Pengertian al-wala’ wal bara’
Secara bahasa, al-wala’ berarti “mencintai, membela, dan dekat”. Dari sini, terdapat istilah al-wali, yang secara bahasa berarti orang yang dicintai, kawan (sahabat) atau penolong (pembela), yaitu lawan dari “musuh” (al-‘aduww).
Secara istilah, al-wala’ artinya mencintai orang-orang beriman karena keimanan mereka, dalam bentuk membela, menolong, memberikan nasihat, memberikan loyalitas, berkasih sayang, dan berbagai hak-hak orang-orang beriman (hak-hak persaudaraan) lainnya yang wajib kita tunaikan.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10)
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)
Sedangkan al-bara’, secara bahasa berarti “menjauh dari sesuatu, memisahkan diri darinya, dan berlepas diri”.
Secara istilah, al-bara’ berarti tidak memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah Ta’ala, baik orang-orang munafik atau orang kafir secara umum, menjauhi mereka, dan memerangi mereka ketika orang-orang kafir tersebut memerangi kaum muslimin, sesuai dengan kemampuan kita.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (kekasih), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 23)
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga meraka.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.“ (QS. Al-Mumtahanah [60]: 1)
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya kami berlepas diri darimu dan dari semua yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala melarang kita untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir secara umum. Kemudian Allah Ta’ala tegaskan lagi di ayat yang lain adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada orang Yahudi dan Nasrani secara khusus. Allah Ta’ala berfirman,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51)
Hukum beraqidah al-wala’ wal bara’Berdasarkan berbagai ayat di atas, tidak diragukan lagi bahwa aqidah al-wala’ wal bara’ adalah di antara aqidah yang wajib dimiliki oleh setiap muslim. Bahkan aqidah al-wala’ wal bara’ termasuk di antara pondasi penting dalam kita beragama dan termasuk di antara prinsip-prinsip agama yang sangat agung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أوثق عري الإيمان الموالاة في الله و المعاداة في الله و الحب في الله و البغض في الله
“Ikatan iman yang paling kuat adalah memberikan loyalitas karena Allah, memberikan sikap permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 3: 429; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 998)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang ketiganya ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman: (1) barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya, (2) barangsiapa yang mencintai seorang hamba dan tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan (3) barangsiapa yang benci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan dirinya dari kekafiran itu sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Kepada siapakah kita bersikap al-wala’ atau al-bara’Dilihat dari sisi al-wala’dan al-bara’, terdapat tiga jenis golongan manusia, yaitu:
- Pertama, adalah orang-orang yang wajib kita cintai secara mutlak, tidak boleh kita benci (rasa tidak suka) sama sekali. Mereka adalah orang-orang beriman dari kalangan para Nabi, para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama, dan orang-orang shalih secara umum. Yang paling utama di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kecintaan kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haruslah lebih besar daripada kecintaan kita kepada anak atau orang tua kita, bahkan diri kita sendiri.
- Kedua, adalah orang-orang yang tidak boleh bagi kita untuk memberikan rasa cinta dan loyalitas secara mutlak. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman,
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ
”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (QS. Al-Maidah [5]: 80)
- Ketiga, adalah orang-orang yang kita cintai dari satu sisi, namun juga kita benci (tidak suka) dari sisi yang lain. Mereka adalah orang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan (dosa besar) secara terus-menerus alias orang fasik. Sehingga terkumpul dalam diri kita rasa cinta sekaligus rasa benci kepada mereka. Kita tidak boleh membenci mereka saja secara mutlak, dan tidak mencintainya sama sekali, bahkan berlepas diri dari mereka. Namun, kita mencintai mereka sesuai dengan kadar keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah Ta’ala, dan kita juga membenci mereka (ada rasa tidak suka) sesuai dengan kadar maksiat yang mereka tampakkan.
Kecintaan kepada mereka menuntut kita untuk menasihati dan tidak tinggal diam atas maksiat yang mereka kerjakan. Rasa cinta kepada mereka menuntut kita untuk mengingkarinya, memerintahkan mereka untuk berbuat yang ma’ruf, mencegah mereka dari perbuatan munkar, menasihati mereka untuk mengerjakan kebaikan dan meminta mereka untuk menjauhi keburukan. Rasa cinta tersebut juga menuntut kita untuk menghukum mereka, apabila memiliki kewenangan (seperti ulil amri), sehingga mereka berhenti dari melakukan maksiat tersebut, bertaubat dari kesalahannya dan mencegah orang lain dari berbuat yang serupa.
Hukuman tersebut bisa jadi dalam bentuk mendiamkannya (hajr), jika memang terdapat kebaikan (maslahat) ketika didiamkan. Seperti hajr Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada tiga orang sahabat yang tidak mengikuti perang Tabuk tanpa alasan, dan memerintahkan semua sahabat beliau untuk mendiamkan tiga orang sahabat tersebut, sebagaimana dalam riwayat Bukhari (no. 4418) dan Muslim (no. 2769) dari sahabat Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Bagaimana dengan seorang muslim yang menampakkan kemunafikan?
