Fitnah pada masa sahabat
Fitnah yang terjadi pada masa sahabat merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -melalui bimbingan wahyu tentunya- jauh jauh hari sudah memprediksikan akan munculnya fitnah tersebut. Dan dengan terbunuhnya Umar bin Khattab pintu fitnah pun terbuka1. Dimulai dengan pembunuhan Utsman oleh para pemberontak, kemudian terjadinya sengketa antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Ummul Mu’minin Aisyah yang berujung dengan perang jamal, diteruskan dengan perang siffin antara kubu Ali dan Muawiyah, hingga munculnya orang orang khowarij yang kemudian di perangi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhum Ajma’iin.
Pada dasarnya membicarakan fitnah yang terjadi di antara para sahabat bukan merupakan manhaj Ahlusunnah Wal Jama’ah. Karena ditakutkan akan menjurus kepada penurunan derajat para sahabat yang telah di muliakan oleh Allah ta’ala. Ketika Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan yang terjadi di antara para sahabat, beliau menjawab, “Allah ta’ala telah mensucikan tangan kita dari pertumpahan darah tersebut, kenapa kita tidak mensucikan lisan kita dari membicarakannya”2
Namun jika memang dibutuhkan untuk membicarakan tentang fitnah tersebut maka hendaknya dilakukan dengan benar. Harus bersandar kepada riwayat-riwayat yang sahih dengan pemahaman yang benar. Jikapun ditemukan riwayat yang sohih menurut timbangan ilmu hadits, namun secara zahir isi dari riwayatnya memojokan para sahabat, maka hendaklah maknanya dibawa ke pemahaman yang sebaik mungkin terhadap para sahabat.3
Salah satu bentuk fitnah yang terjadi pada masa sahabat adalah peperangan yang melibatkan dua kelompok besar dari kaum muslimin. Yaitu perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan pasukannya dari Hijaz yang ditambah dengan pasukan dari Irak melawan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan dan pengikutnya penduduak Syam. Perang ini dikenal dengan perang Siffin, dinisbatkan kepada tempat dimana terjadinya peperangan.
Mayoritas sahabat melihat bahwa perang ini merupakan fitnah. Yang mana berdiam diri dan tidak terlibat lebih baik serta lebih selamat.5 Sehingga karenanya dari sekian banyak jumlah pasukan yang terlibat peperangan, hanya sedikit diantara mereka yang merupakan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Berkata Ibnu Sirin Rahimahullah, “ketika fitnah bergejolak, jumlah sahabat Nabi ketika itu berjumlah sepuluh ribuan orang, namun tidak ada yang terlibat ke dalamnya (fitnah) kecuali seratus, atau bahkan tidak sampai tiga puluh”6
Sebab terjadinya perang siffin7
Pasca tragedi pembunuhan Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu oleh para pemberontak, kaum muslimin pun membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman bin Affan. Ketika itu para sahabat seluruhnya bersepakat untuk menindak para pembunuh khalifah Utsman bin Affan, namun mereka berselisih pendapat kapan waktu yang tepat untuk menindak mereka.
Sebagian sahabat yang dipelopori oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, Ubadah bin Shamit, Abu Darda dan yang lainnya berpendapat bahwa Khalifah harus menuntut balas atas kematian Utsman saat itu juga. Sementara Ali bin Abi Thalib selaku khalifah dan mayoritas sahabat berpendapat bahwa saat itu bukan waktu yang tepat untuk menuntut balas atas pembunuhan Utsman bin Affan. Mereka memandang ada hal yang lebih urgen untuk terlebih dahulu dilakukan. Yaitu menyatukan kembali kaum muslimin dan menciptakan keamanan kembali yang hampir hilang di kota Madinah ketika itu.
Apalagi menangani para pelaku atas pembunuhan Utsman bukan perkara yang mudah. Perlu tinjauan yang mendalam. Sementara para pelaku pembunuhan belum diketahui secara rinci tiap person dari mereka. Ditambah sebagian pelaku sudah kabur dari kota madinah. Maka terburu buru dalam menyikapi hal ini hanya akan menambah kekacauan dalam kota Madinah.
