JAWAB:
Bermimpi ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wasallam merupakan perkara yang mungkin terjadi berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Akan tetapi para ulama telah sepakat jika seseorang bermimpi bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun, lalu Nabi menyampaikan sesuatu dalam mimpi tersebut maka mimpi tersebut tidak bisa dijadikan dalil dalam penentuan hukum yang baru, apalagi sampai merubah atau memansukhkan suatu hukum. Demikian juga halnya jika Nabi mengabarkan hal yang ghoib tentang masa depan. Paling banter hanya sebagai ‘isti’naas (penguat) saja dan bukan penentu atau kepastian.
- Berikut ini perkataan ulama madzhab Syafi’iyyah tentang hal ini.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
أَنَّهُ مَنْ رَآهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآهُ حَقًّا. وَأَنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِهِ، وَلَكِنْ لَا يُعْمَلُ بِمَا يَسْمَعُهُ الرَّائِي مِنْهُ فِي الْمَنَامِ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالْأَحْكَامِ، لِعَدَمِ ضَبْطِ الرَّائِي، لَا لِلشَّكِّ فِي الرُّؤْيَةِ، فَإِنَّ الْخَبَرَ لَا يُقْبَلُ إِلَّا مِنْ ضَابِطٍ مُكَلَّفٍ، وَالنَّائِمُ بِخِلَافِهِ
“Sesungguhnya barang siapa yang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi maka ia telah melihatnya sesungguhnya. Dan sesungguhnya syaitan tidak bisa menyerupai bentuk Nabi. Akan tetapi tidak diamalkan apa yang didengar oleh seorang yang mimpi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, tentang apa yang berkaitan dengan hukum. Karena orang yang mimpi tidak dhobith (tidak memiliki kemampuan menangkap dan menghafalkan berita atau riwayat yang didengarnya-pen) bukan dari sisi ragu akan mimpinya melihat Nabi akan tetapi suatu khobar/berita tidaklah diterima kecuali dari seseorang yang dhobith mukallaf. Adapun seorang yang sedang tidur tidaklah demikian” (Roudhotut Thoolibin 7/16)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga berkata :
لَوْ كَانَتْ لَيْلَةُ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ وَلَمْ يَرَ النَّاسُ الْهِلَالَ فَرَأَى إنْسَانٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ فَقَالَ لَهُ اللَّيْلَةُ أَوَّلُ رَمَضَانَ لَمْ يَصِحَّ الصَّوْمُ بِهَذَا الْمَنَامِ لَا لِصَاحِبِ الْمَنَامِ وَلَا لغيره ذكره القاضي حسين فِي الْفَتَاوَى وَآخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ الْإِجْمَاعَ عَلَيْهِ
“Kalau seandainya pada malam hari ke 30 bulan Sya’ban, dan orang-orang tidak ada yang melihat hilal, lalu ada seseorang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya, lalu Nabi berkata kepadanya, “Malam ini adalah malam pertama bulan Ramadhan” maka berpuasa dengan berdalil pada mimpi tersebut tidaklah sah, tidak sah bagi orang yang bermimpi demikian juga tidak sah bagi selainnya. Hal ini telah disebutkan oleh Al-Qoodhi Husain dalam fatwa-fatwanya, demikian juga para ulama Syafi’iyah yang lainnya. Dan Al-Qoodhi ‘Iyaadh menukilkan ijmak akan hal ini”
Al-Imam An-Nawawi melanjutkan :
وَقَدْ قَرَّرْتُهُ بِدَلَائِلِهِ فِي أَوَّلِ شَرْحِ صَحِيحِ مُسْلِمٍ وَمُخْتَصَرُهُ أَنَّ شَرْطَ الرَّاوِي وَالْمُخْبِرَ وَالشَّاهِدَ أَنْ يَكُونَ مُتَيَقِّظًا حَالِ التَّحَمُّلِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ النَّوْمَ لَا تَيَقُّظَ فِيهِ وَلَا ضَبْطَ فَتُرِكَ الْعَمَلُ بِهَذَا الْمَنَامِ لِاخْتِلَالِ ضَبْطِ الرَّاوِي لَا لِلشَّكِّ فِي الرُّؤْيَةِ
Aku telah menjelaskan dengan disertai dalil-dalil di awal dari (kitab) Syarh Shahih Muslim…, bahwasanya syarat seorang perawi dan pembawa kabar berita, serta syarat seorang saksi, adalah harus dalam keadaan sadar/terjaga tatkala menerima berita. Dan ini merupakan perkara yang disepakati (ijmak) para ulama. Dan tentunya pada tidur tidak ada sikap terjaga dan juga tidak ada sifat ad-dobth, maka ditinggalkan mengamalkan mimpi ini, dikarenakan ketidakberesan dhobth sang perawi, bukan karena ragu tentang mimpinya” (Al-Majmuu’ 6/281-282))
Al-Imam An-Nawawi juga berkata :
