Type Here to Get Search Results !

 


SYARAH HADITS ADAB DAN AKHLAK #2


Hakikat Kebaikan dan Dosa
وَعَنِ النَّوَّاسِ ابْنِ سَمْعَانَ رضي اللّه عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم عَنِ الْبِرِّ وَ اْلأِثْمِ فَقَالَ اَلْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَ اْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاس

Dari sahabat Nawwas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu beliau berkata, Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makna Al-Birr (yaitu kebajikan) dan itsm (yaitu dosa) -Apa itu kebajikan? Apa itu dosa?- Maka Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Al-birr (kebajikan) adalah akhlak yang mulia. Adapun dosa yaitu apa yang engkau gelisahkan di hatimu dan engkau tidak suka kalau ada orang yang mengetahuinya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim) 

Pembaca dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Sahabat ini bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentunya agar dia bisa beramal. Demikianlah seharusnya adab seorang yang bertanya, yaitu ketika dia belajar hendaknya diniatkan untuk diamalkan. Selain itu, apa yang ditanyakan oleh sahabat ini adalah pertanyaan yang sangat indah, yaitu tentang apa hakikat kebajikan dan apa hakikat dosa?

Adapun jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan hakikat kebajikan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “husnul khuluq (akhlaq yang mulia).”

Kita tahu bahwasanya kebajikan itu mencakup perkara yang sangat banyak. Semua kebaikan adalah kebajikan. Tetapi mengapa Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan husnul khuluq (akhlaq yang mulia)? Hal ini tidak lain adalah untuk menunjukkan keutamaan dan keistimewaan akhlak yang mulia. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mirip seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْحَجُّ عَرَفَةُ

“Haji adalah (wukuf di) padang Arofah.” (HR. At-Tirmidzi no. 889, Ibnu Maajah no. 3.006, An-Nasaa’i no. 3.016, dan Ahmad no. 18.774, dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Hadis ini bermakna inti dari ibadah haji adalah wukuf di padang Arofah. Jadi, bukan berarti haji itu cuma wukuf di padang Arofah saja. Tetapi ada juga yang namanya thowaf, ada namanya sa’i, ada namanya ihram, dan ada namanya ibadah-ibadah yang lain (lempar jamarat, mabit di Mina, mabit di Muzdalifah) yang kesemuanya merupakan rangkaian ibadah haji. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan wukuf di padang Arofah adalah karena hal ini merupakan inti dari ibadah haji.

Sama halnya seperti ungkapan al-birru husnul khuluq (kebajikan adalah akhlak yang mulia). Artinya, akhlak mulia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Oleh karenanya, kalau kita ingin melihat dalil-dalil tentang akhlak yang mulia, kita akan menjumpai dalil-dalil yang sangat banyak.

Misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَلَ فِي الْمِيزَانِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ

“Tidak ada suatu yang lebih berat daripada akhlak yang mulia dalam timbangan (pada hari kiamat).” (HR. Ahmad no. 27.532 dan dishahihkan oleh Al-Albani Shahihul Jaami’ no. 5.390)

Hadits ini menunjukkan  bahwa akhlak mulia yang dimiliki oleh seseorang akan berpengaruh besar terhadab timbangan kebajikannya di akhirat kelak. Akhlak mulia itu akan memperberat timbangan kebajikan secara signifikan.

Contoh lainnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam haditsnya,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ، دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang dengan akhlaknya yang mulia bisa meraih derajat orang yang senantiasa berpuasa sunnah dan senantiasa shalat malam.” (HR. Ahmad no. 25.537, hadits shahih)

Perhatikan hadits ini! Seseorang mungkin saja jarang shalat malam dan jarang berpuasa sunnah. Tetapi ia memiliki akhlak yang mulia, orang senang dekat dengannya, orang bahagia duduk bersamanya, orang senang mendengar wejangan-wejangannya, dan orang senang mendapatkan bantuannya. Maka, meskipun dia jarang shalat malam dan jarang berpuasa sunnah, namun dia mendapat pahala sama atau bahkan lebih dari orang-orang yang sering shalat malam dan berpuasa sunnah. Mengapa demikian? Jawabannya, Bihusni khuluqihi, yaitu karena akhlaknya yang mulia.

