Sesungguhnya hak suami atas isteri mempunyai kedudukan yang sangat agung, sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan selainnya dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ.
"Hak bagi seorang suami atas isterinya adalah jika saja ia (suami) mempunyai luka di kulitnya, kemudian sang isteri menjilatinya, maka pada hakikatnya ia belum benar-benar memenuhi haknya.” [1] Di antara hak-hak suami atas isterinya adalah sebagai berikut :
1. Wanita yang cerdas dan pandai akan mengagungkan apa yang telah diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menghormati suaminya dengan sebenar-benarnya, ia bersungguh-sungguh untuk selalu taat kepada suami, karena ketaatan kepada suami termasuk salah satu di antara syarat masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّتِ اْلمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ.
"Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat terhadap suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke Surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.’”[2]
Perhatikanlah wahai wanita muslimah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ketaatan kepada suami termasuk syarat masuk Surga seperti halnya shalat dan puasa. Maka dari itu taatlah kepada suami dan janganlah engkau mendurhakainya, karena di balik kedurhakaan isteri kepada suami terdapat kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا.
"Dan Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu ia menolaknya kecuali Yang ada di langit murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya.” [3]
Maka kewajibanmu sebagai seorang isteri wahai para wanita muslimah adalah untuk selalu mendengar dan taat terhadap setiap perintah suami selama tidak menyelisihi syari’at. Akan tetapi berhati-hatilah, jangan sampai engkau berlebih-lebihan dalam mentaati perintah suami sehingga mau mentaatinya dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya jika melakukan hal tersebut, maka engkau telah berdosa. Sebagai contoh: apabila engkau mentaati perintahnya agar menghilangkan alis mata wajahmu untuk memperindah diri di hadapannya. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat an-Naamishah (wanita yang mencabut alis matanya) dan al-Mutanammishah (wanita yang minta dicabuti alis matanya).[4]
Atau sebagai contoh yang lain: engkau mentaati perintahnya menanggalkan jilbab tatkala keluar rumah karena suamimu mau berbangga diri dengan memperlihatkan kecantikanmu di depan orang banyak. Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِيْ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا.
“Terdapat dua golongan dari umatku sebagai penghuni Neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, yaitu suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi lalu mencambukkannya ke tubuh manusia. Dan sekelompok wanita yang mengenakan pakaian tetapi telanjang, mereka miring, kepala mereka seperti punuk unta. Mereka tidak akan masuk Surga, bahkan tidak akan dapat mencium baunya. Sesungguhnya bau Surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan segini dan segini” [5]
Atau engkau hendak diajak bersetubuh pada saat haidh atau pada apa yang tidak dihalalkan oleh Allah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ.
“Barangsiapa yang mendatangi isterinya pada waktu haidh atau lewat duburnya atau mendatangi dukun, kemudian mempercayai apa yang ia ucapkan, maka ia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad (al-Qur-an).”[6]
Atau mau mentaatinya untuk menampakkan diri di tengah-tengah kaum pria yang bukan mahram dan bercampur-baur serta bersalaman dengan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” [Al-Ahzaab/33: 53]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ.
“Janganlah kalian masuk ke tempat para wanita (yang bukah mahram)!”
Di antara para Sahabat ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan al-Hamwu (yaitu kerabat suami, seperti saudara laki-laki, anak saudara laki-laki, paman, anak paman atau selain dari mereka)?” Beliau bersabda:
اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ.
“Al-Hamwu (ipar) adalah bencana.”
Dan qiyaskan apa yang telah disebutkan di atas dengan segala macam sikap ketaatan kepada suami yang menyelisihi syari’at Rabb-mu, maka jangan sampai karena merasa wajib taat kepada suami sehingga mau mentaatinya meskipun dalam hal kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanya ada pada yang ma’ruf dan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan terhadap al-Khaliq.
2. Di antara hak suami atas isteri, seorang isteri harus menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaannya serta mengurusi harta, anak-anak dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”[An-Nisaa’/4: 34]
Dan sabda Rasulullah :
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِيْ بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” [8]
3. Berhias dan memperindah diri untuk suami, selalu senyum dan jangan bermuka masam di depannya. Jangan sampai menampakkan keadaan yang tidak ia sukai. Ath-Thabrani telah mengeluarkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيْعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِكَ.