Adapun terhadap orag-orang muslim yang tertuduh munafik (mungkin ada kemunafikan dalam dirinya), karena mereka menampakkan berbagai perbuatan yang merupakan perbuatan orang-orang munafik (nifak akbar), maka kita memberikan wala’ sesuai dengan kadar kebaikan yang mereka tampakkan dan kita memusuhi mereka sesuai dengan kadar keburukan yang mereka tunjukkan. Dan jika kita bisa memastikan kemunafikannya, maka status orang ini dalam aqidah al-wal’ wal bara’ adalah disamakan dengan orang-orang kafir asli.
Loyalitas (wala’) kepada orang kafir dalam semua bentuknya termasuk perbuatan haram. Akan tetapi, sebagian bentuk loyalitas tersebut ada yang sampai ke level pembatal iman. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 9)
Syaikh ‘Abdurrahman An-Naashir As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,
وذلك الظلم يكون بحسب التولي، فإن كان توليا تاما، صار ذلك كفرا مخرجا عن دائرة الإسلام، وتحت ذلك من المراتب ما هو غليظ، وما هو دون ذلك
“Kezaliman ini sesuai dengan (level) loyalitas (yang dikerjakan). Jika loyalitas yang bersifat totalitas, ini adalah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Jika level loyalitasnya kurang dari itu, maka ada yang parah dan ada yang lebih ringan dari itu.” (Taisiir Karimir Rahman, 1: 856)
Contoh-contoh wala’ kepada orang kafir yang membatalkan iman itu banyak sekali, di sini akan kami sebutkan bentuk-bentuk perbuatan yang paling penting dan paling banyak terjadi.
- Pertama, tinggal menetap di negeri kafir disertai ridha dengan agama kekafiran
Tinggal menetap di negeri kafir dalam kondisi tidak terpaksa (karena suka-suka orang tersebut atau masih banyak pilihan alternatif lainnya untuk tinggal bersama di negeri kaum muslimin) disertai dengan: (1) ridha dengan agama kekafiran mereka; atau (2) memuji-muji (menyanjung) agama kekafiran mereka; atau (3) berusaha membuat senang orang kafir dengan mencela dan menyebutkan aib kaum muslimin; maka dalam kondisi tersebut, termasuk wala’ yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (kekasih) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 28)
Oleh karena itu, siapa saja yang memberikan loyalitas kepada orang kafir dan ridha dengan agama mereka, serta menjauh dari kaum muslimin dan mencela kaum muslimin, maka mereka itu adalah musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh seluruh kaum muslimin.
- Kedua, mengubah kewarganegaraan dengan negara kafir yang memerangi kaum muslimin, karena senang dan ridha dengan negara kafir tersebut
Misalnya, seseorang mengubah kewarganegaraan menjadi warga negara Yahudi yang sampai hari ini negara Yahudi tersebut memerangi dan membantai kaum muslimin, lalu komitmen dengan semua aturan dan undang-undang negara tersebut, termasuk misalnya aturan wajib militer dan ikut memerangi kaum muslimin, dan semacamnya.
Maka mengubah kewarganegaraan dalam kondisi semacam ini adalah perbuatan haram, dan sebagian ulama menyebutkan bahwa perbuatan ini termasuk kafir akbar yang mengeluarkan seseorang dari Islam berdasarkan ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin.
Hal ini jika pengubahan tersebut atas dasar senang dan ridha. Adapun jika karena terpaksa, misalnya karena tidak adanya negeri Islam yang memungkinkan baginya untuk hijrah, atau tidak adanya negeri kafir lainnya yang kondisinya lebih baik dari negeri kafir tersebut, maka status orang tersebut seperti orang terpaksa. Sehingga tidak haram baginya, selama hatinya membencinya dan tidak ada rasa senang dan ridha.
- Ketiga, tasyabbuh (menyerupai) orang kafir secara mutlak dan totalitas
Yaitu dengan menyerupai mereka dalam semua gerak-gerik mereka (totalitas), memakai jenis pakaian yang mereka pakai, meniru mereka dalam mode atau gaya rambut, tinggal bersama mereka, keluar masuk menyertai mereka di gereja, dan menghadiri perayaaan hari besar agama mereka. Barangsiapa yang melakukan semua itu (mengikuti mereka dalam semua ciri khas mereka, tidak ada yang tersisa), maka dia statusnya kafir sama dengan orang-orang kafir tersebut berdasarkan ijma’ para ulama.
