت أيها الاستاذ من مذاهبنا حتى نرجع عنه ؟ قال: ميلكم إلى مذهب الكلابية، فقد كان أحمد بن حنبل من أشد الناس على عبد الله بن سعيد بن كلاب ، وعلى أصحابه مثل الحارث وغيره

“Apakah yang Anda ingkari dari madzhab kami, wahai Ustadz?” Ibnu Khuzaimah menjawab: “Kecondongan kalian kepada Madzhab Kullabiyah, padahal al-Imam Ahmad bin Hanbal adalah orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Sa’id bin Kullab (pendiri Madzhab Kullabiyah, pen) dan para pengikutnya seperti al-Harits al-Muhasibi dan lainnya.” (Siyar A’lamin Nubala’: 14/380).

Penyebaran Ajaran Asy’ariyah

Ajaran Asy’ariyah (baca: Kullabiyah) kemudian diteruskan oleh murid Abul Hasan al-Asy’ari yang bernama Muhammad bin Mujahid ath-Tha’i al-Maliki (wafat tahun 370 H). Al-Khathib al-Baghdadi asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentangnya:

محمد بن أحمد بن محمد بن يعقوب بن مجاهد أبو عبد الله الطائي المتكلم صاحب أبي الحسن الأشعري وهو من أهل البصرة سكن بغداد وعليه درس القاضي أبو بكر محمد بن الطيب الكلام…الخ

“Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Mujahid, Abu Abdillah ath-Tha’i, Ahli Kalam, murid Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau termasuk penduduk Basrah. Dan al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin ath-Thayyib (al-Baqilani al-Maliki) (wafat tahun 403 H) belajar kepadanya tentang ilmu Kalam..dst.” (Tarikh Baghdad: 1/343, ad-Dibaj al-Muhadzdzab fi Ma’rifati Ulama’il Madzhab li Ibni Farkhun: 138, Siyar A’lamin Nubala’: 16/305).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa setelah Ibnu Mujahid, Madzhab Asy’ariyah kemudian diteruskan oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani al-Maliki. Kemudian ajaran Asy’ariyah diteruskan oleh murid al-Baqilani yaitu Abu Dzar al-Harawi al-Maliki (wafat tahun 434 H).
  • Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
أبو ذر الهروي عبد الله بن أحمد بن محمد الحافظ المالكي، سمع الكثير ورحل إلى الاقاليم، وسكن مكة، ثم تزوج في العرب، وكان يحج كل سنة ويقيم بمكة أيام الموسم ويسمع الناس، ومنه أخذ المغاربة مذهب الاشعري عنه، وكان يقول إنه أخذ مذهب مالك عن الباقلاني

“Abu Dzar al-Harawi Abdullah bin Ahmad bin Muhammad al-Maliki, mendengar periwayatan dari banyak ulama, mengadakan rihlah ke berbagai negara, berdiam di Makkah, kemudian menikah di Arab. Ia naik haji setiap tahun dan bermukim di Makkah ketika musim haji dan mendengar periwayatan dari banyak orang. Ulama-ulama negeri Maghrib mengambil Madzhab Asy’ariyah dari Abu Dzar ini. Abu Dzar sendiri menyatakan bahwa ia mengambil Madzhab Maliki dari al-Baqilani.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 12/64).
  • Al-Imam al-Hasan bin Abi Usamah al-Makki rahimahullah menyatakan:
أبو ذر أول من أدخل مذهب الأشعري الحرم

“Abu Dzar al-Harawi adalah orang yang pertama kali memasukkan Madzhab Asy’ari ke negeri Haram (yakni Makkah dan Madinah, pen).” (Tarikh Damsyiq: 37/394).
  • Adapun yang menyebarkan Madzhab Asy’ariyah di Khurasan adalah Abu Bakar bin Faurak al-Asy’ari (wafat tahun 406 H). Ibnu Asakir rahimahullah menyatakan:
ذكر أبو بكر بن فورك إنه ممن إستفاد من أبي الحسن الأشعري من أهل خراسان

“Abu Bakar bin Faurak menyebutkan bahwa ia adalah orang Khurasan yang belajar kepada Abul Hasan al-Asy’ari.” (Tabyin Kadzibil Muftari fi Ma Nusiba ilal Imam Abil Hasan al-Asy’ari: 188).

