Setelah tasyahhud akhir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita sebelum salam untuk berdoa memohon perlindungan dari empat perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ: اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Jika salah seorang di antara kalian selesai membaca tasyahhud, maka mohonlah perlindungan kepada Allah Ta’ala dari empat perkara, dengan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepadamu dari adzab jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian serta dari keburukan finah al-masih ad-dajjal.” (HR. Muslim no. 588)
Hukum membaca doa tersebut ketika shalat
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum membaca doa tersebut ketika shalat. Jumhur (mayoritas) ulama, termasuk imam madzhab yang empat, menyatakan bahwa hukumnya sunnah (dianjurkan) dan ditekankan untuk dikerjakan sehingga tidak selayaknya untuk ditinggalkan [1]. Termasuk ulama kontemporer yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Alu Bassam [2] dan Syaikh Dr. Sa’id bin ’Ali Al-Qahthani [3].
Adapun sebagian ulama madzhab Hanabilah dan juga Ibnu Hazm rahimahumullahu Ta’ala berpendapat bahwa hukumnya wajib [4]. Dan pendapat yang mengatakan wajib tersebut cukup kuat dengan menimbang kaidah dalam ilmu ushul fiqh bahwa hukum asal perintah adalah wajib, sebagaimana dalam hadits di atas (yaitu lafadz, “mohonlah perlindungan”).
Di antara ulama salaf yang mengatakan wajibnya mengucapkan doa di atas adalah Thawus rahimahullahu Ta’ala, salah seorang ulama tabi’in. Imam Muslim rahimahullah berkata,
بَلَغَنِي أَنَّ طَاوُسًا قَالَ لِابْنِهِ: أَدَعَوْتَ بِهَا فِي صَلَاتِكَ؟ فَقَالَ: لَا، قَالَ: أَعِدْ صَلَاتَكَ
“Telah sampai berita kepadaku bahwa Thawus berkata kepada anaknya, “Apakah Engkau berdoa dengan doa tersebut dalam shalatmu?”
Sang anak menjawab, “Tidak.”
Thawus berkata, “Ulangi shalatmu.” (HR. Muslim no. 590)
Sikap Thawus rahimahullahu Ta’ala tersebut menunjukkan bahwa beliau berpendapat wajib dan menganggap jika doa tersebut ditinggalkan secara sengaja, maka shalat menjadi batal [5].
Adapun ulama kontemporer yang menguatkan pendapat wajib adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala dalam kitab beliau yang terkenal, Shifat Shalat Nabi, ketika beliau memberi sub-judul,
وجوب الإستعاذة من أربع قبل الدعاء
“Wajibnya memohon perlindungan (isti’adzah) dari empat perkara sebelum berdoa.” (maksudnya, doa-doa lainnya yang disyariatkan setelah doa isti’adzah tersebut dan sebelum salam, pen.)
