Merupakan perkara yang menyedihkan tatkala kita menyaksikan sebagian dai yang mengaku mengikuti madzhab syafi’iyah ternyata menggunakan musik dalam beribadah…, jadilah shalawatan disertai senandung musik…irama gambus islami…kasihadahan islami…
Lebih memilukan lagi bahwa ada di antara mereka yang berdakwah dengan menggunakan alat musik….
Padahal ini merupakan bentuk bertasyabbuh (meniru-niru) kaum nasrani dalam tata cara peribadatan mereka di gereja-gereja mereka. Jika bertasyabbuh dalam perkara adat dan tradisi mereka merupakan perkara yang dibenci lantas bagaimana lagi halnya jika bertasyabbuh dalam perkara ibadah mereka??
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنَ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang bertasyabbuh (meniru-niru) suatu kaum maka ia termasuk dari mereka”
Maka sungguh teriris hati ini tatkala membaca slogan “Nada dan Dakwah”??, bagaimana bisa digabungkan antara halal dan haram?? dicampur adukan antara kebenaran dan kebatilan??
Allah berfirman:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil” (QS Al-Baqoroh : 42)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tegas mengharamkan musik dalam sabdanya:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفِ
“Sungguh akan ada dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khomer (segala sesuatu yang memabukkan), dan alat-alat musik” (HR Al-Bukhari)
Pengharaman musik pada hadits ini dari dua sisi:
Pertama: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam يَسْتَحِلُّوْنَ “menghalalkan”. Ini menunjukkan bahwa hukum alat-alat musik adalah haram, namun akan ada kaum dari umat ini yang akan menghalalkannya
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan alat-alat musik dengan perkara-perkara yang sangat jelas haram berdasarkan ijmak ulama, yaitu zina, kain sutra (bagi lelaki), dan khomr.
Hadits ini tidak diragukan lagi akan keshahihannya, karenanya para imam hadits telah menyatakan shahihnya hadits ini. Diantara mereka adalah (1) Al-Imam Al-Bukhari yang telah memasukkan hadits ini dalam kitab shahihnya dalam bab yang beliau beri judul ((بَابُ مَا جَاءَ فِيْمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيْهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ)) “Bab tentang orang yang menghalalkan khomer dan menamakannya dengan selain namanya”. Lalu imam Al-Bukhari berdalil dengan hadits ini. (2) Al-Imam Abu Bakr Al-Ismaa’iliy, beliau telah memasukan hadits ini dalam kitabnya al-Mustakhroj ‘ala Shahih Al-Bukhari, (3) Ibnu Hibbaan yang juga telah meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya, (4) Al-Haafizh Ibnu As-Sholaah telah menshahihkan hadits ini dalam kitabnya “Uluumul Hadiits”, (5) Badruddin Ibnu Jama’ah juga menshahihkan hadits ini dalam kitabnya “Al-Manhal Ar-Rowiyy fi Mukhtashor Uluum al-Hadits an-Nabawiy, (6) Al-Haafiz Ibnu Katsiir dalam kitabnya Ikhtishoor Uluumil Hadiits, (7) Ibnul Mulaqqin dalam kitabnya “Al-Muqni’ fi Uluumil Hadits”, (8) Zainuddiin Al-‘Irooqi dalam kitabnya “Syarh at-Tabshiroh wa at-Tadzkiroh”, (9) Badruddiin al-‘Ainiy dalam kitabnya “Umdatul Qoori Syarh Shahih al-Bukhari”, (10) Ibnu Hajr al-‘Asqolaaniy dalam kitabnya “Taghliiq at-Ta’liiq”, (11) Ibnul Waziir dalam kitabnya “Tanqiihul Andzoor”, (12) As-Sakhoowiy dalam kitabnya “Fathul Mughiits Syarh Alfiyatil hadiits”, (13) Ahmad Syaakir dalam kitabnya Al-Baa’its Al-Hatsiits Syarh Ikhtishoor ‘Uluumil Hadiits, (14) Al-Albaani dalam kitabnya “Tahriim Aalat at-Thorb”, dan (15) Syu’aib Al-Arnauuth dalam tahqiqnya terhadap Shahih Ibni Hibbaan. (Silahkan lihat kitab Ar-Rod ‘Ala Al-Qordhoowi wa Al-Judai’ hal 210-214)
Berikut nukilan perkataan para ulama syafi’iyah tentang haramnya musik
- (1) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –dalam bab washiat- berkata
وَإِنْ كان لَا يَصْلُحُ إلَّا لِلضَّرْبِ بَطَلَتْ عِنْدِي الْوَصِيَّةُ وَهَكَذَا الْقَوْلُ في الْمَزَامِيرِ كُلِّهَا
“Jika al-uud (kayu yang dimaksud oleh pewasiat) tidak bisa digunakan kecuali untuk dimainkan (semacam gitar-pen) maka wasiatnya batal menurutku. Demikian juga pembicaraan mengenai seluruh jenis seluring (alat musik)” (Al-Umm 4/92)
Sangat jelas bahwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengharamkan seseorang yang berwasiat untuk memberikan al-‘uud (kayu) yang ia miliki kepada orang lain, jika yang dimaksud dengan al-‘uud tidak ada selain kayu yang bersenar (gitar). Adapun jika sang pewasiat ternyata memiliki jenis al-uud yang lain, seperti busur panah dan tongkat maka washiat yang dijalankan hanyalah pada busur dan tongkat untuk diberikan kepada orang lain tersebut.
Imam Asy-Syafi’i juga menegaskan bahwa hukum haramnya washiat ini juga berlaku pada seluruh jenis mizmar (alat musik/seruling).
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata –tentang hukum potong tangan bagi pencuri:
فَكُلُّ ما له ثَمَنٌ هَكَذَا يُقْطَعُ فيه إذَا بَلَغَ قِيمَتُهُ رُبُعَ دِينَارٍ مُصْحَفًا كان أو سَيْفًا أو غَيْرَهُ مِمَّا يَحِلُّ ثَمَنُهُ فَإِنْ سَرَقَ خَمْرًا أو خِنْزِيرًا لم يُقْطَعْ لِأَنَّ هذا حَرَامُ الثَّمَنِ وَلَا يُقْطَعُ في ثَمَنِ الطُّنْبُورِ وَلَا الْمِزْمَارِ
“Maka segala barang yang berharga menyebabkan dipotong tangan sang pencuri jika harga barang tersebut mencapai seperempat dinar. Barang tersebut baik mushaf (al-Qur’an) atau pedang atau yang lainnya yang hasil penjualannya halal. Jika ia mencuri khomr atau babi maka tidaklah dipotong tangannya karena hasil penjualan khomr dan babi adalah haram. Dan juga tidak dipotong tangan sang pencuri jika mencuri tunbur (kecapi/rebab) dan mizmar (seruling)” (Al-Umm 6/147)
Sangat jelas bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i menyamakan hukum alat musik sama seperti hukum khomr, sama-sama haram, dan tidak halal hasil penjualannya, karenanya jika ada pencuri yang mencuri barang-barang haram ini maka tidaklah dipotong tangannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i juga berkata (tentang hukum di antara orang-orang kafir ahli al-jizyah):
وَلَوْ كَسَرَ له طُنْبُورًا أو مِزْمَارًا أو كَبَرًا … وَإِنْ لم يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عليه وَهَكَذَا لو كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أو نَصْرَانِيٌّ أو يَهُودِيٌّ أو مُسْتَأْمَنٌ أو كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ من هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذلك كُلَّهُ
“Kalau seandainya ia menghancurkan kecapi atau seruling atau gendang maka…. jika benda-benda ini tidak bisa digunakan kecuali sebagai alat musik maka tidak ada sesuatu yang harus ia ganti rugi. Dan demikian pula jika seorang muslim yang merusak (kecapi dan seruling) milik seorang muslim atau yang merusak adalah orang nasrani atau orang yahudi atau orang kafir musta’man, atau orang muslim yang lain yang telah merusak salah satu dari benda-benda tersebut maka aku anggap semuanya batil (tidak perlu diganti rugi-pen)”(Al-Umm 4/212)
Lihatlah… bahkan menurut Imam Syafi’i jika yang melakukan pengrusakan adalah seorang yang kafir terhadap alat-alat musik milik seorang muslim maka sang kafir tidak perlu menanggung biaya ganti rugi.
Dalam kitab Az-Zawaajir
وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ
“Dan telah diketahui tanpa keraguan bahwasanya Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik” (Az-Zawaajir ‘an iqtiroofil kabaair 2/907)
- (2) Abul Ma’aali Al-Juwaini rahimahullah, beliau berkata:
والبداية في هذا الفن بتحريم المعازف والأوتار، وكلها حرام، وهي ذرائع إلى كبائر الذنوب
“Permulaan dalam pembahasan ini adalah dengan mengharamkan alat-alat musik dan senar-senar, dan semuanya adalah haram, dan merupakan dzari’ah (yang mengantarkan) kepada dosa-dosa besar” (Nihaayatul Mathlab bi Dirooyatil Madzhab 19/22)
- (3) Abu Hamid Al-Ghozzali rahimahullah, beliau berkata:
الرابعة المعازف والأوتار حرام لأنها تشوق إلى الشرب وهو شعار الشرب فحرم التشبه بهم وأما الدف إن لم يكن فيه جلاجل فهو حلال ضرب في بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وإن كان فيه جلاجل فوجهان
“Keempat: Alat-alat musik dan senar-senar adalah haram, karena menimbulkan hasrat untuk meminum (minuman haram), dan ini adalah syi’arnya para peminum khomr, maka diharamkan meniru-niru mereka. Adapun duff (rebana) maka jika tidak ada lonceng-lonceng kecilnya maka halal, telah diketuk di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, adapun jika ada lonceng-loncengnya maka ada dua pendapat” (Al-Washiith 7/350)
- (4) Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata:
القسم الثاني أن يغني ببعض آلات الغناء مما هو من شعار شاربي الخمر وهو مطرب كالطنبور والعود والصنج وسائر المعازف والأوتار يحرم استعماله واستماعه … قلت الأصح أو الصحيح تحريم اليراع وهو هذه الزمارة التي يقال لها الشبابة وقد صنف الإمام أبو القاسم الدولعي كتابا في تحريم اليراع
“Bagian kedua, yaitu bernyanyi dengan menggunakan alat-alat nyanyian yang merupakan syi’ar-nya para peminum khomr, yaitu alat musik seperti kecapi/rebab, gitar, shonj (yaitu dua piringan logam yang saling dibenturkan sehingga menimbulkan suara (lihat al-mu’jam al-washith)-pen), dan seluruh alat-alat musik, serta senar-senar, diharamkan penggunaannya dan mendengarkannya….