Perhatikan pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَقْربكمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحاسنكمْ أَخْلَاقًا

“Orang yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 791)

Berdasarkan hadits ini, jika seseorang ingin dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat, maka ia harus memperbaiki akhlaknya. Karena Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa yang paling dekat dengan Beliau di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.

Ini menunjukkan keutamaan dan keistimewaan akhkak yang mulia. Dia adalah amalan yang spesial. Dengan demikian, janganlah kita menyangka bahwa amalan itu hanyalah shalat, puasa, zakat, dan amal ibadah mahdhah lainnya, tetapi akhlak yang mulia juga merupakan amalan yang sangat spesial dan sangat mulia di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena itu, hendaknya seseorang berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Janganlah ia mengatakan,

“Saya tidak bisa mengubah akhlak saya.”

“Saya memang begini modelnya.”

“Saya diciptakan begini modelnya, tabiat saya memang seperti ini.”

dan kalimat-kalimat lain semacamnya.

Ketahuilah, seandainya akhlak tidak bisa diubah, lalu untuk apa hadits-hadits tentang akhlak mulia yang sedemikian banyak? Untuk apa Allah menurunkan ayat-ayat yang memotivasi orang-orang untuk berakhlak mulia?

Semua ayat dan hadits yang memotivasi seseorang untuk berakhlak mulia itu menunjukkan bahwa akhlak bisa diubah. Seorang yang pelit bisa jadi dermawan. Seorang pemarah bisa jadi penyabar, dan seterusnya. Karena itu, jangan sampai seseorang mengatakan,

“Saya memang suka marah”,

“Saya memang temperamental.”

Jangan!

“Saya begini tipenya.”

Ketahuilah, bahwa setiap orang bisa mengubah akhlaknya. Ia bisa berlatih dan membiasakan diri agar menjadi orang yang baik akhlaknya. Oleh karenanya, dalam hadits Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقَهُ

“Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang terindah akhlaknya.”

Dalam riwayat lain,

لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقُهُ

“Bagi orang yang memperindah akhlaknya.”

Menurut kedua hadis ini, akhlak yang mulia itu bisa diperoleh, bisa diraih.

Dalam hadits lain Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ الله

“Barangsiapa yang berusaha bersabar, maka Allah akan jadikan dia penyabar.” (HR. Al-Bukhari no. 1.469)

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang pemarah bisa jadi penyabar. Karenanya para pembaca yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, hendaknya kita senantiasa memperbaiki diri dan membiasakan diri dengan akhlak-akhlak yang mulia agar kita bisa mendapatkan keutamaan yang banyak sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas.

Jadi akhlak itu ada yang bawaan dan ada yang bisa diusahakan. Nabi berkata kepada Asyaj :

يَا أَشَجُّ، إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ وَرَسُولُهُ: الْحِلْمَ وَالْأَنَاةَ ” فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَنَا تَخَلَّقْتُهُمَا، أَوْ جَبَلَنِي اللهُ عَلَيْهِمَا؟ قَالَ: ” بَلِ اللهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا “. قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خُلُقَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ وَرَسُولُهُ

“Wahai Asyaj, sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, yaitu kecerdasan dan tidak tergesa-gesa”. Asyaj berkata, “Ya Rasulullah, apakah kedua perangai tersebut aku mengusahakannya ataukah Allah yang telah memfitrahkannya kepadaku?”. Nabi berkata, “Allah telah memfitrahkanmu di atas kedua perangai tersebut”. Asyaj berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memfitrahkan aku diatas dua perangai yang dicintai oleh Allah dan RasulNya” (HR Ahmad 39/490 dan asalnya HR Muslim No. 17)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْخُلُقَ قَدْ يَحْصُلُ بِالتَّخَلُّقِ وَالتَّكَلُّفِ

