Type Here to Get Search Results !

 


BOLEHKAH MENGAMALKAN HADITS YANG TAK DIKETAHUI DERAJATNYA?

  

Bolehkah Menyampaikan Atau Mengamalkan Hadits Yang Tidak Diketahui Derajatnya?

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Kaidah besar dalam ilmu hadits

Dalam kitab Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Al-Albani rahimahullah menuliskan sebuah muqaddimah yang berisikan beberapa kaidah ilmiyah dalam memahami sunnah, beliau mengatakan,

وقبل الشروع في المقصود لا بد من أن أقدم بين يدي ذلك بعض القواعد الأساسية التي لا يستغني عن معرفتها من كان يعنيه أمر التفقه في السنة

“Dan sebelum kita memulai inti pembahasan yang dimaksud, maka haruslah saya sampaikan di hadapan Anda beberapa kaidah dasar yang pasti dibutuhkan oleh orang yang mempunyai perhatian (besar) dalam mendalami As-sunnah.”

Salah satu dari beberapa kaidah tersebut yang beliau sebutkan adalah

القاعدة الحادية عشرة لا يجوز ذكر الحديث الضعيف إلا مع بيان ضعفه

“Kaidah kesebelas: Tidak boleh menyebutkan hadits dha’if (lemah) kecuali dengan menjelaskan kelemahannya.”

Syaikh Al-Albani rahimahullah ta’ala menjelaskan dalam kaidah tersebut bahwa banyak didapatkan para penulis, terlebih lagi di zaman sekarang yang menyandarkan suatu hadits dha’if kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa memperingatkan umat terhadap kelemahan hadits tersebut, hal itu disebabkan ketidaktahuannya tentang ilmu sunnah (hadits) atau malas membaca kepada kitab-kitab khusus yang membahas masalah hadits.

Kemudian Syaikh Al-Albani membawakan perkataan Syaikh Abu Syaamah rahimahullah:

بل ينبغي أن يبين أمره إن علم ، وإلا دخل تحت الوعيد في قوله صلى الله عليه وسلم: (( من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين )). رواه مسلم

“Bahkan selayaknyalah ia menjelaskan perkaranya (kelemahan hadits dha’if, pent) jika mengetahuinya, namun jika tidak menjelaskannya padahal ia tahu, maka ia termasuk ke dalam ancaman yang terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits, (sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta’” (HR. Muslim, Tamamul Minnah, hal. 32).

Dalam kitab Tamamul Minnah, hal. 33-34, Syaikh Al-Albani mengomentari perkataan di atas dengan mengatakan,

“(Apa yang disampaikan oleh Syaikh Abu Syamah) ini adalah hukum tentang (terlarangnya) orang yang tidak menjelaskan (kelemahan) hadits-hadits dha’if  yang berkaitan dengan keutamaan suatu amal shalih ! Maka bagaimana lagi jika hadits-hadits dha’if tersebut berkaitan dengan hukum-hukum syar’i dan yang semisalnya? Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa yang (nekad) melakukannya (yaitu: tidak menjelaskan kelemahan hadits dha’if), maka ia termasuk salah satu dari dua tipe orang berikut ini:

Tipe pertama, ia mengetahui kelemahan hadits-hadits dha’if itu dan ia tidak memperingatkan kelemahannya, maka ia berarti telah menipu kaum muslimin, dan tentulah ia termasuk kedalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut di atas (HR. Muslim, pent). Berkata Ibnu Hibban dalam kitabnya (Adh-Dhu’afaa`: 7/ 1-8) “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang ahlul hadits jika meriwayatkan hadits yang tidak valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didapatkan kedustaan di dalamnya, sedangkan ia mengetahui hal itu, maka ia termasuk ke dalam salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta. (Bahkan sesungguhnya) lahiriyah dari hadits ini menunjukkan kepada sesuatu yang lebih ketat lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(من روى عني حديثا وهو يرى أنه كذب …)

“Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits, (sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta”, beliau tidaklah bersabda: ‘sedangkan ia yakin bahwa hadits itu dusta.’ Jadi setiap orang yang ragu-ragu tentang hadits yang ia sampaikan; apakah hadits itu shahih atau tidak, maka ia termasuk ke dalam kandungan yang terdapat dalam hadits ini secara tekstual.”