Dan yang benar adalah diharamkannya al-yaroo’ (semacam seruling) dan inilah yang disebut dengan asy-Syabbabah. Al-Imam Abul Qoosim Ad-Daula’i telah menulis sebuah kitab tentang pengharaman al-Yaroo'” (Roudotut Thoolibiin 11/228
- (5) Syaikhul Islaam Zakariyaa Al-Anshoori, beliau berkata:
وَيُسَنُّ الْجُلُوسُ في حِلَقِ الْقِرَاءَةِ وَأَمَّا الْغِنَاءُ على الْآلَةِ الْمُطْرِبَةِ كَالطُّنْبُورِ وَالْعُودِ وَسَائِرٍ الْمَعَازِفِ أَيْ الْمَلَاهِي وَالْأَوْتَارِ وما يُضْرَبُ بِهِ وَالْمِزْمَارِ الْعِرَاقِيِّ وهو الذي يُضْرَبُ بِهِ مع الْأَوْتَارِ وَكَذَا الْيَرَاعُ وهو الشَّبَّابَةُ فَحَرَامٌ اسْتِعْمَالُهُ وَاسْتِمَاعُهُ وَكَمَا يَحْرُمُ ذلك يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ هذه الْآلَاتِ وَاِتِّخَاذُهَا لِأَنَّهَا من شِعَارِ الشَّرَبَةِ”
“Disunnahkan duduk dalam halaqoh qiroah (membaca al-qur’an). Adapun nyanyian dengan menggunakan alat-alat musik seperti Thunbur (semacam kecapi/rebab) dan al-uud (gitar) dan seluruh alat-alat musik, yaitu alat-alat musik dan senar-senar, dan apa yang dipukul-pukul serta seruling Iraq, yaitu yang dipukul-pukul dengan disertai senar, demikian pula yaroo’ yaitu seruling maka hukumnya haram digunakan dan didengarkan. Sebagaimana diharamkan hal itu maka diharamkan pula memainkan alat-alat ini dan menggunakannya karena alat-alat ini merupakan syi’arnya para peminum minuman haram” (Asna Al-Mathoolib fi syarh Roud At-Thoolin, 4/344-345)
- (6) As-Subki rahimahullah, beliau berkata:
السماع على الصورة المعهودة منكر وضلالة وهو من أفعال الجهلة والشياطين ومن زعم أن ذلك قربة فقد كذب وافترى على الله ومن قال إنه يزيد في الذوق فهو جاهل أو شيطان ومن نسب السماع إلى رسول الله يؤدب أدبا شديدا ويدخل في زمرة الكاذبين عليه صلى الله عليه وسلم ومن كذب عليه متعمدا فليتبوأ مقعده من النار وليس هذا طريقة أولياء الله تعالى وحزبه وأتباع رسول الله صلى الله عليه وسلم بل طريقة أهل اللهو واللعب والباطل وينكر على هذا باللسان واليد والقلب. ومن قال من العلماء بإباحة السماع فذاك حيث لا يجتمع فيه دف وشبابة ولا رجال ونساء ولا من يحرم النظر إليه
“As-Samaa’ (mendengarkan nyanyian yang terkadang disertai sebagian alat musik dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah karena bisa menenteramkan hati-pen) dengan model yang dikenal adalah kemungkaran dan kesesatan. Ia merupakan perbuatan orang-orang jahil dan para syaitan. Barang siapa yang menyangka bahwa hal ini adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada Allah-pen) maka ia telah berdusta atas nama Allah. Barang siapa yang mengatakan bahwa perbuatan ini menambah rasa maka ia adalah seorang yang jahil atau syaithon. Barang siapa yang menyandarkan perbuatan ini (as-Samaa’) kepada Rasulullah maka hendaknya ia diberi pelajaran yang keras, dan ia masuk dalam golongan para pendusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda “Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”. Ini (as-Samaa’) bukanlah toriqohnya (jalannya) para wali-wali Allah, bukanlah golongan pengikut Allah serta bukan jalan para pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ini merupakan jalannya para tukang lalai dan bermain-main serta ahlul batil. Hendaknya hal ini diingkari dengan lisan, tangan, dan hati. Jika ada di antara para ulama yang menyatakan bolehnya as-samaa’ maka hal itu jika tidak disertai dengan rebana, seruling, ikhtilat lelaki dan perempuan, serta orang yang haram untuk dipandang” (sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini di Mughny al-Muhtaaj 4/429)
- (7) Ar-Romli rahimahullah, beliau berkata:
قوله (وسائر المعازف) لخبر البخاري ليكونن في أمتي أقوام يستحلون الحر والخمر والحرير والمعازف ولأنها تدعو إلى شرب الخمر لا سيما من قرب عهده به ولأن التشبه بأهل المعاصي حرام ومن المعازف الرباب والجنك والكمنجة
قوله (وكذا اليراع) والعجب كل العجب ممن هو من أهل العلم ويزعم أن الشبابة حلال ويحكيه وجها في مذهب الشافعي ولا أصل له وقد علم أن الشافعي وأصحابه قالوا بحرمة سائر أنواع المزامير والشبابة منها بل هي أحق من غيرها بالتحريم فقد قال القرطبي إنها من أعلى المزامير وكل ما لأجله حرمت المزامير موجود فيها وزيادة فتكون أولى بالتحريم قلت وما قاله حق واضح والمنازعة فيه مكابرة
“Dan perkataan beliau (Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshoori) : ((Dan seluruh alat-alat musik hukumnya haram)) dikarenakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) “Akan ada pada umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, khomr, kain sutra, dan alat-alat musik“. Dan juga karena alat-alat musik mengajak (menjerumuskan) kepada minum khomr, terlebih lagi orang yang baru saja bertaubat dari minum khomr. Dan juga karena bertasyabbuh (meniru-niru) para pelaku kemaksiatan.
Diantara alat-alat musik adalah rebab, jank (semacam gitar, silahkan lihat Taajul ‘Aruus 27/100-pen), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk busr dengan empat senar, silahkan lihat al-mu’jam al-washith 2/799-pen).
Dan perkataan beliau ((Demikian juga diharamkan al-yaroo)).
Yang sangat mengherankan adalah orang yang termasuk ahlul ilmi (ulama) akan tetapi menyangka bahwasanya asy-syabaabah (semacam seruling) adalah halal lalu menyatakan ini salah satu pendapat dalam madzhab syafi’iyah. Padahal pendapat ini tidak ada asalnya, padahal telah diketahui bahwasanya Imam Asy-Syafi’i dan para sahabatnya menyatakan haramnya seluruh jenis seruling, dan asy-syabaabah jelas termasuk jenis-jenis seruling, bahkan ia lebih pantas untuk diharamkan dari pada seruling yang lain. Al-Qurthubi berkata : “Asy-Syabaabah adalah model seruling yang paling top. Dan seluruh perkara yang menyebabkan diharamkannya seruling-seruling terdapat pada asy-Syabaabah bahkan lebih dari pada itu, sehingga Asy-Syabaabah lebih utama untuk diharamkan”
Apa yang dikatakan oleh Al-Qurthubi adalah benar, dan sikap menyelisihi hal ini adalah kesombongan” (Haasyiat Romly, 4/344-345)
- (8) Asy-Syarbini rahimahullah, beliau berkata:
( ويحرم استعمال ) أو اتخاذ ( آلة من شعار الشربة ) جمع شارب وهم القوم المجتمعون على الشراب الحرام واستعمال الآلة هو الضرب بها ( كطنبور ) بضم الطاء ويقال الطنبار ( وعود وصنج ) وهو كما قال الجوهري صفر يضرب بعضها على بعض وتسمى الصفاقتين لأنهما من عادة المخنثين ( ومزمار عراقي ) بكسر الميم وهو ما يضرب به مع الأوتار.
( و ) يحرم ( استماعها ) أي الآلة المذكورة لأنه يطرب ولقوله صلى الله عليه وسلم ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الخز والحرير والمعازف …
“Dan diharamkan memainkan atau menggunakan alat yang merupakan syi’arnya para peminum…, yaitu kaum yang berkumpul untuk meminum minuman haram. Dan memainkan alat yaitu memukulnya seperti thunbur (kecapi), ‘uud (semacam gitar) dan shonj –sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Jauhari- yaitu dua piringan tembaga yang saling dibenturkan sehingga menimbulkan suara, dan dinamakan juga as-soffaaqotaini, karena keduanya merupakan tradisi orang-orang banci. Dan juga mizmar irooqi, yaitu seruling yang dimainkan dengan senar-senar.
