Type Here to Get Search Results !

 


WALA' WAL BARO' #3

Baca pembahasan sebelumnya: Wala wal baro #2

Sikap atau Perbuatan yang Wajib Kita Berikan atau Kita Tampakkan kepada Orang Kafir ketika Berinteraksi dengan Mereka

Terdapat beberapa perkara yang wajib kita berikan atau wajib kita tampakkan kepada orang kafir (selain kafir harbi) ketika kita berinteraksi dengan mereka. Perkara-perkara ini termasuk di antara hal yang menunjukkan kesempurnaan dan keindahan ajaran Islam, dan membantah anggapan sebagian orang bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu mengajarkan paham radikalisme kepada orang-orang kafir.

Pertama, wajib melindungi orang kafir dzimmi dan kafir musta’man selama mereka berada di negeri kaum muslimin. Juga wajib melindungi orang kafir musta’man ketika mereka keluar dari negeri kaum muslimin menuju negeri yang mereka merasa aman di sana. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah. Kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 6)

Kedua, bersikap adil ketika memberikan penilaian atau memberikan keputusan hukum ketika terjadi sengketa antara mereka dengan kaum muslimin atau di antara mereka sendiri, ketika mereka berada di bawah kekuasaan hukum Islam. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah [5]: 8)

Yang dimaksud dengan “adil” dalam ayat tersebut adalah memutuskan hukum sesuai dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketiga, mendakwahi mereka agar masuk Islam. Dakwah kepada orang kafir agar masuk Islam adalah fardhu kifayah atas kaum muslimin. Oleh karena itu, mengunjungi atau mendatangi rumah orang kafir dalam rangka mendakwahinya termasuk di antara perkara yang baik atau bahkan dianjurkan.

Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa seorang pemuda (budak) milik orang Yahudi, yang pernah menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jatuh sakit. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menjenguknya dan berkata,

أَسْلِمْ

“Masuk Islam-lah kamu.”Lalu dia pun masuk Islam. (HR. Bukhari no. 5657)

Ke-empat, haram atas kaum muslimin untuk memaksa orang-orang kafir, baik orang Yahudi, Nasrani atau selainnya, untuk mengubah agama mereka agar masuk ke dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Pada asalnya, tidak ada kebebasan memilih agama di dunia ini, karena semua orang wajib memilih agama Islam. Buktinya, jika mereka memilih agama kekafiran, Allah Ta’ala akan menghukumnya di akhirat kelak. Islam adalah satu-satunya agama yang Allah Ta’ala ridhai. Meskipun demikian, apakah wajib bagi kaum muslimin untuk memaksa orang kafir mengubah agama mereka agar masuk Islam? Jawabannya tentu saja tidak, bahkan tidak boleh berdasarkan ayat di atas. Dua hal ini harus kita bedakan.

Kelima, haram bagi seorang muslim untuk mendzalimi orang kafir (selain kafir harbi), baik mendzalimi badannya dengan memukulnya atau membunuhnya, atau bentuk-bentuk kedzaliman yang lainnya. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang terikat perjanjian (mu’ahad), dia tidak akan mencium bau surga. Padahal bau surga itu tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

Yang dimaksud “orang kafir mu’ahad” dalam hadits di atas mencakup semua jenis orang kafir selain kafir harbi, yaitu orang kafir dzimmi, mu’ahad dan musta’man.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ عَامًا

“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, dia tidak akan mendapati bau surga. Padahal bau surga itu tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun.” (HR. An-Nasa’i no. 4749, dan Ahmad no. 18072, shahih)

Juga diriwayatkan dari sahabat Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, beliau melewati sekelompok orang di Syam yang dijemur di bawah terik matahari, sedangkan di kepala mereka dituangi minyak. Beliau bertanya, “Ada apakah ini?”

Orang-orang menjawab, “Mereka ini (orang kafir dzimmi) yang terlambat membayar jizyah.”

