Type Here to Get Search Results !

 


URGENSI MENUNTUT ILMU SYAR'I

 

Syariat Islam itu berbeda-beda urgensi dan kedudukannya, sesuai dengan kebutuhan manusia terhadapnya. Mengingat kebutuhan manusia yang sangat tinggi terhadap ilmu syar’i (ilmu agama), maka menuntut ilmu syar’i menempati kedudukan yang sangat penting di antara ajaran-ajaran Islam yang lainnya. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,


النَّاسُ إِلَى الْعِلْمِ أَحْوَجُ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ. لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ. وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ

“Kebutuhan manusia terhadap ilmu (syar’i) itu melebihi kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Hal itu karena seseorang membutuhkan makanan dan minuman hanya sekali atau dua kali (saja), adapun kebutuhannya terhadap ilmu (syar’i) itu sebanyak tarikan nafasnya.” [Madaarijus Saalikiin, 2/440]


Dengan Menuntut Ilmu Syar’i, Manusia Terbedakan dari Binatang

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika menjelaskan tentang pentingnya ilmu syar’i dan kebutuhan manusia terhadapnya,

ان الانسان إِنَّمَا يُمَيّز على غَيره من الْحَيَوَانَات بفضيلة الْعلم وَالْبَيَان وَإِلَّا فَغَيره من الدَّوَابّ وَالسِّبَاع أَكثر أكلا مِنْهُ واقوى بطشا وَأكْثر جماعا واولادا واطول اعمارا وَإِنَّمَا ميز على الدَّوَابّ والحيوانات بِعِلْمِهِ وَبَيَانه فَإِذا عدم الْعلم بقى مَعَه الْقدر الْمُشْتَرك بَينه وَبَين سَائِر الدَّوَابّ وَهِي الحيوانية الْمَحْضَة فَلَا يبْقى فِيهِ فضل عَلَيْهِم بل قد يبْقى شرا مِنْهُم

“Manusia itu dibedakan dari jenis binatang dengan adanya keutamaan ilmu dan bayan (penjelasan). Jika manusia tidak memilki ilmu, maka binatang melata dan binatang buas itu lebih banyak makan, lebih kuat, lebih banyak jima’ (berhubungan seksual), lebih banyak memiliki anak, dan lebih panjang umurnya daripada manusia. Manusia itu dibedakan dari binatang karena ilmu dan bayan yang dimilkinya. Jika keduanya tidak ada, maka yang tersisa adalah adanya sisi persamaan antara manusia dan binatang, yaitu ‘sifat kehewanan’ saja. Dan tidak ada keutamaan manusia atas binatang, bahkan bisa jadi manusia lebih jelek darinya.” [Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/78]

Maksudnya, jika manusia tidak memiliki ilmu terhadap hal-hal yang bermanfaat untuk dunianya dan tempat kembalinya di akhirat, maka seakan-akan binatang itu lebih baik darinya. Hal ini karena selamatnya binatang di akhirat dari apa yang menghancurkannya, sedangkan manusia yang bodoh tidak bisa selamat. Semoga Allah Ta’ala merahmati seorang penyair yang berkata,

فليجتهد رجل فى العلم يطلبه … كيلا يكون شبيه الشاء و البقر

Hendaklah seseorang bersemangat dalam menuntut ilmu,

Agar dia tidak serupa dengan kambing atau lembu

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

لولا العلماء لصار الناس كابهائم

Kalaulah bukan karena ulama, maka manusia sama dengan binatang.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin]

Ilmu Syar’i Merupakan Penjaga dari Kesesatan, Penyelewengan dan Beramal Tanpa Ilmu

Ibnul Qayyim rohimahulloh berkata,”Beramal tanpa ilmu itu seperti berjalan tanpa petunjuk [maka hendaknya berilmu sebelum beramal, adm]. Tentu saja akan lebih dekat kepada kerusakan daripada keselamatan. Kemungkinan untuk ditaqdirkan selamat adalah sangat kecil (yaitu, apabila seseorang beramal tanpa ilmu). Hal tersebut tidaklah terpuji, bahkan sangat tercela bagi orang-orang yang berakal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

من فَارق الدَّلِيل ضل السَّبِيل وَلَا دَلِيل إِلَّا بِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُول

‘Barangsiapa yang terpisah dari petunjuk, maka dia akan tersesat. Serta tidak ada petunjuk kecuali ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Hasan Al–Bashri rahimahullah berkata,

الْعَامِل على غير علم كالسالك على غير طَرِيق وَالْعَامِل على غير علم مَا يفْسد اكثر مِمَّا يصلح فَاطْلُبُوا اللم طلبا لَا تضروا بِالْعبَادَة واطلبوا الْعِبَادَة طلبا لَا تضروا بِالْعلمِ

‘Beramal tanpa ilmu itu seperti berjalan di luar jalur. Orang yang beramal tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkannya akan lebih banyak daripada kebaikan yang diraih. Maka carilah ilmu dengan tidak mengganggu ibadah, dan beribadahlah dengan tidak mengganggu mencari ilmu.’” [Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/83]

Menuntut Ilmu Syar'i Merupakan Sarana untuk Meraih Cinta Allah terhadap Seorang Hamba