Dan diharamkan mendengarkan alat-alat tersebut karena membuat melayang dan karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Akan ada dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, kain sutra, dan alat-alat musik”.(Mughny al-Muhtaaj 4/429)
- (9) Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah, dalam kitab beliau Az-Zawaajir:
وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ…وَمَا حُرِّمَتْ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ لِأَسْمَائِهَا وَأَلْقَابِهَا ، بَلْ لِمَا فِيهَا مِنْ الصَّدِّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ وَمُفَارَقَةِ التَّقْوَى وَالْمَيْلِ إلَى الْهَوَى وَالِانْغِمَاسِ فِي الْمَعَاصِي
“Dan telah diketahui –tanpa diragukan lagi- bahwasanya Al-Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik… dan tidaklah diharamkan perkara-perkara ini (alat-alat musik-pen) dikarenakan nama-namanya, akan tetapi karena pada alat-alat musik menghalangi dari mengingat Allah dan sholat, serta pemisahan dari ketakwaan dan kecondongan kepada hawa nafsu serta tenggelam dalam kemaksiatan-kemaksiatan” (Az-Zawaajir ‘an iqtiroofil kabaair 2/907)
Beliau juga berkata:
الأَوتار والمعازف كالطُّنْبُور والعُود والصَّنْج أي: ذي الأوتار والرباب (1) والجَنْك (2) والكمنجة والسنطير والدِّرِّيجُ (3)، وغير ذلك من الآلات المشهورة عند أهل اللهو والسَّفاهة والفُسوق، وهذه كلُّها محرَّمة بلا خِلاف، ومَن حكى فيه خلافًا فقد غلط أو غلب عليه هَواه، حتى أصمَّه وأعماه، ومنعه هداه، وزلَّ به عن سنن تَقواه
“Senar-senar dan alat-alat musik seperti kecapi, gitar, as-shonj yaitu yang ada senarnya, rebab, jank (semacam gitar), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk busr dengan empat senar), sinthir (semacam alat musik yang senarnya dari tembaga –lihat al-mu’jam al-washith-pen), dan dirriij (semacam kecapi), serta alat-alat musik lainnya yang dikenal oleh para pemain dan orang-orang bodoh dan para pelaku kefasikan. Ini semuanya hukumnya haram tanpa ada khilaf (perselisihan). Barang siapa yang menyebutkan adanya khilaf dalam hal ini maka ia telah keliru atau hawa nafsunya telah mendominasinya sehingga membuatnya tuli dan buta serta mencegahnya dari petunjuk dan juga menggelincirkannya dari jalan ketakwaannya” (Kaff Ar-Ri’aaa’ ‘an muharromaat al-lahwi wa as-samaa’ hal 118)
Demikianlah perkataan para ulama madzhab syafi’iyah tentang pengharaman alat-alat musik. Kesimpulan yang bisa kita ambil dari perkataan-perkataan mereka di atas:
Pertama: Seluruh ulama syafi’iyah sepakat akan haramnya seluruh alat-alat musik secara umum. Mereka hanya berselisih tentang alat musik al-Yaroo’ (semacam seruling). Akan tetapi pendapat yang benar adalah haramnya alat musik ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Romly rahimahumallahu
Kedua: Mereka sepakat bahwa menjual alat-alat musik hukumnya adalah haram. Karenanya mereka menyamakan penjualan alat-alat musik sama seperti menjual khomr
Ketiga: Barang siapa yang berwasiat untuk memberikan alat musiknya kepada orang lain, maka wasiatnya tersebut dianggap batil dan tidak sah.
Keempat: Sebagaimana diharamkan memainkan alat-alat musik demikian pula diharamkan mendengarkan suara alat-alat musik
Ada beberapa sebab diharamkannya alat musik yang telah disebutkan oleh mereka, yaitu (1) bertasyabbuh dengan para peminum khomr atau para pelaku kemaksiatan dan (2) mengantarkan pada perbuatan dosa-dosa besar (3) Menghalangi dari mengingat Allah (4) menyebabkan kecondongan kepada hawa nafsu dan menjauhkan dari ketakwaan.
IJMAK ULAMA AKAN HARAMNYA MUSIK
Pengharaman alat-alat musik tentunya bukan hanya ditegaskan oleh para ulama syafi’iyah saja, akan tetapi pengharaman alat-alat musik ini merupakan kesepakatan para ulama dari 4 madzhab. Mereka tidaklah mengecualikan pengharaman alat-alat musik kecuali duff (rebana) yang dimainkan tatkala hari raya dan juga pada acara walimahan.
Bahkan banyak ulama dari berbagai madzhab dan dari berbagai kurun yang menyatakan adanya ijmak (konsensus) dari para ulama akan haramnya alat-alat musik.
Berikut diantara para ulama tersebut :
- (1) Ibnu Jariir At-Thobari (wafat 310 H), ia berkata:
فَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ الْأَمْصَارِ عَلَى كَرَاهَةِ الْغِنَاءِ وَالْمَنْعِ مِنْهُ
“Telah sepakat para ulama dari seluruh negeri akan dibencinya nyanyian dan melarang nyanyian”(sebagaimana dinukil oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya 14/56)
- (2) Al-Baghowi (wafat 516 H), dari madzhab Syafi’i, beliau berkata:
واتفقوا على تحريم المزامير والملاهي والمعازف
“Dan mereka (para ulama) sepakat akan haramnya alat-alat musik” (Syarhus Sunnah 13/383)
- (3) Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi (wafat 540 H) dari madzhab Hanbali, beliau berkata:
وأما آلة اللهو كالطنبور والمزمار والشَّبَّابة فلا قطع فيه … أنه آلة للمعصية بالاجماع فلم يقطع بسرقته كالخمر
“Adapun alat main musik seperti tunbur, mizmar, dan syabbaabah maka tidak ada potong tangan (bagi yang mencurinya-pen)….sesungguhnya itu adalah alat untuk bermaksiat berdasarkan ijmak ulama, maka tidak dipotong tangan karena mencurinya, sebagaimana khomr” (Al-Mughny 10/278)
- (4) Abul ‘Abbaas Al-Qurthubi (wafat tahun 656 H) dari madzhab Maliki, ia berkata:
فأما ما أبدعه الصوفية اليوم من الإدمان على [سماع] المغاني بالآلات المطربة ؛ فمن قبيل ما لا يُختلف في تحريمه ، لكن النفوس الشهوانية والأغراض الشيطانية قد غلبت على كثير ممن نُسِب إلى الخير وشُهر بذكره ، حتى عموا عن تحريم ذلك وعن فحشه
“Adapun apa yang diada-adakan (bid’ah) oleh kaum sufiah pada hari ini berupa sikap terus-menerus mendengar lagu-lagu yang disertai alat-alat musik maka termasuk perkara yang tidak diperselisihkan akan keharamannya. Akan tetapi jiwa yang dirasuki syahwat dan tujuan-tujuan yang kesetanan telah mendominasi banyak orang yang dinisbahkan kepada kebaikan dan terkenal dengan kebaikan tersebut, hingga akhirnya buta akan haramnya dan buruknya hal ini” (Al-Mufhim Limaa Asykala Min Talkhiis Kitaabi Muslim 2/534)
(5) Ibnu As-Sholaah (wafat 643 H), dari madzhab syafi’i, beliau berkata
وأما اباحة هذا السماع وتحليله فليعلم أن الدف والشبابة والغناء إذا اجتمعت فاستماع ذلك حرام عند أئمة المذاهب وغيرهم من علماء المسلمين ولم يثبت عن أحد ممن يعتد بقوله في الإجماع والخلاف أنه أباح هذا السماع
“Adapun pembolehan samaa’ ini dan penghalalannya maka ketahuilah bahwasanya rebana dan syabaabah (semacam seruling) dan nyanyian jika terkumpulkan maka mendengarkannya adalah haram di sisi para imam-imam madzhab dan selain mereka dari kalangan para ulama, dan tidak valid dari seorangpun yang perkataannya mu’tabar(terangap) dalam ijmak dan perselisihan bahwasanya ia membolehkan model samaa’ seperti ini” (fataawa Ibnu As-Sholaah 2/499)
(6) An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) dari madzhab Asy-Syafi’i, beliau berkata
المزمار العراقي وما يُضرب به الأوتار حرام بلا خلاف
“Seruling Iraqi dan semua alat musik bersenar hukumnya haram tanpa ada perselisihan” (Raudhotut Thoolibiin 11/228)
(7) Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat 728 H) dari madzhab Hanbali, beliau berkata
المعازف…وهي الآلة التي يعزف بها : أي يصوت بها ، ولم يذكر أحد من أتباع الأئمة في آلات اللهو نزاعاً… ولكن تكلموا في الغناء المجرد عن آلات اللهو : هل هو حرام ؟ أو مكروه ؟ أو مباح ؟
“Al-Ma’aazif …adalah alat-alat yang digunakan untuk mengeluarkan suara (musik) dan tidak seorangpun dari pengikut para imam yang menyebutkan adanya perselisihan tentang haramnya alat-alat musik….akan tetapi mereka berbicara tentang hukum lagu/nyanyian yang kosong dari alat musik, apakah ia haram, makruh ataukah mubah?” (Majmuu’ Al-Fataawa 11/576)
(8) Ibnu Rojab rahimahullah (wafat 795 H), dari madzhab Hanbali, beliau berkata
وأما استماع آلات الملاهي المطرِبة المتلقاة من وضع الأعاجم؛ فمحرمٌ مجمع على تحريمه، ولا يُعلم عن أحد منهم الرخصة في شيء من ذلك، ومن نقل الرخصة فيه عن إمام يُعتد به فقد كذب وافترى
“Adapun mendengarkan alat-alat untuk main musik yang diterima dari buatan orang-orang ajam maka hukumnya haram, dan ijmak ulama atas keharamannya, dan tidak diketahui seorangpun dari kalangan para ulama yang membolehkan suatu alatpun. Barang siapa yang menukilkan bahwa ada seorang imam yang diakui bahwasanya sang imam membolehkan alat musik maka ia telah berdusta dan mengada-ngada” (Fathul Baari syarh Shahih Al-Bukhari 6/83)
(9) Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah (wafat 973 H), dari madzhab Syafi’i, beliau berkata :
الأَوتار والمعازف كالطُّنْبُور والعُود والصَّنْج أي: ذي الأوتار والرباب (1) والجَنْك (2) والكمنجة والسنطير والدِّرِّيجُ (3)، وغير ذلك من الآلات المشهورة عند أهل اللهو والسَّفاهة والفُسوق، وهذه كلُّها محرَّمة بلا خِلاف، ومَن حكى فيه خلافًا فقد غلط أو غلب عليه هَواه، حتى أصمَّه وأعماه، ومنعه هداه، وزلَّ به عن سنن تَقواه
“Senar-senar dan alat-alat musik seperti kecapi, gitar, as-shonj yaitu yang ada senarnya, rebab, jank (semacam gitar), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk busr dengan empat senar), sinthir (semacam alat musik yang senarnya dari tembaga –lihat al-mu’jam al-washith-pen), dan dirriij (semacam kecapi), serta alat-alat musik lainnya yang dikenal oleh para pemain dan orang-orang bodoh dan para pelaku kefasikan. Ini semuanya hukumnya haram tanpa ada khilaf (perselisihan). Barang siapa yang menyebutkan adanya khilaf dalam hal ini maka ia telah keliru atau hawa nafsunya telah mendominasinya sehingga membuatnya tuli dan buta serta mencegahnya dari petunjuk dan juga menggelincirkannya dari jalan ketakwaannya” (Kaff Ar-Ri’aaa’ ‘an muharromaat al-lahwi wa as-samaa’ hal 118)
PERINGATAN
Diantara perkara yang menimbulkan kerancuan adalah mencampur-adukan antara permasalahan alat musik dengan permasalahan lagu/nyanyian.
