Type Here to Get Search Results !

 


AL-QUR'AN BISA MENOLONGMU ATAU MEMBINASAKANMU

 

KAJIAN ILMIAH TENTANG AL-QUR’AN BISA MENOLONGMU ATAU MEMBINASAKANMU

Kita masih membahas tentang hadits Abi Malik Al-Asy’ari dan kita sampai pada potongan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“Dan Al-Qur’an bisa menjadi penolong bagi dirimu atau sesuatu yang membinasakan dirimu.”

Kata beliau maknanya bahwasanya kondisi seseorang hamba bersama Al-Qur’an itu satu diantara dua kemungkinan. Yang pertama, Al-Qur’an akan menjadi penolong bagi dirinya atau yang kedua, Al-Qur’an justru yang akan membinasakan dirinya.

Apabila seorang hamba mengetahui perkara tersebut, maka dia harus mengetahui kapan Al-Qur’an bisa menjadi hujjah untuk dirinya, akan menjadi penolong bagi dirinya. Atau Al-Qur’an justru akan membinasakan dirinya. Sehingga dia akan berusaha untuk mengkondisikan Al-Qur’an sebagai penolong bagi dirinya dan ia berusaha selamat dari Al-Qur’an yang akan menghujat dirinya dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berkata Qatadah Rahimahullahu Ta’ala, “Tidak ada seorangpun yang duduk bersama Al-Qur’anul Karim melainkan tatkala dia bangun maka satu dari dua kemungkinan; bisa semakin bertambah kebaikan bagi dirinya atau akan semakin berkurang keburukan untuk dirinya.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا مَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَـٰذِهِ إِيمَانًا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ ﴿١٢٤﴾ وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَىٰ رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ ﴿١٢٥)

“Dan apabila diturunkan kepada engkau sebuah surat dari surat-surat Al-Qur’an, maka diantara manusia ada yang mengatakan, ‘Siapa di antara kalian yang bertambah imannya dengan turunnya surat tersebut?’ Maka Allah mengatakan, ‘Adapun orang-orang yang beriman maka mereka akan bertambah keimanan mereka dengan turunnya surat tersebut dan mereka akan bergembira dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang yang di dalam hati mereka terdapat penyakit, maka Allah akan menambahkan baginya kekufuran di atas kekufuran sehingga mereka akan meninggal dalam kondisi kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.’” (QS. At-Taubah[9]: 124)

Maka sebagai manusia mendapatkan kebaikan dengan Al-Qur’anul Karim dan sebagian manusia mereka dijauhkan dari kebaikan tersebut.

Kata Syaikh, apabila Anda ingin mengetahui kapan Al-Qur’an menjadi hujjah (penolong) bagi dirimu atau kapan Al-Qur’an menjadi bumerang bagi Anda, maka Anda harus mengetahui maksud dan tujuan turunnya Al-Qur’anul Karim. Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullahu Ta’ala berkata sesungguhnya Al-Qur’an turun agar diamalkan kandungan-kandungannya. Maka sebagian manusia menjadikan amalan mereka hanya berupa bacaan dengan lisan-lisan mereka. Maknanya -kata Syaikh- bahwasannya sebagian manusia hanya mencukupkan dengan bacaan Al-Qur’an dan mereka meninggalkan mengamalkan kandungan-kandungan Al-Qur’an tersebut.

Al-Qur’an Allah turunkan untuk diamalkan oleh umat manusia baik dalam hal aqidah, dalam hal ibadah, dalam perkara yang halal dan yang haram. Maka seorang hamba akan termasuk kedalam ahlul quran tatkala dia mampu mengamalkan Al-Qur’an tersebut. Oleh karenanya datang dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dimana Nabi yang mulia bersabda:

يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ

“Akan didatangkan pada hari kiamat nanti Al-Qur’an dan juga para ahlul quran yang mereka adalah orang-orang yang mengamalkan Al-Qur’an tersebut.” (HR. Muslim)