Terjadinya perang siffin
Akibat perselisihan ini maka beberapa bulan kemudian terjadilah perang Siffin. Muawiyah bersikeras tidak mau membaiat Ali bin Abi Thalib hingga menindak para pembunuh Utsman bin Affan, dengan hujjah bahwa beliau adalah Wali Utsman bin Affan. Sedangkan khalifah Ali pun tetap keukeuh dengan pendapatnya. Beliau meminta kepada Muawiyah untuk membaiat terlebih dahulu baru kemudian membicarakan pembunuhan Utsman bin Affan.
Maka terjadilah peperangan besar antara kedua pasukan. Peperangan pun berlangsung cukup lama dan memakan jumlah korban yang tidak sedikit. Hingga ketika pasukan Muawiyah mulai terlihat lemah, mereka pun meminta untuk berdamai dan memutuskan perkara mereka (tahkim) dengan Al Qur’an. Khalifah Ali pun menyetujuinya. Maka mereka pun berkumpul di suatu tempat bernama Daumatul Jandal untuk mencari kata sepakat dengan berhukum kepada Al Qur’an. Namun ternyata mereka tidak juga mencapai kata sepakat. Hingga perang usai pun, Muawiyah masih belum mau membaiat Ali dan tetap bersama pengikutnya penduduk syam. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib yang kemudian kembali disibukan dengan perkara lain. Yaitu munculnya fitnah khawarij.
Perang Siffin merupakan hasil Ijtihad
Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Muawiyah dengan menyelisihi Ali bin Abi Thalib bukanlah karena beliau haus kekuasaan. Bukan juga karena beliau merasa lebih baik dari pada Ali bin Abi Thalib. Beliau sebagai Wali dari Utsman bin Affan hanya ingin agar Khalifah menindak para pembunuh Utsman pada saat itu juga. Dan ini murni merupakan ijtihad beliau. Yang mana seorang mujtahid jika dia benar mendapat dua pahala, dan jika salah dia mendapat satu pahala.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Abu Muslim Al Khaulani dan beberapa orang datang kepada Muawiyah. Mereka berkata, “anda menyelisihi Ali, apakah anda merasa sebanding dengannya?” Muawiyah pun menjawab, “demi Allah tidak! sesungguhnya aku tahu bahwasanya Ali lebih utama dariku, dan beliau lebih berhak mengambil urusan (khilafah) ini daripadaku, akan tetapi bukankah kalian mengetahui bahwasanya Utsman terbunuh secara Dhalim, sementara saya adalah sepupunya, sesungguhnya saya hanya ingin menuntut atas darah utsman …”8
Maka meskipun mereka saling berperang, namun mereka tidak saling membenci atau bahkan mengkafirkan. Masih ada rasa kasing sayang diantara mereka. Diriwayatkan bahwa ketika peperangan berlangsung, ada beberapa orang dari pihak Ali yang mencela penduduk syam, maka Ali pun mengingkari perbuatan mereka dan berkata, “jangan kalian mencela penduduk syam, mereka sangat banyak jumlahnya, dan sesungguhnya diantara mereka ada orang orang mulia, diantara mereka ada orang orang mulia, diantara mereka ada orang orang mulia”9
Bahkan mereka sedih dan menyesal ketika melihat jumlah korban yang begitu banyak dari kedua belah pihak. Ali bin Abi Thalib berkata kepada putra beliau Hasan, “wahai hasan bapakmu tidak menyangka bahwa urusannya akan sampai seperti ini, bapakmu ini ingin sekirannya mati dua puluh tahun sebelum kejadian ini”10
Dan ketika nantinya Khalifah Ali meninggal di tangan seorang khawarij Abdullah bin Muljam, Muawiyah pun yang mendengar berita tersebut menangis. Ketika istri beliau bertanya, “engkau kemarin memeranginya dan sekarang engkau menangisinya?” beliau pun menjawab, “sesungguhnya aku menangis karena manusia kehilangan ilmu, kelembutan, keutamaan, dan kebaikannya”11
Pada tulisan yang lalu kita telah membahas bagaimana terjadinya polemik antara para sahabat yang berujung dengan peperangan antara dua kelompok besar dari kaum muslimin. Kita pun melihat bagaimana persaudaraan tetap terjaga diantara mereka. Bahwa peperangan yang terjadi tidak membuat mereka saling mencela apalagi saling mengkafirkan.