“Pada hadits ini ada dalil bahawasanya akhlak bisa diperoleh dengan usaha dan kesungguhan” (Zaadul Ma’aad 3/532)

Namun untuk meraih akhlak memang butuh perjuangan karena memang sulit, Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

فَإِنَّ أَصْعَبَ مَا عَلَى الطَّبِيعَةِ الْإِنْسَانِيَّةِ: تَغْيِيرُ الْأَخْلَاقِ الَّتِي طُبِعَتِ النُّفُوسُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya perkara yang sangat sulit atas tabi’at manusia adalah mengubah akhlak yang sudah merupakan tabi’atnya” (Madaarijus Saalikin 2/297)

Para ulama menyebutkan di antara akhlak mulia adalah sebagaimana perkataan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah,

حَقِيْقَةُ حُسْنُ الْخُلُقِ بَذْلُ المَعرُوْفِ  وَكَفُّ الأَذَى وطَلاَقَةُ الوَجْهِ

“Hakikat akhlak mulia adalah mudah berbuat baik kepada orang lain, tidak mengganggu orang lain, dan  wajah yang sering berseri-seri karena murah senyum.” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi 15/78)

Dari perkataan ini, kita dapatkan tiga rukun akhlak, yaitu:

    Wajah yang berseri-seri, murah senyum kepada orang lain, tidak merendahkan, dan tidak menghinakan orang lain.
    Ringan tangan untuk membantu orang lain.
    Tidak mengganggu orang lain.

Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang dosa,

وَاْلأِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

“Dosa adalah apa yang menggelisahkan engkau di hatimu. Dan engkau tidak suka jika orang-orang melihat kau melakukannya.”

Hadits ini menjelaskan tentang barometer untuk mengenal dosa. Tentunya, dosa-dosa adalah melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Untuk mengenal dosa, kita bisa melihat dengan mempelajari Al-Qurān dan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang dilarang oleh Allāh dalam Al-Qurān maka itu adalah dosa dan apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya maka itu adalah dosa.

Namun terkadang, ada perkara yang kita lakukan yang kita tidak sempat melihat/mengecek dalilnya atau kita tidak tahu dalilnya. Maka tatkala kita hendak melakukannya muncul kegelisahan dalam dada kita dan muncul ketidaktenangan dalam hati kita, itulah ciri dosa.

Karena dalam hadits ini Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan barometer dan indikator untuk mengenal dosa, beliau menyebutkan 2 ciri, yaitu menjadikan dadamu gelisah, dan engkau tidak suka untuk dilihat oleh orang lain.

Kalau anda melakukan suatu perkara kemudian anda merasa tenang, hati tidak merasa gelisah dan kalau orang lain tahu pun tidak jadi mengapa, maka ini bukan dosa. Tapi tatkala anda melakukan sesuatu, kemudian ternyata hati anda gelisah atau tidak tenang dan tidak ingin orang lain (tetangga/sahabat/ istri atau ustadz kita) tahu, maka ini merupakan ciri dosa, maka berhati-hatilah. Dan sebaiknya kita meninggalkan perkara yang menimbulkan ketidaktenangan tersebut.

Para ulama mengingatkan bahwa hadits ini berkaitan dengan orang yang hatinya masih sesuai dengan fitrah, bukan orang-orang yang fitrahnya sudah rusak, yang membanggakan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan tanpa merasa malu dan berdosa. Hadits ini juga tidak berlaku bagi orang-orang berikut ini.

    Orang-orang yang memamerkan aurat mereka.
    Orang-orang yang minum khamr di hadapan banyak orang.
    Orang-orang yang bangga dengan kejahatan-kejahatan/maksiat-maksiat yang mereka lakukan.
    Orang-orang yang mengambil gambar diri mereka ketika sedang bermaksiat, seperti sedang berzina, lalu mereka sebarkan  luaskan di dunia maya.

