Sebagaimana yang kita ketahui, para ulama menjelaskan adanya pembagian dosa menjadi dosa besar (al-kabaa-ir) dan dosa kecil (ash-shaghaa-ir). Jika dosa tersebut diberi ancaman akhirat dan dikenai hukuman had di dunia, itulah yang disebut dosa besar. Sedangkan jika tidak diberi siksa dan ancaman, maka termasuk dalam dosa kecil [1]. Namun perlu diketahui bahwa ketika para ulama membagi dosa menjadi dosa kecil dan dosa besar, bukanlah maksudnya untuk meremehkan atau menganggap remeh dosa kecil.
Bahkan terdapat beberapa sebab yang menjadikan dosa kecil berubah menjadi dosa besar. Yang dimaksud dengan “dosa kecil berubah menjadi dosa besar” adalah berubah dari sisi dosa dan hukumannya, bukan perubahan dosa kecil itu sendiri (secara dzatnya) menjadi dosa besar. Ibnu Hajar Al-Haitamy rahimahullah berkata,
وقد تعطى الصغيرة حكم الكبيرة ، لا أنها تنقلب كبيرة
”Dosa kecil terkadang dihukumi sebagaimana dosa besar, bukan dosa kecil itu sendiri yang berubah menjadi dosa besar.” (Lihat Syarh Jauharut Tauhiid, hal. 196)
Sebab pertama: Terus-menerus berbuat dosa (Al-Ishraar)
Ibnul Atsir rahimahullah berkata,
أصر على الشئ يصر إصرارا إذا لزمه ، ودوامه و ثبت عليه
“Ishraar di atas sesuatu apabila dia terus-menerus melakukan sesuatu tersebut, konsisten dan menetap di atasnya.” (An-Nihaayah fii Ghariibil Hadits, 3/22).
Berdasarkan definisi yang disampaikan oleh Ibnul Atsir rahimahullah di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-ishraar adalah konsisten dan terus-menerus melakukan perbuatan dosa atau maksiat.
Terus-menerus berbuat dosa kecil dan juga adanya tekad untuk kembali melakukan dosa kecil, akan menjadikan dosa kecil tersebut dihukumi sebagaimana dosa besar. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
ارْحَمُوا تُرْحَمُوا، وَاغْفِرُوا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ، وَيْلٌ لِأَقْمَاعِ الْقَوْلِ، وَيْلٌ لِلْمُصِرِّينَ الَّذِينَ يُصِرُّونَ عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Berikanlah kasih sayang, niscaya Engkau akan disayangi. Berilah maaf, niscaya Allah akan mengampuni kalian. Celakalah orang-orang yang tidak memperhatikan aturan syariat dan tidak beradab dengan adab-adab syariat. [2] Dan celakalah orang-orang yang berbuat ishraar, yaitu orang yang terus-menerus di atas perbuatan (dosa) yang mereka lakukan, sedangkan mereka mengetahui.” (HR. Bukhari dalam Adaabul Mufrod. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Adaabul Mufrod).
Ancaman yang terdapat dalam hadits tersebut adalah ancaman yang sangat keras, yang tidak diberikan kecuali untuk dosa besar. Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dosa kecil mendapatkan ancaman yang sama seperti dosa besar (salah satunya) disebabkan oleh al-ishraar.
Sebaliknya, jika pelaku dosa besar bertaubat dan tidak terus-menerus (mengulangi) dosa besar yang pernah dia lakukan, maka dia akan diampuni. Hal ini tidak seperti pelaku dosa yang terus-menerus berbuat dosa, dia tidak akan diampuni, meskipun yang dia lakukan tersebut pada asalnya adalah dosa kecil. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 135).
Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
(ولم يصروا) أي ولم يثبتوا ويعزموا على ما فعلوا.
“(Yang dimaksud dengan) (ولم يصروا) adalah tidak terus-menerus dan tidak bertekad atas apa (dosa) yang telah mereka perbuat.” (Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an, 4/211).
Syarat adanya ampunan (maghfirah) adalah tidak terus-menerus melakukan dosa tersebut. Perbuatan ishraar akan mencegah pemberian ampunan dari Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahaya perbuatan ishraar, meskipun ishraar di atas dosa kecil. Ayat di atas menyebutkan perbuatan ishraar secara mutlak dan tidak memberikan batasan tertentu, sehingga mencakup ishraar di atas dosa kecil ataupun ishraar di atas dosa besar.
Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita sehingga tidak terus-menerus terjerumus dalam perbuatan dosa dan maksiat. [3]
Baca juga: Kaidah dosa besar dan dosa kecil
Sebab ke dua: Meremehkan (Menganggap kecil) perbuatan dosa
Sebab ke dua yang menjadikan sebuah dosa kecil dapat dihukumi sebagai dosa besar adalah meremehkan atau menganggap “enteng” dosa kecil. Sehingga dia pun tidak merasa bersedih hati atas perbuatan dosa yang dia lakukakn. Hal ini pada akhirnya menyebabkan orang tersebut mengulangi lagi perbuatan dosa yang pernah dia lakukan dan lama-lama akhirnya menjadi sebuah kebiasaan.
Al-Ghazali rahimahullah berkata, ”Di antara sebab dosa kecil menjadi besar adalah seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut dan tidak bersedih karena dosa (yang pernah dia lakukan).” (Al-Arba’in fii Ushuulid Diin, hal. 226)
Beliau rahimhaullah juga mengatakan, ”Sesungguhnya dosa, selama seorang hamba menganggap perbuatan dosa tersebut sebagai sesuatu yang besar dari dalam dirinya, maka dosa tersebut akan menjadi kecil di sisi Allah Ta’ala. Ketika dia menganggap dosa tersebut sebagai perbuatan yang besar, hal itu berasal dari larinya hatinya dari dosa tersebut dan kebencian hatinya terhadap dosa. Semua itu menyebabkan tercegahnya seorang hamba dari konsekuensi perbuatan dosa. Adapun ketika dia menganggap remeh perbuatan dosa, hal itu bersumber dari kegemarannya berbuat dosa. Sehingga menimbulkan pengaruh yang sangat kuat di dalam hati.” (Ihya’ ‘Ulumuddin, 4/32)
Inilah seharusnya yang dilakukan oleh seorang yang beriman. Yaitu, dia senantiasa takut dan selalu menjaga dirinya dari perbuatan maksiat, menganggap besar dosa (kecil) yang dia lakukan dan lari (menjauh) darinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya orang yang beriman melihat dosa-dosanya seperti ketika duduk di bawah gunung, dia takut kalau gunung tersebut jatuh menimpanya. Adapun orang yang fajir melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat (terbang) di depan hidungnya.” (HR. Bukhari no. 6308).
Demikianlah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah orang-orang yang paling menjauh dari perbuatan dosa, sekecil atau sebesar apa pun perbuatan dosa tersebut.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا، هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المُوبِقَاتِ
“Sesungguhnya kalian melakukan suatu perbuatan yang lebih halus di mata kalian dibandingkan sehelai rambut, namun kami menilainya pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dalam dosa yang membinasakan.” (HR. Bukhari no. 6492).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ”Kalian melakukan perbuatan yang kalian anggap remeh, padahal (perbuatan dosa tersebut) besar atau dapat dihukumi sebagai dosa besar” (Fathul Baari, 11/330).
Sebab ke tiga: Bergembira (senang) atas perbuatan dosa yang dilakukan
Bergembira atau merasa senang atas perbuatan dosa yang dilakukan menyebabkan dosa kecil tertentu dihukumi sebagai dosa besar. Seseorang yang terjatuh dalam perbuatan dosa, ketika dia merasa senang atau gembira dengan dosa yang dia lakukan, maka dia akan terus-menerus mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut. Bahagianya seseorang atas perbuatan yang dilakukan akan memalingkan orang tersebut dari merenungi dan memikirkan hukuman dan kemurkaan Allah Ta’ala. Sehingga dia pun tidak malu lagi ketika melakukan dosa tersebut, yang pada akhirnya dia pun melakukan perbuatan dosa tersebut secara terang-terangan (al-mujaaharah).
Dalil sebab ke tiga ini adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-mujaharah. Karena di antara konsekuensi dari al-mujaharah adalah seseorang merasa gembira dengan dosa kecil yang dilakukan. Adanya rasa gembira ini pada akhirnya akan menyebabkan seseorang terjatuh dalam perbuatan ishraar.
Sebab ke empat: Melakukan dosa secara terang-terangan (al-mujaharah)
Terang-terangan dalam melakukan perbuatan dosa akan menyebabkan dosa kecil bisa dihukumi sebagai dosa besar. Orang yang terang-terangan berbuat dosa, maka dia akan menyebabkan orang lain untuk ikut-ikutan dan mendorong mereka untuk meniru perbuatan dosa tersebut. Selain itu, orang tersebut juga akan menghias-hiasi perbuatan dosa tersebut (sehingga tampak indah dan menyenangkan di mata manusia) dan pada akhirnya mereka menganggap dosa tersebut sebagai perbuatan yang baik. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa secara terang-terangan akan mendapatkan hukuman dan adzab yang pedih dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang.” (QS. An-Nisa [4]: 148).