فنقلوا الاتفاق على أنه لا يغير بسبب ما يراه النائم ما تقرر فى الشرع وليس هذا الذى ذكرناه مخالفا لقوله صلى الله عليه وسلم من رآنى فى المنام فقد رآنى فان معنى الحديث أن رؤيته صحيحة وليست من أضغاث الاحلام وتلبيس الشيطان ولكن لا يجوز اثبات حكم شرعى به لأن حالة النوم ليست حالة ضبط وتحقيق لما يسمعه الرائى وقد اتفقوا على أن من شرط من تقبل روايته وشهادته أن يكون متيقظا لا مغفلا ولا سىء الحفظ ولا كثير الخطأ ولا مختل الضبط والنائم ليس بهذه الصفة فلم تقبل روايته لاختلال ضبطه … أما اذا رأى النبى صلى الله عليه و سلم يأمره بفعل ما هو مندوب إليه أو ينهاه عن منهى عنه أو يرشده إلى فعل مصلحة فلا خلاف فى استحباب العمل على وفقه لأن ذلك ليس حكما بمجرد المنام بل تقرر من أصل ذلك الشيء والله أعلم
“Mereka (para ulama syafi’iyyah) telah menukilkan kesepakatan bahwasanya apa yang dilihat oleh orang yang mimpi tidaklah merubah hukum yang telah berlaku dalam syari’at. Dan apa yang kami sebutkan ini tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ رآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي
“Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihatku”
Karena makna hadits ini adalah bahwasanya mimpi melihat Nabi adalah benar dan bukan dari jenis mimpi-mimpi kosong dan tipuan syaitan, akan tetapi tidak boleh menetapkan hukum syari’at dengan mimpi tersebut. Karena kondisi tidur bukanlah kondisi dhobth dan tahqiq terhadap apa yang didengar oleh orang yang mimpi tersebut. Mereka telah bersepakat bahwasanya diantara syarat seseorang diterima riwayatnya dan persaksiannya adalah ia harus dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan lalai, buruk hafalan, banyak salahnya, dan tidak beres dhobithnya. Dan orang yang sedang tidur tidak memiliki sifat-sifat ini maka tidaklah diterima riwayatnya karena ketidakberesan dhobithnya…
Adapun jika ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi) memerintahkannya untuk melakukan perkara yang dianjurkan atau melarangnya dari perkara yang dilarang atau mengarahkannya untuk melakukan suatu kemaslahatan maka tidak ada khilaf tentang disukainya mengerjakan mimpi tersebut, karena hal ini bukanlah penetapan suatu hukum karena hanya sekedar mimpi, akan tetapi memang sudah ditetapkan oleh hukum asalnya sesuatu tersebut” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 1/115)
Syaikhul Islaam Zakariya Al-Anshoori berkata :
وَرُؤْيَتُهُ في النَّوْمِ حَقٌّ فإن الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِهِ كما ثَبَتَ ذلك في الصَّحِيحَيْنِ وَلَا يُعْمَلُ بها فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْأَحْكَامِ لِعَدَمِ ضَبْطِ النَّائِمِ لَا لِلشَّكِّ في رُؤْيَتِهِ
“Dan melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi adalah kebenaran, karena Syaithan tidak bisa meniru Nabi sebagaimana telah valid dalam shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim, dan tidaklah diamalkan mimpi tersebut tentang apa-apa yang berkaitan dengan hukum-hukum dikarenakan tidak adanya dhobth dari orang yang mimpi, bukan karena keraguan akan benarnya ia mimpi” (Asna Al-Mathoolib 3/106)
Syaitan Tidak Bisa Meniru Rupa dan Sifat Nabi Tapi Bisa Mengaku Sebagai Nabi
Diantara cara syaitan menyesatkan sebagian orang adalah dengan datang melalui mimpi mereka dengan mengaku sebagai Rasulullah lalu mengajarkan kepada mereka hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Memang benar bahwasanya Syaitan tidak bisa meniru rupa dan bentuk Nabi meskipun dalam mimpi, akan tetapi syaitan bisa mengaku sebagai Nabi dengan rupa selain rupa Nabi.
Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي حقاً، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
“Barang siapa yang melihatku di mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena syaitan tidak bisa meniruku” (HR Al-Bukhari no 110 dan Muslim no 2266)
Dari Abu Qotaadah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَرَاءَى بِي
“Dan sesungguhnya syaitan tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku” (HR Al-Bukhari no 6995)
Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dengan lafal
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَخَيَّلُ بِي
“Karena syaitan tidak bisa menkhayalkan menjadi diriku” (HR Al-Bukhari no 6994)
Karenanya barang siapa yang melihat Nabi dalam mimpinya sebagaimana sifat-sifat fisik Nabi yang ma’ruuf (sebagaimana sifat-sifatnya telah tersebutkan dalam hadits-hadits dan juga kitab syama’il) maka sungguh ia telah benar melihat Nabi, karena syaitan tidak bisa meniru Nabi dan tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupa Nabi.
