Type Here to Get Search Results !

 


MENGAPA PENDUDUK MEKAH MENOLAK ISLAM?


Penduduk Mekah adalah orang yang paling mengenal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding selainnya. Bagaimana tidak, mereka mengenal Muhammad bin Abdullah dengan baik. Karena Nabi dilahirkan dan dibesarkan di Mekah. Mereka kenal nasab beliau. Akhlak beliau. Keseharian dan kejujuran beliau. Tapi mengapa mereka menolak beriman kepadanya? Mengapa mereka tidak menolong dakwahnya bahkan memeranginya? Apakah mereka tidak mampu memahami kebenaran yang keluar dari lisan Nabi Muhammad? Dan masih banyak lagi pertanyaan tentang keadaan mereka.

Di awal kedatangan Islam, umat Islam belum menyatakan keislamannya secara terang-terangan. Kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berani melakukan hal itu karena dibela oleh pamannya, Abu Thalib, dengan pembelaan tanpa syarat. Rasulullah terima pembelaannya walaupun sang paman seorang yang kafir. Namun, kebaikan sang paman tak membuat beliau canggung untuk mendakwahkan tauhid. Tidak membuat beliau menjadi kompromistis dalam hal-hal yang prinsip.

Dari sini kita pahami, setidaknya ada tiga model manusia di Mekah kala itu; orang yang beriman yaitu nabi dan para sahabatnya. Orang yang ingkar dan memusuhi iman yaitu kafir Quraisy. Dan orang yang berada di tengah. Tidak beriman dan tidak pula memusuhi dakwah. Dia diterima di kalangan kafir Quraisy. Dan menjadi penolong orang-orang beriman. Yaitu Abu Thalib.

Pengingkaran keras kafir Quraisy terhadap dakwah nabi bukan dikarenakan mereka tidak mengerti dengan dakwah yang beliau bawa. Mereka tidak hanya tahu kebenaran Islam bahkan mereka yakin bahwa Islam itu adalah agama yang benar. Mereka paham betul kemukjizatan Alquran. Keindahan bahasanya. Namun mereka sombong dan menentang kebenaran tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ المُفْسِدِينَ

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” [Quran An-Naml: 14]

Sikap Ubay bin Khalaf

Alquran adalah kalam yang penuh mukjizat. Orang-orang Arab di masa itu adalah ahli bahasa. Mereka fasih dan mengerti balaghah. Tidak hanya para tokohnya, awamnya pun demikian keadaannya. Di antara tokoh mereka adalah Ubay bin Khalaf. Ubay sadar betul Alquran itu bukanlah buatan manusia. Alquran itu kalam Allah. Namun dia dan orang-orang Quraisy pada umumnya tidak merasa nyaman untuk jujur mengakuinya.

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersama Ubay bin Khalaf. Ibnu Ishaq rahimahullah mengatakan, “Ubay pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Ia berkata, “Hai Muhammad, aku memiliki seekor kuda yang namanya al-Audz yang setiap hari kusiapkan. Dan bila tiba saatnya nanti, aku akan membunuhmu dengan menungganginya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Akulah yang insyaallah akan membunuhmu.” (Ibnu Ishaq: as-Siyar wa al-Maghazi, Hal: 331).

Ubay bin Khalaf tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang selalu menepati ucapannya. Sehingga ucapan beliau ini senantiasa terngiang-ngiang di benaknya. Tahun demi tahun berlalu, Ubay tak bisa melupakan ucapan itu. Bahkan setelah sepuluh tahun berlalu, tepatnya di Perang Uhud, ucapan ini masih terbayang di pikiran Ubay bin Khalaf.

Saat Ibnu Ishaq rahimahullah mengisahkan Perang Uhud, ia mengatakan, “Tatkala Rasulullah melewati celah-celah di Uhud, Ubay melihat Rasulullah dan berkata, ‘Hai Muhammad, aku tidak akan selamat kalau kau selamat’. Para sahabat mengatakan, ‘Rasulullah, apakah engkau akan menyerahkan dia kepada salah seorang di antara kami’? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Biarkan dia’. Tatkala dia mendekat, Rasulullah mengambil tombak dari al-Harits bin ash-Shimmah.”

