Sebagaimana kita ketahui bahwa inti dakwah para rasul adalah dalam masalah pemurnian ibadah kepada Allah Ta’ala semata, dan melarang umatnya untuk beribadah kepada selain Allah Ta’ala. Dengan kata lain, inti dakwah para nabi dan rasul adalah dalam masalah tauhid uluhiyyah (tauhid ibadah). Namun hal ini bukanlah berarti bahwa mereka tidak memiliki penyimpangan dalam masalah tauhid yang lain, yaitu tauhid asma’ wa shifat.
Oleh karena itu, dalam tulisan serial ini, akan kami paparkan sebagian penyimpangan kaum musyrikin terdahulu dalam masalah tauhid asma’ wa shifat.
Menihilkan, mengingkari, atau menolak sebagian sifat Allah Ta’ala
Di antara penyimpangan kaum musyrikin terdahulu adalah mereka menolak, menihilkan, atau mengingkari sebagian sifat Allah Ta’ala. Dalil masalah ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu. Bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushilat [41]: 22)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menceritakan bahwa mereka memiliki persangkaan bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki sifat ilmu (Maha mengetahui). Mereka mengingkari sifat ilmu dari Allah Ta’ala. Sehingga mereka itu berani berbuat dosa secara terang-terangan. Karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka.
Sifat ilmu (Maha mengetahui) adalah sifat Allah Ta’ala yang sangat agung, Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu. Tidak ada satu pun perkara yang tersembunyi dari-Nya atau yang tidak Allah ketahui. Allah Ta’ala berfirman,
يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu perlihatkan. Dan Allah Maha mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghaabun [64]: 4)
Dalam lanjutan ayat dalam surat Fushilat di atas, Allah Ta’ala kemudian berfirman,
وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu. Dia Telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Fushilat [41]: 23)
Ancaman Allah Ta’ala dalam ayat di atas menunjukkan bahwa siapa saja yang menolak atau mengingkari sebagian -atau bahkan seluruh sifat Allah Ta’ala- maka dia terkena ancaman yang sangat keras ini.
Oleh karena itu, penjelasan ini menunjukkan bahwa para pengingkar sifat Allah Ta’ala, baik itu Jahmiyyah, Mu’tazilah, Al-Asya’irah, atau Al-Maturidiyyah, pada hakikatnya mereka adalah pewaris agama jahiliyyah. Dan mereka pun berhak untuk mendapatkan ancaman tersebut di atas.
Menihilkan, mengingkari, atau menolak sebagian nama Allah Ta’ala
Selain menolak sebagian sifat Allah Ta’ala, mereka juga mengingkari sebagian nama Allah Ta’ala. Di antara dalil dalam masalah ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ
“Padahal mereka kafir kepada Ar-Rahman (Dzat yang Maha Penyayang).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 30)
Ar-Rahmaan adalah salah satu dari nama Allah Ta’ala. Sebab turunnya ayat di atas adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menulis perjanjian damai antara kaum muslimin dan kaum musyrikin di Hudaibiyyah, datanglah Suhail bin ‘Amr. Suhail berkata, “Marilah kita tulis perjanjian antara kami dan kalian.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memanggil juru tulis beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اكْتُبْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Tulislah bismillaahi ar-rahmaan ar-rahiim.”
Suhail berkata, “Adapun nama Allah Ar-Rahmaan, maka demi Allah, aku tidak mengenal siapa dia.”
Mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Kami tidaklah mengenal nama Ar-Rahman, kecuali Rahmaan Al-Yamaamah.” (HR. Bukhari no. 2731, 2732, secara ringkas)
Yang mereka maksud adalah Musailimah Al-Kadzdzaab, karena Musailimah (sang Nabi palsu), dijuluki dengan Ar-Rahmaan.
Lalu turunlah ayat,
وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ
“Padahal mereka kafir kepada Ar-Rahmaan (Tuhan yang Maha Penyayang). Katakanlah, “Dia-lah Tuhanku, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 30)
Baca juga: Pembagian Tauhid
Demikian juga ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Mekah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan berdoa dengan mengatakan, “Ya Allah, wahai Ar-Rahman”, orang-orang musyrik mengatakan, “Lihatlah laki-laki ini (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dia menyangka bahwa dia menyembah kepada Tuhan yang satu saja, padahal dia mengatakan, “Ya Allah, wahai Ar-Rahman”; dia menyembah dua Tuhan.”