Adapun jika seseorang melihat dalam mimpinya ada yang mengaku sebagai Nabi akan tetapi ternyata sifat-sifatnya menyelisihi dengan sifat-sifat Nabi yang ma’ruuf maka bukan Nabilah yang telah ia lihat, akan tetapi syaitan yang mengaku sebagai Nabi. Inilah pendapat yang benar yang sesuai dengan dzohir hadits-hadits tentang melihat Nabi dalam mimpi, dan juga sesuai dengan praktek para sahabat dan tabi’in. Jika ada orang yang mengaku melihat Nabi dalam mimpinya dan ternyata tidak sesuai dengan sifat-sifat Nabi maka di sisi mereka dia tidaklah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Hakim meriwayatkan :
عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي إِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي» قَالَ أَبِي: فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ عَبَّاسٍ، وَقُلْتُ: قَدْ رَأَيْتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ فَشَبَّهْتُهُ بِهِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «إِنَّهُ كَانَ يُشْبِهُهُ»
Dari ‘Ashim bin Kulaib ia berkata, “Ayahku (Kulaib) menyampaikan kepadaku bahwa ia mendengar Abu Huroiroh berkata : Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihatku, karena syaitan tidak bisa meniruku”. Akupun menyampaikan hadits ini kepada Ibnu Abbas, dan aku berkata kepadanya, “Aku telah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi). Lalu akupun menyebutkan Al-Hasan bin Ali, dan aku menyamakan Nabi dengan Al-Hasan. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata, “Nabi mirip dengan Al-Hasan” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 12/384 berkata, “Sanadnya jayyid/baik”)
Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya berkata :
قَالَ ابْنُ سِيْرِيْن : إِذَا رَآهُ فِي صُوْرَتِهِ
“Ibnu Sirin berkata : (Yaitu) jika ia melihat Nabi dengan rupa Nabi” (Atsar mu’allaq ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya setelah hadits no 6993)
Riwayat ini juga telah diriwayatkan dengan sanad bersambung oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar :
كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ سِيْرِيْن إِذَا قَصَّ عَلَيْهِ رَجُلٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : صِفْ لِي الَّذِي رَأَيْتَهُ، فَإِنْ وَصَفَ لَهُ صِفَةً لاَ يَعْرِفُهَا قَالَ : لَمْ تَرَهُ
Adalah Muhammad bin Sirin jika ada seseorang menceritakan bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam mimpi), maka Ibnu Sirin berkata, “Sebutkanlah ciri-ciri orang yang kau lihat dalam mimpimu”. Jika ternyata ia menyebutkan sifat-sifat (ciri-ciri) yang tidak diketahui oleh Ibnu Sirin maka Ibnu Sirin berkata, “Engkau tidak melihat Nabi” (Fathul Baari 12/384, dan Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih”)
Asy-Syaathibi rahimahullah berkata (menukil perkataan Ibnu Rusyd) :
ثُمَّ قَالَ: وَلَيْسَ مَعْنَى قَوْلِهِ: «مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآنِي حَقًّا»، أَنَّ كُلَّ مَنْ رَأَى فِي مَنَامِهِ أَنَّهُ رَآهُ فَقَدْ رَآهُ حَقِيقَةً، بِدَلِيلٍ أَنَّ الرَّائِيَ قَدْ يَرَاهُ مَرَّاتٍ عَلَى صُوَرٍ مُخْتَلِفَةٍ، وَيَرَاهُ الرَّائِي عَلَى صِفَةٍ، وَغَيْرِهِ عَلَى صِفَةٍ أُخْرَى. وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَخْتَلِفَ صُوَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا صِفَاتُهُ، وَإِنَّمَا مَعْنَى الْحَدِيثِ: مَنْ رَآنِي عَلَى صُورَتَيِ الَّتِي خُلِقْتُ عَلَيْهَا. فَقَدْ رَآنِي، إِذْ لَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي، إِذْ لَمْ يَقُلْ: مَنْ رَأَى أَنَّهُ رَآنِي فَقَدْ رَآنِي؛ وَإِنَّمَا قَالَ: «مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَآنِي»، …فَهَذَا مَا نُقِلَ عَنِ ابْنِ رُشْدٍ، وَحَاصِلُهُ يَرْجِعُ إِلَى أَنَّ الْمَرْئِيَّ قَدْ يَكُونُ غَيْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنِ اعْتَقَدَ الرَّائِي أَنَّهُ هُوَ.
“Kemudian Ibnu Rusyd berkata : Dan bukanlah makna sabda Nabi ((Barang siapa yang melihatku maka telah melihat aku sesungguhnya)) bahwasanya seluruh orang yang melihatnya dalam mimpi berarti telah melihatnya secara sesungguhnya. Buktinya bahwasanya orang yang mimpi terkadang melihat Nabi dalam rupa yang bervariasi. Seseorang yang mimpi melihat Nabi dengan sifat tertentu, dan orang lain mimpi dengan sifat yang lain. Dan tidak boleh rupa-rupa Nabi berbeda-beda demikian juga sifat-sifatnya. Akan tetapi makna hadits adalah “Barang siapa yang melihatku dalam rupaku yang aku diciptakan di atas rupa tersebut, maka ia sungguh telah melihatku, karena syaitan tidak bisa menyerupaiku”. Karena Nabi tidaklah berkata, “Barang siapa yang melihat bahwasanya ia telah melihatku maka ia sungguh telah melihatku”. Akan tetapi Nabi hanyalah berkata, “Barang siapa yang melihatku maka sungguh ia telah melihatku”…
Inilah yang dinukil dari Ibnu Rusyd, yang kesimpulannya adalah kembali kepada bahwasanya yang dilihat dalam mimpi bisa jadi bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dalam keyakinan orang yang bermimpi apa yang dilihatnya adalah Nabi” (Al-I’tishoom 1/335)
Adapun pendapat sebagian ulama bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mungkin untuk dilihat dalam mimpi dengan selain rupa beliau maka merupakan pendapat yang kurang kuat. Tidak ada hadits yang mendukung pendapat ini kecuali hadits yang lemah sebagaimana telah dijelaskan kelemahannya oleh Ibnu Hajar.