Para ulama dalam kitab-kitab fikih klasik membedakan antara dua perkara ini, antara nyanyian dan alar-alat musik. Nyanyian di zaman kita biasanya disertai dengan lantunan alat-alat musik. Adapun istilah al-ginaa’ (nyanyian) dalam kitab-kitab fikih klasik dan menurut istilah para ulama terdahulu adalah mencakup perkataan bersajak, serta bait-bait sya’ir yang dilantunkan dengan suara bernada tanpa disertai dengan alat musik
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
الغناء أشعار موزونة تؤدى بأصوات مستلذة وألحان موزونة
“Al-ghinaa adalah sya’ir-sya’ir yang berwazan yang disenandungkan dengan suara yang indah didengar serta nada yang teratur” (Fathul Baari 10/543)
Al-Khotthobi rahimahullah berkata:
فكل من رفع صوته بشيء ووالى به مرة بعد أخرى فصوته عند العرب غناء
“Maka setiap orang yang mengangkat sedikit suaranya lalu mengikutkan suara berikutnya secara tertib dan berurutan maka suaranya menurut orang-orang arab adalah al-ghinaa’/nyanyian” (Ghoriibul Hadits 1/656)
Ibnul Atsir rahimahullah tatkala mengomentari hadits Aisyah yang berkata:
دخل علي أبو بكر وعندي جاريتان من جواري الأنصار تغنيان بما تقاولت به الأنصار في يوم بعاث قالت وليستا بمغنيتين فقال أبو بكر أبمزمور الشيطان في بيت النبي صلى الله عليه وسلم وذلك في يوم عيد الفطر فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أبا بكر إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا
“Abu Bakar masuk ke rumahku dan di sisiku ada dua orang budak wanita kecil dari budak-budak kaum anshoor yang sedang menyanyi dengan apa yang disenandungkan oleh kaum Anshoor pada peristiwa perang Bu’aats. Dan mereka berdua bukanlah penyanyi. Maka Abu Bakar berkata, “Apakah ada suara seruling syaitan di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Dan hari itu adalah hari raya ‘idul fitri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya, dan ini adalah hari raya kita” (HR Ibnu Maajah no 1898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Ibnul Atsiir berkata:
أي تُنْشِدان الأشْعار التي قِيلت يوم بُعَاث وهو حَرْب كانت بين الأنصار ولم تُرِد الغِنَاء المعروف بين أهْل اللَّهو واللَّعِب وقد رخَّص عمر في غِناء الأعراب وهو صَوْتٌ كالحُداء
“Sedang bernyanyi maksudnya adalah melantuntkan sya’ir-sya’ir yang disebutkan tatkala peristiwa perang Bu’aats, yaitu peperangan yang terjadi diantara kalangan kaum Anshoor. Dan Aisyah tidaklah bermaksud mereka berdua bernyanyi dengan nyanyian yang dikenal diantara para pelaku perkara yang sia-sia. Dan ‘Umar telah memberi keringanan pada nyanyian-nyanyian orang-orang Arab badui, yaitu berupa suara seperti al-hudaa’ ” (An-Nihaayah fi ghoriibil Atsar 3/739)
Para ulama yang membolehkan nyanyian maka maksud mereka adalah bersenandung dengan pembicaraan yang mubah. Barang siapa yang membencinya atau melarangnya maksudnya adalah jika terlalu sering melakukan nyayian tersebut.
Dalam kitab Al-Umm
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى في الرَّجُلِ يُغَنِّي فَيَتَّخِذُ الْغِنَاءَ صِنَاعَتَهُ … وَالْمَرْأَةُ لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَذَلِكَ أَنَّهُ من اللَّهْوِ الْمَكْرُوهِ الذي يُشْبِهُ الْبَاطِلَ وَأَنَّ من صَنَعَ هذا كان مَنْسُوبًا إلَى السَّفَهِ وَسُقَاطَة الْمُرُوءَةِ وَمَنْ رضي بهذا لِنَفْسِهِ كان مُسْتَخِفًّا وَإِنْ لم يَكُنْ مُحَرَّمًا بَيِّنَ التَّحْرِيمِ …وَهَكَذَا الرَّجُلُ يَغْشَى بُيُوتَ الْغِنَاءِ وَيَغْشَاهُ الْمُغَنُّونَ إنْ كان لِذَلِكَ مُدْمِنًا وكان لِذَلِكَ مُسْتَعْلِنًا عليه مَشْهُودًا عليه فَهِيَ بِمَنْزِلَةِ سَفَهٍ تُرَدُّ بها شَهَادَتُهُ وَإِنْ كان ذلك يَقِلُّ منه لم تُرَدَّ بِهِ شَهَادَتُهُ لِمَا وَصَفْت من أَنَّ ذلك ليس بِحَرَامٍ بَيِّنٍ فَأَمَّا اسْتِمَاعُ الْحِدَاءِ وَنَشِيدِ الْأَعْرَابِ فَلَا بَأْسَ بِهِ قَلَّ أو كَثُرَ وَكَذَلِكَ اسْتِمَاعُ الشِّعْرِ *
“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang soerang lelaki yang menyanyi dan menjadikan nyanyian sebagai pekerjaannya … dan seorang wanita, maka tidak boleh syahaadah (persaksian) salah satu dari keduanya. Hal ini dikarenakan nyanyian adalah termasuk perkara sia-sia yang makruh/dibenci yang mirip dengan kebatilan. Barang siapa yang melakukannya maka ia dinisbahkan kepada kebodohan dan jatuh ‘adalahnya (tidak diterima persaksiannya-pen). Barang siapa yang ridho dengan hal ini (menjadikan nyayian sebagai keahliannya-pen) maka ia telah bodoh, meskipun keharamannya tidaklah jelas…
Dan demikian pula seorang lelaki yang mendatangai rumah-rumah nyanyian dan didatangi oleh para penyanyi, maka jika ia selalu melakukannya dan menampakkannya, serta disaksikan perbuatannya tersebut maka hal ini sama kedudukannya seperti kebodohan yang menyebabkan tertolak persaksiannya. Dan jika jarang/sedikit ia melakukannya maka tidak tertolak persaksiannya dikarenakan bahwa hal itu bukanlah perkara yang jelas keharamannya.
Adapun mendengarkan al-hudaa’, nasyid-nasyid orang-orang Arab maka hal ini tidaklah mengapa, baik jarang maupun sering, dan demikian pula mendengarkan sya’ir-sya’ir” (Al-Umm 6/209)
Dalam pernyataan di atas nampak Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa nyanyian adalah perkara yang makruh dan mirip dengan kebatilan, akan tetapi tidak sampai jelas keharamannya. Barang siapa yang terlalu sering melakukan nyanyian maka tertolak syahadahnya/persaksiannya.
Dari sini sangatlah jelas bahwasanya Imam Asy-Syafi’i membedakan antara hukum nyanyian yang hanya sekedar makruh tidak sampai jelas keharamannya, dengan alat-alat musik yang hukumnya jelas haram (sebagaimana telah lalu penukilan dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah).