Maka setiap orang yang mengamalkan Al-Qur’an, dia termasuk ke dalam ahlul qur’an. Adapun orang-orang yang sebatas hanya mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an, hanya sebatas membaca Al-Qur’an tersebut dan tidak mengamalkannya maka dia tidak termasuk ke dalam ahlu qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk menghafalkan semua ayat Al-Qur’anul Karim. Akan tetapi Allah wajibkan kepada kita semuanya untuk mengamalkan kandungan Al-Qur’anul Karim. Maka mengamalkan Al-Qur’an hukumnya wajib. Dan mengamalkan Al-Qur’an adalah tujuan diturunkannya Al-Qur’anul Karim. Dan yang semakna dengan perkara ini adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat dengan Al-Qur’an sebagian kaum dan akan merendahkan sebagian kaum yang lainnya.” (HR. Muslim)

Kata Syaikh makna perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

Setiap manusia itu berjalan dan menjual diri-diri mereka. Maka sebagian manusia ada yang memerdekakan jiwa mereka dan sebagian manusia ada yang membinasakan jiwa mereka.

Maknanya -kata Syaikh- bahwasanya setiap manusia mereka berjalan dari waktu pagi, senantiasa berjalan di sebuah perjalanan. Namun perjalanan tersebut mencakup dua macam perjalanan. Macam yang pertama adalah seorang yang dia berjalan dan dia menjual dirinya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia mengharapkan rahmat Allah dan mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia tidak beramal melainkan dengan amalan yang mendatangkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia berusaha untuk menjauhi segala perkara yang mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka dengan jual beli tersebut tatkala dia menjual dirinya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia memerdekakan dirinya dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan jenis yang kedua adalah seseorang yang dia berjalan untuk setan dan hawa nafsunya. Maka setiap perbuatannya adalah maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka orang semacam ini senantiasa didalam kemurkaan dan kemarahan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan makna sabda Rasulullah, “maka dia memerdekakan jiwanya.” Maknanya adalah dia memerdekakan jiwanya dari hukuman Allah, dari murka Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia termasuk orang-orang yang selamat. Karena dengan menjual dirinya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia akan berusaha untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan dengan perkara tersebut dia telah menyelamatkan dirinya dari hukuman dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun makna sabda Rasulullah, “Atau dia akan membinasakan dirinya.” Maknanya -kata beliau- dia akan membinasakan dirinya dengan mengerjakan amalan-amalan yang membinasakan. Yaitu dengan melakukan dosa-dosa besar. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ

“Jauhi oleh kalian tujuh dosa yang membinasakan.”

Dosa-dosa besar dinamakan dengan المُوبِقَاتِ karena dosa-dosa tersebut akan membinasakan pelakunya. Maka manusia ada dua macam; ada orang-orang yang berusaha memerdekakan dirinya dengan amal ketaatan, dengan amal-amal kebaikan. Dan sebagian manusia ada yang justru membinasakan diri-diri mereka dengan perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang munkar.

Maka hadits yang mulia ini adalah hadits yang sangat besar yang merupakan pondasi diantara pondasi-pondasi Islam yang tercakup di dalamnya kaidah-kaidah penting di dalam agama Islam.



BAB KEUTAMAAN SHALAT DI AWAL WAKTU

Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, beliau berkata: “Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Ya Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?'” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا

Mengerjakan shalat pada waktunya.”

Kemudian aku bertanya lagi, “kemudian apalagi Ya Rasulallah?” Kata Nabi yang mulia:

بِرُّ الوَالِدَيْنِ

"Berbakti kepada kedua orang tua.”

Kata Abdullah bin Mas’ud, “Apalagi Ya Rasulallah?” Lalu kata Nabi yang mulia:

الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Berjihad dijalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Kata Abdullah bin Mas’ud:

حَدَّثَنِي بِهِنَّ ، وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي

“Nabi yang mulia mengabarkan kepadaku tentang perkara-perkara di atas, kalau seandainya aku menambah pertanyaanku, pasti Nabi akan menambah tentang amalan-amalan tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kata Fadhilatusy Syaikh bahwa shalat di awal waktu adalah termasuk bentuk bersegera didalam amal-amal kebaikan. Dan sifat tersebut diantara sifat-sifat orang yang muhsin. Oleh karenanya datang di dalam nash-nash syara’i anjuran untuk shalat di awal waktu. Dan hendaknya seorang muslim memperhatikan masalah shalat lima waktu yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam sehari semalam. Hendaknya setiap muslim berusaha untuk mengerjakan shalat tersebut di awal waktunya kecuali beberapa kondisi yang dikecualikan didalam nash-nash syariat seperti: mengakhirkan shalat dzuhur tatkala hari yang memang sangat panas atau mengakhirkan shalat isya’ kalau seandainya tidak ada masyaqqah di dalamnya. Maka ini adalah perkara pengecualian. Kalau tidak, maka yang paling utama dan yang paling sempurna adalah seorang muslim berusaha untuk menyegerakan shalat dan mengerjakan shalat di awal waktunya.

