Oleh: Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (( إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ )). رواه البخاري ومسلم، وهذا لفظ مسلم.
Dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya. Barangsiapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar-samar, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki larangan (undangundang). Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati. [Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafazh Muslim].
MARAJI’UL HADITS (REFERENSI HADITS)
1. Shahih al Bukhari, kitab al Iman, Bab Man Istabra’a li Dinihi, hadits no. 52. Juga terdapat dalam Bab al Buyu`, hadits no. 2051.
2. Shahih Muslim, kitab al Buyu`, Bab Akhdzul-Halal wa Tarkusy-Syubuhat, hadits no. 1599 (107).
3. Sunan Abi Dawud, kitab al Buyu`, Bab Fi Ijtinabisy-Syubuhat, hadits no. 3329 dan 3330.
4. Sunan at-Tirmidzi, kitab al Buyu`, Bab Tarkusy-Syubuhat, hadits no. 1205.
5. Sunan an-Nasa-i, kitab al Bai’, Bab Ijtinabusy-Syubuhat (VII/241).
6. Sunan lbni Majah, kitab al Fitan, Bab al Wuquf ‘indasy-Syubuhat, hadits no. 3984.
7. Ahmad dalam Musnadnya IV/267.
AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Hadits ini sangat penting dan memiliki manfaat yang sangat besar. Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah syari’at. Ada yang mengatakan, bahwa hadits ini sepertiga dari ajaran Islam. Imam Abu Dawud as-Sijistani (wafat th. 275 H) mengatakan,”Seperempat dari (ajaran) Islam.” Bahkan jika dicermati, akan terlihat bahwa, hadits ini mencakup seluruh ajaran Islam, karena menjelaskan perkara-perkara yang halal, yang haram maupun yang syubhat (samar). Juga menjelaskan hal-hal yang dapat merusak ataupun memperbaiki hati. Hal ini mengharuskan seorang muslim untuk mengetahui berbagai hukum syara’, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang). Hadits ini juga merupakan pijakan untuk senantiasa bersikap wara’, yakni meninggalkan perkara-perkara yang samar.
SYARAH HADITS (KANDUNGAN HADITS)
1. Di dalam hadits ini, hukum dibagi menjadi tiga bagian.
Ada perkara-perkara yang jelas-jelas diperbolehkan. Ada perkara-perkara yang jelas-jelas dilarang, dan ada perkara-perkara yang syubhat (samar), yakni tidak jelas halal dan haramnya.
Segala sesuatu dibagi menjadi tiga hukum, yaitu:
Pertama. Jelas-jelas diperbolehkan. Seperti: makan yang baik-baik, buah-buahan, binatang ternak, menikah, berpakaian yang tidak diharamkan, makan roti, berbicara, berjalan, jual beli, dll.
Kedua. Jelas-jelas dilarang. Seperti: makan bangkai, darah, daging babi, menikah dangan perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, riba, judi, mencuri, mengadu domba, minum khamr, Ana, memakai sutera dan emas untuk laki-laki, dll.
Ketiga. Syubhat, yakni tidak jelas boleh atau tidaknya. Karena itu, banyak orang yang tidak mengetahuinya. Adapun ulama bisa mengetahui melalui berbagai dalil al Qur`an dan as-Sunnah, maupun melalui qiyas. Jika tidak ada nash dan juga tidak ada Ijma’, maka dilakukan ijtihad.
Meskipun demikian, jalan terbaik adalah meninggalkan perkara syubhat. Seperti: tidak bermu‘amalah dengan orang yang hartanya bercampur dengan riba. Adapun perkara-perkara yang diragukan disebabkan bisikan-bisikan setan, maka hal itu bukanlah perkara syubhat yang perlu ditinggalkan. Misalnya: Seseorang tidak mau menikah di suatu negeri karena khawatir bahwa yang menjadi istrinya adalah adiknya sendiri yang sudah lama tidak bertemu. Atau tidak mau menggunakan air di tengah tempat terbuka, karena dikhawatirkan mengandung benda najis.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya dan menjelaskan di dalamnya untuk ummat tentang halal dan haram yang mereka butuhkan, seperti difirmankan oleh Allah Ta’ala:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ.