Ibnu Hibban rahimahullah berkata:
ذكر البيان بأن الغناء الذي وصفناه إنما كان ذلك أشعارا قيلت في أيام الجاهلية فكانوا ينشدونها ويذكرون تلك الأيام، دون الغناء الذي يكون بغزل يقرب سخط الله جل وعلا من قائله
“Penjelasan tentang bahwasanya al-ghinaa/nyanyian yang kami sifatkan hanyalah berupa sya’ir-sya’ir yang diucapkan tatkala di zaman jahiliyah, mereka melantunkannya dan mengingat hari-hari jahiliyah tersebut, dan bukanlah nyanyian yang ada cumbuan rayu wanita yang mendekatkan kemurkaan Allah kepada pengucapnya” (Shahih Ibnu Hibbaan 14/187)
Ibnu Abdilbarr rahimahullah berkata (setelah beliau membicarakan tentang nyanyian orang-orang yang sedang naik tunggangan mereka dalam menempuh perjalanan mereka):
هذه الأوجه من الغناء لا خلاف في جوازها بين العلماء … ؛ إذا كان الشعر سالما من الفحش والخنى، وأما الغناء الذي كرهه العلماء فهذا الغناء بتقطيع حروف الهجاء وإفساد وزن الشعر والتمطيط به طلبا للهو والطرب، وخروجا عن مذاهب العرب
“Ini adalah bentuk-bentuk nyanyian yang tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan kebolehannya….jika sya’ir terbebas dari perkataan keji dan kotor. Adapun al-ghinaa/nyanyian yang dibenci oleh para ulama adalah nyanyian yang dilantunkan dengan memotong-motong huruf-huruf hijaiyah, dan merusak wazan sya’ir, serta memanjang-manjangkannya karena mencari al-lahwu (pekerjaan sia-sia) dan at-thorb (melayang terlena-pen) dan sebagai bentuk keluar dari tradisi orang-orang Arab” ((At-Tamhiid 22/197)
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,
ولا ريب أن العرب كان لهم غناء يتغنون به، وكان لهم دفوف يضربون بها، وكان غناؤهم بأشعار أهل الجاهلية من ذكر الحروب وندب من قتل فيها، وكانت دفوفهم مثل الغرابيل ليس فيها جلاجل … فكان النبي صلى الله عليه وسلم يرخص لهم في أوقات الأفراح كالأعياد والنكاح وقدوم الغياب في الضرب للجواري بالدفوف، والتغني مع ذلك بهذه الأشعار وما كان في معناها، فلما فتحت بلاد فارس والروم ظهر للصحابة ما كان أهل فارس والروم قد اعتادوه من الغناء الملحن بالإيقاعات الموزونة على طريقة الموسيقى، بالأشعار التي توصف فيها المحرمات من الخمور والصور الجميلة المثيرة للهوى الكامن في النفوس المجبول محبته فيها، بآلات اللهو المطربة، المخرج سماعها عن الاعتدال
“Dan tidak diragukan lagi bahwasanya orang-orang Arab dahulu memiliki lagu yang mereka nyanyikan, mereka juga memiliki rebana-rebana yang mereka pukulkan/mainkan. Lagu mereka adalah sya’ir-sya’ir ahlul jahiliyah seperti penyebutan peperangan-peperangan dan motivasi untuk ikut serta dalam peperangan. Rebana mereka dahulu tanpa ada lonceng-lonceng kecil…Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada mereka pada waktu-waktu gembira seperti pada hari-hari raya, walimah pernikahan, datangnya orang yang telah lama berpisah, untuk memainkan (memukul-mukulkan) rebana tersebut oleh para budak-budak wanita kecil, serta bersenandung dengan sya’ir-sya’ir dan yang semisal sya’ir-sya’ir.
Tatkala kaum muslimin menguasai negeri Persia dan Romawi maka nampak pada para sahabat kebiasaan orang-orang Persia dan Romawi yang menyanyikan lagu-lagu yang bernada dengan ketukan-ketukan/irama yang teratur dengan metode musik, disertai syai’ir-syai’ir yang mensifatkan dan menyebutkan perkara-perkara yang haram, seperti khomr, wanita-wanita cantik yang menyebabkan terkobarkannya syahwat yang tersembunyi di dalam jiwa yang tabi’atnya menyukai hal-hal tersebut, disertai juga dengan alat-alat musik yang menyebabkan pendengarnya keluar dari sikap lurus
فحينئذ أنكر الصحابة الغناء واستماعه، ونهوا عنه وغلظوا فيه، حتى قال ابن مسعود: الغناء ينبت النفاق في القلب كما ينبت الماء البقل -وروي عنه مرفوعا- وهذا يدل على أنهم فهموا أن الغناء الذي رخص فيه النبي صلى الله عليه وسلم لأصحابه لم يكن هذا الغناء، ولا آلاته هي هذه الآلات، وأنه إنما رخص فيما كان في عهده، مما يتعارفه العرب بآلاتهم، فأما غناء الأعاجم بآلاتهم فلم تتناوله الرخصة، وإن سمي غناءً وسميت آلاته دفوفا، لكن بينهما من التباين ما لا يخفى على عاقل، فإن غناء الأعاجم بآلاتها يثير الهوى، ويغير الطباع، ويدعو إلى المعاصي، فهو رقية الزنا، وغناء الأعراب المرخص به ليس فيه شيء من هذه المفاسد بالكلية البتة؛ فلا يدخل غناء الأعاجم في الرخصة لفظا ولا معنى،
Maka tatkala itu para sahabatpun mengingkari nyanyian dan mendengarkannya, mereka melarangnya dengan keras. Sampai-sampai Ibnu Mas’ud berkata : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di hati sebagaimana air menumbuhkan tumbuhan/sayuran”. Dan diriwayatkan dari beliau secara marfu’. Hal ini menunjukkan bahwasanya mereka faham bahwa nyanyian yang dibolehkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya bukanlah nyanyian yang seperti ini, dan bukanlah alat-alatnya seperti alat-alat ini !!, dan Nabi hanyalah memberi keringanan (membolehkan) pada perkara-perkara dan alat-alat yang ada di zaman beliau yang dikenal oleh orang-orang Arab. Adapun nyanyiannya orang-orang ‘ajam disertai alat-alat yang seperti alat-alat tersebut -meskipun dinamakan nyanyian, alat-alatnya dinamakan rebana- akan tetapi antara nyanyian dan rebana zaman Nabi tentu sangat berbeda dengan nyanyian dan rebana orang ajam, yang perbedaan ini tidaklah samar bagi orang yang berakal. Sesungguhnya nyanyian orang-orang ajam yang disertai alat-alat musiknya mengorbankan hawa nafsu dan merubah tabi’at serta menyeru kepada kemaksiatan-kemaksiatan. Nyanyian tersebut adalah ruqyahnya zina.
Adapun nyanyian orang-orang Arab yang diperbolehkan sama sekali tidak ada kerusakan-kerusakan seperti ini, maka nyanyian orang-orang ajam tidaklah termasuk nyanyian yang diperbolehkan baik secara lafal maupun makna/hakekatnya.
فإنه ليس هنالك نص عن الشارع بإباحة ما يسمى غناء ولا دفا، وإنما هي قضايا أعيان وقع الإقرار عليها، وليس لها من عموم. وليس الغناء والدف المرخص فيهما في معنى ما في غناء الأعاجم ودفوفها المصلصلة، لأن غناءهم ودفوفهم تحرك الطباع وتهيجها إلى المحرمات، بخلاف غناء الأعراب؛ فمن قاس أحدهما على الآخر فقد أخطأ أقبح الخطأ، وقاس مع ظهور الفرق بين الفرع والأصل، فقياسه من أفسد القياس وأبعده عن الصواب. وقد صحت الأخبار عن النبي صلى الله عليه وسلم بذم من يستمع القينات في آخر الزمان، وهو إشارة إلى تحريم سماع آلات الملاهي الماخوذة عن الأعاجم
Karena sesungguhnya tidak ada dalil-dalil nas dari syari’at yang membolehkan sesuatu yang dinamakan nyanyian/lagu dan rebana. Yang ada yaitu kejadian-kejadian khusus lalu didiamkan (dibiarkan dan tidak dilarang), maka tidak ada keumumannya. Dan bukanlah nyanyian dan rebana yang diperbolehkan hekekatnya sama dengan nyanyian orang-orang ‘ajam dan rebana-rebana mereka yang diberi lonceng-lonceng kecil, karena nyanyian dan rebana-rebana mereka menggerakan hati dan mengobarkannya untuk melakukan hal-hal yang haram, lain halnya dengan nyanyian-nyanyian orang-orang Arab. Barang siapa yang mengqiaskan salah satunya kepada yang lain maka ia telah salah besar, dan ia telah mengqiaskan padahal telah nampak jelas perbedaan antara cabang dan ashal. Maka qiyasnya adalah qiyas yang paling rusak dan sangat jauh dari kebenaran. Telah shahih riwayat-riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tercelanya orang yang mendengarkan para budak (yang bernyanyi) di akhir zaman, dan ini merupakan isyarat akan pengharaman mendengarkan alat-alat musik yang diambil dari orang-orang ‘ajam” (Fathul Baari 6/77-79).
Penulis: Dr. Firanda Andirja, Lc. M. A.
AJARAN-AJARAN MADZHAB SYAFI’I YANG DITINGGALKAN OLEH SEBAGIAN PENGIKUTNYA:
- MEMANJANGKAN JEMGGOT
- HARAMNYA MUSIK
- CADAR
- HARAMNYA NGALAP BAROKAH YANG TIDAK SYAR'I
- HARAMNYA ROKOK
- KEYAKINAN BAHWA ALLAH ADA DIATAS LANGIT
- MASALAH MENGIRIM BACAAN AL-QUR'AN
- MENGINGKARI AQIDAH SYIAH
- HARAMNYA ILMU FILSAFAT
Sumber: https://firanda.com/
HARAMNYA MUSIK
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ghanm al-Asy’ari, dia berkata, “Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu telah menceritakan kepadaku, demi Allâh, dia tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ. وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَـى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ ، يَأْتِيْهِمْ –يَعْنِيْ الْفَقِيْرَ- لِـحَاجَةٍ فَيَـقُوْلُوْنَ : ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا ، فَـيُـبَـيِـّـتُـهُـمُ اللهُ وَيَـضَعُ الْعَلَمَ وَيَـمْسَـخُ آخَرِيْنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ إِلَـى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
‘Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang sungguh akan singgah di lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka, lalu seseorang mendatangi mereka -yaitu orang fakir- untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami besok hari.’ Kemudian Allâh mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allâh mengubah sebagian dari mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat.’