Dalam ayat di atas, tidak adanya kecintaan dari Allah Ta’ala menunjukkan adanya murka Allah Ta’ala. Kemurkaan Allah Ta’ala atas orang-orang yang melakukan perbuatan buruk secara terang-terangan menunjukkan besarnya perbuatan dosa yang dilakukan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Seluruh umatku akan dimaafkan, kecuali yang berbuat dosa secara terang-terangan. Sesungguhnya, yang termasuk dalam berbuat dosa secara terang-terangan adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari, kemudian pada pagi harinya Allah tutupi dosa tersebut (Allah tidak tampakkan pada pandangan manusia, pen.). Orang tersebut kemudian berkata, ‘Wahai fulan, semalam aku berbuat demikian dan demikian.’ Padahal sungguh di malam harinya, Rabb-nya telah menutupi dosa yang dia lakukan, namun di pagi harinya dia sendiri yang membuka tutup Allah tersebut.” (HR. Bukhari no. 6069).
Hadits ini menunjukkan tidak adanya ampunan Allah Ta’ala bagi orang yang berbuat dosa secara terang-terangan. Dan juga menunjukkan besarnya dosa yang menyebabkan datangnya hukuman yang sangat keras tersebut.
Sebab ke lima: Tertipu ketika Allah Ta’ala menutupi dosa yang dilakukan
Ketika seseorang merasa tertipu ketika Allah Ta’ala menutupi dosa yang kita lakukan dan juga tertipu dengan kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, maka hal ini akan mendatangkan hukuman yang besar.
Az-Zubaidi rahimahullah berkata,”Tertipu ketika Allah menutup dosa (seorang hamba) dan meremehkan kasih sayang Allah Ta’ala, meskipun dia (melakukan) dosa kecil, akan tetapi bisa menjadi (dosa) besar. Hal ini karena akan menyebabkan seseorang merasa aman dari makar Allah, yang merupakan dosa besar.” (Ittihaf As-Saddah Al-Muttaqin, 8/572).
Dan sungguh Allah Ta’ala telah mengancam adanya kerugian bagi orang-orang yang merasa aman dari makar (tipu daya) Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf [7]: 99).
Kasih sayang atau berbagai nikmat yang diberikan kepada pelaku maksiat inilah yang disebut dengan istidroj. Bentuknya, Allah Ta’ala membukakan pintu-pintu kenikmatan duniawi kepada orang yang banyak mengerjakan maksiat. Akhirnya, dia pun tertipu dan terperdaya. Orang tersebut merasa bahwa dia tidak berbuat dosa, sehingga dia pun terus tenggelam dalam kemaksiatannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ …
“Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidroj …” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (IV/145) no. 17349. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 413).
Allah Ta’ala berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]: 44).
Sebab ke enam: Dosa kecil yang dilakukan oleh ulama atau ustadz yang dijadikan sebagai teladan
Seorang ulama, jika berbuat dosa kecil, maka dosa tersebut bisa dihukumi sebagaimana dosa besar. Hal ini karena ulama tersebut memiliki kedudukan di masyarakat sebagai teladan atau dijadikan sebagai panutan dalam praktek beramal dalam rangka mengikuti perintah Allah Ta’ala. Jika perbuatan tersebut diikuti oleh orang-orang awam, maka dosa kecil tersebut bisa dihukumi sebagaimana dosa besar.
Al-Ghazali rahimahullah berkata,”Jika dosa kecil muncul dari seorang ulama yang diteladani (amalnya), maka hal itu adalah perkara yang besar, karena akan kekal setelah kematiannya.” (Al-Arba’in fi Ushuulid Diin, hal. 226).
Tidak hanya dihukumi sebagai dosar setelah ulama tersebut meninggal saja, namun juga ketika ulama tersebut masih hidup. Karena ketika itu, perbuatan dosa tersebut akan diikuti oleh orang-orang awam dan menjadi tersebar luas di masyarakat.
Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
_____
Catatan kaki:
[1] Silakan disimak tulisan sahabat kami di sini: http://rumaysho.com/qolbu/apa-itu-dosa-besar-6253.html
[2] Lihat: http://www.saaid.net/mohamed/186.htm
[3] Disarikan dari kitab At-Taubah, fii Dhau’il Qur’anil Kariim, Dr. Amaal binti Shalih Naashir, Daar Andalus Khadhra’, cetakan pertama, tahun 1419, hal. 133-136.
_____
Catatan kaki:
[1] Disarikan dari kitab At-Taubah, fii Dhau’il Qur’anil Kariim, Dr. Amaal binti Shalih Naashir, Daar Andalus Khadhra’, cetakan pertama, tahun 1419, hal. 138-140.
_____
Catatan kaki:
[1] Disarikan dengan beberapa penambahan seperlunya dari kitab At-Taubah, fii Dhau’il Qur’anil Kariim, Dr. Amaal binti Shalih Naashir, Daar Andalus Khadhra’, cetakan pertama, tahun 1419, hal. 140–142.
Sumber: https://muslim.or.id/