Terdapat riwayat yang valid dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata,
ﻣَﻦْ ﺑَﻨَﻰ ﻓِﻲ ﺑِﻼﺩِ ﺍﻷَﻋَﺎﺟِﻢِ، ﻭَﺻَﻨَﻊَ ﻧَﻴْﺮُﻭﺯَﻫُﻢْ ﻭَﻣِﻬْﺮَﺟَﺎﻧَﻬُﻢْ ﻭَﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻬِﻢْ، ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻤُﻮﺕَ، ﻭَﻫُﻮَ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﺣُﺸِﺮَ ﻣَﻌَﻬُﻢْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
“Barangsiapa yang tinggal di negeri kafir, ikut membuat (meramaikan) hari raya Nairuz dan Mahrajan mereka, serta meniru-niru mereka hingga mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” (Sunan Al-Kubra, 9: 234)
Hari raya Nairuz adalah hari raya tahun baru orang-orang Majusi (bangsa Persia saat itu). Sedangkan hari raya Mahrajan adalah pesta musim semi orang-orang Persia jaman dahulu.
- Keempat, menyerupai sebagian ciri khas mereka, namun dalam perkara yang menyebabkan keluar dari agama Islam
Misalnya, seorang muslim memakai salib dalam rangka mencari berkah (tabarruk), padahal dia mengetahui bahwa simbol salib adalah syi’ar agama Nashrani. Selain itu, pemakaian salib menunjukkan, menggambarkan atau mengisyaratkan keyakinan orang-orang Nashrani yang batil bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam itu dibunuh dan disalib. Keyakinan semacam ini berarti mendustakan firman Allah Ta’ala,
وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 157)
Adapun jika memakai kalung salib tanpa keyakinan di atas, misalnya hanya karena iseng atau merasa tambah keren jika memakai kalung salib, maka ini perbuatan yang diharamkan, namun tidak sampai derajat kafir akbar.
Contoh perbuatan lainnya adalah sengaja pergi ke gereja, ke candi, atau tempat-tempat ibadah orang kafir lainnya tanpa ada keperluan dan karena adanya keyakinan bahwa pergi ke sana akan lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Adapun jika pergi ke gereja karena adanya keperluan, misalnya tidak menemukan tempat lain untuk shalat, hal ini tidak mengapa. Sebagaimana sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya yang pernah mendirikan shalat di gereja.
- Kelima, menyerukan bahwa semua agama itu sama benarnya
Bentuk loyalitas lainnya adalah menyerukan dan mendakwahkan bahwa semua agama itu sama atau menyerukan untuk mendekatkan berbagai macam agama yang ada. Sehingga siapa saja yang mengatakan bahwa agama selain agama Islam itu juga agama yang benar dan mungkin untuk “didekatkan”; atau bahkan Islam dan agama lainnya adalah agama yang satu, tidak ada perbedaan; atau sekedar ragu-ragu apakah agama selain Islam itu agama yang batil ataukah tidak, maka semua perbuatan ini termasuk dalam kafir akbar.
Karena semua keyakinan dan perbuatan semacam ini berarti mendustakan firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 85)
Seruan untuk menyatukan semua agama adalah seruan kuno yang sudah lama digaungkan, bukan pemikiran kekinian seperti keyakinan orang-orang Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawannya. Pemikiran ini sudah dicetuskan oleh orang-orang sufi ekstrem jaman dahulu yang beraqidah wahdatul wujud, semacam Ibnu Sabi’in dan At-Tilmisani. Lalu dihidupkan kembali di era sekarang oleh sebagian orang yang mengaku muslim, seperti Jamaluddin Al-Afghani Al-Majusi dan muridnya, Muhammad Abduh Al-Mishri, dan juga Raja’ Jaarudi Al-Faransi dan lainnya.
- Keenam, membantu orang kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin
Terdapat beberapa bentuk membantu orang kafir dalam rangka memerangi kaum muslimin, misalnya ikut berperang bersama orang kafir; membantu orang kafir dengan menyediakan dana dan senjata; mencarikan berita untuk orang kafir (menjadi mata-mata); atau yang lainnya.
Bantuan semacam ini ada dua jenis, yaitu:
- Pertama, dilandasi oleh motivasi cinta dan senang ketika orang kafir tersebut bisa menang melawan kaum muslimin. Inilah bentuk bantuan yang menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam.
- Kedua, membantu orang kafir karena dilandasi motivasi duniawi, kepentingan pribadi, rasa takut, atau karena adanya permusuhan pribadi antara dirinya dengan kaum muslimin yang diperangi. Ini adalah bentuk bantuan yang haram, termasuk dosa besar, namun belum sampai derajat membatalkan iman.
Dalil bahwa perbuatan jenis kedua tidaklah membatalkan iman adalah kisah sahabat Haathib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu ketika Fathu Makkah. Ketika itu, Haathib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepada kaum kafir Makkah untuk memberi tahu mereka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyerang kota Makkah sehingga kaum kafir Makkah dapat mempersiapkan diri. Motivasi Haathib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah karena kepentingan pribadi, yaitu agar orang-orang kafir bisa menjaga anak dan saudaranya yang masih ada di Makkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memvonis sahabat Haathib sebagai orang murtad dan tidak pula menghukumnya.
Bersambung ke: Wala wal baro #2
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
____
Referensi:
Disarikan dari kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafizhahullahu Ta’ala, cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H.
Sumber: https://muslim.or.id/