Ibnu Ishaq berkata, “Tombak Rasulullah mengenai leher Ubay. Ia pun menunggang kudanya dengan lunglai. Saat ia berjumpa dengan orang-orang Quraisy, terlihat luka di lehernya yang tidak besar. Darah mengering di lehernya. Ia berkata, ‘Demi Allah, Muhammad telah membunuhku’. Teman-temannya menanggapi, ‘Demi Allah, engkau telah hilang kesadaran! Engkau baik-baik saja’. Ubaya menanggapi, ‘Sungguh dia berkata padaku sewaktu di Mekah, ‘Aku akan membunuhmu’. Demi Allah, kalau saja dia meludahiku, tentu dengan itu ia mampu untuk membunuhku’. Dan musuh Allah ini pun tewas di sebuah tempat yang disebut Saraf. Saat rombongan pasukan Uhud Quraisy ini pulang menuju Mekah.” (Ibnu Ishaq: as-Siyar wa al-Maghazi, Hal: 331).

Dari kisah ini, kita mengetahui bahwa sebenarnya orang-orang Mekah sangat yakin akan kebenaran ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Nabi Muhammad mengatakan pada Ubay bahwa beliau akan membunuhnya, Ubay pun sangat yakin itu akan terjadi. Walaupun seandainya Rasulullah meludah -sesuatu yang bukan merupakan senjata untuk membunuh-, itu pun mampu membunuhnya.

Kebenaran itu begitu jelas. Hanya saja mereka menafikan akal mereka. Tidak mau menerima, malah memerangi beliau.

Abu Jahl dan Fanatik Kesukuan

Di antara faktor yang membuat orang-orang kafir Quraisy menolak Islam adalah mengekor budaya nenek moyang. Contohnya Abu Thalib. Ada pula rasa takut seperti Abu Lahab. Dan alasan-alasan lainnya. Tapi faktor yang menjadi pemicu utama adalah fanatik kesukuan. Dalam hal ini, contoh paling nyata adalah Abu Jahl.

Abu Jahl adalah seorang tokoh Mekah yang berasal dari Bani Makhzum. Satu kabilah terhormat yang selalu bersaing dengan kabilah Bani Hasyim, kabilahnya Nabi.

Az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Aku diceritakan tentang Abu Jahl, Abu Sufyan, dan al-Akhnas bin Syuraiq yang keluar di malam hari untuk mendengar bacaan shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Masing-masing mereka mengambil posisi untuk mendengar. Dan masing-masing mereka tidak tahu posisi temannya itu. Mereka pun melalui malam dengan mendengar bacaan Alquran Nabi. Sampai tiba waktu fajar barulah mereka berpisah. Lalu mereka bertemu di perjalanan. Mereka saling mencela. Masing-masing di antara mereka berkata kepada yang lain, ‘Jangan kalian ulangi lagi. Seandainya orang-orang bodoh di tengah kalian melihat apa yang kalian lakukan, pastilah terjadi sesuatu pada diri mereka’. Kemudian mereka pulang.

Ternyata di malam berikutnya ketiga orang ini mengulangi apa yang mereka lakukan di malam sebelumnya. Tanpa mengetahui kondisi sesama mereka. Mereka bergadang mendengar bacaan Alquran Rasulullah sampai terbit fajar. Setelah itu baru mereka pulang. Di jalan, mereka kembali bertemu. Dan masing-masing mengatakan seperti apa yang mereka katakan sebelumnya. Kemudian mereka pulang.

Di malam ketiga, mereka duduk kembali di posisi seperti malam-malam yang lalu tanpa saling mengetahui. Mereka bergadang mendengarkan bacaan Alquran Nabi hingga terbit fajar. Lalu mereka pulang. Dan kembali bertemu di jalan. Mereka tidak merasa nyaman hingga mereka berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Mereka pun berjanji. Lalu berpisah.