"Sebaik-baik isteri ialah yang engkau senang jika melihatnya, taat jika engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.” [9]
Dan sungguh mengherankan sekali jika ada wanita yang tidak memperhatikan penampilan dirinya pada saat di rumahnya di mana ia sedang bersama suami, namun pada saat keluar rumah ia mempercantik diri dan menampakkan perhiasannya, sampai-sampai benarlah apa yang dikatakan oleh orang tentang perempuan seperti ini, yaitu, “Seperti kera dalam rumah akan tetapi seperti kijang bila di jalan.” Oleh karena itu, takutlah engkau wahai wanita hamba Allah, takutlah kepada Allah pada dirimu dan suamimu, karena sesungguhnya suami adalah orang yang paling berhak untuk melihat dan menikmati penampilan indahmu. Janganlah engkau sekali-kali menampakkan perhiasan pada orang yang tidak boleh melihatnya, karena hal itu adalah merupakan perkara yang diharamkan.
4. Isteri harus selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar meskipun untuk pergi ke masjid kecuali atas izin suami. Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” [Al-Ahzaab/33: 33]
5. Janganlah seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumah kecuali atas izinnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرَشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ.
“Hak kalian atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke dalam kamar tidur kalian orang yang tidak kalian sukai dan agar mereka tidak mengizinkan masuk ke dalam rumah kalian bagi orang yang tidak kalian sukai.” [10]
6. Isteri harus menjaga harta suami dan tidak menginfaqkannya kecuali dengan izinnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُنْفِقِ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا قِيْلَ: وَلاَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذَلِكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا.
“Janganlah seorang isteri menginfaqkan sesuatu pun dari harta suaminya kecuali atas izinnya.” Kemudian ada yang bertanya, “Tidak juga makanan?” Beliau menjawab, “Bahkan makanan adalah harta yang paling berharga.” [11]
Bahkan di antara hak suami atas isteri adalah agar ia tidak menginfaqkan harta miliknya jika ia mempunyai harta kecuali jika sang suami mengizinkannya, karena dalam sebuah hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَنْتَهِكَ شَيْئًا مِنْ مَالِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا.
“Janganlah seorang isteri menggunakan sesuatu pun dari hartanya kecuali dengan izin suaminya.” [12]
7. Janganlah seorang isteri melakukan puasa sunnah sedangkan suami berada di rumah kecuali atas izinnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.
“Tidak boleh bagi isteri melakukan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.” [13]
8. Janganlah seorang isteri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari hartanya untuk suami maupun keluarga, karena menyebut-nyebut pemberian akan dapat membatalkan pahala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan (si penerima).” [Al-Baqarah/2: 264]
9. Isteri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [Ath-Thalaq/65: 7]
10. Isteri harus bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya dengan kesabaran. Janganlah ia marah kepada mereka di depan suami dan jangan memanggil mereka dengan kejelekan maupun mencaci-maki mereka, karena yang demikian itu akan dapat menyakiti hati suami. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيْلٌ عِنْدَكَ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكَ إِلَيْنَا.
“Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia kecuali isterinya dari para bidadari akan mengatakan kepadanya, ‘Janganlah engkau menyakitinya (suami) atau Allah akan mencelakakanmu. Ia adalah simpanan bagimu yang sebentar lagi meninggalkanmu untuk kembali kepada kami.’” [14]
11. Isteri harus dapat berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat suami, karena sesungguhnya isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suami jika ia memperlakukan orang tua dan kerabatnya dengan kejelekan.
12. Janganlah isteri menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan intim, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانٌ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tapi ia menolak untuk datang, lalu sang suami marah sepanjang malam, maka para Malaikat melaknatnya (sang isteri) hingga datang waktu pagi.” [15]
Dan di dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ.
“Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk berhubungan intim, maka hendaknya sang isteri melayaninya meskipun ia sedang berada di atas unta.” [16]
13. Isteri harus dapat menjaga rahasia suami dan rahasia rumah tangga, janganlah sekali-kali ia menyebarluaskannya. Dan di antara rahasia yang paling penting yang sering diremehkan oleh para isteri sehingga ia menyebarluaskannya kepada orang lain, yaitu rahasia yang terjadi di ranjang suami isteri. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal demikian.
Dari Asma’ binti Yazid Radhiyallahu anhuma bahwasanya pada suatu saat ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat dari kalangan laki-laki dan para perempuan sedang duduk-duduk. Beliau bersabda, “Apakah ada seorang laki-laki yang menceritakan apa yang telah ia lakukan bersama isterinya atau adakah seorang isteri yang menceritakan apa yang telah ia lakukan dengan suaminya?” Akan tetapi semuanya terdiam, kemudian aku (Asma’) berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka semua telah melakukan hal tersebut.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melakukannya, karena sesungguhnya yang demikian itu seperti syaitan yang bertemu dengan syaitan perempuan, kemudian ia menggaulinya sedangkan manusia menyaksikannya.” [17]
14. Isteri harus selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga bersama suaminya, janganlah ia meminta cerai tanpa ada alasan yang disyari’atkan. Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
“Isteri mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga.” [18] Dan dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.
“Para isteri yang minta cerai adalah orang-orang munafik.” [19]
Inilah -wahai muslimah- hak-hak suamimu atas dirimu. Bersungguh-sungguhlah dalam menunaikan hak-hak tersebut dan lupakanlah jika suamimu kurang dapat memenuhi hak-hakmu, karena sesungguhnya yang demikian itu akan dapat melanggengkan cinta dan kasih sayang di antara kalian, dapat memelihara keharmonisan rumah tangga sehingga dengannya masyarakat akan menjadi baik pula.
Dan bagi para ibu harus memahami bahwa sesungguhnya di antara kewajiban mereka adalah memberikan pengertian kepada anak-anak perempuan mereka tentang hak-hak suami mereka, hendaklah setiap ibu selalu mengingatkan anak perempuannya akan hak-hak tersebut sebelum ia memasuki jenjang pernikahan. Hal ini merupakan Sunnahnya para wanita Salaf Radhiyallahu ‘anhunna, sebagaimana diceritakan bahwasanya ‘Amr bin Hajr, Raja Kindah meminang Ummu Iyash binti ‘Auf as-Syaibani, maka tatkala datang waktu pernikahannya, Ibu dari Ummu Iyash yang bernama Umamah binti al-Harits memberikan beberapa wasiat kepadanya tentang pokok-pokok dasar kehidupan rumah tangga yang harmonis dan tentang apa yang wajib dilakukannya bagi suaminya. Ia berkata, “Puteriku, sesungguhnya wasiat ini jika aku tinggalkan karena keutamaan suatu adab, maka niscaya aku akan meninggalkan adab tersebut karena dirimu. Akan tetapi wasiat ini merupakan peringatan bagi orang yang lalai dan penolong bagi orang yang berakal. Kalaulah seorang isteri tidak membutuhkan suaminya untuk mencukupi kedua orang tuanya dan mereka berdua sangat butuh kepadanya, maka engkau telah menjadi manusia yang paling tidak bergantung kepada suami.
Akan tetapi wanita itu diciptakan untuk laki-laki dan laki-laki pun diciptakan untuk wanita. Puteriku, engkau akan meninggalkan rumah tempat kelahiranmu dan tempat tinggalmu selama ini menuju rumah yang belum engkau ketahui keadaannya untuk menyertai kawan hidup yang belum engkau ketahui kebiasaannya, sehingga engkau menjadi pengawas dan pemilik kerajaan suamimu. Karena itu lakukanlah beberapa perbuatan. Jadilah engkau seorang budak baginya, maka ia akan menjadi budak bagimu. Jagalah sepuluh perkara baginya agar ia menjadi simpananmu yang berharga.
Yang pertama dan kedua: Tunduklah kepadanya dengan menerima apa adanya dan dengarlah baik-baik ucapannya serta taatilah perintahnya.