Terhadap mereka semua ini, hadits ini tidak berlaku karena karena fitrah mereka telah rusak.

Dengan demikian hadits ini berlaku bagi orang-orang yang masih punya rasa malu, yang fitrahnya masih baik. Bagi orang-orang seperti ini, mereka dapat mengenal dosa atau tidak dengan 2 ciri/indikator yang disebutkan, yaitu hatinya tidak tenang dan dia tidak suka kalau ada orang yang melihatnya.

Oleh karenanya, sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwasanya dosa itu pasti mendatangkan kegelisahan. Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla pasti dia gelisah, pasti dia tidak tenang.  Hal ini berkebalikan dengan orang-orang yang mengingat Allāh, sebagaimana disebutkan oleh Allah,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan mengingat Allāh maka hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’du: 28)

Jika mengingat Allah hati menjadi tenang, maka sebaliknya orang yang lupa kepada Allah dan bermaksiat kepada Allāh pasti hatinya gelisah dan gundah gulana, tidak tenang, dan tidak tentram sampai dia bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjauhkan kita dari segala dosa. Dan semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang tawwābīn, yaitu hamba yang jika berdosa segera bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Hadits 2 : Pandanglah Orang yang di Bawahmu dalam Masalah Dunia

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي اللّه عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

Dari Abū Hurairah  ia berkata, Rasūlullāh  bersabda, “Lihatlah kepada yang di bawah kalian dan janganlah kalian melihat yang di atas kalian, sesungguhnya hal ini akan menjadikan kalian tidak merendahkan nikmat Allāh yang Allāh berikan kepada kalian.” (HR Muslim No. 2963)

Pembaca yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Hadits ini mengajarkan kepada kita agar dalam masalah dunia hendaknya kita melihat ke bawah. Bagaimanapun kekurangan yang ada pada diri kita dalam masalah dunia, pasti masih ada orang lain yang lebih parah daripada kita. Lihatlah kita sekarang dalam keadaan sehat, alhamdulillāh. Kalau kita melihat ke bawah, betapa banyak orang yang sakit, banyak orang yang terkapar di tempat tidur tidak bisa bergerak karena sakit. Kemudian juga, betapa banyak orang yang cacat yang lebih parah dari kita. Bahkan jika kita sedang sakit pun, masih ada yang lebih parah sakitnya daripada kita. Senantiasa pasti ada yang lebih menderita daripada apa yang kita rasakan. Kalau kita selalu melihat ke bawah dalam masalah kesehatan saja, maka kita akan senantiasa bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla atas nikmat sehat yang diberikan kepada kita.

Senantiasa bersyukur bukan perkara yang mudah, oleh karenanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Hanya sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)

Kita berdo’a semoga Allāh menjadikan kita termasuk dari hamba-hamba Allāh yang sedikit tersebut.

Ingatlah bahwa kekayaan harta bukanlah segala-galanya. Sungguh kesehatan adalah kekayaan yang sangat bernilai dan sangat mahal, yang banyak diimpikan oleh orang-orang kaya harta yang terkapar di rumah sakit. Namun kita sering lupa dengan nikmat kesehatan, sebagaimana sabda Nabi ,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua kenikmatan yang banyak orang tertipu di dalamnya yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6.412)

Jika nikmat kesehatan belum bisa kita syukuri dengan baik, sementara mata kita sudah melirik kepada kenikmatan-kenikmatan harta yang dimiliki oleh tetanga-tetangga atau teman-teman kita, maka kapankah kita bisa bersyukur kalau begitu caranya?