Dan tipe kedua adalah ia tidak mengetahui lemahnya hadits tersebut (namun berani menyampaikannya, pent.), maka ia juga berdosa karena kelancangannya dalam menyandarkan hadits tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ilmu. Padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

(كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع)

“Cukuplah seseorang (dikatakan) berdusta, (jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.”
Maka dia mendapatkan bagian dari dosa orang yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa orang yang menyampaikan segala yang ia dengar -termasuk orang yang menulisnya, bahwa ia pasti terjatuh kedalam dosa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dengan sebab itulah ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta, yaitu pertama, orang yang berdusta (atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kedua, orang yang menyebarkan hadits tersebut.”
Ibnu Hibban rahimahullah berkata juga (Adh-Dhu’afaa`1/9), ‘Dalam hadits ini terdapat larangan bagi seseorang untuk menyampaikan setiap apa yang ia dengar sampai mengetahui dengan yakin tentang kevaliditasannya.’

Dan An-Nawawi menyatakan dengan jelas bahwa orang yang tidak mengetahui kelemahan sebuah hadits, maka tidak boleh baginya berdalil dengannya, tanpa membahasnya dengan cara memeriksanya, jika ia orang yang memiliki ilmu (memeriksa derajat hadits) atau dengan cara bertanya kepada ulama, jika ia orang yang tidak memiliki ilmu (memeriksa derajat hadits). Silahkan lihat kitab At-Tamhid dalam muqoddimah kitab Adh-Dha’ifah, hal. 10-12”.

Syaikh Al-Albani juga mengatakan dalam Tamamul Minnah, hal.37,

ويبدو لي أن الحافظ رحمه الله يميل إلى عدم جواز العمل بالضعيف بالمعنى المرجوح لقوله فيما تقدم: . . ولا فرق في العمل بالحديث في الأحكام أو في الفضائل إذ الكل شرع

“Dan yang nampak jelas bagiku bahwa Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah memilih pendapat tidak bolehnya mengamalkan hadits dha’if (lemah) dengan makna marjuh, berdasarkan ucapan beliau yang disebutkan sebelumnya, “…Dan tidak ada perbedaan dalam masalah (larangan) mengamalkan hadits dha’if, baik dalam masalah hukum, maupun dalam masalah keutamaan amal shalih (semua terlarang), karena semua itu adalah syari’at.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة

“Syari’at ini tidak boleh berlandaskan kepada hadits-hadits dha’if (lemah), yaitu yang bukan kategori shahih dan bukan pula hasan.” (Majmu’ul Fatawa 1/250).

Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

الأحاديث الضعيفة لا يُستدل بها، ولا يجوز أن تنسب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا على وجه يُبيَّن فيه أنها ضعيفة، ومَن حدَّث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث يُرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين ، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار)، فلا يجوز العمل بالحديث الضعيف

Tidak boleh berdalil dengan hadits-hadits yang dha’if (lemah), tidak boleh pula hadits-hadits tersebut disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali jika dijelaskan bahwa hadits-hadits tersebut dha’if.  Barangsiapa yang menyampaikan dari Rasulullah sebuah hadits yang dipandangnya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta. Dan telah benar hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka”.  (HR. Al-Bukhari), jadi tidak boleh beramal dengan hadits dha’if” (Islamqa.info/ar/131106).

Adapun untuk “Dalil-dalil tentang tidak bolehnya  meriwayatkan suatu hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya”, maka akan kami sampaikan di artikel bagian kedua. Wa billahit Taufiq.




Dalil-dalil tentang tidak bolehnya meriwayatkan suatu Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya, apalagi mengamalkannya

Ulama Ahlul Hadits rahimahumullah telah menjelaskan dua prinsip besar dalam ilmu Hadits,

Tidak boleh menerima hadits dho’if (lemah) sebagai dalil dalam Syari’at Islam dan tidak boleh pula mengamalkannya.
Tidak boleh meriwayatkan dan tidak boleh pula mengamalkan Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya.
Adapun dalil yang menunjukkan kedua prinsip besar tersebut atau salah satu dari keduanya adalah sebagai berikut :

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

اتقوا الحديث عني إلا ما علمتم، فمن كذَب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“Hati-hatilah menyampaikan Hadits dariku kecuali yang telah kalian ketahui, maka barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka” [Berkata Syaikh Al-Albani: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, sebagaimana di Faidhul Qadiir, dinukil dari : http://www.alalbany.net/4935].