Lalu turunlah firman Allah Ta’ala,
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Katakanlah, “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.” Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al-Israa’ [17]: 110)
Artinya, meskipun Allah Ta’ala memiliki banyak nama, yang kita kenal dengan Asmaul Husnaa, hal ini tidaklah menunjukkan berbilangnya Tuhan. Karena semua nama-nama itu dimiliki oleh satu pemilik nama saja, yaitu Allah Ta’ala. Dan karena setiap nama itu mengandung sifat yang mulia, maka berbilangnya nama tersebut menunjukkan kesempurnaan sifat Sang Pemilik Nama, yaitu Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, golongan yang menyimpang dalam masalah ini yaitu Jahmiyyah (yang mengingkari semua nama Allah Ta’ala) atau Mu’tazilah (yang meyakini nama Allah Ta’ala, namun nama yang kosong dari kandungan sifat), pada hakikatnya mereka adalah pewaris agama jahiliyyah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asmaa-ul husnaa, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husnaa itu.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَة وَتِسْعِينَ اِسْمًا ، مِائَة إِلَّا وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّة
”Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghitungnya, niscaya masuk surga.” (HR. Bukhari no. 2736, 7392 dan Muslim no. 6986)
Menamai sesembahan mereka dengan derivat dari nama Allah Ta’ala
Kelancangan kaum musyrikin berikutnya adalah mereka menamai sesembahan-sesembahan mereka dengan membuat derivat dari nama Allah Ta’ala. Sehingga di sisi lain, perbuatan mereka ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah mengingkari semua nama Allah Ta’ala, namun sebagian nama Allah Ta’ala saja.
Contohnya, mereka menamai sesembahan mereka di Tha’if dengan Al-Laata (اللات), yaitu derivat dari nama Allah Ta’ala Al-Ilaah (الإله).
Atau menamai sesembahan mereka di kota Mekah dengan nama Al-‘Uzza (العزى), yaitu derivat dari nama Allah Ta’ala Al-‘Aziiz (العزيز).
Atau menamai sesembahan mereka di Madinah dengan nama Manaat (منات), yaitu derivat dari nama Allah Ta’ala Al-Mannaan (المنان).
Menisbatkan sifat kekurangan pada Allah Ta’ala
Di antara kelakuan orang musyrik terdahulu adalah mereka menisbatkan kekurangan, aib, atau celaan kepada Allah Ta’ala. Contohnya, mereka nisbatkan bahwa Allah Ta’ala memiliki anak. Hal ini pada hakikatnya adalah celaan terhadap kesempurnaan sifat Allah Ta’ala sekaligus meruntuhkan sifat rububiyyah Allah Ta’ala.
Hal ini karena jika Allah Ta’ala benar memiliki anak, maka konsekuensinya Allah Ta’ala itu butuh anak atau mirip dengan anak tersebut. Padahal, tidak ada satu pun yang sama, serupa, atau mirip dengan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala mengatakan,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Maha melihat.” (QS. Asy-Syuura [42]: 11)
Menisbatkan adanya anak bagi Allah Ta’ala adalah kelakuan orang-orang musyrik terdahulu. Orang Yahudi mengatakan, “’Uzair adalah anak Allah.” Orang Nashrani mengatakan, “’Isa adalah anak Allah.” Orang musyrikin Arab mengatakan, “Malaikat adalah anak perempuan Allah.”
