Jilbab dikatakan sesuai dengan syariat jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Menutupi seluruh badan.
Tidak diberi hiasan-hiasan hingga mengundang pria untuk melihatnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ
“Katakanlah (wahai Nabi) kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan mereka, dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya, dan hendaklah mereka meletakkan dan omenjulurkan kerudung di atas kerah baju mereka (dada-dada mereka)’….” (an-Nur: l31)
- Tebal (tidak tipis)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan ada nanti di kalangan akhir umatku para wanita yang berpakaian, tetapi hakikatnya mereka telanjang….”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“…laknatlah mereka karena sesungguhnya mereka itu terlaknat.”
(HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir dengan sanad yang sahih sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab beliau, Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 125)
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dalam sabdanya (di atas) adalah para wanita yang mengenakan pakaian dari bahan yang tipis yang menerawangkan bentuk badan dan tidak menutupinya. Wanita seperti ini istilahnya saja mereka berpakaian, tetapi hakikatnya mereka telanjang.”
- Lebar (tidak sempit).
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan aku pakaian Qibthiyah yang tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah al-Kalbi kepada beliau. Aku memakaikan pakaian itu kepada istriku.
Suatu ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Mengapa engkau tidak memakai pakaian Qibthiyah itu?’
Aku menjawab, ‘Aku berikan kepada istriku.’
Beliau berkata, ‘Perintahkan istrimu agar ia memakai kain penutup setelah memakai pakaian tersebut karena aku khawatir pakaian itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya.”
(HR. adh-Dhiya` al-Maqdisi, Ahmad, dan al-Baihaqi dengan sanad hasan, kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Jilbab, hlm. 131)
- Wanita itu Aurat, tidak diberi wangi-wangian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati sekelompok orang agar mereka mencium wanginya maka ia adalah pezina.”
(HR. an-Nasai, Abu Dawud, dan lainnya, dengan sanad hasan, kata asy-Syaikh al-Albani dalam Jilbab, hlm. 137)
- Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lainnya, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Jilbab, hlm. 141)
- Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabdanya memerintah kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka baik dalam hal ibadah, hari raya/perayaan, maupun pakaian khas mereka.
- Bukan pakaian ketenaran.
Pakaian ketenaran adalah pakaian yang dikenakan agar terkenal di kalangan manusia, baik pakaian itu mahal/mewah dengan maksud untuk menyombongkan diri di dunia maupun pakaian jelek yang dikenakan dengan maksud untuk menampakkan kezuhudan dan riya.
Ibnul Atsir berkata, “Pakaian yang dikenakan itu masyhur di kalangan manusia karena warnanya berbeda dengan warna-warna pakaian mereka hingga manusia mengangkat pandangan ke arahnya; jadilah orang tersebut merasa bangga diri dan sombong. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang memakai pakaian untuk ketenaran di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan menurut asy-Syaikh al-Albani dalam Jilbab, hlm. 213)
Demikian kami nukilkan jawaban untuk saudari dari kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah yang ditulis oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Wallahu a’lam.
Sumber: https://asysyariah.com/