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

وَيَقُولُ –عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ-: “مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ؛ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ“ رواه مسلم.

“Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah Hadits, (sedangkan) Hadits tersebut nampaknya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta”. [HR. Muslim].

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani rahimahullah mengomentari Hadits di atas,

فكيف بمن عمل به ؟

(jika meriwayatkan saja tidak boleh, pent.) Maka bagaimana lagi dengan orang yang mengamalkannya?

Dari komentar Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani rahimahullah mengomentari Hadits di atas dapat disimpulkan bahwa tidak boleh meriwayatkan dan tidak boleh pula mengamalkan Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya.

Adapun Ibnu hibban rahimahullah mengomentari,

ولم يقل : إنه تيقن أنه كذب –  فكل شاك فيما يروي أنه صحيح أو غير صحيح داخل في الخبر

Dan dalam Hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bersabda: “ sedangkan ia yakin bahwa Hadits itu dusta!”.

Jadi setiap orang yang ragu-ragu tentang Hadits yang ia sampaikan ; apakah Hadits itu shahih atau tidak, maka ia termasuk kedalam ancaman yang terdapat dalam Hadits ini.

[Tamamul Minnah, hal.37 ].

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

إن كذبا علي ليس ككذب على أحد من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama makhluk selainku, maka barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka. [HR. Al-Bukhari 1229].

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع

Cukuplah seseorang (dikatakan) berdusta, (jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar. [HR. Muslim (6), Shahihul Jami’ 4482].

Berkata Ibnu Hibban rahimahullah,

في هذا الخبر زجر للمرء أن يحدث بكل ما سمع حتى يعلم على اليقين صحته

Dalam Hadits ini terdapat larangan bagi seseorang untuk menyampaikan setiap apa yang ia dengar sampai mengetahui dengan yakin tentang kevaliditasannya. [Tamamul Minnah, hal. 33].

5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

كفى بالمرء إثما أن يحدث بكل ما سمع

Cukuplah seseorang (dikatakan) berdosa, (jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar. [As-Silsilah Ash-Shahiihah 2025].

Berkata An-Nawawi rahimahullah,

فَإِنَّهُ يَسْمَع فِي الْعَادَة الصِّدْق وَالْكَذِب فَإِذَا حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ لإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ  يَكُنْ ، وَالْكَذِب الإِخْبَار عَنْ الشَّيْء بِخِلَافِ مَا هُوَ وَلا يُشْتَرَط فِيهِ التَّعَمُّد

“Karena sesungguhnya seseorang biasanya mendengar berita yang jujur maupun yang dusta, maka jika ia  menyampaikan setiap apa yang ia dengar, berarti telah berdusta, disebabkan mengkabarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan/keadaan yang sebenarnya. Sedangkan definisi dusta adalah mengkabarkan tentang sesuatu yang menyelisihi kenyataan/keadaan yang sebenarnya, dan (untuk disebut dusta) tidak disyaratkan harus unsur kesengajaan berdusta“.

[Sumber: Islamqa.info/ar/14212].

Wa billahit Taufiq.

***

Referensi

Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Al-Albani.
http://www.alalbany.net/4935
Islamqa.info/ar/14212
Islamqa.info/ar/34725


Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Sikap yang benar setiap muslim dan muslimah di dalam meriwayatkan Hadits

Dalam artikel bagian pertama telah dijelaskan bahwa Ulama Ahlul Hadits rahimahumullah telah menjelaskan dua prinsip besar dalam ilmu Hadits,

1. Tidak bolehnya menerima Hadits dho’if sebagai dalil dalam Syari’at Islam dan tidak bolehnya mengamalkannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة

“Syari’at ini tidak boleh berlandaskan kepada Hadits-Hadits dho’if (lemah),yaitu yang bukan kategori shahih dan bukan pula hasan” . (Majmu’ al-Fatawa 1/250).