Dan Kami turunkan kepadamu al Kitab (al Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu. [an-Nahl/16: 89]
Mujahid dan lain-lain berkata: “Maksudnya, yaitu menjelaskan hal-hal yang diperintahkan kepada kalian, juga hal-hal yang dilarang kepada kalian”.
Allah Ta’ala berfirman di akhir surat an-Nisa`; di dalamnya Allah menjelaskan tentang hukum-hukum harta kekayaan dan pernikahan.
يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوْا وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلَيْمٌ.
Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [an-Nisa`/4:176].
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُوْا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيكُمْ إِلاَّ مَاضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ.
Kenapa kalian tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya. [al An’am/6:119].
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَّا يَتَّقُوْنَ، إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [at-Taubah/9:115].
Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menjelaskan al Qur`an. Dia berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
Dan Kami turunkan kepadamu al Qur`an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. [an-Nahl/16:44].
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama ini untuk beliau dan ummat beliau. Karena itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat berikut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Arafah beberapa waktu sebelum beliau wafat:
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian. [al Maidah/5:3].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggal dunia hingga beliau menjelaskan kepada ummat Islam tentang apa-apa yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah kepada mereka. Beliau bersabda:
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِي إَلاَّ هَالِكٌ.
Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih bersih; dimana malamnya seperti siangnya, dan tidaklah berpaling darinya melainkan orang yang binasa.[1]
Tentang halal dan haram, ada sebagiannya yang lebih jelas dari yang lainnya. Masalah yang paling jelas dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah masalah tauhid (mentauhidkan Allah, beribadah hanya kepada Allah saja, tidak kepada selain-Nya, mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, mengikuti dan ittiba’ kepada manhaj mereka). Begitu juga apa-apa diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya telah jelas.
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan berbuat syirik, menyekutukan Allah dengan sesuatu, berdo’a, meminta, istighatsah kepada selain Allah. Allah dan Rasul-Nya mengharamkan bid’ah, mengikuti hawa nafsu, mengikuti golongan-golongan yang sesat. Allah dan Rasul-Nya mengharamkan murtad (keluar dari agama Islam), membunuh orang kecuali dengan jalan yang haq, memakan harta orang lain, merusak kehormatan orang, dan lainnya.
Perkara-perkara yang sudah jelas halal dan haramnya dan diketahui oleh ummat Islam, maka tidak ada udzur bagi seseorang atas ketidaktahuannya tentang itu, bila ia hidup (tinggal) di tengah-tengah kaum Muslimin. Ada juga perkara-perkara yang tidak diketahui kecuali oleh para Ularna, dan tersembunyi (tidak diketahui) oleh umumnya kaum Muslimin.
2. Macam-macam syubhat.
Ibnul Mundzir membagi syubhat menjadi tiga.
Pertama. Sesuatu yang haram, namun kemudian timbul keraguan karena tercampur dengan yang halal. Misalnya ada dua kambing, salah satunya disembelih orang kafir, namun tidak jelas kambing yang mana yang disembelih orang kafir tersebut. Dalam hal ini tidak diperbolehkan memakan daging tersebut, kecuali jika benar-benar diketahui mana kambing yang disembelih orang kafir dan mana yang disembelih orang mukmin.
Kedua. Kebalikannya, yakni sesuatu yang halal, namun kemudian timbul keraguan. Seperti: seorang istri yang ragu, apakah ia telah dicerai atau belum. Atau seorang yang habis wudhu merasa ragu, apakah wudhunya sudah batal atau belum. Keraguan yang demikian ini tidak ada pengaruhnya.