Masa Tertekannya Ajaran Asy’ariyah

Di masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Kaum muslimin dan pemerintahnya berpegang teguh di atas Manhaj Salaf di dalam memahami sifat-sifat Allah. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

قال البيهقي: ولم يكن في الخلفاء قبله من بني أمية وبني العباس خليفة إلا على مذهب السلف ومنهاجهم

“Al-Baihaqi berkata: “Tidak ada satu khalifah pun sebelum al-Makmun dari kalangan Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah kecuali berada di atas Madzhab dan Manhaj Salaf.” (Al-Bidayah wan Nihayah: 10/365).

Demikian pula Khalifah al-Qadir billah (khalifah ke-26 Daulah Abbasiyah, wafat tahun 422 H). Beliau juga berpegang kepada Madzhab Salaf. Al-Imam Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah menyatakan:

وعرف بها عند كل أحد مع حسن المذهب وصحة الاعتقاد وكان صنف كتابا في الأصول ذكر فيه فضائل الصحابة على ترتيب مذهب أصحاب الحديث

“Al-Qadir billah dikenal oleh setiap orang dengan banyaknya amal shalih disertai madzhab yang baik dan kesahihan akidah. Beliau juga menulis sebuah kitab tentang ‘Ushul’. Beliau menerangkan keutamaan para sahabat dalam kitab tersebut menurut urutan Madzhab Ahlul Hadits…dst.” (Tarikh Baghdad: 4/37).

Di antara akidah Khalifah al-Qadir billah yang pernah dibacakan di hadapan para ulama di Baghdad adalah:

وأنه خلق العرش لا لحاجة واستوى عليه كيف شاء لا استواء راحة وكل صفة وصف بها نفسه أو وصفه بها رسوله فهي صفة حقيقة لا صفة مجاز وكلام الله غير مخلوق أنزله على رسوله

“Dan bahwa Allah menciptakan Arsy bukan karena kebutuhan. Allah bersemayam di atasnya dengan tatacara yang dikehendaki-Nya, bukan bersemayam untuk beristirahat. Setiap sifat yang mana Allah menyifati diri-Nya dengan sifat tersebut, atau disifati oleh Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, maka itu merupakan sifat yang hakiki bukan sifat majazi. Firman Allah bukanlah makhluk, diturunkan oleh-Nya kepada rasul-Nya.” (Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar: 245).

Di masa Khalifah al-Qadir billah ini, ajaran Asy’ariyah menjadi ajaran yang dibenci oleh kaum muslimin. Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani -yang menjadi tokoh ajaran Asy’ariyah ini- sangat tidak nyaman dengan sikap al-Imam Abu Hamid al-Isfarayni asy-Syafi’i (wafat tahun 406 H) rahimahullah yang bermanhaj Salaf.
  • Al-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata:
كان أبو بكر الباقلاني يخرج إلى الحمام مبرقعا خوفا من الشيخ أبي حامد الإسفرائيني

“Adalah Abu Bakar al-Baqilani keluar menuju tempat pemandian dengan memakai cadar karena takut terhadap asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayni.” (Al-Aqidah al-Ishfahaniyah: 59).


Peran Madrasah Nizhamiyah

Keadaan menjadi terbalik pada masa Sultan Alib Arsalan Bani Saljuk (wafat tahun 465 H) dengan menterinya Nizhamul Mulk (wafat tahun 485 H). Pada waktu itu Madzhab Asy’ariyah berada di atas angin sedangkan Madzhab Ahlussunnah atau Madzhab Salaf menjadi tertekan.
  • Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menyatakan:
قال الذهبى وهو أول من ذكر بالسلطان على منابر بغداد وبلغ ما لم يبلغه أحد من الملوك وافتتح بلادا كثيرة من بلاد النصارى واستوزر نظام الملك فأبطل ما كان عليه الوزير قبله عميد الملك من سب الشعرية وانتصر للشافعية واكرم إمام الحرمين وأبا القاسم القشيرى وبنى النظامية قيل وهى اول مدرسة بنيت للفقهاء