2. Tidak boleh meriwayatkan dan tidak boleh pula mengamalkan Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya.

Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin  rahimahullah

الأحاديث الضعيفة لا يُستدل بها ، ولا يجوز أن تنسب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا على وجه يُبيَّن فيه أنها ضعيفة ، ومَن حدَّث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث يُرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين ، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار) ، فلا يجوز العمل بالحديث الضعيف

“Tidak boleh berdalil dengan hadits-hadits yang dha’if (lemah), tidak boleh pula hadits-hadits tersebut disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali jika dijelaskan bahwa hadits-hadits tersebut dha’if. Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits, (sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta. Dan telah benar hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka” [HR. Al-Bukhari], jadi tidak boleh beramal dengan Hadits dho’if” (Islamqa.info/ar/131106).

Dengan demikian, haruslah seseorang yang akan menyampaikan Hadits mengetahui derajatnya; shahih atau tidaknya, sehingga :

Jika Hadits itu dho’if (lemah), janganlah diamalkan, dan jika ada kebutuhan meriwayatkannya, maka haruslah dijelaskan kepada pendengar atau pembaca bahwa Hadits itu dho’if.

Jika Hadits itu shahih, maka ia berarti telah membangun keyakinan atau amal sholeh dirinya dan orang lain di atas dasar yang benar, disamping itu, ia telah ikut andil dalam menjaga Syari’at Islam ini dari dalil-dalil yang lemah atau bahkan palsu.
Mungkin terbetik dalam benak Anda : “Bagaimana dengan mayoritas kaum muslimin yang tidak memiliki kemampuan menilai derajat sebuah Hadits?”. Untuk mengetahui jawabannya, silahkan ikuti penjelasan berikut ini :

Cara global mengetahui derajat Hadits

Penjelasan Imam Ahmad rahimahullah

Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,

سألت أبي عن الرجل تكون له الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله عليه و سلم واختلاف الصحابة والتابعين ، وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف المتروك منها ،  فيفتى به ويعمل به؟ قال: لا يعمل حتى يسأل، ما يؤخذ به منها ؟ فيكون يعمل على أمر صحيح ، يسال عن ذلك أهل العلم

“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang memuat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perselisihan pendapat para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui Hadits yang lemah, yang harus ditinggalkan dari kitab tersebut. Lalu apakah dia boleh berfatwa dengannya dan mengamalkannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya: Hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut?, sehingga dia beramal dengan dasar yang benar, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut”. [Masailul Imam Ahamad ibni Hanbal, riwayah ibnihi Abdillah ibni Ahmad, hal. 438, no.1584 (PDF)].

Penjelasan An-Nawawi rahimahullah

Tentang penjelasan An-Nawawi rahimahullah, disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah sebagai berikut,

وقد صرح النووي بأن من لا يعرف ضعف الحديث لا يحل له أن يهجم على الاحتجاج به من غير بحث عليه بالتفتيش عنه إن كان عارفا ، أو بسؤال أهل العلم إن لم يكن عارفا.  وراجع (التمهيد) في مقدمة الضعيفة [ص 10-12]

“Dan An-Nawawi menyatakan dengan jelas bahwa orang yang tidak mengetahui kelemahan sebuah Hadits, maka tidak boleh baginya berdalil dengannya, tanpa membahasnya dengan cara memeriksanya  – jika ia orang yang memiliki ilmu (memeriksa derajat Hadits)- atau dengan cara bertanya kepada ulama, jika ia orang yang tidak memiliki ilmu (memeriksa derajat Hadits). Silahkan lihat kitab At-Tamhid dalam muqoddimah kitab Adh-Dha’ifah, hal. 10-12“  (Tamamul Minnah, hal. 34).

Penjelasan Al-Allamah Zakariya Al-Anshari rahimahullah

Al-Allamah Zakariya Al-Anshari rahimahullah berkata,

من أراد الاحتجاج بحديث من السنن أو المسانيد إن كان متأهلا لمعرفة ما يحتج به من غيره فلا يحتج به حتى ينظر في اتصال إسناده وأصول رواته ، وإلا فإن وجد أحدا من الأئمة صححه أو حسنه فله تقليده ، وإلا فلا يحتج به

“Seorang yang ingin berdalil dengan suatu Hadits yang terdapat dalam kitab Sunan atau Musnad, (maka terdapat dua keadaan).

Jika dia seorang yang mampu mengetahui Hadits yang boleh dijadikan dalil dan mana yang tidak boleh, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad Hadits  dan kredibilitas para perawinya.

Namun jika dia tidak mampu, maka, apabila ia menemui salah seorang imam yang menilai Hadits tersebut berderajat shahih atau hasan, dia boleh taqlid  kepadanya (mengikuti pendapatnya).