Ketiga. Sesuatu yang diragukan halal haramnya. Dalam masalah ini lebih baik menghindarinya, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kurma yang beliau temukan di atas tikarnya, beliau tidak memakan kurma tersebut karena kekhawatiran akan kurma shadaqah. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika masuk rumah, aku mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk aku makan. Akan tetapi aku membatalkannya, karena takut korma itu berasal dari shadaqah”. [Al Wafi, Syarah Arba’in, halaman 37].
Makna mutasyabihat (dalam riwayat lain syubhat), adalah jamak dari mutasyabih. Yaitu sesuatu yang musykil, tidak jelas tentang halal dan haramnya.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “. . Tidak jelas tentang halal dan haramnya, karena itu kebanyakan manusia tidak tahu hukumnya. Adapun ulama mengetahui hukumnya dengan nash (dalil), qiyas, ishtishhab, dan selain itu. Apabila dia ragu tentang sesuatu antara halal dan haram, sedangkan dalil dan ijma’ tidak ada, maka seorang mujtahid diperbolehkan berijtihad, lalu ia menggabungkannya kepada salah satu dari keduanya (halal dan haram) dengan dalil-dalil syar’i”. [2]
Tentang syubhat, Imam Ahmad memberi penafsiran, bahwa syubhat ialah posisi di antara halal murni dengan haram murni. Imam Ahmad berkata,”Barangsiapa menjauhi syubhat, maka ia telah mencari kebersihan (dari celaan syar’i dan tuduhan) bagi agamanya.”
Terkadang syubhat ditafsirkan oleh Imam Ahmad dengan pengertian bercampurnya antara halal dengan haram.
Termasuk dalam masalah di atas, yaitu berinteraksi dengan orang yang hartanya campur aduk antara halal dengan haram. Jika sebagian besar hartanya adalah haram, Imam Ahmad berkata: “Orang muslim wajib menjauhi harta orang tersebut, kecuali jika hartanya yang haram itu sedikit atau tidak diketahui”. Sahabat-sahabat kami berbeda pendapat, apakah harta orang tersebut makruh ataukah haram? Ada dua pendapat dalam masalah ini.
Jika sebagian besar harta orang tersebut halal, maka orang muslim boleh berinteraksi dengannya dan makan hartanya, karena al Harits meriwayatkan dari ‘Ali bin Abu Thalib yang berkata tentang hadiah dari penguasa: “Hadiah-hadiah tersebut tidak ada masalah. Apa yang diberikan kepada kalian dari yang halal itu lebih banyak daripada apa yang diberikan kepada kalian dari yang haram”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berinteraksi (mu’amalah) dengan orang-orang musyrikin dan Ahli Kitab, padahal beliau dan mereka tahu, bahwa orang-orang musyrikin dan Ahli Kitab tidak menjauhi seluruh hal-hal haram.
Jika sesuatu tidak jelas, sesuatu tersebut adalah syubhat; dan sikap wara’ ialah meninggalkannya. Sufyan berkata: “Itu tidak membuatku kagum, namun yang lebih membuatku kagum ialah meninggalkan sesuatu yang syubhat”.[3]
Az-Zuhri dan Makhul berkata: “Tidak ada masalah orang muslim makan sesuatu yang seperti itu, selagi ia tidak mengetahuinya bahwa itu haram”. Jika harta seseorang tidak diketahui ada yang haram dengan pasti, namun diketahui ada yang syubhat di dalamnya, maka tidak ada masalah makan barang seperti itu. Itu ditegaskan Imam Ahmad di riwayat Hanbal.[4]
Tentang hal tersebut, diriwayatkan banyak sekali atsar dari generasi Salaf. Diriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, bahwa ia pernah ditanya tentang orang yang mempunyai tetangga yang makan harta riba dengan terang-terangan dan tidak menjauhi harta haram, kemudian tetangga tersebut mengundangnya makan. Ibnu Mas’ud menjawab: “Penuhi undangan orang tersebut, karena kelezatan itu milik kalian, sedangkan dosa milik tetangga tersebut”.[5]
Pada riwayat lain disebutkan bahwa orang tersebut berkata: “Aku tidak mengetahui sesuatu apapun pada tetangga tersebut, kecuali yang buruk dan haram”. Ibnu Mas’ud berkata,”Penuhi undangan tetangga tersebut.” Imam Ahmad menshahihkan atsar tersebut dari Ibnu Mas’ud, namun atsar tersebut bertentangan dengan atsar lain, yang juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang berkata: “Dosa itu apa saja yang membekas di hati”.[6]
Pendapat kebalikannya diriwayatkan dari al Hasan yang berkata: “Sesungguhnya pendapatan seperti itu (riba dan judi) adalah rusak. Oleh karena itu, ambillah daripadanya seperti dalam keadaan darurat”.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan, bahwa ada sebagian manusia yang mengetahui hal-hal yang mutasyabihat, namun sebagian besar dari mereka tidak mengetahuinya. Ada dua pihak yang termasuk dalam kategori orang-orang yang tidak mengetahui hal-hal yang mutasyabihat, yaitu:
Pertama, orang yang memilih diam dalam hal-hal mutasyabihat, karena ketidakjelasan hal-hal mutasyabihat tersebut baginya.