“Adz-Dzahabi berkata: “Dia (Alib Arsalan) adalah orang yang pertama kali disebut sebagai sultan di atas mimbar-mimbar Baghdad. Kekuasaan beliau mencapai luas wilayah yang belum pernah dicapai oleh raja-raja selain beliau. Beliau menaklukkan banyak negeri nasrani dan mengangkat Nizhamul Mulk sebagai menteri. Maka Nizhamul Mulk menghapus kebijakan yang dilakukan oleh menteri sebelumnya, Amidul Mulk, seperti mencela Madzhab Asy’ariyah. Ia juga membela ulama Syafi’iyah dan memuliakan Imamul Haramain dan Abul Qasim al-Qusyairi. Ia juga membangun Madrasah Nizhamiyah. Dikatakan bahwa Nizhamiyah merupakan madrasah yang pertama kali dibangun untuk para ahli fikih.” (Tarikhul Khulafa’: 1/416).
  • Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وهو أول من بنى المدارس في الإسلام، بنى نظامية بغداد، ونظامية نيسابور، ونظامية طوس، ونظامية إصبهان

Ia (wazir atau menteri Nizhamul Mulk, pen) adalah orang yang pertama kali membangun madrasah di dalam Islam. Ia membangun madrasah Nizhamiyah Baghdad, Nizhamiyah Naisabur, Nizhamiyah Thus dan Nizhamiyah Isbahan.” (Tarikhul Islam lidz Dzahabi: 33/146).
  • Ali bin Nayef menyatakan:

كان اهتمام المدارس النظامية قد انصرف إلى التركيز على مادتين أساسيتين هما : الفقه على المذهب الشافعي، وأصول العقيدة على مذهب الأشعري

“Madrasah-madrasah Nizhamiyah mempunyai kepentingan untuk berdiri di atas 2 pondasi, yaitu: fikih di atas Madzhab Syafi’i dan dasar-dasar akidah di atas Madzhab Asy’ariyah..dst.” (Mausu’ah al-Buhuts wal Maqalat al-Ilmiyah: Bab al-Madaris an-Nizhamiyah fi Daulatis Salajiqah hal: 6).

Maka madrasah-madrasah masa setelah Nizhamiyah juga kebanyakan mengikuti madzhab Asy’ariyah.

Masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan Setelahnya

Demikian pula pada masa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi rahimahullah (wafat tahun 589 H), ajaran Asy’ariyah semakin menyebar ke negeri-negeri Islam.
  • Al-Allamah Taqiyyuddin al-Maqrizi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 845 H) berkata:
وأما العقائد فإن السلطان صلاح الدين حمل الكافة على عقيدة الشيخ أبي الحسن علي بن إسماعيل الأشعري تلميذ أبي علي الجبائيّ وشرط ذلك في أوقافه التي بديار مصر كالمدرسة الناصرية والقمحية وخانقاه سعيد السعداء في القاهرة فاستمر الحال عليها بمصر والشام وارض الحجاز واليمن والمغرب أيضا لإدخال محمد بن تومرت رأي الأشعري إليها حتى أنه صار هذا الإعتقاد بسائر هذه البلاد، بحيث أن من خالفه ضرب عنقه، والأمر على ذلك إلى اليوم

“Adapun dalam masalah akidah, maka Sultan Shalahuddin al-Ayyubi juga mendorong semua masyarakat untuk memeluk akidah Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari, murid Abu Ali al-Juba’i dan mempersyaratkan demikian (untuk dimakmurkan oleh ulama Asy’ariyah, pen) dalam wakaf-wakafnya di negeri Mesir seperti Madrasah Nashiriyah, Madrasah Qamhiyah dan Khanqah (seperti pesantren, pen) Sa’id Su’ada’ di Kairo. Keadaan demikian terus berlangsung di Mesir, Syam, Hijaz, Yaman dan Maghrib juga, karena usaha Muhammad bin Tumur memasukkan pemahaman Asy’ariyah di negeri tersebut. Sehingga keyakinan Asy’ariyah ini menyebar di semua negeri, dengan gambaran bahwa barangsiapa yang menyelisihi keyakinan ini, maka lehernya akan dipenggal. Keadaan ini berlangsung sampai hari ini (masa al-Maqrizi, pen).” (Al-Mawa’izh wal I’tibar: 3/84).