Sedangkan,jika ia tidak menemui seorang imam yang menshahihkan atau menyatakan hasan Hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan Hadits tersebut.” (Fath Al-Baqi fi Syarh Alfiyah Al-‘Iraqi, dinukil dari: Islamqa.info/ar/112086).

Penjelasan Syaikh Al-Albani rahimahullah

Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan,

“Memeriksa derajat Hadits itu ada dua cara:

Pertama: Seseorang pencari derajat Hadits memeriksa sanad, para perowi, dan menentukan derajat Hadits tersebut sesuai dengan tuntutan kaedah-kaedah Ilmu Hadits dan Ushulnya,berupa shahih atau dho’if, tanpa taqlid kepada imam tertentu, baik dalam menyatakan shahih atau lemahnya Hadits tersebut.

Dan cara seperti ini adalah cara yang langka di zaman ini, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali beberapa orang saja,sungguh sangat disayangkan.

Dan yang kedua: Seseorang mengambil referensi dari kitab yang penulisnya mengkhususkan Hadits-Hadits shahih saja (di dalamnya), seperti kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dan yang semisal keduanya, atau  berdasarkan atas keterangan Para peniliti dari kalangan Ahlul Hadits, seperti Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim Ar-Raazi, dan para ulama peneliti derajat Hadits zaman dahulu yang lainnya.

Demikian juga An-Nawawi, Adz-Dzahabi, Az-Zaila’i, Al-Asqalani, dan semisal mereka dari kalangan para ulama zaman sesudahnya (muta`akhkhirin).

Inilah cara yang mudah, bagi setiap orang yang mencintai kebenaran, akan tetapi sedikit membutuhkan kerja keras dalam membaca kembali dan mencari (derajat) sebuah Hadits” (http://www.alalbany.net/4935).

Jadi kesimpulannya, penerapannya pada zaman sekarang, jika seseorang yang tidak memiliki  kemampuan menilai derajat sebuah Hadits lalu hendak meriwayatkannya atau mengamalkannya, maka bisa melakukan salah satu dari beberapa cara berikut ini:

Cukup menukil hadits dari kitab-kitab Ulama yang dikhususkan penyebutan hadits-hadits yang shahih saja di dalamnya, seperti : Shahih Al-Bukhori, Shahih Muslim dan As-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Contoh: “Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhori dalam shahihnya”.
Membawakan ucapan Ulama yang mampu menilai derajat sebuah Hadits, misalnya: “HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani”.
Meminta fatwa atau bertanya kepada ulama tentang derajat sebuah Hadits.
Mencari derajat sebuah Hadits dalam software-software yang terpercaya, yang menyediakan fasilitas pencarian derajat sebuah Hadits dan penilaian ulama tentang derajatnya.

Mencari di buku-buku yang terpercaya dalam berbagai disiplin ilmu Syar’i, dalam berbagai bahasa, yang disitu penulisnya menukilkan dari ulama tentang keterangan derajat setiap Hadits yang menjadi dalil dalam sebuah masalah.
Jadi sebenarnya solusi bagi orang awam –Alhamdulillah– cukup mudah, yaitu kembali kepada firman Allah Ta’ala,

{ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ }

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kalian tidak mengetahui” (An-Nahl : 43)

Renungan

Sudahkah kita memilih kajian-kajian, majelis ta’lim dan buku-buku bacaan yang memiliki perhatian yang baik dalam menukilkan Hadits-Hadits yang Shahih?

Sudahkah semua para da’i, khathib dan penulis artikel Islam memperhatikan keshahihan setiap Hadits yang disampaikannya?

Semua itu sangat perlu dilakukan ,agar kita semua membangun ilmu dan amal shaleh kita di atas sumber dalil yang valid.

Semoga tulisan singkat ini bisa bermanfa’at besar bagi kita semuanya, dan semoga Allah menjadikan kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang dimaksud dalam firman-Nya,

{الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ}

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” (Az Zumar: 18).

Wa billahit Taufiq.

***

Referensi

Masailul Imam Ahamad ibni Hanbal (PDF)
Majmu’ul Fatawa Ibnu Taimiyyah
http://www.alalbany.net/4935
Islamqa.info/ar/112086
Islamqa.info/ar/131106
Qowa’idut Tahdits
___

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Tags