Type Here to Get Search Results !

 


DIDIKLAH ANAKMU SESUAI DENGAN ZAMANNYA

 

“DIDIKLAH ANAKMU SESUAI ZAMANNYA KARENA MEREKA HIDUP BUKAN DI ZAMANMU”

BENARKAH INI HADITS NABI??? ATAUKAH UCAPAN ALI BIN ABI THALIB???

Cukup banyak yang bertanya kepada saya tentang perkataan di bawah ini 

  • Apakah benar ini perkataan Nabi ﷺ ???
  • Ataukah perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu.

Berikut tanggapan saya:

Setelah saya berusaha menelusuri perkataan ini, maka saya dapati redaksi Arabnya sebagai berikut :

لا تؤدبوا أولادكم بأخلاقكم ، لأنهم خلقوا لزمان غير زمانكم‏

“Janganlah kalian mendidik anak-anak kalian menurut akhlak kaian, karena mereka diciptakan bukan di zaman kalian”

Ada juga dengan redaksi di bawah ini :

لا تربوا أولادكم كما رباكم آباؤكم، فقد خلقوا لزمان غير زمانكم

“Janganlah kalian mendidik anak-anak kalian sebagaimana bapak-bapak kalian mendidik kalian, karena mereka (anak kalian) diciptakan bukan di zaman kalian”

Semuanya ini, disandarkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Adapula yang menyandarkan kepada ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.

CATATAN SAYA :

Saya tidak mendapati ada yang menisbatkan perkataan ini kepada Nabi ﷺ kecuali di buku-buku atau tulisan orang-orang di tanah air. Maka saya katakan, bahwa TIDAK BENAR ini disandarkan kepada Nabi ﷺ. Menyandarkan kepada Nabi ﷺ, bukan hanya PALSU, tapi Lâ ashla lahu (TIDAK ADA ASALNYA DARI NABI) dan menyebarkannya dengan mengatasnamakan Nabi termasuk DUSTA atas nama Nabi ﷺ.

Situs islamQA yang diasuh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Munajjid hafizhahullahu menerangkan bahwa perkataan ini juga tidak diketahui ada sanadnya berasal dari Ali bin Abi Thâlib radhiyallâhu ‘anhu maupun dari sahabat lainnnya (termasuk ‘Umar), bahkan tidak pula ada buktinya berasa dari salah seorang salaf shalih.

Sesungguhnya, lafazh ini berasal dari para Filsuf Yunani seperti Socrates ataupun Plato, dengan lafazh

لا تكرهوا أولادكم على آثاركم ، فإنهم مخلوقون لزمان غير زمانكم

“Janganlah kalian memaksa anak-anak kalian mengikuti atsar (jejak/cara) kalian, karena mereka diciptakan di zaman yang bukan zaman kalian.”

Perkataan ini disandarkan kepada Socrates oleh Ibnul Qoyyim dalam Ighâtsul Lahafân (II/265) dan as-Syahrastani dalam al-Milal wan Nihal (II/144) .

Dan disandarkan kepada Plato oleh Al-Amir Usamah bin Munqidz dalam Lubâbul Âdâb (hal 237) dan Muhammad bin al-Hasan bin Hamdun dalam at-Tadzkirah al-Hamduniyah (I/256) .

Perkataan ini jika dimutlakkan, maka TIDAK BENAR. Karena perkara ADAB SYAR’I dan AKHLAQ MULIA tidaklah berkaitan dengan waktu dan tempat, semisal kejujuran, amanah, meninggalkan kemaksiatan dan melazimi ketaatan, semua ini tidak ada korelasinya dengan waktu dan tempat.

Sesungguhnya orang yang berpendapat seperti ini meyakini konsep RELATIVITAS AKHLAQ dan RELATIVITAS KEBAIKAN dan KEBURUKAN [maksudnya kebaikan dan keburukan itu nisbi/relatif], dan tentu saja pendapat seperti ini adalah pendapat yang BATIL lagi TERTOLAK.

Kerena Nabi kita ﷺ bersabda :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik” [HR Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani].