Dan sungguh Allah Ta’ala telah bantah keyakinan ini dalam surat Al-Ikhlas,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ؛ اللَّهُ الصَّمَدُ ؛ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ؛ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah, “Dia-lah Allah, Tuhan yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-4)
Perbuatan mereka ini sungguh merupakan penghinaan dan celaan luar biasa kepada hak Allah Ta’ala. Bagaimana tidak demikian, di saat yang sama orang-orang Nashrani mensucikan rahib-rahib (para pendeta) mereka dari memiliki anak dan memiliki istri karena keduanya merupakan bentuk perendahan terhadap hak dan kedudukan pendeta mereka. Demikian pula, orang-orang musyrikin Arab membenci anak perempuan, lalu mereka nisbatkan bahwa Allah memiliki anak perempuan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” (QS. An-Nahl [16]: 57)
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ مَا يَكْرَهُونَ
“Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri membencinya,” (QS. An-Nahl [16]: 62)
Selain itu, orang-orang Yahudi juga menisbatkan adanya sifat kekurangan yang lain pada Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
لَقَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mendengar perkatan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, “Sesunguhnya Allah itu miskin dan kami kaya”.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 181)
Atau perkataan orang Yahudi lainnya yang mengatakan bahwa Allah itu bakhil (kikir atau pelit), bukan Tuhan yang Maha pemurah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
“Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” (maksudnya, kikir atau pelit, pent.) Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka, dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 64)
Perkataan mereka bahwa Al-Qur’an adalah ucapan manusia
Di antara perkataan orang jahiliyyah adalah perkataan mereka bahwa Al-Qur’an adalah ucapan manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Walid bin Mughirah.
Kaum muslimin (ahlus sunnah) meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang hakiki. Maksudnya, Allah Ta’ala benar-benar berbicara dan disampaikan kepada Jibril ‘alaihissalaam, kemudian diwahyukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkataan orang-orang musyrik bahwa Al-Qur’an adalah ucapan manusia, tidak lain maksudnya bahwa Al-Qur’an itu makhluk, bukan kalam Allah yang merupakan salah satu sifat Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, ketika mereka berkata,
فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ
“Lalu dia berkata, “(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 24-25)
Maka Allah Ta’ala pun mengatakan sebagai balasan atas apa yang mereka katakan,
سَأُصْلِيهِ سَقَرَ
“Aku akan memasukkan ke dalam (neraka) Saqar.” (QS. Al- Muddatstsir [74]: 26)
Orang-orang musyrik sebetulnya mengakui bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, dan bukan ucapan Muhammad. Seandainya Al-Qur’an itu adalah ucapan Muhammad, niscaya mereka akan mampu membuat yang semisal atau mirip dengan Al-Qur’an, karena Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sama-sama manusia seperti mereka.
Allah Ta’ala pun menantang orang-orang musyrik untuk mendatangkan atau membuat yang semisal dengan Al-Qur’an, atau sepuluh surat saja, atau cukup satu surat saja, akan tetapi mereka tidak mampu sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang hakiki, bukan ucapan Jibril, bukan pula ucapan Muhammad.
Adapun orang-orang kafir, mereka sombong dan ingkar. Kadang mereka katakan bahwa Al-Qur’an itu hanyalah sejenis sihir; kadang mereka katakan bahwa Al-Qur’an itu diambil Muhammad dari para ulama ahli kitab; dan ucapan lain yang beraneka ragam, yang menunjukkan pengingkaran mereka bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah.
Oleh karena itu, golongan yang menyimpang dalam masalah ini semacam Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyyah, mereka mewarisi aqidah dan keyakinan mereka tentang Al-Qur’an dari agama jahiliyyah, sebagaimana permasalahan ini telah kami bahas panjang lebar di tulisan kami yang lainnya [1, 2].
Celaan kaum musyrikin terhadap sifat hikmah Allah Ta’ala
Allah Ta’ala memiliki sifat al-hikmah, yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai. Di antara nama Allah Ta’ala adalah Al-Hakiim, sehingga maknanya adalah Dzat yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing yang sesuai dengannya.
Sehingga penciptaan makhluk seluruhnya itu dibangun di atas sifat hikmah Allah Ta’ala (Al-Hakim). Tidaklah Allah Ta’ala menciptakan sesuatu, kecuali karena hikmah. Allah Ta’ala tidaklah menciptakan sesuatu karena main-main dan perbuatan sia-sia semata. Allah Ta’ala menciptakan langit karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan langit karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan bumi karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan pohon-pohon karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan lautan karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan gunung karena hikmah. Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia karena hikmah. Dan semuanya, Allah Ta’ala ciptakan karena hikmah.