Lalu beliau pun menyebutkan hadits di atas. [6]
Begitu pula, yang tampak (baca: dzahir) dari perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menunjukkan bahwa beliau pun berpendapat wajib. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Pendapat ini (yang menyatakan wajib, pent.) tidaklah jauh dari kebenaran, jika kita tidak bisa mengatakannya sebagai pendapat yang benar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya dan beliau pun melaksanakannya (dengan perbuatannya). Dan juga karena perkara-perkara ini adalah perkara yang berbahaya. Selayaknya bagi seseorang untuk berlindung kepada Allah Ta’ala agar terbebas darinya. Maka pendapat yang menyatakan wajib adalah pendapat yang kuat.” [7]
Pendapat yang -insyaa Allah- lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan sunnah. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu Ta’ala berkata,
والأرجح هو قول الجمهور ، ويُحمل فعل طاوس رحمه الله – إن صح عنه – على توكيد هذا الاستحباب ؛ حيث إن أمره بالإعادة كان لابنه في سياق تعليمه ، لا لعامة المصلين
“Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Adapun perbuatan Thawus rahimahullahu Ta’ala, jika riwayat tersebut shahih, dimaknai bahwa beliau sangat menekankan sunnah ini, dimana beliau memerintahkan anaknya untuk mengulangi shalatnya dalam rangka mengajarkan shalat, bukan (diperintahkan) kepada seluruh kaum muslimin.” [8]
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu Ta’ala juga menjelaskan,
ثم إن الأصل في الأدعية في الصلاة وغيرها : أنها للاستحباب ، والإرشاد ، إلا أن تدل قرينة قوية على الوجوب
“Kemudian, hukum asal untuk doa dalam shalat dan di luar shalat adalah sunnah dan irsyad (memberikan petunjuk manakah yang terbaik), kecuali terdapat indikator kuat yang menunjukkan akan wajibnya.” [8]
Yang jelas, terlepas dari hukum membacanya apakah wajib ataukah sunnah, keempat perkara tersebut adalah perkara yang penting. Jika seseorang tidak terjaga dari keempat perkara tersebut, dia akan berada dalam bahaya yang besar. Sehingga tidak selayaknya bagi kita untuk bermudah-mudahan dalam meninggalkannya ketika shalat. Terlebih lagi, ketika kita telah mengetahui adanya perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Semangatlah saudaraku untuk berdoa dengannya dalam setiap shalat. Karena jika selamat dari (keempat perkara) tersebut, terkandung kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Aku wasiatkan kepada saudara-saudara para imam masjid untuk tidak meninggalkannya. Karena di belakang mereka adalah (para makmum) yang membutuhkan doa tersebut. Sebagian imam shalat -semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita dan kepada mereka-, mereka mencukupkan diri dengan membaca shalawat saja, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad … “, kemudian salam. Mengapa wahai saudaraku? Di belakangmu adalah para makmum yang ingin shalat dengan sempurna, maka sempurnakanlah shalat bersama mereka. Engkau akan mendapatkan pahala, juga pahala dari orang-orang yang mencontohmu.” [9]
Makna dan kandungan doa
Dalam doa tersebut, kita dituntunkan untuk berdoa memohon perlindungan dari empat perkara.
Pertama, perlindungan dari adzab jahannam
Yaitu, perlindungan dari adzab neraka. Neraka disebut “jahannam” karena berasal dari kata (جهمة) yang artinya gelap, tidak ada cahaya sama sekali.
Allah Ta’ala berfirman menceritakan adzab neraka,
إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ ؛ تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
“Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak. Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” (QS. Al-Mulk [67]: 7-8)
Hampir-hampir neraka itu terpecah disebabkan kemarahan neraka kepada para penghuninya. Kita memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dari adzab semacam ini.
Kedua, perlindungan dari adzab kubur
Adzab kubur adalah adzab yang bersifat terus-menerus kepada orang kafir sampai datangnya hari kiamat. Sedangkan untuk kaum mukmin yang bermaksiat, adzab tersebut bersifat sementara sesuai dengan kadar maksiat dan dosa yang dikerjakan selama di dunia.
Ketiga, perlindungan dari fitnah (ujian) kehidupan dan kematian
Yang dimaksud dengan kata “fitnah” di sini adalah ujian, bukan “fitnah” dalam pengertian bahasa Indonesia. Ujian tersebut bisa berupa kebaikan atau pun keburukan. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 35)
Kita terkadang diuji dengan keburukan, yaitu sesuatu yang tidak kita inginkan, misalnya musibah berupa sakit fisik di badan kita, atau keluarga dan kerabat, atau ujian berupa kemiskinan, atau ujian-ujian lainnya untuk memperlihatkan, apakah kita bisa bersabar ataukah tidak?
Demikian juga, ujian tersebut bisa berupa kebaikan, yaitu sesuatu yang pada asalnya diinginkan oleh jiwa, misalnya kekayakaan, pangkat dan kedudukan. Untuk menguji kita, apakah kita manusia yang bisa bersyukur ataukah manusia yang sombong dan ingkar?