Terjadinya polemik tersebut tentunya merupakan hal yang lumrah terjadi, melihat bahwa para sahabat -dengan segala kemuliaan dan keutamaan yang diberikan kepada mereka-, tetap merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Namun kita meyakini bahwa dosa yang mereka lakukan telah dihapuskan oleh Allah ta’ala. Entah karena mereka sudah bertaubat, atau karena kebaikan yang mereka lakukan, atau karena keutamaan mereka sebagai orang orang yang terdahulu masuk agama islam, atau bisa juga terhapuskan oleh syafaat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana tentu saja para sahabat adalah orang yang paling berhak mendapatkannya1.
Itu berlaku untuk kesalahan yang berujung dosa. Lalu bagaimana dengan kesalahan yang sifatnya ijtihad sebagaimana yang terjadi pada perang siffin? Yang mana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjanjikan dua pahala bagi yang ijtihadnya benar dan satu pahala bagi yang ijtihadnya salah?!
Orang majusi mengambil kesempatan2
Namun pandangan tersebut akan berbeda jika yang melihat adalah orang orang picik yang memang ingin berbuat jahat. Orang-orang Majusi persia melihat bahwa perselisihan yang terjadi adalah kesempatan emas untuk kembali menjalankan aksi mereka. Mereka pun memutuskan untuk berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Bukan karena mereka memandang kebenaran berada di pihak Ali! Bukan! Mereka mendukung Ali karena mereka ingin menggunakan posisi Ali sebagai menantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Yang dengan itu mereka ingin memunculkan propoganda berupa cinta kepada Ahlul Bait, yaitu keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapa diantara kaum muslimin yang tidak mencintai keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?!
Dari konsep cinta ahlul bait ini mereka ingin menghidupkan kembali ajaran Majusi yang mengkultuskan sebuah keluarga. Sebagaimana kita ketahui, salah satu ajaran agama majusi adalah keharusan adanya sebuah keluarga yang berisi orang orang ma’shum, yang terbebas dari dosa baik yang besar maupun kecil. Keluarga inilah yang mengatur urusan agama rakyatnya. Maka dengan konsep cinta ahlul bait, mereka pun bisa menghidupkan ajaran lama mereka. Makanya konsep ahlul bait bukan hanya sekedar mencintai ahlu bait saja, tapi juga mengkultuskan dan menganggap bahwa para imam imam mereka yang merupakan keturunan Rosulullah Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam adalah sebuah kultur keluarga (Ahlu bait) yang memiliki sifat ishmah (terjaga dari dosa). Perkataan mereka pun dianggap laksana wahyu yang harus diikuti.
Hal ini bertambah kuat dengan menikahnya cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu Husain bin Abi Thalib dengan putri Yazdajir (raja Persia). Yazdajir dan putrinya ketika itu telah menjadi tawanan kaum muslimin. Karena putri dari seorang raja, kaum muslimin pun menikahkannya dengan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dengan pernikahan tersebut tentunya akan lahir orang orang yang berdarah persia dari keturunan Husain Radhiyallahu ‘Anhu. Sementara orang-orang Majusi adalah orang orang yang sangat fanatik dengan bangsa mereka. Maka selain menghidupkan kembali ajaran Majusi, berdirinya mereka di sisi Ali bin Abi Thalib dan putranya Husain tentunya juga didasarkan kefanatikan mereka kepada darah persia.
Peran orang Yahudi
Ternyata bukan hanya orang orang Majusi saja yang berdiri di barisan Ali untuk berbuat makar. Di saat yang sama orang orang Yahudi yang dipelopori Abdullah bin Saba pun berdiri di satu barisan. Merekapun bersekongkol dan bekerja sama untuk melakukan konspirasi di tubuh kaum muslimin.