Maka sahabat Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bersaksi bahwa sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ فِي الدُّنْيَا

“Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia.” (HR. Muslim no. 2613)

Ke-enam, haram bagi kaum muslimin untuk menipu orang kafir dalam transaksi jual beli; atau mengambil harta mereka tanpa alasan yang bisa dibenarkan; dan wajib bagi kaum muslimin untuk melaksanakan amanah dari mereka, jika kita menerima amanah tersebut (misalnya, ketika kita dititipi barangnya untuk dijaga). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ، فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang mendzalimi orang kafir yang terikat perjanjian, atau melecehkannya, atau membebani mereka dengan pekerjaan yang di luar kemampuannya, atau mengambil harta mereka tanpa kerelaan hatinya, maka aku akan memperkarakannya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3052, shahih)

Artinya, kaum muslimin yang dzalim tersebut akan digugat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat atas perbuatan dzalim yang mereka lakukan di dunia terhadap orang-orang kafir.

  • Ketujuh, haram bagi kaum muslimin untuk menyakiti orang kafir dengan kata-kata, baik mencela, mengumpat, mencaci maki, menghardik; dan haram berdusta (berbohong) kepada mereka. Hal ini berdasarkan perintah Allah Ta’ala,

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Dan berbicaralah kepada manusia dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 83)

“Manusia” dalam ayat tersebut bersifat umum, baik muslim atau non-muslim.

Oleh karena itu, hendaknya kita berbicara kepada mereka dengan lemah lembut, yaitu dengan menunjukkan akhlak yang luhur, selama tidak: (1) menunjukkan rasa cinta kepada mereka; (2) terdapat unsur merendahkan diri di hadapan mereka; dan (3) lebih mengutamakan mereka dibandingkan diri kita sendiri. Misalnya, tidak diam saja ketika mereka berbicara yang tidak benar, apalagi jika berbicara tentang agama kita.

Kedelapan, wajib untuk berbuat baik kepada tetangga yang kafir, dalam bentuk tidak mengganggu atau menyakiti mereka. Sebagaimana dianjurkan untuk berbuat baik kepada mereka dengan memberikan sedekah jika mereka miskin; memberikan hadiah kepada mereka; atau memberikan saran-saran dalam perkara yang bermanfaat untuk urusan duniawi mereka. Hal ini berdasarkan makna umum dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku berkaitan dengan tetangga, sampai-sampai aku mengira bahwa tetangga itu (berhak mendapatkan) warisan.” (HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2625)

Sumber pertama


Memulai Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim

Berkaitan dengan memulai mengucapkan salam kepada orang kafir dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum”, hal ini termasuk perkara yang tidak diperbolehkan. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah engkau memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Memulai mengucapkan salam kepada non-muslim hukumnya haram, tidak boleh.” (I’laamul Musaafirin, hal. 84)

Kemudian beliau rahimahullahu Ta’ala menyebutkan dalil hadits di atas. Beliau rahimahullahu Ta’ala juga menambahkan,

“Dan telah diketahui bahwa kaum muslimin itu memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi di sisi Allah Ta’ala, maka tidak selayaknya bagi mereka untuk merendahkan diri mereka sendiri di hadapan orang non-muslim dengan memulai mengucapkan salam (assalamu’alaikum) kepada mereka.” (I’laamul Musaafirin, hal. 85)

Faidah tambahan dari perkataan beliau di atas adalah tidak masalah menyebut orang kafir dengan “non-muslim” (ghairu muslim). Hal ini tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang berlebih-lebihan dalam masalah ini yang mengatakan bahwa menyebut mereka dengan “non-muslim” itu menunjukkan sikap lembek terhadap mereka. Bahkan apabila terdapat maslahat dengan menyebut “non-muslim”, lebih baik menggunakan diksi tersebut daripada diksi “kafir”.

Adapun memulai menyapa mereka, misalnya dengan mengucapkan “selamat datang”, “permisi”, “selamat pagi”, maka dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama melarangnya, karena hal ini termasuk dalam makna larangan mengucapkan salam dalam hadits di atas. Dan juga karena dalam mendahului menyapa itu menunjukkan pemuliaan kepada mereka [1].