Maka, di antara hal yang membuat kita senantiasa bersyukur adalah melihat ke bawah dalam masalah dunia, termasuk masalah harta. Misalnya kita merasa mempunyai kendaraan yang kurang bagus. Namun lihatlah, masih banyak orang di bawah kita yang kendaraannya lebih jelek daripada kendaraan kita. Dan bisa jadi, masih banyak orang yang hanya memiliki motor butut atau memiliki sepeda kayuh tua, atau bahkan masih banyak orang yang hanya bisa berjalan kaki ke mana-mana karena ia tidak memiliki kendaraan sama sekali.

Maka dalam hal dunia kita semestinya melihat ke bawah, jangan melihat ke atas! Karena kalau kita melihat ke atas, maka keinginan terhadap dunia tidak akan ada habisnya. Rasūlullāh  melarang untuk melihat ke atas dalam masalah dunia.

Keinginan terhadap dunia tidak akan pernah ada habisnya. Orang yang mencari dunia akan senantiasa haus akan dunia. Terkadang kita heran ketika melihat ada seorang yang sudah tua, umurnya sudah 60 tahun, 70 tahun, atau bahkan 80 tahun, namun masih sibuk tenggelam dalam urusan dunia.  Di usia senjanya ia masih memikirkan ini dan itu. Lalu kapan dia akan beristirahat? Kapan dia kan menikmati dunianya? Sementara dia terus mencari dunia dan demikian terus kehidupannya?

Mungkin kita heran, tapi dia sendiri tidak heran. Kenapa? Karena memang tidak ada batas terakhir dalam masalah kepuasan dunia. Jika seseorang telah mendapatkan sesuatu dari dunia, dia masih akan mencari yang lain lagi. Demikian seterusnya. Karena dunia itu ibarat air laut yang asin. Semakin ditelan, maka akan semakin membuat haus seseorang. Keinginan terhadap dunia baru akan berhenti jika seseorang telah meninggal dunia.

Nabi  bersabda,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ

“Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta maka dia akan mencari lembah yang ke-3 dan dia tidak akan berhenti kecuali kalau pasir sudah dimasukkan dalam mulutnya.” (HR. Bukhari no. 6436, dari shahābat Ibnu ‘Abbas)

Oleh karena itu, dalam masalah dunia, kita diperintahkan untuk melihat ke bawah agar kita senantiasa bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Berbeda halnya dengan masalah akhirat. Dalam masalah akhirat, kita diperintahkan untuk melihat ke atas. Allāh mengajarkan kita untuk bersemangat dalam masalah akhirat. Hal ini ditunjukan oleh perintah Allāh kepada kita untuk senantiasa memohon di dalam shalat-shalat kita dengan mengatakan,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ

“Ya Allāh, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.”

Siapakah orang-orang yang diberi nikmat itu? Mereka adalah nabiyyīn wa shiddiqīn wasy syuhadā wash shālihīn. Jadi jalan lurus yang kita minta dalam setiap shalat kita itu tidak lain adalah jalannya para Nabi, para orang shidiq, para syuhada, dan orang-orang shalih.

Kita disuruh untuk melihat ke atas dalam masalah akhirat, yaitu dengan senantiasa meminta petunjuk ke jalan yang pernah ditempuh oleh orang-orang yang hebat seperti para Nabi, para shiddiqīn, para syuhada, para shālihīn.

Ayat lain yang menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk melihat ke atas dalam masalah akhirat adalah firman Allāh, 

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Dan untuk yang demikian (yaitu kenikmatan-kenikmatan surga), maka hendaknya orang-orang yang berlomba, berlomba-lombalah.” (QS. Al-Muthaffifīn: 26)

Dalam masalah surga dan berbuat kebajikan maka Allah menyuruh kita berlomba-lomba. Sebagaimana firman Allāh,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148)

Dalam ayat yang lain Allah menyuruh kita untuk cepat dan berpacu. Allah berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ

“Berlomba-lombalah untuk meraih ampunan Allāh. Dan berlomba-lombalah untuk segera meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS. Āli ‘Imrān: 133)

Dalam masalah kebaikan dan dalam masalah agama, seseorang hendaknya senantiasa melihat ke atas agar dia tidak cepat merasa puas dengan amal yang telah ia kerjakan dan agar dia tidak merasa ujub (merasa bangga).