Saat pagi tiba, Akhnas bin Syuraiq mengambil tongkatnya. Kemudian keluar menemui Abu Sufyan di rumahnya. Ia berkata, ‘Kabarkan padaku, hai Abu Hanzhalah, apa pendapatmu tentang yang kau dengar dari Muhammad’. Abu Sufyan berkatan, ‘Hai Abu Tsa’labah, aku mendengar sesuatu yang kumengerti dan mengerti juga apa maksudnya’. Al-Akhnas berkata, ‘Aku bersumpah, aku pun demikian’. Kemudian al-Akhnats keluar.

Beberapa saat kemudian datang Abu Jahl memasuki rumah Abu Sufyan. Abu Sufyan berkata, ‘Hai Abul Hakam, apa pendapatmu tentang yang kau dengar dari Muhammad’? Abu Jahl menjawab, ‘Apa yang kudengar?! Kami (Bani Makhzum) dan Bani Abdu Manaf (kabilah besarnya Nabi) saling berlomba dalam kemuliaan. Mereka mampu memberi makan. Kami juga mampu melakukannya. Mereka menanggung musibah, kami juga melakukan hal itu. Mereka memberi, kami juga memberi. Sampai mereka menunggangi kuda untuk menghadapi musuh, kami pun demikian. Kami bagaikan kuda yang berpacu (dalam kemuliaan). Sampai akhirnya mereka (Bani Abdu Manaf) mengatakan, ‘Di kalangan kami ada seorang Nabi. Wahyu dari langit datang kepadanya’. Bagaimana bisa kami menyaingi ini? Demi Allah kami tidak akan beriman kepadanya selamanya. Kami juga tidak akan membenarkannya’. Al-Akhnas pun membelanya.” (Ibnu Ishaq: as-Siyar wa al-Maghazi, Hal: 189-190).

Riwayat ini menjelaskan tentang keadaan tokoh-tokoh kafir Mekah. Yang menghalangi mereka dari Islam bukan karena mereka tidak memahami ucapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan juga karena kurangnya bukti. Atau tidak kuatnya argumentasi. Atau lemahnya mukjizat. Sebaliknya mereka begitu takjub dengan Alquran. Sampai-sampai orang yang paling membenci dakwah di tengah mereka pun tidak kuasa menahan diri untuk tidak mendengarkannya. Bahkan mereka menikmati dan merasa ketagihan. Mereka merasakan kelezatan yang hilang dari mereka menjadi lengkap tatkala mendengar Alquran. Mereka tak kuasa menolak menikmatinya. Buktinya, tiga malam berturut-turut mereka rela bergadang di sisi rumah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya untuk mendengarkannya. Jadi, yang menghalangi mereka bukanlah karena tak masuk akal atau cacat Bahasa Alquran. Akan tetapi fanatik kesukuanlah yang membuat hati mereka tertutupi. Dan hal ini sangat jelas dari lisannya Abu Jahl.

Banyak kejadian yang menunjukkan bahwa sebenarnya Abu Jahl itu sangat yakin dengan kebenaran risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya riwayat dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, “Abu Jahl berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kami tidaklah mendustakanmu. Yang kami tolak adalah apa yang datang padamu itu (kenabian). lalu Allah menurukan firman-Nya,

فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ

“Mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” [Quran Al-An’am: 33].

Diriwayatkan juga dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Abu Jahl berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Hai Muhammad, kami tahu bahwa engkau seorang yang menyambung kekerabatan, seorang yang jujur, tidak berbohong, tapi kami mendustakan apa yang datang padamu itu’. kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya,

فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ

“Mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” [Quran Al-An’am: 33]. (HR. al-Hakim (3230)).