Dan keutamaan ini ditunjukkan oleh banyak dalil. Diantaranya adalah hadits yang dibawakan oleh penulis Rahimahullahu Ta’ala. Dan makna perkataan Abdullah bin Mas’ud:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ ؟

“Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Amalan apa yang paling Allah cintai?”

Kata Syaikh bahwa pertanyaan tersebut dan yang semisalnya sering diulang oleh para sahabat, sering keluar dari lisan-lisan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan pertanyaan semacam itu menunjukkan kepada kita bagaimana semangatnya para sahabat, bagaimana tingginya himmah para sahabat dan bagaimana keinginan mereka yang sangat besar di dalam mencari keutamaan-keutamaan amalan, di dalam berilmu tentang keutamaan-keutamaan amalan untuk kemudian mereka amalkan. Mereka senantiasa bertanya kepada Rasulullah tentang amalan-amalan yang bisa mendekatkan diri mereka kepada surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagaimana juga ditunjukkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang lain yang serupa dari sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dimana pertanyaan tersebut menunjukkan kepada kita akan kemuliaan ilmu tersebut. Yakni ilmu yang berkaitan dengan fadhilah-fadhilah suatu amalan. Dan bahwasanya ilmu tentang fadhilah amal tersebut hendaknya ilmu yang senantiasa diperhatikan oleh orang-orang yang jujur, yang berusaha mendapatkan kebaikan, hendaknya dia berusaha mencari ilmu tentang keutamaan tersebut. Karena ilmu tersebut diantara jalan terbesar seseorang bisa mengamalkan amalan dan dia bisa istiqamah di atas amalan-amalan tersebut.

Kemudian makna perkataan perawi:

أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟

“Amalan apakah yang paling Allah cintai?”

Kata beliau, dalam ungkapan tersebut kita bisa ambil faidah yaitu kewajiban menetapkan sifat mahabbah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adanya sifat cinta bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kita wajib meyakininya. Dan juga terdapat faidah bahwasanya amalan-amalan manusia itu bertingkat-tingkat nilainya di dalam masalah keutamaan.

Dan makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا

“Mengerjakan shalat pada waktunya.”

Inilah syahid dari hadits yang dibawakan oleh Al-Imam Rahimahullahu Ta’ala. Dan Al-Imam Al-Mundziri membawakan hadits ini sebagai syahid atas keutamaan shalat di awal waktu. Sebagai dalil untuk menunjukkan keutamaan shalat di awal waktu.

Dan diantara perkara yang kita maklumi bahwasanya siapa yang mengerjakan shalat di awal waktu, di pertengahan waktu atau di akhir waktu, maka dia dikatakan orang yang mengerjakan shalat pada waktunya, baik di awal di tengah ataupun di akhir dan dia sudah menunaikan kewajiban. Namun dari mana penulis dan dari kalangan para ualama mengambil dalil dari hadits di atas tentang keutamaan shalat di awal waktu? Bagaimana cara pengambilan dalilnya? Maka Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullahu Ta’ala berkata karena kata “عَلَى” pada sabda Rasulullah di atas adalah “عَلَى” yang berfungsi sebagai dzorfiyah yang menunjukkan keterangan waktu. Dan setiap amalan-amalan yang dikerjakan di waktu-waktu yang luas, maka tidak hanya ada pada satu bagian waktu. Namun sepanjang waktu itu bisa dikerjakan pada sebagian waktu yang memang diberikan kelapangan oleh syariat tersebut. Namun kata beliau apabila amalan-amalan tersebut dikerjakan di awal waktunya, maka seseorang yang mengerjakan shalat di awal waktu dia sudah dikatakan sebagai orang yang shalat pada waktunya.