Kedua, orang yag meyakini hal-hal mutasyabihat tersebut tidak dalam bentuk aslinya. Perkataan orang tersebut menunjukkan, bahwa orang lain mengetahuinya. Maksudnya, orang lain mengetahui hal-hal mutasyabihat dalam bentuk aslinya; halal atau haram. Ini dalil paling kuat, bahwa orang yang benar di sisi Allah dalam masalah-masalah halal dan haram yang tidak jelas dan diperselisihkan, ialah satu orang sedang orang lain tidak mengetahuinya dalam arti orang lain tidak benar dalam menetapkan hukum Allah dalam masalah-masalah tersebut, kendati ia berkeyakinan di dalamnya dengan keyakinan yang berpatokan pada syubhat yang ia kira dalil. Kendati demikian, ia diberi pahala karena ijtihadnya dan kesalahannya diampuni karena ketidaksengajaannya.[7]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Sebab-sebab syubhat itu ada empat. Pertama, kurangnya ilmu. Kedua, kurangnya pemahaman (lemahnya pemahaman). Ketiga, lalai dalam mentadabburkan. Maksudnya, tidak bersusah payah untuk mentadabburkan makna ayat atau hadits, dan kurang pembahasan. Keempat, (dan ini yang paling besar sebabnya) yaitu su’ul qashd, jeleknya tujuan. Yaitu seseorang tujuannya hanya membela perkataannya saja, tanpa melihat benar dan salah. Orang yang niatnya jelek dan mengikuti hawa nafsu, maka sulit untuk mencapai ilmu. Kita memohon kepada Allah keselamatan. [Syarah ‘Arba’in oleh Syaikh al ‘Utsaimin, halaman 128-129].
3. فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
[Barangsiapa yang menghindari perkara yang syubhat (samar-samar) maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya].
اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ , maksudnya adalah, agamanya selamat dari kekurangan, dan perilakunya selamat dari celaan. Karena orang yang tidak menghindari hal-hal syubhat, maka dia tidak akan selamat dari perkataan orang yang mencelanya.
Hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang tidak menjauhkan diri dan syubhat dalam pencaharian dan kehidupannya, maka dia telah menyerahkan dirinya untuk dicemooh dan dicela. Hal ini mengandung petunjuk untuk selalu menjaga hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kemanusiaan.
فَمَنْ تَرَكَ مَا يَشْتَبِهُ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ كَانَ لِمَا اسْتَبَانَ أَتْرَكَ.
Barangsiapa meninggalkan dosa apa saja yang tidak jelas baginya, maka terhadap sesuatu yang telah jelas, ia lebih meninggalkannya.[8]
Sufyan ats-Tsauri berkata tentang orang yang menemukan uang atau dirham di rumahnya: “Aku lebih suka kalau orang tersebut menjauhi uang atau dirham tersebut, jika ia tidak tahu dari mana uang atau dirham tersebut.”
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ.
Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang syubhat (samar-samar), maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram.