Kesimpulannya, kita diperintahkan untuk qona’ah dalam masalah dunia dan dianjurkan untuk tidak cepat merasa puas dalam masalah akhirat.  Bukan sebaliknya, dalam masalah dunia kita melihat ke atas sehingga tidak pernah qona’ah  dan dalam masalah agama melihat ke bawah sehingga qona’ah dan merasa puas dengan kondisi agamanya meskipun berkualitas rendah.

Maka sangat tercela jika seseorang dalam masalah dunia tidak pernah puas, melihat ke atas terus, sudah punya mobil masih bernafsu kepada mobil yang mewah, iri dengan tetangganya, dengan teman-temannya, dan seterusnya. Sementara dalam masalah agama ia justru melihat ke bawah. Dia mengatakan, “Ah, alhamdulillāh saya sudah shalat, masih banyak orang yang tidak shalat.”

Benar, memang masih banyak orang yang tidak shalat, dan kita bersyukur kepada Allāh karena menjadi golongan orang yang mendirikan shalat, tetapi lihatlah ke atas, agar dirimu merasa penuh kekurangan, karena masih banyak orang-orang yang lebih hebat darimu sehingga engkau terpacu untuk mencari yang lebih dalam masalah agama.

Hendaknya kita berusaha mencapai kedudukan setinggi mungkin dalam masalah agama. Bahkan jika kita meminta surga,  mintalah surga yang paling tinggi, sebagaimana Nabi  bersabda,

فإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَأَعْلَى الْجَنَّةِ

“Jika engkau minta surga maka mintalah surga Firdaus, surga yang paling tengah dan yang paling tinggi.” (HR. Al-Bukhari)

Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasūlullāh  mengajarkan kepada kita untuk memiliki himmah ‘āliyah (semangat yang tinggi) di dalam masalah agama dan agar kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah kita kerjakan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan kita orang-orang yang memandang ke bawah dalam masalah dunia dan menjadikan kita orang-orang yang memandang ke atas dalam masalah agama.

Peringatan

Sebagian ulama menyebutkan bahwa jika seseorang yang miskin memandang ke atas, yaitu kepada orang yang jauh lebih kaya darinya, dengan pandangan yang jernih, maka ia pasti akan mendapati bahwa dirinya ternyata memiliki nikmat yang tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nikmat harta yang dimiliki oleh si kaya tersebut.  Bisa jadi ia mendapati bahwa si kaya dengan hartanya yang melimpah harus merasakan berbagai penderitaan yang membuat hidupnya tidak tenang, seperti sakit yang datang silih berganti, tekanan hidup yang tinggi, kekhawatiran akan kehilangan hartanya, dan lain-lain.

Bisa jadi orang yang hartanya melimpah hidupnya tidak tenang karena senantiasa memikirkan pekerjaannya dalam rangka mencari dan mempertahankan kekayaan.  Bisa jadi ia juga dipusingkan dengan bagaimana menyimpan dan membelanjakan hartanya, dan seabrek permasalahan lain yang tidak menimpa orang-orang yang miskin.  Bahkan bisa jadi si miskin dapat makan enak dengan sembarang makanan dan tidur pulas di sembarang tempat, sementara si kaya harus memilah-milah makanan dengan kadar tertentu demi menjaga kesehatannya dan sulit tidur karena permasalahan harta selalu memenuhi otak dan pikirannya. Maka, meskipun ia telah berbaring di ranjang yang empuk dan mahal, tetapi ia tidak kunjung bisa tidur nyenyak, sedangkan si miskin  yang berbaring di tikar lusuh dapat dengan nyaman tidur karena pikirannya terbebas dari beban-beban yang memenuhi kepalanya, jika si miskin adalah orang yang beriman dan berserah diri kepada Allah ta’ala.

▪▪▪

Abu Abdil Muhsin Firanda