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
al-Bukhâri secara mu’allaq[1] dengan lafazh jazm (pasti) dalam Shahîh–nya (no. 5590). Lihat Fat-hul Bâri (X/51),
Ibnu Hibbân (no. 6719-at-Ta’lîqâtul Hisân),
al-Baihaqi dalam Sunan-nya (X/221),
Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4039).
Hadits ini SHAHÎH. Karena beberapa imam ahli hadits menghukumi hadits ini shahîh, diantaranya :
Dishahîhkan oleh al-Bukhâri, Ibnu Hibban, al-Barqani,[2] dan Abu ‘Abdillah al-Hâ[3]
Ibnush Shalâh rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh.”[4]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata mengenai hadits ini, “Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri adalah shahîh.”[5]
Dishahîhkan juga oleh al-Isma’ili[6] dan Abu Dzarr al-Harawi.[7]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh.”[8]
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh.”[9]
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Maka hadits ini adalah shahîh.”[10]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh, tidak ada cacat dan celaan padanya.”[11]
asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini shahîh, diketahui sanadnya yang bersambung berdasarkan syarat ash-Shahîh.”[12]
Dan ad-Dahlawi mengatakan, “(Sanadnya) bersambung dan shahîh.”[13]
Untuk mengetahui penjelasan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah musik dan nyanyian dapat dilihat dalam kitab Tahrîm Âlâtith Tharb karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dan risalah Magister berjudul Ahâdîtsul Ma’âzîfi wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 58), karya Dr. Muhammad ‘Abdul Karim ‘Abdurrahman.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah juga membawakan nama-nama para Ulama ahli hadits yang menshahîhkan hadits ini dalam Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 89).
Ibnu Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) dan Muhammad bin Thahir al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 507 H) mendha’îfkan hadits ini karena menyangka ada cacat dalam hadits ini, yaitu sanadnya terputus antara al-Bukhâri dan Hisyâm bin ‘Ammar dan juga shahabat yang ada dalam hadits ini (yaitu Abu ‘Amir atau Abu Malik) tidak dikenal. Padahal para Imam ahli hadits yang lainnya telah menyatakan bahwa sanad hadits ini bersambung, di antara mereka adalah Ibnu Hibbân rahimahullah dalam Shahîhnya, ath-Thabrani rahimahullah dalam al-Mu’jamul Kabîr, dan selain keduanya. Selain itu, Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Adapun shahabat Rasûlullâh Abu ‘Amir atau Abu Malik yang dikenal, maka kita katakan bahwa seluruh shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah adil, sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum Muslimin.
Pada saat membantah Muhammad al-Ghazali (Mesir) yang taklid kepada Ibnu Hazm dalam hal ini, Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Dia (al-Ghazali) tidak mengetahui bahwa Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Sehingga perkataan al-Bukhâri, “Telah berkata Hisyâm bin ‘Ammar.’’ bukanlah sekedar ta’lîq (adanya pemisah antara al-Bukhâri dengan Hisyâm) bahkan sebenarnya muttashil (bersambung) karena bagi Imam al-Bukhâri tidak ada beda antara perkataannya, “Hisyâm telah berkata,” atau “Hisyâm telah mengabarkan kepadaku.”[14]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap cacat hadits di atas -seperti Ibnu Hazm- untuk mempertahankan pendapatnya yang bathil tentang dibolehkannya nyanyian dan musik. Dia menyangka hadits itu tidak sah, karena munqathi’ (terputus sanadnya) karena al-Bukhâri -katanya- tidak memiliki sanad yang bersambung dalam hal hadits di atas !
Untuk menjawab kekeliruan ini sebagai berikut :
Telah disepakati bahwa al-Bukhâri telah bertemu Hisyâm bin ‘Ammar dan mendengar (hadits) darinya. Sehingga apabila al-Bukhâri berkata, ‘Hisyâm telah berkata,’ maka kedudukan perkataan itu sama dengan, ‘Dari Hisyâm.’”
Jika al-Bukhâri tidak mendengar (langsung) hadits ini dari Hisyâm, maka dia tidak akan membolehkan dirinya untuk memastikan bahwa riwayat ini darinya, kecuali kalau telah shahîh bahwa Hisyâm (benar-benar) telah meriwayatkan hadits ini. Hal ini (keberanian seorang rawi untuk menyatakan bahwa seorang syaikh telah meriwayatkan sebuah hadits padahal dia tidak mendengar langsung dari syaikh tersebut-pen) -biasanya- karena banyaknya orang yang meriwayatkan hadits itu dari syaikh tersebut dan karena masyhur (terkenal)nya hal tersebut. Dan al-Bukhâri adalah makhluk Allâh yang paling jauh dari penipuan.
Bahwasanya al-Bukhâri telah memasukkan hadits tersebut dalam kitabnya yang terkenal dengan ash-Shahîh, dengan berhujjah (berargumen) dengannya, seandainya hadits itu bukan hadits shahîh, tentu beliau tidak akan melakukan yang demikian.
al-Bukhâri memberikan ta’lîq (lafazh yang menunjukkan terputusnya sanad-pen) dalam hadits itu dengan ungkapan yang menunjukkan jazm (kepastian), tidak dengan ungkapan yang menunjukkan tamrîdh (cacat). Dan bahwasanya jika beliau bersikap tawaqquf (tidak berpendapat) dalam suatu hadits atau hadits itu tidak atas dasar syaratnya maka beliau akan mengatakan, ‘Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,’ dan juga dengan ungkapan, ‘Disebutkan dari beliau,’ atau dengan ungkapan yang Tetapi jika beliau berkata, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’ maka berarti dia telah memastikan bahwa hadits itu disandarkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seandainya kita mengatakan berbagai dalil di atas tidak ada artinya, maka cukuplah bagi kita bahwa hadits tersebut shahîh dan muttashil (bersambung sanadnya) menurut perawi hadits yang lain.” [15]
Berikut ini penjelasan para Ulama hadits tentang Hisyâm bin ’Ammar, di antaranya:
Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, ”Tsiqah.”[16]
Imam al-Bukhâri rahimahullah mentsiqahkannya karena beliau berhujjah dengannya di kitab Shahîhnya.
Imam Ahmad al-’Ijli rahimahullah berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar ad-Dimasyqi tsiqah shadûq (terpercaya, jujur).”[17]
Imam an-Nasâi rahimahullah berkata, ”Lâ ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).”[18]
Hisyâm bin ’Ammar rahimahullah merupakan salah seorang Ulama yang berpegang teguh dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah. al-Hâfizh Ahmad bin ’Abdullah al-Khazraji rahimahullah berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar as-Sulami Abul Walid ad-Dimasyqi al-Muqri al-Hafizh al-Khathiib. Meriwayatkan dari Mâlik, al-Jarrah bin Malih, dan Yahya bin Hamzah dan banyak Ulama…”[19]
Beliau juga berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ, ”Hisyâm bin ’Ammar…seorang Imam al-Hâfizh al-’Allâmah al-Muqri, Ulama penduduk Syam… khathîb penduduk Dimasyqa (Damaskus).”[20]
Beliau juga berkata dalam kitab al-’Ibar fii Khabari man Ghabar, ”Hisyâm bin ’Ammar…khathîb, qâri’, ahli fiqih, dan muhaddits penduduk Dimasyqa… dua orang Syaikh (guru) dari para Syaikhnya telah meriwayatkan darinya –karena dia memiliki kedudukan yang tinggi–.”[21]
Hadits ini secara jelas dan tegas mengharamkan al-ma’âzif –yaitu alat-alat musik-, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa akan ada suatu kaum diantara umatnya yang menganggap halal apa yang telah diharamkan Allâh Azza wa Jalla atas mereka berupa zina, sutra, khamr, dan alat-alat musik.
KOSA KATA HADITS
اَلْحِرُ (berzina): yaitu kemaluan, asalnya adalah حِرْحٌ , yang jamaknya adalah [22]أَحْرَاحٌ.
اَلْمَعَازِفُ : Rebana dan sejenisnya yang ditabuh, sebagaimana dalam an-Nihâyah. Dalam al-Qâmûs, al-Ma’azif yaitu alat-alat musik seperti seruling dan mandolin. Bentuk tunggalnya adalah عُزْفٌ atau مِعْزَفٌ, seperti kata مِنْبَرٌ dan مِكْنَسَةٌ. Al-‘Aazif adalah orang yang memainkan alat musik dan juga penyanyi. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ighâtsatul Lahfân menyebutkan, “Artinya adalah alat-alat musik seluruhnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli bahasa Arab dalam masalah ini.”[23]
Ucapan itu lebih diperjelas lagi oleh adz-Dzahabi dalam as-Siyar (XXI/158), “al-Ma’âzif adalah nama bagi semua alat musik yang dimainkan seperti seruling, mandolin, clarinet, dan simbal.”[24]
SYARAH HADITS
Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dan paling jelas dalam pengharaman lagu dan musik. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah:
- Pertama: Diharamkannya khamr (minuman keras).
- Kedua: Diharamkannya alat musik. Riwayat al-Bukhâri menunjukkan hal itu sebagaimana terlihat dari beberapa segi berikut:
1. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Yastahillûna (Mereka menganggap halal)”
Dari ungkapan ini, jelas sekali bahwa semua yang disebutkan dalam hadits di atas, hukum asalnya adalah haram menurut syari’at. Dan diantara yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah alat-alat musik yang kemudian dihalalkan oleh sekelompok orang.
2. Haramnya musik diiringi dengan sesuatu yang sudah pasti keharamannya, yaitu zina dan khamr. Kalaulah alat-alat musik itu tidak haram, tentunya tidak akan diiringi dengan (penyebutan) zina dan khamr, insyaa Allâh.