Setelah syahidnya Ali bin Abi Thalib ditangan seorang khawarij Abu Muljam, orang orang Majusi dan Yahudi terus menerus dengan gigih memprovokasi para pendukung Ali untuk memerangi bani Umayyah dengan dalih cinta kepada Ahlu bait. Mereka juga terus berusaha memunculkan aliran aliran kebatinan yang sesuai dengan ideologi Majusi Persia. Hingga merekapun berhasil memunculkan aliran Sabaiyah dan Kisaniyah.
Sabaiyah3 dinisbatkan kepada Abdulllah bin Saba yang mengajak kepada penuhanan kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali bin Abi Thalib masih hidup, sebagian mereka berkata kepada Ali, “engkau adalah engkau”. Ali pun bertanya, “siapa saya?”, mereka menjawab, “engkau adalah pencipta”. Maka ali pun menyuruh mereka bertaubat, namun mereka tidak mau bertaubat. Maka Ali pun membuat api yang sangat besar dan membakar mereka. Sementara Abdullah bin Saba, sebagian sejarawan mengatakan bahwa dia tidak ikut dibakar, namun diasingkan ke negri Madain. Dan setelah Ali bin Abi Thalib syahid terbunuh, dia pun menyatakan bahwa Ali tidaklah meninggal dunia.
Selain meyakini ketuhanan Ali bin Abi Thalib, orang orang sabaiyah juga meyakini bahwasanya Ali adalah orang yang telah mendatangkan awan untuk menurunkan hujan. Bahwa halilintar pada hakekatnya merupakan suara Ali, dan kilatannya merupakan senyuman Ali. Mereka juga mengatakan bahwasanya Ali akan kembali lagi turun ke bumi untuk mengisi bumi dengan keadilan.
Adapun kisaniyah4 adalah para pengikut kisan yang merupakan budak dari Ali bin Abi Thalib. Mereka memiliki keyakinan tanashukul arwah, hulul, dan raj’ah5 setelah kematian. Mereka juga mengatakan bahwa ilmu kaisan mencakup seluruh ilmu. Dan kaisan telah mengambil ilmu tersebut dari dua penghulu yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dan putra beliau Muhammad bin Hanafiyah Rahimahullah.
Melalui dua aliran kebatinan tersebut lahirlah aliran aliran kebatinan yang lain, seperti mukhtariyah, hasyimiyah, bayaaniyah, dan romaziyah6. Yang mana meskipun nama mereka bermacam macam, pada hakekatnya ajaran mereka sama.
Pada masa Bani Umayyah aliran aliran tersebut diberantas oleh tangan kekuasaan Bani Umayyah. Orang orang pun mengira bahwa mereka telah punah dan tidak akan muncul kembali. Namun hal tersebut ternyata keliru. Karena jangan lupa, bahwa orang orang persia sangat mudah memainkan gerakan bawah tanah. Jikapun gerakan yang muncul dipermukaan telah habis, maka masih ada gerakan bawah tanah yang akan kembali muncul jika saatnya telah tiba.
Penulis: Muhammad Singgih Pamungkas
____
Sumber: Sumber keempat
Catatan kaki Sumber Ketiga
1 Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Hudzaifah Bin Yaman tentang fitnah bahwa antara para sahabat dengan fitnah ada pintu yang tertutup yaitu Umar bin Khattab. Ketika Umar bin Khattab terbunuh maka pintu fitnah pun pecah dan fitnah pun muncul bergantian. (lihat Sohih Bukhori (525 dan 3586), dan Muslim (144)
2 Dinukil dari Fitnah Bainas Sohabah, Muhammad Hasan (Maktabah Fayyadh, Cet 1; 1428 H), Hal. 342
3 Tarikh Khuafaur Rosyidin, 326
4 Lihat Tarikh Khulafaur Rosyidin hal. 384-386 dan Fitnah bainas Shohabah hal. 235-270
5 Tarikh Khulafaur Rosyidin hal. 393
6 Ibid, hal 392
7 ibid 369
8 Ibid, 388
9 ibid
10 Ibid, 326
11 Ibid, 327