Terkadang, ujian tersebut berkaitan dengan agama seseorang. Dalam hal ini, manusia diuji dengan dua fitnah di dunia, yaitu fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Dua jenis fitnah ini telah dijelaskan di tulisan kami yang lainnya. [1]
Adapun fitnah kematian, mencakup dua jenis fitnah, yaitu: (1) ujian sebelum kematian dan (2) ujian setelah kematian.
Ujian sebelum kematian adalah ketika seseorang itu berada dalam sakarotul maut. Ketika maut hampir menjemput, setan mendatangi orang tersebut untuk menebarkan syubhatnya, sehingga bisa jadi seseorang itu keluar dari agamanya. Wal ‘iyaadhu billah! Oleh karena itu, kita selalu berdoa kepada Allah Ta’ala agar akhir kehidupan kita adalah akhir yang baik, husnul khatimah.
Ujian setelah kematian adalah pertanyaan dua malaikat di alam kubur, yaitu pertanyaan (1) siapakah Tuhanmu? (2) apakah agamamu? dan (3) siapakah Nabimu?
Bagi orang-orang yang beriman, akan Allah Ta’ala teguhkan untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan baik. Dengan sebab itu, dia akan mendapatkan nikmat kubur.
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim [14]: 27)
Adapun orang-orang kafir dan orang munafik, maka mereka tidak mampun menjawabnya, karena keimanan itu tidaklah masuk ke dalam hati mereka ketika berada di dunia. Dia pun dipukul dengan palu besi yang besar, dia pun berteriak yang bisa didengar oleh semua makhluk, kecuali manusia. Lalu kuburnya disempitkan, sehingga tulang-tulangnya pun berhimpitan. Mereka berkata, “Wahai Rabb, jangan datangkan hari kiamat.” Karena mereka mengetahui bahwa di samping adzab kubur tersebut, akan ada lagi adzab yang lebih besar dan lebih mengerikan darinya. [2]
Keempat, perlindungan dari fitnah Dajjal
Dajjal adalah ujian besar di akhir zaman menjelang datangnya hari kiamat. Dajjal datang dan mengaku-ngaku sebagai Tuhan semesta alam. Orang-orang beriman akan diselamatkan dari fitnah tersebut, karena telah telah tertulis di antara kedua matanya “kafir” (كافر) dengan huruf yang terpisah, (ك), (ف), dan (ر). Semua orang beriman bisa membacanya, baik yang buta huruf ataukah tidak. Ulasan lebih lengkap tentang fitnah dajjal, dapat dibaca di tulisan yang lainnya. [3]
Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk mengamalkan doa tersebut di setiap shalat kita. [4]
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D
____
Catatan kaki:
[1] Lihat Al-Ifhaam Syarh ‘Umdatul Ahkaam hal. 265-266, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.
[2] Taisiirul ‘Allaam, hal. 242.
[3] Shalatul Mu’min, hal. 244.
[4] Lihat Shifatus Shalaat hal. 152-153, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dan Shifat Shalat Nabi hal. 168, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi.
[5] Lihat Shifat Shalat Nabi hal. 168, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi.
[6] Shifat Shalat Nabi hal. 159, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
[7] Syarh ‘Umdatul Ahkaam, 1: 219.
[8] https://islamqa.info/amp/ar/answers/133016
[9] Shifatus Shalaat, hal. 153.
____
Catatan kaki:
[1] https://muslim.or.id/44783-penyakit-yang-paling-berbahaya.html
[2] Sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Dawud (no. 4753) dan Musnad Imam Ahmad (4: 287)
[3] http://buletin.muslim.or.id/dajjal-manusia-yang-mengaku-tuhan/
[4] Disarikan dari kitab Shifatush Shalaat, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, hal. 152-157 (penerbit Muassasah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, cetakan ke dua tahun 1434 H)
Sumber: https://muslim.or.id/