Ada banyak hadits, yang sebagiannya shahîh, yang menerangkan tentang haramnya berbagai alat musik yang terkenal ketika itu seperti gendang, al-qanûn (sejenis alat musik yang menggunakan senar), dan lain-lain. Dan tidak ada seorang pun yang menyalahi tentang haramnya musik atau yang mengkhususkannya. Alat musik yang boleh hanyalah duff (rebana tanpa kerincingan) saja, dan itu pun dibolehkan hanya pada waktu acara pernikahan dan ‘Ied (hari raya). Dibolehkan dengan ketentuan yang rinci dalam kitab-kitab fiqih. Dan saya (Syaikh al-Albani) telah sebutkan (rinciannya) dalam buku bantahan terhadap Ibnu Hazm.[25] Oleh karena itu, empat Imam Madzhab telah sepakat tentang haramnya semua jenis alat musik.
Ada di antara mereka yang mengecualikan gendang (drumb band) untuk perang dari sebagian orang pada zaman ini dan membolehkan musik kemiliteran. Namun pendapat ini tidak benar karena beberapa alasan berikut:
Diantara hadits-hadits yang menjelaskan keharamannya itu, tidak ada satu pun hadits yang mengkhususkan atau membolehkannya. Mereka yang membolehkan hanya berdasarkan ra’yu (pendapat) semata dan menganggap baik hal itu. Pendapat yang membolehkan alat-alat musik adalah bathil.
Kewajiban kaum Muslimin ketika mereka berperang adalah hendaklah mereka menghadapkan hati mereka kepada Allâh dan memohon agar Allâh menolong mereka untuk mengalahkan orang-orang kafir. Itu akan membawa kepada ketenangan jiwa dan mengikat hati mereka. Adapun penggunaan alat-alat musik sudah pasti akan merusak dan akan memalingkan mereka dari dzikrullah (berdzikir kepada Allâh), sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh) maka berteguh hatilah dan sebutlah (Nama) Allâh banyak-banyak (berdzikir dan berdo’a) agar kamu beruntung. [al-Anfâl/8:45].
Menggunakan alat-alat musik termasuk kebiasaan orang-orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ
” … orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allâh dan Rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allâh )...” [at-Taubah/9:29]
Kaum Muslimin tidak boleh menyerupai mereka, lebih-lebih menyerupai dalam hal-hal yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla kepada kita dengan pengharaman yang umum, contohnya adalah musik.
Janganlah Anda tertipu dengan pendapat yang Anda dengar dari orang-orang sekarang yang dikenal sebagai seorang yang sok ahli fiqih yang menghalalkan musik. Mereka –demi Allâh – berfatwa dengan taklid dan mereka lebih membela hawa nafsu manusia. Mereka taklid kepada Ibnu Hazm rahimahullah yang keliru dalam masalah ini–mudah-mudahan Allâh mengampuni kita dan dia–karena menganggap hadits Abu Mâlik tidak sah. Padahal hadits itu sudah jelas shahîh. Mengapa mereka (orang-orang yang membolehkan nyanyian dan musik) tidak mengikuti empat Imam Madzhab yang lebih paham, lebih ‘alim dalam agama, lebih banyak pengikutnya, dan lebih kuat hujjah (dalil)nya ?!
- Ketiga: Bahwa Allâh Azza wa Jalla akan menyiksa sebagian orang fasiq dengan siksaan yang kongkrit di dunia, yaitu akan diubah bentuk mereka -kemudian akal mereka- seperti binatang ternak.
al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata dalam Fat-hul Bâri (X/49) tentang hadits ini, “Ibnul ‘Arabi mengatakan, ‘Perubahan bentuk bisa bermakna hakiki sebagaimana yang telah menimpa ummat-ummat terdahulu, dan bisa juga bermakna kinâyah (kiasan) yaitu perubahan akhlak mereka.’ Aku (Ibnu Hajar) menjawab, ‘Yang benar adalah makna yang pertama (yakni akan diubah bentuknya secara hakiki) karena itulah yang sesuai dengan redaksi hadits.”
Aku (Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah) berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan untuk menggabungkan kedua pendapat tersebut –sebagaimana telah kami sebutkan–. Bahkan (penggabungan) itulah yang dapat difahami langsung dari kedua hadits. Wallaahu a’lam.”[26]
Penjelasan Para Shahabat Tentang Haramnya Lagu dan Musik
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma (wafat th. 73 H)
Beliau Radhiyallahu anhuma pernah melewati sekelompok orang yang sedang melakukan ihrâm, dan diantara mereka ada seorang yang bernyanyi, maka beliau Radhiyallahu anhuma berkata, “Ingatlah, semoga Allâh tidak mendengarkan (do’a-do’a-red) kamu.”[27]
‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma (wafat th. 68 H).
Beliau berkata, “Rebana haram, al-ma’âzif (alat-alat musik) haram, al-kûbah (bedug atau gendang, dan yang sejenisnya) haram, dan seruling haram.”[28]
Penjelasan dan Pendapat Para Ulama Salaf Tentang Haramnya Nyanyian dan Musik
1. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah (wafat th. 101 H).
Beliau rahimahullah menulis surat kepada guru anaknya, “Hendaklah yang pertama kali diyakini anak-anakku dari akhlakmu adalah membenci alat-alat musik, sesuatu yang dimulai dari setan, dan akibatnya ialah mendapatkan kemurkaan dari Allâh Yang Maha Pengasih. Karena sesungguhnya telah sampai kepadaku dari para Ulama yang terpercaya bahwa menghadiri alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian-nyanyian serta menyukainya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allâh, sesungguhnya menjaga hal itu dengan tidak mendatangi tempat-tempat tersebut lebih mudah bagi orang yang berakal daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”[29]
2. Imam al-Âjurri rahimahullah (wafat th. 360 H)
Beliau mengharamkan nyanyian dan alat-alat musik dalam kitabnya, Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhiy. Beliau rahimahullah berkata, “(Nyanyian itu) haram dilakukan dan haram mendengarkannya berdasarkan dalil dari Kitabullâh, Sunnah-Sunnah Rasûlullâh, perkataan para Shahabat Radhiyallahu anhum , dan perkataan mayoritas para Ulama kaum Muslimin…”[30]
3. Imam Abu Bakar bin Walid ath-Thurtusyi al-Fikri rahimahullah (wafat th. 520 H)
Beliau rahimahullah adalah salah seorang Ulama pembesar madzhab Maliki rahimahullah. Dalam muqaddimah kitabnya, Tahrîmus Sama’, beliau berkata, “…Kemudian bertambah banyak kebodohan, sedikit ilmu, dan perkara saling kontradiksi sehingga di kalangan kaum Muslimin ada yang melakukan maksiat dengan terang-terangan, kemudian semakin lama mereka bertambah jauh hingga sampai kepada kami bahwa ada sekelompok saudara kami dari kaum Muslimin —mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepada kami dan mereka— yang telah digelincirkan oleh setan dan telah sesat cara berfikirnya. Mereka senang kepada nyanyian dan permainan yang sia-sia. Mereka mendengarkan nyanyian dan musik serta menganggap hal itu sebagai bagian dari agama yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Mereka telah menentang kaum Muslimin (para shahabat dan tabi’in). Mereka telah menyimpang dari jalannya kaum Mukminin, dan telah menyalahi para fuqâhâ‘ (para ahli fiqih) dan para Ulama pengemban risalah agama. (Allâh Azza wa Jalla berfirman):
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami akan masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.’ [an-Nisâ’/4:115].”[31]
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)
Beliau rahimahullah mengatakan, “Empat Imam Madzhab berpendapat bahwa semua alat musik adalah haram. Telah ada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Ulama lainnya bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan adanya orang-orang dari ummatnya yang menghalalkan zina, sutra, minum khamr, dan alat-alat musik serta mereka akan diubah menjadi kera dan babi. al-Ma’âzif adalah alat-alat musik sebagaimana yang disebutkan oleh para pakar bahasa Arab, bentuk jamak dari ma’zifah, yaitu alat yang dibunyikan. Dan tidak ada perselisihan sedikit pun dari pengikut para imam (tentang haramnya alat musik).”[32]
Beliau rahimahullah mengatakan, “al-Ma’âzif (alat-alat musik) adalah khamr bagi jiwa. Dia bereaksi dalam jiwa lebih hebat daripada reaksi arak. Apabila mereka telah mabuk dengan nyanyian, mereka bisa terkena kesyirikan, condong kepada perbuatan keji dan zhalim sehingga mereka pun berbuat syirik, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan berzina.”[33]
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Adapun sama’ (mendengarkan) yang mencakup kemungkaran-kemungkaran agama, maka orang yang menganggapnya sebagai amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ), ia harus disuruh bertaubat, bila mau bertaubat (maka diterima taubatnya), jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Apabila ia adalah orang yang mentakwil atau tidak tahu, maka dia harus diberi penjelasan tentang kesalahan takwilnya itu, dan dijelaskan kepadanya ilmu yang dapat menghilangkan kebodohannya. Dalam Shahîh al-Bukhâri dan selainnya disebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang-orang yang menganggap halal kemaluan (zina), sutra, khamr, dan alat-alat musik dalam konteks celaan atas mereka dan bahwa Allâh akan menghukum mereka. Maka hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Menurut pakar bahasa Arab, al-Ma-’aazif adalah alat-alat yang membuat lalai, dan nama ini mencakup semua alat-alat musik yang ada.”[34]
5. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat th. 751 H).
Beliau rahimahullah mengatakan, “Diantara perangkap dan tipu daya musuh Allâh Azza wa Jalla , yang menyebabkan orang yang sedikit ilmu dan agamanya terpedaya, serta menyebabkan hati orang-orang bodoh dan pelaku kebathilan terperangkap adalah mendengarkan tepuk tangan, siulan, dan nyanyian dengan alat-alat yang diharamkan, yang menghalangi hati dari al-Qur’ân dan menjadikannya menikmati kefasikan dan kemaksiatan. Nyanyian adalah qur-annya setan dan dinding pembatas yang tebal dari ar-Rahman. Ia adalah mantra homoseksual dan zina. Dengannya orang fasik yang mabuk cinta mendapatkan puncak harapan dari orang yang dicintainya. Dengan nyanyian ini, setan memperdaya jiwa-jiwa yang bathil, ia menjadikan jiwa-jiwa itu –melalui tipu daya dan makarnya– menganggap nyanyian itu baik. Lalu, ia juga meniupkan syubhat-syubhat (argumen-argumen) bathil sehingga ia tetap menganggapnya baik dan menerima bisikannya, dan karenanya ia menjauhi al-Qur’ân…”[35]
Satu hal yang sangat mengherankan yaitu sebagian orang bernyanyi, berdansa, dan bergoyang dalam rangka beribadah –menurut sangkaan mereka–, mereka meninggalkan al-Qur’ân, dan mendengarkan lagu-lagu setan ?!
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Meskipun (majelis sama’/lagu dan musik) telah dihadiri oleh seratus wali (menurut kaum shufi) akan tetapi telah diingkari oleh lebih dari seribu wali.
Meskipun dihadiri oleh Abu Bakar asy-Syibli, akan tetapi Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu tidak menghadirinya.
Meskipun telah dihadiri oleh Yusuf bin Husain ar-Razi namun yang jelas tidak dihadiri oleh ‘Umar bin al-Khaththab al-Fâruq Radhiyallahu anhu yang dengannya Allâh Azza wa Jalla memisahkan antara haq dan batil.
Meskipun dihadiri oleh an-Nuuri namun pasti tidaklah dihadiri oleh Dzun Nûrain ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu
Meskipun dihadiri oleh Dzun Nun al-Mishri namun tidaklah dihadiri oleh ‘Ali bin Abi Thâlib al-Hasyimi Radhiyallahu anhu …
Meskipun dilakukan oleh mereka semua namun seluruh kaum Muhajirin dan Anshar, yang ikut serta dalam Perang Badar, peserta Bai’atur Ridhwan, dan segenap Shahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak ada yang pernah melakukannya.
Demikian pula seluruh ulama ahlu fiqih dan fatwa, seluruh Ulama ahli hadits dan Ulama Ahlus Sunnah, seluruh ahli tafsir dan imam-imam qira’ah, seluruh imam-imam jarh dan ta’dil yang membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama beliau, tidak ada yang melakukannya. Lalu siapakah lagi yang melakukannya? [36]
Pihak manakah yang berhak mendapatkan rasa aman
Ketika Allâh membangkitkan seluruh manusia
Lalu semuanya dikumpulkan?” [37]
FAWAA-ID HADITS:
Dalam hadits ini ada tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan apa yang akan terjadi pada ummat Islam.
Haramnya zina.
Haramnya mengenakan pakain yang terbuat dari sutera bagi laki-laki. Karena ada hadits shahîh yang menjelaskan tentang halalnya sutera dan emas bagi wanita. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِيْ وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا.
Dihalalkan emas dan sutera bagi para wanita umatku dan diharamkan bagi laki-laki[38]
Haramnya khamr (minuman keras).
Haramnya lagu dan musik.
Semua jenis alat musik adalah haram kecuali duff (rebana) untuk acara pernikahan dengan beberapa ketentuan syari’at.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan nanti akan ada orang Islam yang menghalalkan sutera, musik, zina dan khamr. Apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan terbukti seperti yang kita lihat sekarang ini, sebagian ustadz-ustadz, kyai-kyai, dan Ulama menghalalkan musik dan lagu, bahkan ikut joget dan nyanyi. Allâh ul Musta’aan wa ’Alaihi Tuklaan walaa hawla walaa quwwata illaa billaah.
MARAAJI’.
- Al-Qur-an dan terjemahnya.
- Kutubus sittah dan Musnad Imam Ahmad.
- Sunan al-Baihaqi.
- Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Ighâtsatul Lahafân, Imam Ibnul Qayyim. Tahqiq: Syaikh Ali Hasan.
- al-Istiqâmah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Tahriimun Nard wasy Syatranj wal Malaah, Abu Bakar bin Husain al-Aajurri.
- Tahdzîbus Sunan, Imam Ibnul Qayyim.
- Talbîs Iblîs, Ibnul Jauzi, cet. Daarul Kutub ’Ilmiyyah.
- Majmû’ Rasâ-il al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali.
- Siyar A’lâmin Nubalâ‘, Imam adz-Dzahabi.
- Mawâridul Amân, ringkasan Ighâtsatul Lahafân, Syaikh Ali Hasan.
- al-Muntaqan Nafîs, ringkasan Talbîs Iblîs, Syaikh Ali Hasan.
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Nailul Authâr, Imam Asy-Syaukani. Tahqiq dan takhrij: Muhammad Subhi Hasan Hallâ
- Tahrîm Âlâtith Tharb, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Ahâdîts al-Ma’âzif wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan, Muhammad ’Abdul Karim Abdurrahman.
- ar-Rîhul Qâshif ’al â Ahlil Ghinâ’ wal Ma’âzif, Dziyab bin Sa’ad Aalu Hamdan al-Ghamidi.
- Fat-hu Dzil Jalâli wal Ikrâm Syarh Bulûghil Marâm, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
- Dan kitab-kitab lainnya.
_______
Footnote
[1] Maksudnya, dengan lafazh yang menunjukkan bahwa sanadnya terputus antara al-Bukhari dengan rawi setelahnya, yaitu Hisyâm bin ‘Ammar. Akan tetapi pada hakikatnya tidak terputus, seperti yang akan dijelaskan nanti.
[2] Dalam Shahiihnya. Lihat Nashbur Râyah (IV/231).
[3] Lihat Shiyânatu Shahîh Muslim minal Ikhlâl wal Ghalath wa Himâyatuhu minal Isqâth was Saqath (hlm. 84).
[4] Muqaddimah Ibnu Shalâh fii ‘Ulûmil Hadîts (hlm. 32).
[5] al-Istiqâmah (I/294).
[6] Dalam Shahîhnya. Lihat Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803), karya Ibnul Qayyim, tahqiq: DR. Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. Maktabah al-Ma’arif.
[7] Dalam Shahîhnya. Lihat Fat-hul Bâri (X/52).
[8] Ighâtsatul Lahfân (I/464), tahqiq: Syaikh Ali Hasan.
[9] Irsyâdu Thullâbul Haqâ-iq (I/196), tahqiq Syaikh ‘Abdul Baari Fat-hullah.
[10] Majmû’ Rasâ-il al-Hâfizh Ibni Rajab al-Hanbali (Nuzhatul Asmaa’ (II/449).
[11] Taghlîqut Ta’lîq (V/22).
[12] Nailul Authâr (XIV/510), takhrij dan ta’liq: Subhi Hasan Hallaaq.
[13] al-Inshâf (hlm. 62). Dinukil dari Ahâdîtsul Ma’âzif wal Ghinâ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 57-58).
[14] Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 28).
[15] Lihat Ighâtsatul Lahfân (I/465-466), Mawâridul Amân (hlm. 329) dan Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803). Untuk mengetahui lebih lengkap jalan-jalan periwayatan hadits ini, lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 40-41 dan 80-91) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 91).
[16] Tahdzîbul Kamâl (XXX/247).
[17] At-Tsiqât (IX/233) dan Siyar A’lâmin Nubalâ‘ (XI/424).
[18] Tahdzîbul Kamâl (XXX/248) dan Siyar A’lâmin Nubalâ‘ (XI/424).
[19] Khulâshah Tahdzîbu Tahdzîbil Kamâl fii Asmâ-ir Rijâl (hlm. 410).
[20] Siyar A’lâmin Nubalâ‘ (XI/420).
[21] al-’Ibar fii Khabari man Ghabar (I/351).
[22] Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 76.
[23] Ighâtsatul Lahfân (I/466).
[24] Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 79.
[25] Yaitu kitab Tahrîm Âlâtith Tharb.—Pen.
[26] Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/188-194).
[27] Lihat Dzammul Malâhi (no. 17), Talbîs Iblîs (hlm. 240), dan al-Muntaqan Nafîs min Talbîs Iblîs (hlm. 306).
[28] Atsar shahih: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunannya (X/222). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 92).
[29] zammul Malâhi (no. 21), Talbîs Iblîs (hlm. 241), dan al-Muntaqan Nafîs (hlm. 306). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 120).
[30] Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhi (hlm. 39) tahqiq ‘Umar Gharamah al-Amrawi, cet. I th. 1400 H.
[31] Ighâtsatul Lahfân (I/411) dan Mawâridul Amân (hlm. 298-299).
[32] Majmû’ Fatâwâ (XI/576).
[33] Majmû’ Fatâwâ (X/417).
[34] Majmû’ Fatâwâ (XI/535).
[35] Ighâtsatul Lahfân (I/408) dan Mawâridul Amân (hlm. 295).
[36] Kalau generasi terbaik tidak pernah mendengarkan musik dan lagu, maka tidak ada yang melakukannya kecuali orang-orang fasik. Kenapa kalian berpaling dari generasi terbaik??!-Pen
[37] Kasyful Ghithâ‘ ’an Hukmi Samâ’il Ghinâ‘ (hlm. 79-80), cet. 1-Daarul Jiil, th. 1412 H atau al-Kalâm ’ala Mas-alatis Samâ’ (hlm. 44), karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq: Muhammad ’Uzair Syams, cet. 1-Daar ’Alamil Fawaa-id, th. 1432 H.
[38] Shahih: HR. Ahmad (IV/394, 407), An-Nasa-i (VIII/161), at-Tirmidzi (no. 1720), dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: Hadits Abu Musa Hadits Hasan Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 277).
Referensi: https://almanhaj.or.id/