Ketiga dan keempat: Perhatikan baik-baik kedua mata dan penciumannya. Jangan sampai ia melihatmu dalam keadaan berpenampilan buruk dan jangan sampai ia mencium kecuali bau harum dari wangi tubuhmu.
Kelima dan keenam: Perhatikan baik-baik waktu tidur dan makannya, karena sesungguhnya jika seorang merasa lapar, maka emosinya akan mudah terbakar dan jika tidurnya merasa terganggu, maka ia akan mudah marah.
Ketujuh dan kedelapan: Jagalah baik-baik hartanya, kehormatannya dan keluarganya. Cara terbaik menjaga hartanya adalah menghematnya dan cara terbaik menjaga keluarganya adalah mendidiknya dengan baik.
Kesembilan dan kesepuluh: Janganlah engkau menentang perintahnya sedikit pun dan jangan pula membuka rahasianya. Apabila engkau menentang perintahnya, maka engkau menyakiti hatinya. Apabila engkau membuka rahasianya, maka engkau tidak akan aman dari pengkhianatannya. Janganlah engkau bergembira dihadapannya ketika ia susah dan janganlah engkau susah dihadapannya ketika ia bergembira.” [20] ((Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa))
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3148)], Ahmad (XVI/227, no. 247).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 660)], Ahmad (XVI/228, no. 250).
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7080)], Shahiih Muslim (II/ 1060, no. 1436 (121)).
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VIII/630, no. 4886), Shahiih Muslim (III/1678, no. 2125), Sunan Abi Dawud (XI/225, no. 4151), Sunan an-Nasa-i (VIII/146), Sunan at-Tirmidzi (IV/193, no. 2932), Sunan Ibni Majah (I/640, no. 1989).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3799)], [Mukhtashar Shahiih Muslim 1388], Shahiih Muslim (III/1680, no. 2128).
[6]. Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 31], Sunan Ibni Majah (I/209, no. 639), Sunan at-Tirmidzi (I/90, no. 135) tanpa kalimat “Fashaddaqahu bima yaquul”.
[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/330, no. 5232), Shahiih Muslim (IV/1711, no. 2172), Sunan at-Tirmidzi (II/318, no. 1181).
[8]. Bagian dari hadits “Warrajulu raa’in”.
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3299)].
[10]. Bagian dari hadits yang telah lalu yaitu “‘Alaa inna lakum ala nisaa-ikum haqqan.”
[11]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1859)], Sunan at-Tirmidzi (III/ 293, no. 2203), Sunan Abi Dawud (IX/478, no. 3548), Sunan Ibni Majah (II/770, no. 2295)
[12]. Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 775), beliau berkata, “Telah dikeluarkan oleh Tamam dalam al-Fawaa-id (II/182, no. 10) dari jalan ‘Anbasah bin Sa’id dari Hammad, maula (budak yang dibebaskan). Bani Umayyah dari Janaah maula al-Walid dari Watsilah, ia berkata, ‘Rasulullah bersabda, kemudian ia menyebutkan hadits tersebut.” Beliau (al-Albani) berkata, “Sanad hadits ini lemah, akan tetapi ada beberapa riwayat penguat yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah tsabit.”
[13]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/295, no. 5195), Shahiih Muslim (no. 1026).
[14]. Sunan Tirmidzi (II/320, no. 1184).
[15]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/294, no. 5194), Shahiih Muslim (II/1060, no. 1436), Sunan Abu Dawud (VI/179, no. 2127).
[16]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ as-Shaghiir 534], Sunan at-Tirmidzi (II/314, no. 1160).
[17]. Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 72], Ahmad (XVI/223, no. 237).
[18]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035)], Sunan at-Tirmidzi (II/329, no. 1199), Sunan Abi Dawud (VI/308, no. 2209), Sunan Ibni Majah (I/662, no. 2055). [
19]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6681)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 632)], Sunan Tirmidzi (II/329, no. 1198).
[20]. Fiqhus Sunnah (II/200)
Referensi: https://almanhaj.or.id/