Allah Ta’ala di muka bumi ini mempunyai tanah larangan yaitu perbuatan dosa dan maksiat dan hal-hal yang diharamkan, Allah melarang hamba-hamba-Nya mendekatinya, dan menamakannya sebagai batasan-batasan-Nya. Barangsiapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan yang diharamkan maka dia akan mendapatkan siksa Allah di dunia dan di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
… تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوْهَا. كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ.
. . . itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya, demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa. [al Baqarah/2:187].
Di ayat yang lain, Allah berfirman:
… تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا. وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ.
. . . itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya; barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. (QS al Baqarah/2:229).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma yang berkata: “Sungguh aku ingin membuat pembatas antara aku dengan haram dari halal yang tidak aku robek”.
Sufyan bin Uyainah berkata: “Seorang hamba tidak merasakan hakikat iman hingga ia membuat pembatas dari halal, antara dirinya dengan haram, dan hingga ia meninggalkan dosa dan sesuatu yang mirip dengannya”.
4. Beberapa Pendapat Ulama tentang Syubhat
Abu Darda` Radhiyallahu anhu berpendapat, bahwa ketakwaan yang sempurna bagi seorang hamba adalah dengan takut kepada Allah dalam segala hal sekecil apapun. Termasuk meninggalkan beberapa perkara yang diperbolehkan karena takut terjerumus pada perkara yang dilarang.
Hasan al Bashri rahimahullah berkata: “Ketakwaan senantiasa melekat pada orang-orang yang bertakwa selama ia meninggalkan beberapa hal yang diperbolehkan karena takut barang tersebut dilarang”.
Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Dikatakan bertakwa, karena seseorang takut pada hal-hal yang sepatutnya tidak ditakutkan”.
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata: “Aku lebih suka menjauh dari perkara-perkara yang dilarang, dengan meninggalkan beberapa perkara yang diperbolehkan”.
Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata: “Seseorang tidak akan menemukan hakikat iman, kecuali ia meletakkan penghalang antara dirinya dan hal-hal yang haram dengan sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara-perkara yang samar”.
Imam al Bukhari meriwayatkan dari jalur al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang berkata: “Abu Bakar mempunyai budak laki-laki yang menyerahkan hasil kerjanya kepada Abu Bakar yang biasa memakannya. Pada suatu hari, budak tersebut datang membawa sesuatu, kemudian Abu Bakar memakannya. Budak tersebut berkata kepada Abu Bakar, ‘Tahukah engkau, apa yang engkau makan?’ Abu Bakar menjawab,‘Aku tidak tahu’. Budak tersebut berkata,‘Aku pernah menjadi dukun untuk seseorang pada masa jahiliyah, padahal aku tidak bisa menjadi dukun yang baik. Aku tipu orang tersebut, kemudian ia memberiku uang. ltulah yang engkau makan’. Kemudian Abu Bakar pun memasukkan jarinya, hingga ia memuntahkan seluruh makanannya.” [HR al Bukhari no. 3842].
5. Semua raja memiliki hima (larangan), dan hima Allah di bumi adalah larangan-larangan-Nya.
Tujuan perumpamaan tersebut adalah agar tampak jelas, seperti seseorang melihat tanah yang dipagari. Pada saat itu, raja-raja memiliki tanah berpagar yang dikhususkan untuk hewan-hewan ternaknya dan mengancam dengan hukuman keras bagi orang yang mendekatinya. Orang yang takut dengan hukuman raja, tentu tidak akan mendekati pagar tersebut. Namun bagi orang yang tidak takut, ia akan mendekatinya dan menggembala di tepian pagar, hingga melintasi pagar yang ada. Akibatnya, ia pun mendapat hukuman.
Sebagaimana para raja, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mempunyai berbagai pagar. Pagar-pagar tersebut adalah berbagai larangan-Nya. Barangsiapa yang melanggar larangan-larangan tersebut, ia akan mendapat hukuman, baik di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa yang mendekati larangan dengan melakukan perkara-perkara syubhat, maka ia pun dikhawatirkan dan bahkan bisa terjerumus pada hal yang dilarang.