Adapun al-Akhnas bin Syuraiq, ia bukanlah seorang Quraisy. Ia berasal dari Bani Tsaqif. Kabilah yang paling terakhir memeluk Islam karena kuatnya fanatik kesukuan. Kabilah ini senantiasa mendukung Abu Jahl dan selalu berjalan dengannya. Demikianlah keadaan Abu Jahl. Ia tidak menutup-nutupi permusuhan yang hakikatnya kebodohan ini kepada setiap orang luar yang datang ke Mekah. Fokusnya adalah bagaimana agar Bani Hasyim tidak lebih menonjol dari kabilahnya. Permusuhan dan kefanatikannya ini pernah ia tunjukkan kepada orang Bani Tsaqif lainnya yaitu al-Mughirah bin Syu’bah ats-Tsaqafi sebelum al-Mughirah memeluk Islam.

Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam, al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu bercerita, “Sesungguhnya hari pertama aku mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah saat aku berjalan bersama Abu Jahl di Mekah. Kami bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, ‘Hai Abul Hakam, marilah menuju Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya. Aku menyerumu kepada Allah’. Abu Jahl menjawab, ‘Hai Muhammad, tidakkah kau berhenti mencela sesembahan kami. Apakah yang kau inginkan hanyalah kalau kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan? Kami bersaksi kalau kau telah menyampaikan’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling darinya. Lalu beliau melirikku. Abu Jahl berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku tahu semua yang dia katakan adalah kebenaran. Namun anak-anak Qushay akan mengatakan, ‘Kami mengatur hijabah (bertanggung jawab mengurusi Ka’bah)’. Kami jawab, ‘Iya’. Mereka juga mengatakan, ‘Kami memiliki al-qira’. Kami jawab, ‘Iya’. Kemudian mereka juga mengatakan, ‘Kami memiliki an-nadwah (seperti parlemen dalam bentuk sederhana). Kami jawab, ‘Iya’. Kemudian mereka berkata lagi, ‘Kami juga punya siqayah (bertanggung jawab memberi air minum untuk jamaah haji). Kami jawab, ‘Iya’. Mereka memberi makan. Kami juga memberi makan. Sampai dalam menyiapkan tunggangan untuk berperang. Kemudian mereka berkata lagi, ‘Di tengah kami ada seorang yang menjadi Nabi’. Demi Allah, aku tidak akan mengikutinya.” (Riwayat al-Baihaqi: Dala-il an-Nubuwwah, 2/207).

Ketika Bani Hasyim ada seorang Nabi, maka siapa yang bisa menyaingi keutamaan tersebut dari kalangan Bani Makhzum. Sehingga jalan satu-satunya agar supaya tetap bersaing adalah tidak mengakuinya dan mengingkari risalahnya.

Inilah ucapan Abu Jahl kepada orang-orang yang berkunjung ke Mekah. Ia tak malu mengorbankan logika dan akal sehatnya agar kabilahnya tetap bersaing. Fanatik kesukuan benar-benar menutup mata hatinya dari kebenaran. Sikap fanatik ini terus ia pertahankan hingga akhir hembusan nafasnya di dunia. Atikah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melihat kefanatikan tersebut beberapa saat sebelum terjadi Perang Badr.

Sebelum terjadi Perang Badr, Atikah binti Abdul Muthalib bermimpi dengan mimpi yang aneh. Sebuah mimpi yang mengisyaratkan kehancuran kafir Quraisy. Mendengar mimpi tersebut Abu Jahl berseru kepada paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib, “Kami dan kalian bagaikan kuda yang saling berpacu. Kita berlomba dalam kemuliaan sejak dulu. Ketika kita dalam posisi seimbang, lalu kalian mengatakan, ‘Di tengah kami ada yang jadi nabi’. Kurang satu lagi saja, kalian mengaku-ngaku di tengah kalian ada nabi perempuan. Aku tidak mengetahui di klan Quraisy ini sebuah keluarga yang lebih pendusta baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan melebihi keluarga kalian ini.” (Riwayat ath-Thabrani: al-Mu’jam al-Kabir (20881)).