Akan tetapi, wallahu Ta’ala a’lam, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah boleh, namun jika terdapat maslahat di dalamnya, misalnya dalam rangka mendakwahi mereka dengan menunjukkan akhlak yang luhur atau agar membuat mereka nyaman sehingga mau mendengarkan nasihat (dakwah) kita; atau jika terdapat maslahat bagi si muslim agar terhindar dari keburukan dan gangguan orang kafir tersebut, misalnya jika orang kafir tersebut adalah atasannya di kantor. Dan juga karena “salam” dalam hadits di atas itu hanya khusus berkaitan dengan ucapan salam (Assalamu’alaikum), bukan sekedar sapaan.

Di antara ulama yang berpendapat bolehnya hal ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Ta’ala. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Al-Jibrin hafidzahullahu Ta’ala (Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, hal. 213).

Sebagaimana diperbolehkan juga megucapkan selamat kepada orang kafir ketika mendapatkan anak keturunan, atau perkara-perkara duniawi lainnya.

Menjawab atau Merespon Salam dari Non-muslim

Adapun menjawab atau merespon salam, maka dirinci dalam tiga keadaan:

  • Pertama, jika ucapan salamnya jelas mengucapkan “Assaamu ‘alaikum” yang artinya, “Kematian atasmu”.

Dalam kondisi ini, jawaban atau respon ucapan salam tersebut adalah “Wa’alaikum.” (yang artinya, “Kamu juga.”)

Hal ini karena dulu orang-orang Yahudi mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengucapkan,

السام عليك يا محمد

“Kematian atasmu, wahai Muhammad.”

Mereka mendoakan kematian bagi Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَحَدُهُمْ فَإِنَّمَا يَقُولُ السَّامُ عَلَيْكُمْ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Sesungguhnya orang Yahudi jika mengucapkan salam kepada kalian, maka salah seorang di antara mereka hanyalah mengatakan, “Assaamu ‘alaikum.” Maka jawablah, “Wa’alaikum.” (HR. Abu Dawud no. 5206, shahih)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ

“Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah ‘wa’alaikum’.” (HR. Bukhari no. 6258 2163)

Kedua, jika ucapan salamnya kurang jelas terdengar, apakah mengucapkan “Assaamu ‘alaikum” atau “Assalaamu ‘alaikum”, maka kita merespon dengan mengucapkan “Wa’alaikum.”

  • Ketiga, jika ucapan salamnya jelas mengatakan “Assalaamu ‘alaikum”, maka dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat.

Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan, kita tetap merespon dengan mengucapkan “Wa’alaikum.” Pendapat ini tampaknya merupakan fiqh yang tersebar di tengah-tengah masyarakat kita saat ini, yaitu menjawab “Wa’alaikum” apa pun keadaan salam dari non-muslim yang diucapkan kepada kita.

Sebagian ulama menegaskan bolehnya menjawab dengan “Assalaamu a’laikum”, karena hal ini termasuk dalam keumuman makna ayat untuk menjawab salam sebagai bentuk penghoramatan, yaitu minimal merespon dengan ucapan salam yang semisal. Allah Ta’ala befirman,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 86)

Dzahir ayat di atas bermakna umum, yaitu siapa saja yang memberikan penghormatan kepada kita dengan ucapan salam, baik muslim atau non-muslim, maka minimal dijawab dengan yang semisal.

Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala berkata,

و الرد عليهم بـ ( و عليكم ) محمول عندي على ما إذا لم يكن سلامهم صريحا ، و إلا وجب مقابلتهم بالمثل : ( و عليكم السلام ) لعموم قوله تعالى : ( و إذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها )

“Menjawab salam mereka dengan ucapan ‘wa’alaikum’ itu aku pahami menurutku jika ucapan salam tersebut tidak jelas. Adapun jika jelas (mengucapkan “Assalaamu ‘alaikum”), maka wajib dijawab dengan yang semisal, yaitu “Wa’alaikumussalaam”, hal ini berdasarkan makna umum dari firman Allah Ta’ala … (yaitu surat An-Nisa’ ayat 86 yang telah kami kutip di atas, pen.)” (Silsilah Ash-Shahihah, 5: 241)

Pendapat inilah yang kami rasa lebih tepat dan lebih kuat dari segi hujjah. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah [2], dan sebelumnya juga dikuatkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala dalam Ahkaam Ahlu Dzimmah. Wallahu Ta’ala a’lam.