Setelah menyebut atsar Ibnu Abbas dan Muhammad bin Sirin yang menyatakan bahwa melihat Nabi harus dengan rupa Nabi, Ibnu Hajar berkata :
ويعارضه ما أخرجه بن أبي عاصم من وجه آخر عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من رآني في المنام فقد رآني فَإِنِّي أُرَى فِي كُلِّ صُوْرَةٍ وفي سنده صالح مولى التوأمة وهو ضعيف لاختلاطه وهو من رواية من سمع منه بعد الاختلاط
“Dan atsar-atsar (Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin-pen) bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dari sisi lain dari Abu Huroiroh, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena sesungguhnya aku dilihat dalam seluruh bentuk”. Pada sanadnya seorang rawi yang bernama Sholeh Maula At-Tauamah karena ikhtilaath, dan ini adalah riwayat dari orang yang mendengar darinya setelah ikhtilath” (Fathul Baari 12/384)
Para ulama yang berpendapat mungkinnya Nabi dilihat dalam mimpi dalam rupa selain beliau, mereka mengatakan : Jika Nabi dilihat dalam rupa selain rupa beliau maka mimpi tersebut butuh takwil.
Akan tetapi –wallahu A’lam- pendapat yang benar bahwa disyaratkan untuk melihat Nabi dalam mimpi adalah dalam rupa Nabi yang sesungguhnya, jika tidak maka apa faedah dari sabda Nabi “Karena sesungguhnya syaitan tidak bisa meniru rupaku” (dalam riwayat lain: “Tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku”, dalam riwayat lain : Tidak bisa mengkhayalkan dengan rupaku”)??
Karenanya jika ada seseorang yang melihat Nabi dalam bentuk seorang yang sudah tua yang rambut dan janggutnya semuanya sudah putih maka dia tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena disebutkan dalam hadits-hadits bahwasanya jumlah rambut uban Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kurang dari 20 helai.
Khurofat Seputar Mimpi Bertemu Nabi
Banyak khurofat yang timbul akibat pengakuan sebagian orang bahwa mereka telah bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Bertemu dengan Nabi dalam mimpi tidak menjadi permasalahan, kebenarannya kita serahkan kepada orang yang mimpi, dan kita berhusnudzon bahwa mungkin saja mereka yang mengaku-ngaku itu benar. Akan tetapi menjadi permasalahan adalah tatkala mimpi tersebut dijadikan dalil untuk suatu hukum, mengajarkan perkara-perkara yang baru dalam agama, apalagi sampai mengajarkan perkara-perkara yang bertentangan dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara khurofat-khurofat tersebut adalah:
- Pertama : Kisah surat wasiat dari penjaga kuburan Nabi yang bernama Syaikh Ahmad yang sempat heboh beberapa waktu yang lalu, yang ternyata hanyalah kedustaan. Isi surat tersebut adalah :
“Ini adalah wasiat dari Madinah Munawwarah dari Ahmad Khodim Al Haram An Nabawi ”
Dalam wasiat ini dikatakan: pada suatu malam Jum’at aku pernah tidak tidur, membaca Al Qur’an, dan setelah membaca Asma’ul Husna aku bersiap siap untuk tidur, tiba tiba aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang telah membawa ayat-ayat Al Qur’an dan hukum-hukum yang mulia, kemudian beliau berkata: wahai Syaikh Akhmad, aku menjawab: ya, ya Rasulullah, wahai orang yang termulia diantara makhluk Allah, beliau berkata kepadaku: aku sangat malu atas perbuatan buruk manusia itu, sehingga aku tak bisa menghadap Tuhanku dan para malaikat, karena dari hari Jum’at ke Jum’at telah meninggal dunia sekitar seratus enam puluh ribu jiwa (160 000) dengan tidak memeluk agama Islam.
Kemudian beliau menyebut contoh contoh dari perbuatan maksiat itu, dan berkata: “maka wasiat ini sebagai rahmat bagi mereka dari Allah Yang Maha Perkasa”, selanjutnya beliau menyebutkan sebagian tanda tanda hari kiamat dan berkata: “wahai Syaikh Ahmad, sebarkanlah wasiat ini kepada mereka, sebab wasiat ini dinukil dari Lauhul Mahfudz, barang siapa yang menulisnya dan mengirimnya dari suatu negara ke negara lain, dari suatu tempat ke tempat yang lain, baginya disediakan istana dalam surga, dan barang siapa yang tidak menulis dan tidak mengirimnya, maka haramlah baginya syafaatku di hari kiamat nanti, barang siapa yang menulisnya sedangkan ia fakir maka Allah akan membuat dia kaya, atau ia berhutang maka Allah akan melunasinya, atau ia berdosa maka Allah pasti mengampuninya, dia dan kedua orang tuanya, berkat wasiat ini, sedangkan barang siapa yang tidak menulisnya maka hitamlah mukanya di dunia dan ahirat.”