6. Hati yang baik.
Baik buruknya seseorang tergantung hatinya. Sebab, hati merupakan bagian terpenting dalam tubuh manusia. Secara medis pun demikian, hati merupakan penentu bagi seseorang. Andaikan hati seseorang baik, maka ia akan mampu mensuplai darah dengan baik ke seluruh tubuh.
Mengacu pada hadits ini, Imam asy-Syafi’i berpendapat, bahwa sumber akal adalah hati. Hal ini juga diperkuat oleh firman Allah:
… لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهَا…
Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk berpikir. [al A’raf/7:179].
Juga firman-Nya:
أَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِي اْلأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُوْنَ بِهَا…
Maka apakah mereka tida berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami? [al Hajj/22:46].
Konon para ahli filsafat dan ilmu kalam juga berpendapat seperti ini.
Namun berbeda dengan madzhab Hanafi, mereka tetap mengatakan bahwa akal tetap terletak pada otak. Mereka beralasan, jika otak seseorang rusak, maka akalnya juga rusak. Ilmu kedokteran pun menyatakan, bahwa semua gerak anggota tubuh adalah menuruti perintah otak.
Ayat di atas mengisyaratkan, bahwa sumber “yang jauh” dari akal adalah hati, sedangkan sumber “yang dekat” dan langsung adalah otak.
Adapun yang dimaksud hadits ini adalah baiknya hati secara rohani. Yakni kebersihan jiwa, yang ini tidak diketahui, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ibnu Mulaqqin berpendapat, bahwa kebaikan hati bisa diperoleh dengan lima perkara. Pertama, membaca dan mentadabburi al Qur`an. Kedua, mengosongkan perut. Ketiga, shalat malam. Keempat, bermunajat di penghujung malam. Kelima, bergaul dengan orang-orang shalih.
Saya (penulis) menambahkan satu hal, yaitu makanan yang halal, karena ini adalah intinya. Ada ungkapan yang amat indah, “Makanan adalah bibit dari segala perbuatan. Jika yang masuk halal, maka yang keluar juga halal. Jika yang masuk haram, maka yang keluar juga haram. Jika yang masuk syubhat, maka yang keluar juga syubhat”.
Hati yang baik adalah lambang kemenangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala bertirman:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ.
Pada hari yang anak dan harta tidak membawa manfaat, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang baik (bersih). [asy-Syu’ara/26:88-89].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada Syaddad bin Aus untuk selalu berdo’a dengan do’a ini:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِيْ اْلأَمْرِ، وَالْعَظِيْمَةَ عَلَى الرُّشْدِ، وَأَسْأَلُكَ مُوْجِبَاتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ شكر نِعْمَتِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَالِمًا، وَلِسَانًا صَدِقًا، وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ، وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ketetapan dalam urusanku, dan kesungguhan dalam petunjuk (dalam kebenaran), dan aku memohon kepada-Mu rahmat-Mu, ampunan-Mu, dan aku memohon kepada-Mu untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu, memperbaiki ibadah kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu hati yang selamat, lisan yang jujur, aku memohan kebaikan apa yang Engkau ketahui, aku berlindung dari kejelekan dari apa yang Engkau ketahui, dan aku memohon ampun dari apa-apa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui semua yang ghaib.[9]
Sesungguhnya hati yang baik tersebut bisa diperoleh dengan membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti benci, dendam, dengki, bakhil, sombong, riya’, tamak, sum’ah, curang, tamak, dsb.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
Hati yang baik adalah hati yang terbebas dari segala penyakit hati dan berbagai perkara yang dibenci; hati yang dipenuhi kecintaan dan rasa takut kepada Allah dan rasa takut berjauhan dari Allah.
Hati yang baik akan menimbulkan perbuatan yang baik. Karenanya, jika hati itu baik dan hanya dipenuhi dengan kehendak Allah, niscaya amal perbuatannya hanya yang sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga ia bersegera dalam melakukan perbuatan yang diridhai Allah dan meninggalkan perbuatan yang dibenci.[10]
Jika hati sehat, dalam arti hanya berisi cinta kepada Allah, mencintai apa saja yang dicintai oleh Allah, takut kepada Allah, dan takut terjerumus ke dalam apa saja yang dibenci-Nya, maka seluruh aktifitas tubuh menjadi baik; muncullah sikap menjauhi seluruh hal-hal haram, dan menghindari hal-hal syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam hal-hal haram.
Sebaliknya jika hati rusak, sikap mengikuti hawa nafsu lebih dominan di dalamnya, dan mencari apa saja yang dicintai hawa nafsu kendati dibenci Allah. Maka, rusaklah semua aktifitas organ tubuh dan meluncur kepada kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal syubhat, sesuai dengan kadar sejauh mana hawa nafsu mengikuti hati.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa hati adalah raja. Sedangkan organ tubuh lainnya adalah tentaranya. Organ tubuh tersebut taat kepada hati, termotivasi patuh kepadanya, mengerjakan seluruh instruksinya, dan tidak menentangnya dalam perkara apapun. Jika raja baik, maka tentara-tentaranya pun baik. Sebaliknya, jika raja tersebut rusak, maka rusak pula tentara-tentaranya. Tidak ada yang berguna di sisi Allah kecuali hati yang sehat, seperti difirmankan oleh Allah Ta’ala:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ.
(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. [asy-Syu’ara`/26: 88-89].
Al Hasan berkata kepada seseorang: “Obatilah hatimu, karena keperluan Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah kebaikan hati mereka”.
Maksudnya, keinginan dan tuntutan Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah hati mereka shalih, karena hati tidak akan baik hingga di dalamnya bersemayam sifat kenal Allah, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya. Itulah esensi tauhid dan makna kalimat la ilaha illallah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah). Jadi, hati tidak baik hingga Allah adalah satu-satunya Rabb yang disembah, mengenal-Nya, mencintai-Nya, dan takut kepada-Nya. Dia-lah Allah, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Jika di langit terdapat ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, maka langit dan bumi pasti rusak karenanya.
Dari sini bisa diketahui, bahwa tidak ada kebaikan bagi alam tinggi dan rendah hingga seluruh aktifitas penghuninya karena Allah semata. Seluruh tubuh itu mengikuti aktifitas dan keinginan hati. Jika pergerakan dan kehendak hati karena Allah semata, maka hati dan seluruh pergerakan tubuh menjadi baik. Jika pergerakan dan keinginan hati karena selain Allah, hati menjadi rusak. Kerusakan aktifitas tubuh sangat tergantung kepada sejauh mana kerusakan hati.
Di dalam satu hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ، وَأَعْطَى لِلَّهِ، وَمَنَعَ لِلَّهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَان.
Barangsiapa memberi karena Allah, tidak memberi karena-Nya, mencintai karena-Nya, dan membenci karena-Nya, sungguh ia telah menyempurnakan iman.[11]
Al Hasan berkata,”Aku tidak melihat dengan mataku, berbicara dengan lidahku, bergerak dengan mataku, dan berjalan di atas kakiku hingga aku berpikir apakah itu dalam ketaatan atau kemaksiatan? Jika dalam ketaatan, aku terus melangkah. Jika dalam kemaksiatan, aku mundur.”
Karena hati generasi Salaf baik dan di dalamnya tidak ada keinginan kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, maka organ tubuh mereka menjadi baik dan tidak bergerak, kecuali karena Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat keridhaan-Nya.
FAWA-ID HADITS (MANFAAT HADITS)
Halal dan haram sudah jelas.
Allah dan Rasul-Nya sudah menjelaskan yang halal dan haram.
Di antara halal dan haram, ada yang syubhat.
Banyak manusia yang tidak mengetahui perkara syubhat.
Ilmu adalah cahaya yang dapat menerangi seorang hamba untuk mengetahui hakikat segala sesuatu yang tidak tampak oleh kebanyakan manusia.