Kita meyakini bahwa generasi terbaik adalah para salaf shalih, dan kaum muslimini akan berada di atas kebaikan selama mereka beradab dengan adabnya para salaf, mencontoh jalan hidup mereka dan mengambil petunjuk mereka. Karena metodenya para salaf sejatinya, junior mereka mengambil dari senior mereka, dan pelajar mereka mengambil dari guru mereka, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir :

كَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ يُشَبَّهُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَدْيِهِ وَدَلِّهِ وَسَمْتِهِ، وَكَانَ عَلْقَمَةُ يُشْبِهُهُ ، وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ يُشْبِهُ عَلْقَمَةَ ، وَكَانَ مَنْصُورٌ يُشْبِهُ إِبْرَاهِيمَ ، وَكَانَ سُفْيَانُ يُشْبِهُ مَنْصُورًا ، وَكَانَ وَكِيعٌ يُشْبِهُ سُفْيَانَ ، وَكَانَ أَحْمَدُ يُشْبِهُ وَكِيعًا ، وَكَانَ أَبُو دَاوُدَ يُشْبِهُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ

“Adalah Ibnu Mas’ûd itu menyerupai Nabi ﷺ di dalam tuntunan, petunjuk dan karakter. ‘Alqomah menyerupai Ibnu Mas’ûd, Ibrâhîm menyerupai ‘Alqomah, Manshûr menyerupai Ibrâhîm, Sufyân menyerupai Manshûr, Wakî menyerupai Sufyân, Ahmad menyerupai Waki’ dan Abû Dâwud menyerupai Ahmad bin Hanbal.” [al-Bidâyah wan Nihâyah XIV/618]

Berkenaan dengan ini Imam adz-Dzahabi menerangkan :

تفقه أَبُو دَاوُد بِأَحْمَد بن حنبل ولازمه مُدَّة ، وَكَانَ يُشَبَّهُ بِهِ كَمَا كَانَ أَحْمد يشبه بشيخه وَكِيع وَكَانَ وَكِيع يشبه بشيخه سُفْيَان وَكَانَ سُفْيَان يشبه بشيخه مَنْصُور وَكَانَ مَنْصُور يشبه بشيخه إِبْرَاهِيم وَكَانَ إِبْرَاهِيم يشبه بشيخه عَلْقَمَة وَكَانَ عَلْقَمَة يشبه بشيخه عبد الله بن مَسْعُود رضي الله عَنهُ ، وروى أَبُو مُعَاوِيَة عَن الْأَعْمَش عَن إِبْرَاهِيم عَن عَلْقَمَة أَنه كَانَ يشبه عبد الله بن مَسْعُود بالنبي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم في هَدْيه ودله

“Abû Dâwud mendalami ilmu dan bermulazamah cukup lama kepada Ahmad bin Hanbal sehingga beliau pun menyerupainya. Ahmad bin Hanbal menyerupai gurunya, Waki’. Waki’ menyerupai gurunya, Sufyân. Sufyân menyerupai gurunya, Manshûr. Manshûr menyerupai gurunya, Ibrâhîm. Ibrâhîm menyerupai gurunya, ‘Alqomah. ‘Alqomah menyerupai gurunya, ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiyllahu ‘anhu. Abu Mu’awiyah meriwayatkan dari al-A’masy, dari Ibrâhîm, dari ‘Alqomah, bahwa ‘Abdullâh bin Mas’ûd menyerupai Nabi ﷺ di dalam petunjuk dan tuntunannya.” [Thobaqot Syâfi’iyah II/296]

Perkataan ini boleh diambil faidahnya di dalam urusan ‘adah (kebiasaan), perangai dan murû`ah (kewibawaan) yang tidak berkaitan dengan nash syar’i (dalam urusan dunia saja, bukan agama).

Jadi, hanya berkaitan dengan kebiasaan dan úrf (tradisi) manusia. Karena ini perkara yang berubah-ubah sesusai dengan perubahan waktu dan tempat.

Dalam hal ini sepatutnya seorang pendidik tidak memaksa anaknya dengan kebiasaan atau tradisi yang berbeda dengan zamannya selama tidak menyelisihi nash syar’i atau dalam perkara duniawi bukan agama.

Adapun adab dan akhlaq yang syar’i, baik itu terhadap Allah dengan cara mentauhidkan-Nya, dan terhadap Nabi ﷺ dengan cara meneladani beliau, lalu menjadikan mereka cinta dengan hal ini, memotivasi dan mendorong mereka untuk berpegang dengan adab dan akhlaq yang syar’i ini, dengan cara lemah lembut tapi tetap tegas, dengan cara targhib (mendorong) dan tarhib (mengancam), melakukannya dengan hikmah dan sabar, maka ini adalah kewajiban yang harus dikerjakan pendidik.

والله تعالى أعلم .

Penulis: Abu Salma Muhammad

Sumber: https://abusalma.net/

Tags