Kemudian beliau melanjutkan: “Demi Allah 3x wasiat ini adalah benar, jika aku berbohong, aku keluar dari dunia ini dengan tidak memeluk agama Islam, barang siapa yang percaya kepada wasiat ini, ia akan selamat dari siksaan neraka, dan jika tidak percaya maka kafirlah ia.” (silahkan lihat bantahan Syaikh Bin Baaz terhadap surat ini di (Wasiat bohong dari suaikh Ahmad penjaga kubur Nabi)
- Kedua : Khurofat Ibnu ‘Arobi (tokoh pujaan kaum sufi, wafat 638 H) dalam kitabnya “Fushus Al-Hikam”. Ia berkata di pembukaan kitabnya :
“Amma ba’du, sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu mimpi kabar gembira yang aku melihatnya pada sepuluh terakhir di bulan Muharoom tahun 627 Hijriyah di Damaskus. Dan ditangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam ada sebuah buku. Maka Nabi berkata kepadaku, “Ini adalah kitab Fushus Al-Hikam, ambilah kitab ini dan keluarkan untuk manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”. Maka aku berkata, “Mendengar dan Ta’at kepada Allah, RasulNya, dan para Ulil Amri diantara kami”. Maka akupun mewujudkan angan-angan, lalu aku mengikhlaskan niat, serta aku fokuskan dan konsentrasikan tujuan dan semangat untuk memunculkan kitab ini kepada manusia sebagaimana yang ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada sedikitpun tambahan dan pengurangan” (Fushus Al-Hikam, Ibnu ‘Arobi, tahqiq : Abul ‘Alaa ‘Afifi, Daar Al-Kitaab ‘Arobi)
Lihatlah khurofat kelas kakap yang dipropagandakan oleh Ibnu ‘Arobi. Buku yang katanya langsung pemberian Rasulullah ini (tanpa ada tambahan dan pengurangan sedikitpun) ternyata isinya adalah kekufuran yaitu aqidah wihdatul wujud. Dan buku ini isinya cukup panjang dan tebal sekitar 200 halaman, yang ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arobi mimpinya sangat lama, karena dia harus menghafal isi kitab tersebut yang diajarkan oleh Nabi, karena ia mengaku tidak menambah satu huruf pun. Jangan-jangan mimpinya selama seminggu ??!!
Diantara kekufuran Ibnu ‘Arobi, ia menyatakan Fir’aun meninggal dalam keadaan beriman. Ibnu ‘Arobi berkata:
“Musa adalah penyejuk mata bagi Fir’aun dengan keimanan yang Allah berikan kepada Fir’aun tatkala tenggelam. Maka Allahpun mencabut nyawanya dalam keadaan suci dan tersucikan, tidak ada sedikit dosapun, karena Allah mencabut nyawanya tatkala ia beriman sebelum ia melakukan dosa apapun. Dan Islam menghapuskan dosa-dosa sebelumnya. Dan Allah menjadikan Fir’aun sebagai tanda atas perhatianNya kepada siapa yang Ia kehendaki, agar tidak seorangpun putus asa dari rahmat Allah” (Fushush Al-hikam hal 201)
Bahkan Ibnu ‘Arobi –penjual faham wihdatul wujud- menyatakan
bahwa peraktaan Fir’aun “Aku adalah Tuhan kalian Yang Tertinggi” adalah perkataan yang benar, karena Fir’aun dzatnya adalah Allah itu sendiri, meskipun rupanya adalah rupa Fir’aun. (Fushush Al-Hikam hal 211)
- Ketiga : Mengetahui shahih atau lemahnya suatu hadits dengan menunggu hukum dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui mimpi??
Lihat video berikut: (Youtube)
Jika perkaranya demikian maka percuma mempelajari ilmu hadits dan juga ilmu al-Jarh wa At-Ta’diil…!!!. Sungguh letih dan percuma keletihan mereka para ahlul hadits yang telah meletakkan kerangka ilmu mushtolah Al-Hadits, dan juga ilmu Al-Jarh wa At-Ta’diil???
Kalau setiap permasalahan agama langsung ditanyakan kepada Nabi, maka buat apa susah-susah para ulama berselisih pendapat dengan mengemukakan dalil-dalil mereka. Kan perkaranya tinggal mudah, tinggal ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam !!. Anehnya saya tidak pernah mendapatkan seorang ahli haditspun dalam buku-buku mereka yang menshahihkan dan melemahkan hadits dengan dalih bertanya kepada Nabi melalui mimpi…!!!. Demikian juga saya tidak pernah menemukan dalam kitab fikih madzhab manapun ada seorang ulama yang kemudian merojihkan suatu pendapat dan melemahkan pendapat yang lain dengan dalih bahwa ia sudah menanyakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui mimpi…!!!