Ucapan Abu Jahl ini ia tujukan kepada Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu masih satu keyakinan dengannya. Sama-sama tinggal di Mekah. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah. Semua ini menunjukkan tujuan Abu Jahl adalah ingin mengunggulkan kabilahnya di tengah persaingan dengan Bani Hasyim. Sikapnya sama seperti sikap Firaun tatkala menolak Nabi Musa ‘alaihissalam.

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاءُ فِي الأَرْضِ وَمَا نَحْنُ لَكُمَا بِمُؤْمِنِينَ

Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua”. [Quran Yunus: 78]

Sifat fanatik kesukuan, fanatik kedaerahan, fanatik komunitas, fanatik organisasi, ini semua budaya jahiliyah. Sejak dulu, setan terus mengangkat isu ini agar supaya orang menolak kebenaran dan memecah belah persatuan kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءَ بِأَنْفِهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ النَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تراب ) رواه الترمذي ( المناقب/ 3890 ) ، وحسَّنه الألباني في ” صحيح سنن الترمذي ” برقم ( 3100 ).

“Suatu kaum pasti akan berakhir jika mereka merasa bangga dengan nenek moyang mereka yang telah meninggal dunia. Mereka akan menjadi arang neraka Jahanam atau lebih hina di sisi Allah dari pada serangga yang mengendus kotoran dengan hidungnya. Sungguh Allah telah memusnahkan keangkuhan jahiliyah, dan kebanggaan dengan nenek moyang. Sesungguhnya ia adalah seorang mukmin yang bertakwa atau penjahat yang hidup sengsara. Semua orang adalah anak cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah”. (HR. Tirmidzi/al MAnaqib 3890, dan dihasankan oleh Al Baani dalam “Shahih Sunan Tirmidzi”: 3100).

Sumber:
– https://islamstory.com/ar/artical/3406652/لماذا-لم-يؤمن-أهل-مكة

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)



Menceritakan sebab-sebab penolakan orang-orang Mekah terhadap Islam adalah sesuatu yang penting. Karena terdapat kesamaan dengan karakteristik manusia modern zaman sekarang. Bisa jadi mereka adalah orang-orang yang beridentitas muslim. Namun penolakan mereka terhadap Islam dan syariat Islam mirip-mirip dengan karakter orang-orang jahiliyah dulu.

Boleh jadi mereka membenci budaya Arab jahiliyah. Tapi hakikatnya merekalah yang meniru karakter dan budaya orang Arab itu. Boleh jadi mereka berpenampilan islami. Tapi ketika mendengar kata syariat Islam, merekalah orang-orang yang paling benci.

Hal-hal lainnya yang menghalangi orang-orang Quraisy menerima Islam adalah:

Kesombongan

Banyak orang tidak menerima kebenaran karena kesombongan. Sifat sombong telah menjadi cerita awal penciptaan makhluk. Yaitu cerita antara Nabi Adam dan Iblis. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” [Quran Al-Baqarah: 34]

Karena kesombongan inilah Iblis menjadi kufur dan diusir dari surga. Dan ia dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala. Allah juga menceritakan tentang sifat orang-orang kafir di Mekah ketika diajak kepada kebenaran:

وَقَالُوا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا القُرْءانُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ القَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ

“Dan mereka berkata: “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” [Quran Az-Zukhruf: 31].

Ayat ini ditujukan kepada penduduk Mekah dan Thaif. Mereka memaksudkan orang yang mulia adalah al-Walid bin al-Mughirah di Mekah. Ayah dari Khalid bin al-Walid. Dan ‘Aurah bin Mas’ud ats-Tsaqafi di Thaif.

Orang-orang kafir itu mengatakan, “Kalau seandainya agama ini diturunkan kepada seorang tokoh besar semisal dua orang tersebut, mereka akan beriman.” Padahal Rasulullah adalah makhluk Allah yang paling mulia. Tapi mereka menilai kemuliaan itu dengan banyaknya harta. Bukan dengan akhlak, takwa, dan kelurusan akidah.

