1. Mengucapkan pujian kepada Allah terlebih dahulu sebelum berdo’a dan diakhiri dengan mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Hal itu karena engkau memohon kepada Allah suatu pemberian rahmat dan ampunan, maka pertama kali yang harus dilakukan olehmu adalah memberikan sanjungan dan pengagungan sesuai dengan kedudukan Allah Yang Mahasuci.
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ قَالَ: بَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَقَالَ: اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ، فَقَالَ رَسُوْلَُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلْتَ أَيُّهَا الْمُصَلِّيْ إِذَا صَلَّيْتَ فَقَعَدْتَ فَاحْمَدِاللهَ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ وَصَلِّ عَلَيَّ ثُمَّ ادْعُهُ قَالَ ثُمَّ صَلَّى رَجُلٌ آخَرُ بَعْدَ ذَلِكَ فَحَمِدَ اللهَ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا الْمُصَلِّي ادْعُ تُجَبْ.
Dari Fadhalah bin ‘Ubad Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk-duduk, masuklah seorang laki-laki. Orang itu kemudian melaksanakan shalat dan berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah (dosaku) dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.’ Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau telah tergesa-gesa, wahai orang yang tengah berdo’a. Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat lalu engkau duduk berdo’a, maka (terlebih dahulu) pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo’alah.’ Kemudian datang orang lain, setelah melakukan shalat dia berdo’a dengan terlebih dahulu mengucapkan puji-pujian dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai orang yang tengah berdo’a, berdo’alah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan do’amu.’”[1]
2. Husnuzhzhan (berbaik sangka) kepada Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada-mu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a.” [Al-Baqarah/2: 186]
Allah dekat dengan kita dan Allah bersama kita dengan ilmu-Nya (pengetahuan-Nya), pengawasan-Nya dan penjagaan-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meme-rintahkan kepada kita untuk menyerahkan masalah pengabulan do’a hanya kepada Allah dan harus me-rasa yakin dengan terkabulnya do’a. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ.
“Berdo’alah kepada Allah dalam keadaan engkau merasa yakin akan dikabulkannya do’a.”[2] Maksud hadits ini adalah kalian harus merasa yakin dan percaya bahwa Allah dengan kemurahan-Nya dan karunia-Nya yang agung tidak akan mengecewakan seseorang yang berdo’a kepada-Nya, apabila dipanjatkan dengan penuh pengharapan dan ikhlas yang sebenar-benarnya. Hal ini disebabkan apabila seseorang yang berdo’a tidak percaya dan yakin akan terkabulnya do’a yang ia panjatkan, maka tidaklah mungkin ia memanjatkan do’anya dengan bersungguh-sungguh.
3. Mengakui dosa-dosa yang diperbuat. Perbuatan tersebut mencerminkan sempurnanya penghambaan terhadap Allah Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ لَيَعْجَبُ مِنَ الْعَبْدِ إِذَا قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ إِنِّيْ قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ، قَالَ: عَبْدِيْ عَرَفَ أَنَّ لَهُ رَباًّ يَغْفِرُ وَ يُعَاقِبُ.
“Sesungguhnya Allah kagum kepada hamba-Nya apabila ia berkata: ‘Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Engkau, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah dosa-dosaku karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa itu kecuali Engkau.’ Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah mengetahui bahwa baginya ada Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum.’”[3]
4. Bersungguh-sungguh dalam berdo’a Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلْيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ وَلاَيَقُوْلَنَّ اللّهُمَّ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرِهَ لَهُ.
‘Apabila salah seorang di antara kalian berdo’a maka hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya kepada Allah dan janganlah ia berkata, ‘Ya Allah, apabila Engkau sudi, maka kabulkanlah do’aku ini,’ karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah.”[4]
Maksud dari bersungguh-sungguh dalam berdo’a adalah terus-menerus dalam meminta dan memohon kepada Allah dengan mendesak.
5. Mendesak terus-menerus dalam berdo’a Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
سُرِقَتْ مِلْحَفَةٌ لَهَا، فَجَعَلَتْ تَدْعُوْ عَلَى مَنْ سَرَقَهَا فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: لاَ تُسَبِّخِيْ عَنْهُ.