Adapun menjawab sapaan dari non-muslim, semisal mereka mengucapkan “selamat pagi”, maka diperbolehkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

“ … akan tetapi, jika mereka mengucapkan semisal ini (yaitu, ucapan sapaan, pen.), maka kita ucapkan kepada mereka semisal dengan apa yang mereka ucapkan. Hal ini karena Islam itu datang untuk (memerintahkan) keadilan dan memberikan kepada orang lain sesuai dengan haknya.” (I’laamul Musaafirin, hal. 85)

Tidak Boleh Membalas dengan yang Lebih Jelek

Jika orang kafir mengatakan “Assaamu ‘alaikum” (kematian atasmu), maka kita hanya diperbolehkan menjawab dengan “Wa’alaikum” (kamu juga). Tidak boleh bagi kita untuk membalas lebih dari itu, misalnya dengan melaknat dan mencaci maki mereka.

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, “Serombongan orang Yahudi meminta ijin untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengucapkan, ‘Assaamu ‘alaikum.’”

‘Aisyah menjawab,

بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ

“Kematian atas kalian (juga) dan laknat.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegur ‘Aisyah dengan mengatakan,

يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu suka dengan lemah lembut dalam segala urusan.”

‘Aisyah mengatakan, “Tidakkah Engkau mendengar ucapan mereka?”

Rasulullah menjawab,

قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ

“Sungguh aku telah menjawab ‘wa’alaikum.’” (HR. Muslim no. 2165)

Dalam riwayat Imam Ahmad, ‘Aisyah menjawab dengan mengatakan,

السَّامُ عَلَيْكُمْ يَا إِخْوَانَ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ، وَلَعْنَةُ اللهِ وَغَضَبُهُ

“Kematian atas kalian juga, wahai saudara kera dan babi, laknat Allah atas kalian, dan dan juga murka Allah atas kalian.”

Rasulullah pun menegur ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, diamlah.”

‘Aisyah mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidakkah Engkau mendengar ucapan mereka?”

Rasulullah pun bersabda,

أَوَمَا سَمِعْتِ مَا رَدَدْتُ عَلَيْهِمْ؟ يَا عَائِشَةُ، لَمْ يَدْخُلِ الرِّفْقُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَمْ يُنْزَعْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Tidakkah Engkau mendengar bahwa aku sudah merespon ucapan mereka? Wahai ‘Aisyah, tidaklah sikap lemah lembut itu terdapat dalam sesuatu, kecuali akan menghiasinya. Dan tidaklah sikap lemah lembut itu tercabut dari sesuatu, kecuali akan memperkeruhnya.” (HR. Ahmad no. 13531, shahih)

Ketika sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mendengar ucapan “Assaamu ‘alaikum” dari ahli kitab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا أَضْرِبُ عُنُقَهُ؟

“Wahai Rasulullah, bolehkah aku penggal lehernya?”

Rasulullah menjawab,

لَا إِذَا سَلَّمُوا عَلَيْكُمْ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ

“Jangan, jika mereka mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah “Wa’alaikum.”” (HR. Ahmad no. 13193, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim)

Kesimpulan, jika ada orang kafir mengucapkan salam kepada kita dengan mengatakan “Assaamu ‘alaikum”, maka hanya boleh direspon dengan perkataan “Wa’alaikum”. Tidak boleh membalas lebih dari itu, baik dengan mendoakan laknat, murka Allah, atau mencaci maki, dan tidak boleh pula mendzalimi mereka, misalnya dengan menghilangkan nyawa mereka. [3]

Bersambung ke: Wala wal baro #4

Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags