KEWAJIBAN SHILATURAHMI
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa secara umum shilaturrahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya merupakan dosa besar. Ini berdasarkan perintah dari Allâh Azza wa Jalla dan RasulNya agar shilaturrahmi. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Bertakwalah kepada Allâh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allâh selalu menjaga dan mengawasi kamu." [an-Nisâ’/4: 1]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ
"Beribadahlah kepada Allâh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat…" [an-Nisâ’/4: 36]
Juga firman-Nya:
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." [al-Isrâ’/17: 26]
Shilaturrahmi termasuk perkara yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah ini pun sudah diketahui oleh orang-orang memusuhi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu memberitakan bahwa Abu Sufyân pernah mengatakan kepada raja Heraklius tentang dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia berkata:
يَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
"Muhammad memerintahkan kami shalat, shadaqah, menjaga kehormatan dan shilaturrahmi." [HR. al-Bukhâri, no. 5635]
Al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat (diantara para Ulama-red) bahwa secara umum shilaturrahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya merupakan dosa besar. Namun shilaturrahmi itu ada beberapa derajat, sebagiannya lebih tinggi dari yang lain. Yang paling rendah adalah tidak mendiamkan, artinya dia menyambungnya dengan mengajaknya bicara, walaupun dengan ucapan salam. Dan shilaturrahmi itu berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Di antaranya ada yang wajib dan ada pula yang mustahab (sunah). Seandainya seseorang melakukan sebagian perbuatan shilaturrahmi, namun tujuannya untuk shilaturrahmi tidak tercapai, maka dia tidak dinamakan orang yang memutuskan shilaturrahmi. Jika dia melalaikan bentuk shilaturrahmi yang dia mampu dan sepantasnya dilakukan, maka dia tidak disebut orang yang melakukan shilaturrahmi”. (Syarh Nawawi 8/345)
Baca juga: Salah kaprah memaknai silaturrahim
MAKNA SHILATURAHMI
Sedangkan yang dimaksud dengan shilaturrahmi secara istilah syari’at adalah sebagaimana dijelaskan para Ulama berikut: Imam Nawawi rahimahullah berkata, bahwa shilaturrahmi adalah, “Berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan keadaan orang yang berbuat baik dan orang yang menerima perbuatan baik itu. Terkadang shilaturrahmi itu dengan harta, jasa, mengunjungi, ucapan salam dan lainnya”. [Lihat Syarh Nawawi 1/287; Kamus Fiqih 1/145, karya Dr. Sa’di Abu Habib; Maktabah Syamilah]
Imam al-‘Aini rahimahullah berkata, “Shilaturrahmi adalah kinâyah (ungkapan lain yang lebih halus-red) dari berbuat baik kepada kerabat dari kalangan orang-orang yang memiliki hubungan nasab (keturunan-red) dan pernikahan, bersikap sopan dan lemah-lembut kepada mereka, serta memperhatikan keadaan mereka. Walaupun mereka jauh dan berbuat buruk. Adapun qath’urrahmi (memutuskan persaudaraan) adalah memutuskan hal-hal yang disebutkan di atas (dengan tanpa alasan syari’at-pen)”. [Syarh Shahîh al-Bukhâri]
Dalam keterangan Imam al-‘Aini rahimahullah di atas, dia memasukkan orang-orang yang memiliki hubungan karena pernikahan ke dalam rahmi atau kerabat, namun kebanyakan ulama hanya menyebutkan orang-orang yang memiliki hubungan nasab saja. Maksudnya, walaupun kita juga diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang-orang yang memiliki hubungan karena pernikahan dengan kita, namun ini tidak termasuk ke dalam istilah shilaturrahmi. Wallahu a’lam. Dari penjelasan ini kita mengetahui bahwa makna shilaturrahmi di dalam istilah syari’at bukanlah sebagaimana yang difahami oleh banyak orang, yaitu berkunjung dan bertemu dengan orang lain, baik kerabat maupun bukan kerabat. Namun makna shilatur rahmi di dalam istilah syari’at adalah berbuat baik kepada kerabat dengan berbagai bentuk kebaikan sebagaimana diterangkan di atas. Wallahu a’lam.
BAHAYA MEMUTUS KEKERABATAN
Selain menjelaskan keutamaan shilaturrahmi, demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang memutuskan kerabat dengan sabda beliau : لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ Tidak akan masuk sorga orang yang memutuskan (persaudaraan). [HR. al-Bukhâri dan Muslim, dari Jubair bin Muth’im]
Hadits ini menunjukkan bahwa memutuskan kekerabatan merupakan dosa besar, dan menghalangi masuk surga. Maksud ‘Tidak akan masuk surga’ dalam hadits di atas, ada dua kemungkinan: Tertuju kepada orang yang menganggap halal memutuskan persaudaraan tanpa sebab, padahal dia mengetahui keharamannya, maka orang ini kafir, dia kekal di dalam neraka, dan tidak akan masuk surga selamanya. Maksudnya: tidak masuk surga semenjak awal bersama orang-orang yang dahulu, tetapi dia dihukum dengan diundurkan dari masuk surga dengan ukuran yang dikehendaki oleh Allâh Azza wa Jalla . [Lihat Syarh Imam Nawawi, 16/113-114]
Demikian juga di antara bahaya memutuskan shilaturrahmi adalah Allâh Azza wa Jalla memutuskan kebaikan kepada pelakunya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ ، فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ
"Sesungguhnya (kata) rahmi diambil dari (nama Allâh) ar-Rahman. Allâh berkata, “Barangsiapa menyambungmu (rahmi/kerabat), Aku akan menyambungnya; dan barangsiapa memutuskanmu, Aku akan memutuskannya”. [HR. al-Bukhâri dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Karena ada ancaman ‘tidak masuk surga, maka dosa memutus kekerabatan termasuk kabâ’ir (dosa-dosa besar). Selain itu banyak menimbulkan kerusakan dalam kehidupan. Karena memutus kekerabatan akan melepaskan ikatan di antara kerabat, menimbulkan permusuhan dan kebencian, dan merusakkan hubungan kekeluargaan. Bahkan memutus kekerabatan termasuk sebab yang akan mendatangkan laknat, menjadikan ketulian dan kebutaan hati. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ ﴿٢٢﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allâh dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka." [Muhammad/47: 22-23]
Ada dua panafsiran tentang ayat ini: ‘Tawalla’ dalam ayat di atas diartikan dengan berkuasa, sebagaimana terjemah dari Depag di atas. ‘Tawalla’ diartikan dengan berpaling, yaitu berpaling dari kitab Allâh dan hukum-hukumnya. Diriwayatkan bahwa Qatâdah rahimahullah berkata, “Bagaimana kamu melihat orang-orang ketika berpaling dari kitab Allâh, bukankah mereka menumpahkan darah, memutuskan kerabat, dan bermaksiat kepada ar-Rahmân (Allâh yang Maha Pemurah)?” [Lihat Tafsir al-Baghawi, 7/287]
Karena bahayanya dosa memutuskan kekerabatan ini, maka hukumannya disegerakan di dunia sebelum di akhirat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنَ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
"Tidak ada satu dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang Allâh siapkan baginya di akhirat daripada baghyu (kezhaliman dan berbuat buruk kepada orang lain) dan memutuskan kerabat." [HR. al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 29; Tirmidzi, no. 2511; Abu Dawud, no. 4902; al-Hakim, no. 3359, 7289; dll. Dishahihkan oleh Tirmidzi, al-Hâkim, adz-Dzahabi dan al-Albani]
Ketika kita sudah mengetahui berbagai akibat buruk dari memutuskan kekerabatan, maka sepantasnya untuk segera memperbaiki diri dengan menyambung kekerabatan dengan sebaik-baiknya. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan untuk mengamalkannya, sesuai dengan keadaan kita. Amin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Sumber: https://almanhaj.or.id/