Bahkan kenapa para sahabat mesti khilaf dalam banyak hal…bahkan hingga terjadi pertumpahan darah jika ternyata bisa dengan mudah mendiskusikan permasalahan kepada Nabi lewat mimpi??!!
Kesimpulan dalam masalah mimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai berikut :
– Jika ada seseorang yang mengaku bermimpi ketemu Nabi, maka tidak perlu kita dustakan, apalagi jika seseorang tidak dikenal pendusta. Berbeda jika halnya yang mengaku tersebut adalah seseorang yang terkenal suka berdusta
– Jika yang dilihatnya dalam mimpi memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih maka kita benarkan mimpinya tersebut
– Jika ternyata dalam mimpi tersebut Nabi memerintahkan dia untuk melakukan hal-hal kebaikan dan menjauhi larangan-larangan maka itu merupakan tanda baik, dan mimpi tersebut sebagai penyemangat untuk bertakwa dan beramal sholeh.
– Jika ternyata dalam mimpi tersebut Nabi mengajarkan hukum-hukum baru dalam Islam berupa amalan-amalan ibadah baru, maka tentu tidak bisa dijadikan pegangan, dan kemungkinan yang dilihatnya bukanlah Nabi, akan tetapi syaitan yang mengaku sebagai Nabi. Karena tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia agama ini telah sempurna sebagaimana Allah berfirman ((الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ)) “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian”. Jika ternyata masih ada syari’at-syari’at yang akan menyusul melalui mimpi maka terbatalkanlah ayat tersebut.
– Jika ternyata dalam mimpi tersebut Nabi juga menyuruh untuk mengkhususkan suatu hukum syari’at yang umum, atau memansukhkan suatu hukum syari’at maka ini juga menunjukkan apa yang dilihatnya bukanlah Nabi, karena melazimkan belumlah sempurnanya syari’at Allah tatkala meninggalnya Nabi.
– Jika ternyata Nabi shallallahu ‘alahi wasallam mengabarkan tentang kenyataan yang ada atau tentang masa depan, maka tidak bisa otomatis kita benarkan. Karena sebagaimana penjelasan Ulama bahwasanya mimpi Nabi hanya sebatas isti’nas (penguat) dan bukan suatu kepastian. Apalagi jika Nabi menyampaikan tentang masa depan??
Mimpi Habib Munzir
Adapun mengenai mimpi Habib Munzir, maka terlebih dahulu kita cantumkan pengakuan Habib Munzir tentang mimpinya tersebut sebagai berikut :
Aku teringat mimpiku beberapa minggu yg lalu, aku berdiri dg pakaian lusuh bagai kuli yg bekerja sepanjang hari, dihadapanku Rasulullah saw berdiri di pintu kemah besar dan megah, seraya bersabda : “semua orang tak tega melihat kau kelelahan wahai munzir, aku lebih tak tega lagi…, kembalilah padaku, masuklah kedalam kemahku dan istirahatlah…
Ku jenguk dalam kemah mewah itu ada guru mulia, seraya berkata :kalau aku bisa keluar dan masuk kesini kapan saja, tapi engkau wahai munzir jika masuk kemah ini kau tak akan kembali ke dunia..
Maka Rasul saw terus mengajakku masuk, “masuklah.. kau sudah kelelahan.., kau tak punya rumah di dunia(memang saya hingga saat ini masih belum punya rumah) , tak ada rumah untukmu di dunia, karena rumahmu adalah disini bersamaku.., serumah denganku.., seatap dg ku…, makan dan mium bersamaku .. masuklah,,,
Lalu aku berkata : lalu bagaimana dg Fatah Jakarta? (Fatah tegaknya panji kedamaian Rasul saw), maka beberapa orang menjawab dibelakangku : wafatmu akan membangkitkan ribuan hati utk meneruskan cita citamu,..!!, masuklah,,,!
Lalu malaikat Izrail as menggenggamku dari belakang, ia memegang dua pundakku, terasa seluruh uratku sudah digenggamannya, seraya berkata : mari… kuantar kau masuk.. mari…
Maka kutepis tangannya, dan aku berkata, saya masih mau membantu guru mulia saya…, maka Rasul saw memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku..
Aku terbangun…
Semalam ketika aku rebah dalam kegelapan kulihat dua tamu bertubuh cahaya, namun wajahnya tidak bertentuk kecuali hanya cahaya, ia memperkenalkan bahwa ia adalah Izrail as..
Kukatakan padanya : belum… belum.. aku masih ingin bakti pada guru muliaku.. pergilah dulu, maka ia pun menghilang raib begitu saja.
Tahun 1993 aku bermimpi berlutut dikaki Rasul saw, menangis rindu tak kuat untuk ingin jumpa, maka Sang Nabi saw menepuk pundakku… tenang dan sabarlah..sebelum usiamu mencapaii 40 tahun kau sudah kumpul bersamaku”
Usia saya kini 37 tahun pada 23 feb 73, dan usia saya 38 tahun pada 19 muharram ini.
Peradangan otak ini adalah penyakit terakhirku, aku senang wafat dg penyakit ini, karena Rasul saw beberapa bulan sebelum wafatnya terus nebgeluhkan sakit kepala..