Takut Kehilangan Ketokohan Karena Bangsawan dan Kepemimpinan

Termasuk penghalang orang-orang kafir Mekah untuk memeluk Islam adalah mereka takut kehilangan ketokohan dan kepemimpinan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa hukum syariat Allah. Yang dengan hukum tersebut beliau menjadi rujukan dan kepemimpinan. Sehingga para tokoh dan pemimpin Mekah tidak mau kehilangan kedudukan mereka.

Takut Kehilangan Keuntungan Ekonomi

Di antara mereka juga ada yang takut kehilangan maslahat perekonomian. Mekah adalah pusat Jazirah Arab. Orang-orang Arab penyembah berhala sering berziarah ke kota tersebut. Kunjungan mereka menopang perekonomian Mekah. Penduduk Mekah membeli barang-barang dari luar. Kemudian dijual lagi kepada penduduk Arab yang datang ke kota mereka.

Kalau Mekah menerima Islam, tentu tidak semua orang Arab akan menerima hal tersebut. Mereka akan marah. Dan kondisi ini akan mengubah Mekah yang merupakan tempat yang aman menjadi daerah yang terancam peperangan. Mereka akan memboikot Mekah, berhenti berkunjung ke sana bahkan bisa jadi malah mengepung kota suci tersebut. Tidak diragukan lagi hal ini merusak perekonomian Mekah dan mata pencarian penduduknya.

Atau sekenario yang lain, seandainya Islam tersebar di luar Mekah. Bisa-bisa penduduk luar Mekah itu memboikot Mekah pula. Seperti ketika Tsumamah bin Utsal radhiallahu ‘anhu, penguasa Yamamah, memeluk Islam. Ia memboikot suplai makanan ke Mekah. Mekah pun menderita karena hal tersebut.

Takut Tidak Bisa Lagi Menuruti Syahwat dan Hidup Suka-suka

Dalam agama Islam terdapat perintah dan larangan. Islam menyerukan pada suatu yang mulia. Mengajarkan akhlak yang terpuji, dan menjauhi dosa dan maksiat. Sementara para pemuja hawa nafsu hidup sesuka mereka. Tak mau terikat aturan. Mereka merasa berat kalai hidup itu diatur dan terikat. Jiwa mereka merasa terkekang dengan adanya perintah dan larangan.

Islam melarang zina, mengonsumsi khamr, berbuat kezaliman dan kerusakan. Semua ini diperangi oleh Islam. Sekuat keinginan mereka memenuhi syahwat mereka, sekuat itu pula mereka memerangi dakwah Islam.

Kebodohan

Factor lainnya yang membuat orang-orang Mekah menolak Islam adalah kebodohan. Sebagian dari mereka tidak menggunakan logika dan akal sehat dalam memahami konsep ketuhanan. Menurut orang-orang seperti ini Tuhan itu semestinya memang banyak. Bukan hanya satu dan yang paling berkuasa. Sehingga ketika diseru untuk menyembah satu Tuhan saja, mereka keheranan.

أَجَعَلَ الآَلِهَةَ إِلَهًا واحدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” [Quran Shad: 5].

Mereka terheran-heran dengan konsep tauhid. Padahal konsep satu Tuhan ini sangat logis sekali. Allah Ta’ala berfirman,

مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلاَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يَصِفُونَ

“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” [Quran 23:91]

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللهِ رَبِّ العَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” [Quran Al-Anbiya: 22].

Seseorang yang menggunakan akal dan logikanya dengan baik pastilah dengan mudah memahami bahwa selayaknya Tuhan itu memang satu.

Bagi sebagian mereka, konsep ketuhanan dengan tauhid ini logis dan masuk akal. Namun mereka menentang akal dan logika mereka sendiri. Sikap ini lebih bodoh lagi dari yang sebelumnya.

قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ للهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ العَرْشِ العَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ للهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ للهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89) بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِالحَقِّ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [Quran Al-Mukminun: 84-89].

Sumber:

– https://islamstory.com/ar/artical/3406652/لماذا-لم-يؤمن-أهل-مكة

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Sumber: https://kisahmuslim.com/