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

انه لَا شَيْء اطيب للْعَبد وَلَا الذ وَلَا اهنأ وَلَا انْعمْ لِقَلْبِهِ وعيشه من محبَّة فاطره وباريه ودوام ذكره وَالسَّعْي فِي مرضاته وَهَذَا هُوَ الْكَمَال الَّذِي لاكمال للْعَبد بِدُونِهِ وَله خلق الْخلق … ولاسبيل إِلَى الدُّخُول إِلَى ذَلِك إِلَّا من بَاب الْعلم فَإِن محبَّة الشَّيْء فرع عَن الشُّعُور بِهِ واعرف الْخلق بِاللَّه اشدهم حبا لَهُ فَكل من عرف الله احبه وَمن عرف الدُّنْيَا واهلها زهد فيهم فالعلم يفتح هَذَا الْبَاب الْعَظِيم الَّذِي هُوَ سر الْخلق وَالْأَمر

“Tidak ada sesuatu yang lebih harum bagi hamba, tidak ada pula yang lebih lezat, lebih sejuk dan lebih nikmat untuk hati dan kehidupannya melebihi cinta (dari) Penciptanya dan Pengaturnya (yaitu Allah Ta’ala, pen.), terus-menerus berdzikir kepada–Nya dan berjalan meraih keridhaan–Nya. Inilah kesempurnaan yang tidak ada kesempurnaan lagi sesudahnya dan untuk itulah makhluk diciptakan. …. Serta tidak ada jalan untuk meraihnya kecuali melalui pintu ilmu karena kecintaan terhadap sesuatu merupakan cabang dari pengetahuannya terhadap sesuatu yang dia cintai. Makhluk yang paling mengenal Allah, dialah yang paling mencintai Allah. Maka setiap orang yang mengenal Allah, dia pasti akan mencintai Allah. Barangsiapa yang mengenal dunia dan ahlinya, maka dia akan zuhud darinya. Dan ilmu membuka pintu yang besar ini, yang merupakan rahasia makhluk dan segala urusan.” [Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/83] [1]

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan langkah kita untuk menuntut ilmu syar’i dan meneguhkan kita di atas jalan menuntut ilmu.

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. 
____

Catatan kaki

[1] Disarikan dari kitab Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 42-43.


SAUDARAKU, INILAH PENTINGNYA ILMU AGAMA

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Saudaraku yang dirahmati Allah, bagi seorang muslim belajar ilmu agama bukan sekedar kegiatan sampingan. Kalau ada waktu dikerjakan dan kalau tidak ada ya tidak mengapa ditinggalkan. Bukan demikian! Ilmu adalah kebutuhan kita sehari-hari…

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah, 

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا

“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2). 

Sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama bahwa yang dimaksud paling bagus amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar maksudnya mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan, tidak mungkin seorang bisa ikhlas dan mengikuti tuntunan kecuali jika berlandaskan dengan ilmu.

Dalil yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini sebagaimana telah diterangkan pula oleh para ulama menunjukkan bahwa paham ilmu tentang agama adalah syarat mutlak untuk menjadi baik.

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah menerangkan, diantara faidah hadits di atas adalah : 
  1. Dorongan untuk menimba ilmu (agama) dan motivasi atasnya
  2. Penjelasan mengenai keutamaan para ulama di atas segenap manusia
  3. Penjelasan keutamaan mendalami ilmu agama di atas seluruh bidang ilmu
  4. Pemahaman dalam agama merupakan tanda Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba
(lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 2/59)

Dengan demikian, ketika kita berbicara mengenai keutamaan belajar ilmu agama sesungguhnya kita sedang membahas mengenai pentingnya seorang muslim mencapai keridhaan Allah dan cinta-Nya. Karena tidak mungkin dia bisa mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan-Nya kecuali dengan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bagaimana mungkin dia akan bisa mengikuti ajaran jika dia tidak membangun agamanya di atas ilmu dan pemahaman?!

Allah berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١

“Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (rasul) niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Al-Imran: 31)

Allah berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Allah berfirman,

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah juga berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣ 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)

Ayat-ayat di atas dengan gamblang menunjukkan kepada kita bahwa setiap muslim harus :
  1. Mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
  2. Beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan bersih dari syirik
  3. Melandasi amal salihnya dengan keimanan dan tauhid
  4. Tunduk kepada syari’at Allah, menegakkan sholat dan membayar zakat
  5. Menegakkan nasihat dan kesabaran
Sementara tidak mungkin melakukan itu semuanya kecuali dengan dasar ilmu dan pemahaman.

Maka sekali lagi, belajar ilmu agama ini bukan kegiatan sampingan. Ini adalah kebutuhan setiap insan. Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah akan mudahkan baginya dengan sebab itu jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Setiap kita butuh bantuan Allah untuk bisa istiqomah dalam beragama hingga akhir hayat. Lantas bagaimana seorang hamba bisa istiqomah apabila dia tidak berpegang dengan ilmu agama?

Akar atau kunci istiqomah terletak pada keistiqomahan hati; sejauh mana hati itu tunduk kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah istiqomah  iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Albani). Hadits ini menunjukkan bahwa keistiqomahan anggota badan tergantung pada keistiqomahan hati, sedangkan keistiqomahan hati adalah dengan mengisinya dengan kecintaan kepada Allah, cinta terhadap ketaatan kepada-Nya dan benci berbuat maksiat kepada-Nya (lihat mukadimah Syarh Manzhumah fi ‘Alamati Shihhatil Qalbi, hal. 5-6)

Mengakui Kebodohan

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan:

Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya. 

Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya. 

Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya. 

Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya. 

Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.

(lihat al-Fawa’id, hal. 36)

Demikian sekelumit cuplikan nasihat dan renungan, mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.