Salam rinduku untuk kalian semua jamaah Majelis Rasulullah saw kelak, jika terjadi sesuatu padaku maka teruskan perjuanganku.. ampuni kesalahanku.., kita akab jumpa kelak dg perjumpaan yg abadi..
Amiin..
Kalau usiaku ditakdirkan lebih maka kita terus berjuang semampunya, tapi mohon jangan siksa hari hariku.. hanya itu yg kuminta)) (lihat http://majeliskecil.wordpress.com/2011/05/06/pesan-wasiat-habib-munzir/)
Habib Munzir juga berkata
((namun saya sangat mencintai Rasul saw, menangis merindukan Rasul saw, dan sering dikunjungi Rasul saw dalam mimpi, Rasul saw selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau saw, dan berkata wahai Rasulullah saw aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa dg mu.., ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini,,, Rasul saw menepuk bahu saya dan berkata :
munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dgn ku.., maka saya terbangun….))
Habib Munzir juga berkata : ((usia saya kini 38 tahun jika dg perhitungan hijriah, dan 37 th jika dg perhitungan masehi, saya lahir pd Jumat pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 februari 1973 M. Perjanjian Jumpa dg Rasul saw adalah sblm usia saya tepat 40 tahun, kini sudah 1432 H, mungkin sebelum sempurna 19 Muharram 1433 H saya sudah jumpa dengan Rasul, namun apakah Allah Ta'ala akan menambah usia pendosa ini..?)) (lihat : http://majeliskecil.wordpress.com/2011/04/10/biografi-habib-munzir-bin-fuad-al-musawa/)
Jika kita memperhatikan pengakuan Habib Munzir di atas maka dalam mimpi tersebut nampak bahwa Nabi mengabarkan kepada Habib Munzir tentang masa depan, yaitu bahwa Habib Munzir akan meninggal sebelum berumur 40 tahun.
Tentunya sebagaimana telah kita jelaskan, bahwasanya mimpi ketemu Nabi yang seperti ini tidak bisa dijadikan sebagai kepastian, akan tetapi sebagai kemungkinan, karena para ulama telah sepakat mimpi bukanlah dalil dan hujjah.
Hal ini terbukti jika kita memperhatikan umur Habib Munzir tatkala meninggal usianya telah melewati 40 tahun tidak sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya. Karena Habib Munzir lahir pada tanggal 23 februari 1973 (bertepatan dengan 19 Muharram 1393 H) dan wafat pada tanggal 15 September 2013 (bertepatan dengan 9 Dzulqo’dah 1434 H). Sehingga dengan demikian beliau wafat tatkala berumur 40 tahun lebih sekitar 7 bulan (menurut kalender masehi) atau berumur 41 tahun lebih sekitar 11 bulan (menurut kalender Hijriyah)
Jika kita menjadikan mimpi sebagai dalil maka melazimkan Nabi telah salah atau berdusta dalam mimpi tersebut… karena pengkhabaran Nabi menyelisihi kenyataan.
Habib Munzir Menolak Malaikat ‘Izroil
Akan tetapi ada yang sangat menarik perhatian saya dari perkataan Habib Munzir berikut dalam mimpinya ((Lalu malaikat Izrail as menggenggamku dari belakang, ia memegang dua pundakku, terasa seluruh uratku sudah digenggamannya, seraya berkata : mari… kuantar kau masuk.. mari…
Maka kutepis tangannya, dan aku berkata, saya masih mau membantu guru mulia saya…, maka Rasul saw memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku..Aku terbangun…))
Ini adalah mimpi yang aneh, karena kita ketahui bersama bahwasanya malaikat Izrail bukan berada dibawah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kenyataannya jika malaikat maut menjemput Khadijah istri Nabi, atau anak-anak beliau, atau sahabat-sahabat beliau, atau paman beliau, maka Nabi tidak bisa menolak tugas malaikat maut tersebut untuk mencabut nyawa mereka. Karenanya Nabipun bersedih dengan wafatnya Khodijah, demikian juga pamannya Hamzah, serta putra beliau Ibrahim, akan tetapi Nabi tidak kuasa untuk mengatur malaikat maut (atau yang disebut Izrail). Akan tetapi namanya mimpi memang sering aneh-aneh dan tidak bisa disamakan dengan kenyataan.
Lebih anehnya lagi, Habib Munzir mengaku melihat dan menolak malaikat Izrail yang hendak mencabut nyawanya dalam keadaan terjaga. Seakan-akan Habib Munzir ingin membuktikan kebenaran mimpinya tersebut. Perhatikan perkataan Habib Munzir ((Maka kutepis tangannya, dan aku berkata, saya masih mau membantu guru mulia saya…, maka Rasul saw memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku..Aku terbangun…
Semalam ketika aku rebah dalam kegelapan kulihat dua tamu bertubuh cahaya, namun wajahnya tidak bertentuk kecuali hanya cahaya, ia memperkenalkan bahwa ia adalah Izrail as..