Oleh karena itu, ketika kita merenungkan keteraturan makhluk Allah Ta’ala, kita akan dapatkan hikmah Allah Ta’ala, kita menjadi yakin bahwa Dzat yang menciptakan semua itu memiliki hikmah yang sempurna.
Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى
“Musa berkata, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaaha [20]: 50)
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shaad [38]: 27)
Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha bijaksana dalam penciptaan-Nya. Demikian pula, Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha bijaksana dalam perintah, larangan, dan syariat-Nya. Tidaklah Allah Ta’ala memerintahkan sesuatu kecuali karena adanya maslahat yang murni atau maslahat yang lebih dominan. Sebaliknya, tidaklah Allah Ta’ala melarang sesuatu kecuali karena adanya madharat yang murni atau madharat yang lebih dominan.
Dan di antara konsekuensi dari sifat hikmah Allah Ta’ala adalah Allah Ta’ala akan memberikan balasan kepada hamba-hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Allah Ta’ala memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dan ketakwaan, sebagaimana Allah Ta’ala membalas orang-orang yang berbuat kejelekan dan kerusakan. Allah Ta’ala tidaklah membiarkan manusia begitu saja, mereka berbuat apa pun di dunia, lalu tidak diberikan balasan atas amal perbuatannya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan hikmah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ
“Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 16)
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 115)
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ
“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shaad [38]: 27)
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, bahwa dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyaamah [75]: 36)
Demikianlah orang-orang jahiliyyah dahulu, mereka mengingkari sifat hikmah Allah Ta’ala dalam penciptaan dan perintah-Nya. Dan keyakinan orang-orang jahiliyyah ini diikuti oleh golongan menyimpang semisal Mu’tazilah dan Asy’ariyyah. Kedua kelompok tersebut mengingkari sifat hikmah Allah Ta’ala. Asy’ariyyah mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidaklah berbuat sesuatu karena hikmah, akan tetapi hanya karena adanya kehendak (masyi’ah) saja, bukan karena hikmah. Karena menurut Asy’ariyyah, hikmah itu berarti berbuat karena tujuan tertentu. Sedangkan Allah Ta’ala itu tersucikan dari adanya tujuan (ghardhun)
Baca juga: Penyimpangan Asy'ariyah.
Karena alasan tersebut, Asy’ariyyah menolak dan mengingkari sifat hikmah Allah Ta’ala, dan mereka menyangka bahwa mereka sedang mensucikan Allah Ta’ala dengan pengingkarannya tersebut. Oleh karena itu, menurut Asy’ariyyah, sah-sah saja jika Allah Ta’ala memerintahkan kekafiran, memerintahkan kefasikan, dan memerintahkan kemaksiatan secara umum. Demikian pula, sah-sah saja bagi Allah Ta’ala melarang dari ketaatan, melarang dari mendirikan shalat, atau melarang dari berbuat baik secara umum. Karena itu semua kembali kepada masyi’ah (kehendak) Allah Ta’ala, Allah Ta’ala bebas berbuat apa saja yang Allah Ta’ala kehendaki.
Maka kita katakan kepada Asy’ariyyah, betul bahwa Allah Ta’ala melakukan apa pun yang Allah Ta’ala kehendaki. Akan tetapi, Allah Ta’ala tidaklah melakukan sesuatu pun kecuali karena ada hikmah di dalamnya.
Asy’ariyyah pun mengatakan bahwa boleh-boleh saja atau sah-sah saja Allah Ta’ala memasukkan orang kafir ke dalam surga atau memasukkan orang beriman ke dalam neraka selamanya. Karena semua itu terserah Allah Ta’ala, dan Allah Ta’ala tidak bisa diatur-atur dengan hikmah.
Kita katakan kepada Asy’ariyyah bahwa ini adalah ucapan dusta, tidak sesuai dengan hikmah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang salih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shaad [38]: 28)
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 21)
Inilah keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menolak dan mengingkari sifat hikmah Allah Ta’ala, dan kemudian diikuti oleh Asy’ariyyah dan yang semisal dengan mereka.
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
_____
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Syarh Masaail Al-Jahiliyyah, karya Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala, hal. 143-147, hal. 150-151, hal. 172-173 (cetakan pertama, penerbit Daarul ‘Ashimah, tahun 1421)
Sumber: https://muslim.or.id/