Oleh karenanya -kata beliau- orang yang shalat dikatakan sebagai orang yang sudah mengerjakan shalat, maka dia dikatakan orang yang shalat meskipun masih ada waktu yang tersisa. Adapun sebelum mengerjakan shalat tersebut maka dia belum dikatakan sebagai orang yang shalat. Jadi tatkala seseorang shalat di awal waktu sampai selesai waktunya, maka tatkala sudah dikerjakan shalat tersebut ia dikatakan orang yang sudah mengerjakan shalat meskipun masih ada waktu yang tersisa.

Berbakti Kepada Orang Tua

Kemudian perkataan perawi:

ثُمَّ أَيٌّ ؟

“Kemudian apa lagi Ya Rasulullah?”

Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

بِرُّ الوَالِدَيْنِ

“Berbakti kepada kedua orang tua.”

Kata beliau bahwa jawaban yang pertama berkaitan dengan seafdhal-afdhal amalan. Yaitu berupa shalat. Hal ini karena berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hambaNya setelah mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian jawaban yang kedua setelah shalat adalah amalan yang berkaitan dengan hak antara hamba. Maka amalan yang paling utama yang berkaitan dengan hak hamba adalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua). Karena hak tersebut digandengkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam banyak ayat Al-Qur’anul Karim. Diantaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ

“Hendaknya engkau berterima kasih kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu.” (QS. Luqman[31]: 14)

Di ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّـهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Hendaklah engkau beribadah hanya kepada Allah dan jangan berbuat kesyirikan kepada Allah dan wajib bagimu untuk berbuat baik kepada kedua orang tuamu.” (QS. An-Nisa'[4]: 36)

Di ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾ وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا ﴿٢٤﴾

“Dan Allah telah mewajibkan agar engkau hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah mewajibkan agar engkau berbuat baik kepada kedua orang tuamu. Kalau seandainya salah satu diantara keduanya atau kedua-duanya sudah masuk usia lanjut dan mereka di bawah penjagaan engkau, maka janganlah sekali-kali mengucapkan perkataan yang buruk, janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya ucapan-ucapan yang baik, rendahkan dirimu dihadapan keduanya, tampakkan rasa rahmatmu di hadapan keduanya dan mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah merahmati keduanya sebagaimana mereka berdua merahmati diriku sewaktu kecil.” (QS. Al-Isra[17]: 23-24)

Nash-nash tersebut menunjukkan betapa besarnya hak kedua orang tua kepada anak-anaknya. Dan bahwasanya berbakti kepada kedua orang tua diantara sebesar-besar hak yang harus kita tunaikan.

Kemudian -kata beliau- bahwa berbakti kepada kedua orang tua yaitu dengan cara kita bermuamalah bersama mereka dengan muamalah yang baik, dengan perbuatan-perbuatan yang baik, dengan rahmat. Baik dalam ucapan ataupun perbuatan. Dengan ucapan yang lembut, dengan mendo’akan kebaikan untuk kedua orang tua kita, kita do’akan kepada mereka:

وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Ya Allah, rahmatilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku tatkala aku masih kecil.”

Kemudian dengan berusaha untuk bermuamalah dengan amalan-amalan yang terbaik. Dan definisi yang terbaik tentang birrul walidain adalah engkau bermuamalah dengan kedua orang tuamu dengan muamalah yang engkau inginkan dari anak-anakmu. Jadi sebagaimana kita ingin anak kita berbuat baik kepada kita, maka sikapilah kedua orang tua kita dengan sikap tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ

“Hendaknya seseorang berbuat kepada manusia sebagaimana apa yang dia harapkan dari manusia tersebut.” (HR. Muslim)

Maka perkara tersebut adalah sesuatu yang merupakan inti dari berbuat baik dan hakikat berbuat baik kepada kedua orang tua.

Kemudian makna perkataan rawi, “Kemudian amalan apa lagi Ya Rasulullah?” Kata Nabi yang mulia, “Kemudian Jihad Fii Sabilillah.” Maknanya adalah seseorang berusaha untuk berjihad dijalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangka meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu Ta’ala A’lam Bish Shawwab..

___
Al-Qur’an Bisa Menolongmu Atau Membinasakanmu & Keutamaan Shalat Di Awal Waktu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Kifayatul Muta’abbid wa Tuhfatul Mutazahhid. Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 23 Muharram 1441 H / 23 September 2019 M.

Penerjemah: Ustadz Iqbal Gunawan

Sumber: radiorodja.com/
Tags