Bismillah.
Sebagai manusia, kita tentu menyadari bahwa waktu yang Allah berikan kepada kita di alam dunia ini sangat berharga. Sampai-sampai orang barat yang kafir pun punya semboyan ‘time is money’ yaitu waktu adalah uang. Itu menurut mereka, yang memiliki target dan cita-cita dunia semata.
Adapun bagi orang beriman, waktu ini ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menebas musuh atau justru melukai dan mencelakakan diri kita sendiri. Bukan salah waktunya, tetapi kesalahan ada pada manusia yang tidak pandai memanfaatkan waktu untuk kebaikan dan kebahagiaan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr : 1-3)
Imam Al-Qurthubi menukil tafsiran Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud al-’Ashr adalah ad-Dahr/waktu atau masa (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 22/463)
Imam al-Baghawi menukil tafsiran sebagian ulama tentang maksud Allah bersumpah dengan waktu, yaitu disebabkan pada waktu itu terdapat pelajaran bagi setiap orang yang memperhatikan (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1431)
Kerugian itu akan dialami manusia ketika tidak mengisi kehidupan ini dengan iman dan amal salih. Imam Ibnu Katsir menjelaskan maksud dari ayat tersebut bahwa Allah mengecualikan orang-orang yang beriman dengan hatinya dan beramal salih dengan anggota badannya dari kerugian dan kehancuran. Mereka yang saling menasihati dalam ketaatan dan meninggalkan keharaman. Demikian pula mereka yang bersabar ketika tertimpa musibah dan sabar tatkala menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dari segala bentuk gangguan (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/480)
Dengan begitu seorang muslim memahami tujuan hidupnya di alam dunia ini. Sebagaimana yang telah diterangkan Allah dalam ayat (yang artinya),
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Ibadah kepada Allah tujuan hidup kita. Banyak orang lupa atau pura-pura lupa. Inilah sebenarnya tujuan hidup mereka. Bukan sekedar mengumpulkan harta, mengejar kesenangan dunia tanpa peduli hukum agama, atau menjual agama demi menjilat recehan dunia. Hidup ini ujian dari Allah bagi kita; apakah kita mau patuh kepada-Nya atau justru membangkang. Allah berfirman (yang artinya),
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ
“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang lebih bagus amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2)
Ibadah kepada Allah adalah modal kebahagiaan hamba. Kebahagiaan yang didambakan setiap insan. Kebahagiaan yang abadi di akhirat nanti. Oleh sebab itu Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, tiada penghidupan sejati kecuali penghidupan akhirat.” (HR. Bukhari)
Kebahagiaan berjumpa dengan Allah dan melihat wajah-Nya. Itu hanya akan dapat digapai dengan iman dan amal salih ikhlas karena-Nya. Allah berfirman,
قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi menjelaskan, “Harapan itu disertai dengan mengerahkan kesungguhan dan bertawakal dengan sebaik-baiknya. Namun ia berubah menjadi angan-angan tatkala upayanya dilakukan dengan bermalas-malasan.” (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 59)
Kehidupan seorang hamba di alam dunia ini adalah dengan ilmu dan keimanan. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ilmu dan petunjuk yang beliau bawa seperti curahan air hujan yang membasahi bumi. Adapun berjalan dengan kaki, memungut dengan tangan, dan mengeluarkan suara dengan lisan, maka hewan pun bisa melakukan. Karena itulah sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Kalau bukan karena para ulama -setelah taufik dari Allah tentu saja- niscaya manusia tidak ada bedanya dengan binatang.”
Hidup untuk beribadah kepada Allah artinya adalah tunduk patuh kepada perintah dan larangan-Nya. Mujahid menafsirkan maksud ‘kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku’ yaitu ‘supaya Aku perintah dan Aku larang mereka’, dan inilah tafsiran yang dipilih oleh Syaikhul Islam (lihat Ibthal at-Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 8)
Allah berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan bahwa hakikat takwa adalah memasang perlindungan dari azab Allah dengan melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya (lihat Ahkam minal Qur’an al-Karim, 1/113)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, pada saat-saat pandemi masih berkecamuk seperti sekarang ini kita bisa melihat bersama ada orang-orang yang taat dengan protokol dan arahan para ahli dan pemerintah dalam mencegah penularan wabah. Di sisi lain, ada juga orang-orang yang abai dan tidak peduli dengan aturan dan tidak peka dengan keadaan. Akibatnya, bisa kita lihat bagaimana wabah di negeri ini pun semakin membuncah. Ini baru soal aturan dunia yang berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia. Bagaimana lagi dengan aturan agama; yang itu menjaga keselamatan manusia di dunia dan di akhirat. Bukankah tidak sedikit orang yang abai dan tidak mematuhinya?
Memang, ujian itu akan menampakkan kepada kita bagaimana sifat dan karakter manusia. Mereka yang beriman dan tunduk kepada Allah akan membuktikan imannya dan ketaatannya kepada hukum agama. Sebaliknya, mereka yang beribadah kepada Allah di pinggiran; apabila tertimpa musibah maka ia pun berbalik ke belakang meninggalkan keimanan, wal ‘iyadzu billah.