“Mantel kepunyaannya telah dicuri, kemudian ia mendo’akan kejelekan kepada orang yang mencurinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Jangan engkau meringankannya.’”[5]
Maksudnya janganlah engkau meringankan dosa perilaku mencurinya dengan do’amu untuk kejelekannya. 6. Berdo’a dengan mengulanginya sebanyak tiga kali Telah diriwayatkan dengan shahih dalam as-Sunnah, sebagaimana hadits riwayat Muslim yang panjang dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata,
فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ رَفَعَ صَوْتَهُ ثُمَّ دَعَا عَلَيْهِمْ وَكَانَ إِذَا دَعَا دَعَا ثَلاَثاً وَإِذَا سَأَلَ سَأَلَ ثَلاَثاً ثُمَّ قَالَ: اَللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ، اللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ، اللّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ.
"Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalatnya, beliau mengeraskan suaranya, kemudian mendo’akan kejelekan bagi mereka dan apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a, beliau ulang sebanyak tiga kali dan apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon, diulanginya sebanyak tiga kali kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: ‘Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy, Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy, Ya Allah, atas-Mu kuserahkan kaum Quraisy.’”[6]
7. Berdo’a dengan lafazh yang singkat dan padat namun maknanya luas Yaitu dengan perkataan ringkas dan bermanfaat yang menunjukkan pada makna yang luas dengan lafazh yang pendek dan sampai kepada maksud yang diminta dengan menggunakan susunan kata yang paling sederhana (tidak bersajak-sajak) sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Sunan Abi Dawud dan Musnad Imam Ahmad dari ‘Aisyah bahwasanya ia berkata:
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنَ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai berdo’a dengan do’a-do’a yang singkat dan padat namun makna-nya luas dan tidak berdo’a dengan yang selain itu.”[7] Salah satu contoh dari do’a ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Farwah bin Naufal, ia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang do’a yang senantiasa dipanjatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan do’a:
اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ وَشَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang telah aku kerjakan dan dari keburukan yang belum aku kerjakan.”[8] Sedangkan contoh yang lain adalah hadits Abu Musa al-Asy’ari, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau senantiasa berdo’a dengan do’a berikut:
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِي وَجَهْلِيْ وَإِسْرَافِيْ فِي أَمْرِيْ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، الَلَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ جِدِّيْ وَهَزْلِيْ وَخَطَئِيْ وَعَمْدِيْ وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِيْ، الَلّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
“Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas kesalahan-kesalahanku, kebodohanku, serta sikap berlebihanku dalam urusanku dan segala sesuatu yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas keseriusanku dan candaku, kekeliruanku dan kesengajaanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas apa-apa yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan, apa-apa yang aku sembunyi-kan dan yang aku tampakkan, serta apa-apa yang Engkau lebih mengetahui daripada aku, Engkaulah Yang Mahamendahulukan (hamba kepada rahmat-Mu) dan Yang Mahamengakhirkan, Engkaulah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.”[9]
8. Orang yang berdo’a hendaknya memulai dengan mendo’akan diri sendiri (jika hendak mendo’akan orang lain) Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“…Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami...” [Al-Hasyr/59: 10]
Firman-Nya yang lain:
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ
“Musa berdo’a: ‘Ya Rabbku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau…’” [Al-A’raaf/7: 151]
Firman-Nya yang lain:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya Rabb-ku, berikanlah ampun kepadaku dan kedua ayah ibuku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari Kiamat).” [Ibrahim/14: 41]
Dari Ibnu ‘Abbas dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ذَكَرَ أَحَدًا فَدَعَا لَهُ بَدَأَ بِنَفْسِهِ.
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingat kepada seseorang, maka beliau mendo’akannya dan sebelumnya beliau mendahulukan berdo’a untuk dirinya sendiri.”[10]
Namun hal tersebut bukan merupakan kebiasaan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkadang memang benar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang lain tanpa mendo’akan dirinya sendiri sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah Hajar:
يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا لَكَانَتْ عَيْناً مَعِيْناً.
“Semoga Allah memberikan rahmat kepada Ibu Nabi Isma’il, seandainya beliau membiarkan air Zamzam (mengalir bebas) niscaya ia menjadi mata air yang terus mengalir.”[11]
9. Memilih berdo’a di waktu yang mustajab (waktu yang pasti dikabulkan), di antaranya adalah:
a. Pada waktu tengah malam[12]
b. Di antara adzan dan iqamah[13]
c. Di saat dalam sujud[14]
d. Ketika adzan
e. Ketika sedang berkecamuk peperangan[15]
f. Setelah waktu ‘Ashar pada hari Jum’at[16]
g. Ketika hari ‘Arafah[17]
h. Ketika turun hujan[18]
i. Ketika 10 hari terakhir bulan Ramadhan (Lailatul Qadar). (Lihat ad-Du’a, karya ‘Abdullah al-Khudhari).[19]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3476) dan Abu Dawud (no. 1481). Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3988).