Demikianlah keadaan Madzhab Asy’ariyah yang menguasai semua negeri Islam melalui kekuasaan dan campur tangan pemerintah. 
  • Al-Allamah al-Maqrizi asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:

فكان هذا هو السبب في اشتهار مذهب الأشعريّ وانتشاره في أمصار الإسلام، بحيث نُسي غيره من المذاهب، وجهل حتى لم يبق اليوم مذهب يخالفه، إلاّ أن يكون مذهب الحنابلة أتباع الإمام أبي عبد اللّه أحمد بن محمد بن حنبل رضي اللّه عنه، فإنهم كانوا على ماكان عليه السلف، لايرون تأويل ماورد من الصفات، إلى أن كان بعد السبعمائة من سني الهجرة، اشتهر بدمشق وأعمالها تقي الدين أبو العباس أحمد بن عبد الحليم بن عبد السلام بن تيمية الحرّانيّ،فتصدّى للانتصار لمذهب السلف وبالغ في الردّ على مذهب الأشاعرة

“Maka dengan sebab pengaruh kekuasaan inilah, Madzhab Asy’ariyah menjadi terkenal dan tersebar di seluruh negeri kaum muslimin, dengan gambaran terlupakannya dan tidak tersisanya selain madzhab ini, kecuali Madzhab Hanabilah pengikut al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Maka mereka (Hanabilah) tetap memegang teguh Manhaj Salaf. Mereka tidak melakukan takwil terhadap sifat-sifat Allah. Hingga sampailah pada tahun 700-an hijriyah, terkenallah di Damaskus dan sekitarnya Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah al-Harrani (yakni Ibnu Taimiyah). Beliau tampil untuk membela Madzhab Salaf dan getol membantah Madzhab Asy’ariyah..dst.” (Al-Mawa’izh wal I’tibar: 3/104).

Sehingga akidah Salaf menjadi semakin asing dan tidak dikenal dari kalangan kaum muslimin. Wallahul musta’an.

Dari ‘Salafi’ menjadi ‘Hanbali’

Telah disebutkan oleh al-Maqrizi di atas bahwa pada “masa kejayaan” ajaran Asy’ariyah, sebagian besar ulama dari berbagai madzhab fikih –baik Hanafi, Maliki ataupun Syafi’i- cenderung kepada akidah Asy’ariyah, kecuali ulama Hanabilah. Mereka masih konsisten dan beristiqamah mengikuti manhaj al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, baik fikih maupun akidah. Ini berarti bahwa Hanabilah masih berakidah Salafi sebagaimana akidah al-Imam Ahmad.

Pada masa itu muncul stigma atau cap dari ulama Asy’ariyah, bahwa setiap ulama dari madzab fikih apa pun jika berakidah Salafi maka akan dianggap sebagai ‘Hanbali dalam akidah’.

Sebagai contohnya adalah al-Imam Abu Abdillah al-Husain bin Thahir al-Karabisi al-Ajmi (wafat tahun 534 H) rahimahullah.
  • Al-Allamah Ibnul Adim al-Halabi (wafat tahun 660 H) rahimahullah berkata:
وكان أبو عبد الله الحسين من ذوي الزهد والدين والورع وكان يميل إلى عقيدة الحنابلة وترك التأويل في أحاديث الصفات وحملها على ظاهرها ويطعن على أبي الحسن الاشعري

“Abu Abdillah al-Husain termasuk orang yang mempunyai sifat zuhud, memegang teguh agama dan wara’. Beliau condong kepada akidah Hanabilah, tidak melakukan takwil terhadap hadits tentang sifat-sifat Allah dan membawa kepada zhahir lafazhnya serta mencela Abul Hasan al-Asy’ari.” (Bughyatuth Thalab fi Tarikh Halab: 2/479).

Tags