Kukatakan padanya : belum… belum.. aku masih ingin bakti pada guru muliaku.. pergilah dulu, maka ia pun menghilang raib begitu saja)), demikian perkataan Habib Munzir…
Sungguh ini merupakan karomah yang luar biasa dari sisi :
– Dalam keadaan terjaga Habib Munzir bertemu malaikat yang bercahaya. Yang ternyata malaikat tersebut adalah Izrail. Karomah ini tidak pernah dialami oleh Abu Bakar, Umar bin Al-Khottob, Utsman bin ‘Affaan, dan Ali bin Abi Tholib
– Habib Munzir bisa menolak malaikat Izra’il yang hendak mencabut nyawanya…., sungguh karomah yang luar biasa yang mengalahkan para sahabat??!!
Para ulama telah membahas. apakah manusia bisa bertemu denga malaikat dengan rupa aslinya (berupa cahaya)??. Karena dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an tatkala para Nabi bertemu hanya bertemu dengan para malaikat tatkala malaikat menjelma seperti manusia, bukan dalam bentuk bercahaya. Bahkan tatkala para malaikat bertemu dengan Nabi Ibrahim (dalam bentuk manusia sebagai tamu Nabi Ibrahim), sampai-sampai Nabi Ibrahim tidak mengetahui kalau mereka itu malaikat. Nabi Ibrahim menyangka mereka manusia biasa, sampai-sampai beliau menghidangkan makanan buat para malaikat tersebut.
Allah berfirman :
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (٢٤)إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (٢٥)فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (٢٦)فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلا تَأْكُلُونَ (٢٧)فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلامٍ عَلِيمٍ (٢٨)فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (٢٩)قَالُوا كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (٣٠)قَالَ فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا الْمُرْسَلُونَ (٣١)قَالُوا إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمٍ مُجْرِمِينَ (٣٢)لِنُرْسِلَ عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ طِينٍ (٣٣)مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِينَ (٣٤)
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (Yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?. (ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaamun”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia (Ibrahim) pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian isterinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata: “(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul”. Mereka berkata: “Demikianlah Tuhanmu memfirmankan” Sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. Ibrahim bertanya: “Apakah urusanmu Hai Para utusan?”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Luth), agar Kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah, yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang yang melampaui batas” (QS Adz-Dzaariyaat : 24-34)
Demikian juga tatkala Jibril bertemu dengan Maryam ‘alaihas salaam, Allah berfirman :
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
Maka ia (Maryam) Mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna” (QS Maryam : 17)
Demikian juga para sahabat telah melihat malaikat Jibril tatkala malaikat Jibril ‘alaihis Salam datang menemui Nabi dalam bentuk manusia. Akan tetapi saya belum menemukan riwayat yang shahih bahwasanya ada seorang sahabat yang bertemu malaikat dalam bentuk cahaya, bentuk aslinya !!! Seluruh riwayat-riwayat tentang para sahabat yang melihat malaikat semuanya tatkala malaikat dalam bentuk manusia, dan juga para sahabat semuanya menyangka bahwa para malaikat tersebut hanyalah manusia biasa.
Adapun melihat malaikat dalam bentuk aslinya (bercahaya) maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang merupakan manusia termulia, dan juga diberikan kekuatan ruhani- namun tatkala melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya maka Nabi mengalami ketakutan yang sangat luar biasa. Itupun Nabi hanya melihat Jibril dalam rupa aslinya dua kali.
Hal ini dikarenakan Allah tidak menciptakan kekuatan pada manusia untuk mampu melihat malaikat dalam rupa aslinya. Karenanya tatkala kaum musyrikin meminta agar diutus rasul dari malaikat maka Allah tidak memenuhi permintaan mereka. Allah berfirman :
وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَى إِلا أَنْ قَالُوا أَبَعَثَ اللَّهُ بَشَرًا رَسُولا (٩٤)قُلْ لَوْ كَانَ فِي الأرْضِ مَلائِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِمْ مِنَ السَّمَاءِ مَلَكًا رَسُولا (٩٥)
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali Perkataan mereka: “Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasuI?” Katakanlah: “Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang Malaikat menjadi Rasul” (Al-Isroo’ 94-95)
Akan tetapi kaum musyrikin akan bertemu dengan malaikat tatkala adzab akan menimpa mereka atau tatkala kematian menjemput mereka. Allah berfirman :
يَوْمَ يَرَوْنَ الْمَلائِكَةَ لا بُشْرَى يَوْمَئِذٍ لِلْمُجْرِمِينَ وَيَقُولُونَ حِجْرًا مَحْجُورًا
“Pada hari mereka melihat malaikat (yaitu di hari kematian mereka-pen) dihari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa mereka berkata: “Hijraan mahjuuraa” (QS Al-Furqon : 22)
Intiny…apakah yang dilihatnya oleh Habib Munzir Nabi atau bukan?? Apakah benar ia bertemu dengan malaikat??, Jika benar, lantas apakah tubuh yang bercahaya tersebut benar-benar malaikat?? Benarkah ia bisa menolak malaikat maut (‘Izroil) ??.
Bagaimanapun juga akhirnya tatkala malaikat ‘Izroil mendatangi Habib Munzir di kamar mandi maka Habib Munzir tidak bisa lagi menolaknya. Wallahu A’lam.
Sumber: https://firanda.com/