Dianjurkan untuk melakukan mengambil yang halal dan meninggalkan yang syubhat.
Wajib bagi seorang muslim menjauhkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah.
Barangsiapa yang jatuh dalam perbuatan syubhat, maka ia lebih dekat jatuh kepada yang haram.
Seseorang jatuh kepada perbuatan yang haram itu biasanya bertahap.
Apabila engkau berbuat maksiat, jangan melihat kepada kecilnya maksiat itu, akan tetapi lihatlah kepada keagungan Allah yang engkau telah berbuat maksiat kepada-Nya.
Wajib bagi seorang muslim menjaga kehormatan dirinya dan agamanya, dan berusaha menjauhkan dari setiap apa-apa yang merusak agama dan kehomatannya.
Dalam hadits ini ada kaidah yaitu, menutup semua pintu yang mengarah pada berbagai hal yang dilarang dan melarang semua sarana yang mengarah pada perbuatan haram. Misalnya, sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram. Contoh lain yang diharamkan, seperti pacaran, karena akan membawa kepada perzinaan dan lainnya.
Orang yang mengembala di tanah orang lain, maka dia harus mengganti apa yang dirusak oleh binatang ternaknya.
Dalam hadits ini menunjukkan tentang keagungan hati dan dianjurkan untuk bersungguh-sungguh untuk memperbaiki hati.
Hati ini sebagai komandan dari seluruh anggota tubuh. Kalau hati ini baik, maka seluruh tubuh akan baik. Tetapi apabila hati ini jelek, maka seluruh tubuh akan jelek.
Konsekwensi baiknya dari hati, harus dibuktikan dengan baiknya amal.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk membersihkan hati, karena yang bermanfa’at di akhirat adalah hati yang selamat.
Hati yang baik akan membawa kepada ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian.
Hati yang rusak akan menyebabkan terjadinya perselisihan, kebencian dan permusuhan, dan akan membawa kepada kesengsaraan dan ketidaktenangan.
Hati adalah tempatnya ujian, fitnah, dan setan menunggu peluang lalainya hati dari berdzikir kepada Allah.
____
MARAJI`:
Kutubus-Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
Fathul-Bari, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi.
Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam, lbnu Rajab al Hanbali, Tahqiq: Syu’aib al Arnauth dan Ibrahim Ba
Al Wafi’ fi Syarhil-Arba’in an-Nawawiyah, Musthafa al Bugha dan Muhyiddin Mostu, Cetakan VIII, Tahun 1413 H, Maktabah Dar at-Turats.
Qawa‘id wa Fawa‘id minal ‘Arba’in an-Nawawiyah, Nazhim Muhammad Sulthan, Cetakan I, Tahun 1408 H, Dar as-Salafiyah.
Syarah al Arba’in, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cetakan III, Tahun 1425 H, Dar Tsurayya lin-Nasyr.
Silsilah al Ahadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadush-Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.
_______
Footnote
[1] Penggalan hadits hasan yang diriwayatkan Imam Ahmad (IV/26), Ibnu Majah (hadits no. 43) dan al Lalikai di dalam Syarh Ushul I’tiqad (hadits no. 79), dari al Irbadh bin Sariyah.
[2] Syarah Shahih Muslim (XI/27).
[3] Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam (I/200).
[4] Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam (I/200).
[5] Mushannaf ‘Abdur-Razzaq (no. 14675, 14676). Sanadnya shahih.
[6] HR ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (IX, no. 8747-8750).
[7] Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam (I/203).
[8] Hadits riwayat al Bukhari (no. 2501).
[9] HR ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (VII/293-294, no. 7175-7180) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul- Auliya` (I/266), sanadnya jayyid. Lihat Silsilah al Ahadits ash-Shahihah (no. 3328).
[10] Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam (I/65-66).
[11] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4681). Lihat ash-Shahihah (no. 380).
Referensi : https://almanhaj.or.id/12129-halal-dan-haram-sudah-jelas.html