[2]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya (no. 3479). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 594).
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Hakim (II/98-99) dari Sahabat ‘Ali bin Rabi’ah. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1653), karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6338) dan Muslim (no. 2678). Lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari.
[5]. Dha’if: Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (no. 1497). Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani t dalam Dha’iif Sunan Abi Dawud (no. 1050).
[6]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 240) dan Muslim (no. 1794 (107)).
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1482), Ahmad (VI/148, 189) dan al-Hakim (I/539). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4949).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2716).
[9]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6399) dan Muslim (no. 2719 (70)).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3385) dan Abu Dawud (no. 3984). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4723).
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (V/ 121, no. 21163). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1669).
[12]. Dalilnya firman Allah Ta’ala:
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” [Adz-Dzaaariyat/51: 18]
Hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ يَقُوْلُ: مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ.
“Rabb kita (Allah) تَبَارَكَ وَتَعَالَى turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman; ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku saat ini, niscaya Aku akan memperkenankannya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya.’” [HR. Al-Bukhari no. 1145, Muslim no. 758 dan at-Tirmidzi no. 3498]
[13]. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ فَادْعُوْا. “Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak, maka berdo’alah.” [HR. Abu Dawud no. 521, at-Tirmidzi no. 212, Ahmad III/155 dan at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahiihul Jaami’ no. 3408).
[14]. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أََقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَ هُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ.
“Saat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika dia sedang sujud (kepada Rabb-nya), maka perbanyaklah do’a (dalam sujud kalian).” [HR. Muslim no. 482, Abu Dawud no. 875 dan an-Nasa-i II/226 no. 1137]
[15]. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثِنْتَانِ لاَ تُرَدَّانِ أَوْ قَلَّماَ تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ عِنْدَ الْبَأْسِ حِيْنَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً.
"Dua waktu yang tidak akan ditolak (permohonan yang dipanjatkan di dalamnya, atau sedikit kemungkinan untuk ditolak, yaitu do’a setelah (dikumandangkan) adzan dan do’a ketika berkecamuk peperangan, tatkala satu dan lainnya saling menyerang.” [HR. Abu Dawud no. 2540, ad-Darimi no. 1200, Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahiihul Jami’ no. 3079].
[16]. Setelah ‘Ashar pada hari Jum’at, dalilnya:
فِيهِ سَاعَةٌ لاَيُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّيْ يَسْأَلُ اللهَ تَعاَلَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا.
“Pada hari itu (hari Jum’at) terdapat waktu-waktu tertentu, tidaklah seorang hamba berdiri melaksanakan shalat dan berdo’a memohon sesuatu kepada Allah, melainkan Allah pasti akan mengabulkannya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan tangannya (yang menggambaran) waktu itu pendek.” [HR. Al-Bukhari no. 935 dan Muslim no. 852 (13)] Waktu itu adalah saat setelah shalat ‘Ashar sebagaimana yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad (I/390).
[17]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ… “Sebaik-baik do’a ialah do’a hari Arafah…” [HR. At-Tirmidzi no. 3585, Malik dalam al-Muwaththa’ no. 500, hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam Shahiihul Jami’ no. 3274 dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 1503]
[18]. Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ تَحْتَ الْمَطَرِ.
“Dua waktu yang padanya sebuah permohonan (do’a) tidak akan ditolak oleh Allah, do’a ketika setelah dikumandangkan adzan dan do’a ketika turun hujan.” [HR. Al-Hakim II/114, Abu Dawud no. 3540. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami’ no. 3078]
[19]. 10 hari terakhir bulan Ramadhan (di dalamnya terdapat Lailatul Qadar). Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah yang sebaiknya aku baca pada Lailatul Qadar?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Bacalah:
اَللّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahapemberi maaf dan mencintai pemberian maaf, maka maafkanlah aku.’” [HR. At-Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jami’ no. 4423].
Sumber: https://almanhaj.or.id/