Allah berfirman,
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعۡبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرۡفٖۖ فَإِنۡ أَصَابَهُۥ خَيۡرٌ ٱطۡمَأَنَّ بِهِۦۖ وَإِنۡ أَصَابَتۡهُ فِتۡنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجۡهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةَۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang beribadah kepada Allah di tepian. Apabila menimpanya kebaikan dia pun merasa tenang dengannya. Akan tetapi apabila menimpanya fitnah/ujian maka dia pun berpaling ke belakang. Dia pun merugi dunia dan akhirat, dan itulah kerugian yang sangat nyata.” (QS. Al-Haj : 11)
Para ulama tafsir, diantaranya Qatadah dan Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud beribadah kepada Allah di tepian yaitu di atas keragu-raguan. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang munafik. Apabila urusan dunianya baik maka dia pun beribadah tetapi apabila urusan dunianya rusak maka dia pun berubah. Bahkan pada akhirnya dia pun kembali kepada kekafiran. Mujahid menafsirkan ‘berpaling ke belakang’ maksudnya adalah menjadi murtad dan kafir (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/400-401).
Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Sebagian manusia apabila terkena fitnah/cobaan-cobaan maka dia pun menyimpang dari agamanya, hal itu disebabkan dia sejak awal tidak berada di atas pondasi yang benar -dalam beragama, pent-…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hal. 10)
Beliau juga menjelaskan, “Fitnah-fitnah ini apabila datang maka manusia menghadapinya dengan sikap yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang tetap tegar di atas agamanya walaupun dia harus mendapati kesulitan-kesulitan bersama itu, dan ada pula orang yang menyimpang; dan mereka yang semacam itu banyak…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hal. 11)
Hasan Al-Bashri menjelaskan termasuk golongan orang yang beribadah kepada Allah di tepian itu adalah orang munafik yang beribadah kepada Allah dengan lisannya, tetapi tidak dilandasi dengan hatinya (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 859-860)
Syaikh As-Sa’di menafsirkan bahwa termasuk cakupan ayat ini adalah orang yang lemah imannya. Dimana imannya itu belum tertanam di dalam hatinya dengan kuat, dia belum bisa merasakan manisnya iman itu. Bisa jadi iman masuk ke dalam dirinya karena rasa takut -di bawah tekanan- atau karena agama sekedar menjadi adat kebiasaan sehingga membuat dirinya tidak bisa tahan apabila diterpa dengan berbagai macam cobaan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 534)
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya menyebutkan firman Allah,
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (at-Taghabun : 11).
Alqomah -seorang ulama tabi’in- mengatakan, “Ayat ini berkenaan dengan seorang yang tertimpa musibah; dia mengetahui bahwa musibah datang dari sisi Allah, maka dia pun ridha dan pasrah.” Diantara faidah ayat itu ialah sabar menjadi sebab datangnya hidayah ke dalam hati, selain itu diantara balasan bagi orang yang sabar adalah mendapatkan tambahan hidayah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 278)
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabilah Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya maka Allah segerakan untuknya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman itu akibat dosanya sampai Allah sempurnakan hukumannya nanti di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani).
Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya musibah-musibah adalah salah satu cara menghapuskan dosa-dosa. Selain itu dengan adanya musibah akan membuat orang kembali dan bertaubat kepada Rabbnya. Bahkan dihapuskannya dosa-dosa itu merupakan salah satu bentuk nikmat yang paling agung, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (lihat Ibthal at-Tandid, hal. 175).
Allah berfirman (yang artinya),
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣
“Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami telah beriman’ kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang pendusta.” (QS. Al-’Ankabut : 2-3)
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim)
Sabar yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan… (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 279)
Ketundukan seorang hamba kepada Allah dibuktikan dengan ketundukan dirinya terhadap perintah dan larangan Allah. Pengagungan seorang mukmin terhadap perintah dan larangan Allah merupakan tanda pengagungan dirinya kepada pemberi perintah dan larangan. Sebuah ketundukan yang harus dilandasi dengan keikhlasan dan kejujuran. Ketundukan yang dibangun di atas akidah yang lurus dan bersih dari kemunafikan akbar. Karena bisa jadi seorang melakukan perintah karena ingin dilihat orang. Atau karena mencari kedudukan di mata mereka. Atau dia menjauhi larangan karena takut kedudukannya jatuh dalam pandangan mereka. Maka orang yang semacam ini ketundukannya kepada perintah dan larangan bukan berasal dari pengagungan kepada Allah; Yang memberikan perintah dan larangan itu (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 15-16)
Diantara cara paling efektif untuk menumbuhkan pengagungan kepada Allah adalah mempelajari dan mengamalkan konsekuensi dari nama dan sifat Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Kamilah Al-Kiwari bahwa ilmu tentang nama Allah dan sifat-sifat-Nya, pemahaman makna dan pengamalan terhadap tuntutan/konsekuensinya serta berdoa kepada Allah dengan nama-nama itu/asma’ul husna akan membuahkan pengagungan kepada Allah di dalam hati, munculnya penyucian dan kecintaan kepada-Nya, harap dan takut, tawakal dan inabah kepada-Nya. Dengan cara inilah seorang bisa merealisasikan tauhid di dalam sanubari dan terwujudlah ketenangan jiwa tunduk kepada keagungan Allah jalla wa ‘ala (lihat al-Mujalla, hal. 22-23)
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Sumber: https://muslim.or.id/