أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
(1) Imam yang adil,
(2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh,
(3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,
(4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
(5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan
(6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.”
Baca juga: Hadits 'Arba'in Nawawiyah
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh:
- Al-Bukhari (no. 660, 1423, 6479, 6806),
- Muslim (no. 1031 (91)),
- Malik dalam al-Muwaththa’ di Kitâbusy Syi’ar bab Mâ Jâ-a fil Muttabi’iin fillâh (hlm. 725-726, no. 14),
- Ahmad (II/439),
- At-Tirmidzi (no. 2391),
- An-Nasa-i (VIII/222-223),
- Ibnu Khuzaimah (no. 358),
- Ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr (no. 5846, 5847), dan
- Al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/190, VIII/162).
SYARAH HADITS
Penyebutan jumlah “tujuh” di dalam hadits ini tidaklah merupakan pembatas, sehingga tidak dapat diartikan bahwa golongan yang akan dinaungi Allâh Ta’ala pada hari Kiamat hanya terbatas pada tujuh golongan ini saja. Menurut Ulama ahli ushul, istilah ini disebut dengan mafhûmul ‘adad ghairu murad, yaitu mafhum dari ‘adad (bilangan) itu tidak dimaksudkan. Sehingga apabila disebutkan tujuh, bukan berarti hanya tujuh ini saja.
Kedudukan hadits ini sangat penting agar kaum Muslimin dapat melaksanakan amalan-amalan yang terkandung di dalamnya, sehingga kita dapat memperoleh perlindungan dan naungan Allâh Azza wa Jalla pada hari Kiamat.
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ..
Mereka dinaungi oleh Allâh dalam naungan-Nya..
Ada pendapat bathil yang mengatakan bahwa mereka (tujuh golongan itu) dilindungi dari matahari, jadi antara mereka dan matahari terdapat Allâh. Ini adalah pendapat yang bathil, karena Allâh Azza wa Jalla di atas segala sesuatu sedangkan matahari dan golongan ini di bawah ‘Arsy Allâh. Jadi yang benar adalah mereka (tujuh golongan itu) akan dilindungi oleh Allâh di bawah ‘Arsy-Nya, karena Allâh di atas segala sesuatu dan berpisah dengan makhluk-Nya.
Lafazh فِي ظِلِّهِ, yaitu idhâfah (penyandaran) bayangan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Para Ulama mengatakan,
إِضَافَتُهُ إِلَى اللهِ إِضَافَةُ تَشْرِيْفٍ.
Penyandarannya kepada Allâh, yaitu penyandaran yang bertujuan untuk memuliakan Yaitu menunjukkan kemuliaan, seperti masjidullaah, baitullaah, dan selainnya.
Dalam riwayat lain, dijelaskan bahwa naungan yang dimaksud adalah naungan ‘Arsy Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dari Shahabat Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهِ فِيْ ظِلِّ عَرْشِهِ
Tujuh golongan yang dilindungi di bawah naungan ‘Arsy-Nya…[1] Nanti pada hari Kiamat, manusia sangat membutuhkan perlindungan Allâh Azza wa Jalla . Pada hari itu mereka dikumpulkan di tempat lapang yang sangat luas, tidak ada naungan apapun juga. Mereka dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, tidak ada sehelai benang pun di tubuhnya, laki-laki dan perempuan sama.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ تُحْشَرُوْنَ إِلَى اللهِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً
Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dihimpun (pada hari Kiamat) menuju Allâh Azza wa Jalla dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan[2]
Kemudian matahari didekatkan di atas kepala-kepala manusia, hingga peluh keringat bercucuran membasahi tubuh mereka. Sebagian manusia, ada yang terendam sebatas mata kakinya, ada yang terendam sebatas lututnya, ada yang sampai pinggangnya, ada yang sampai pundaknya, bahkan ada yang sampai ke mulutnya. Keadaan mereka ini sesuai dengan amalan-amalan mereka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ
(Pada hari Kiamat) matahari akan didekatkan (oleh Allâh) kepada seluruh makhluk hingga hanya sejarak satu miil[3]
Pembahasan tentang tujuh golongan yang dilindungi Allâh dalam naungan-Nya pada Kiamat ini sangat penting karena berkaitan dengan iman kepada hari Akhir serta pengetahuan tentang amalan-amalan yang membawa kita dalam naungan dan perlindungan Allâh Azza wa Jalla .
1. Seorang imam yang adil
Yang dimaksud dengan Imam yaitu seorang yang mempunyai kekuasaan besar seperti raja, presiden atau yang mengurusi urusan kaum Muslimin. Yang dimaksud adil yaitu seorang imam yang tunduk dan patuh dalam mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya, tanpa melanggar atau melampaui batas dan tidak menyia-nyiakannya. Keadilan seorang imam yaitu dengan menegakkan kalimat Tauhid di muka bumi dan menyingkirkan segala perbuatan syirik, dan melaksanakan hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla , sebab kezhaliman yang paling zhalim adalah perbuatan menyekutukan Allâh padahal Allâh-lah yang menciptakannya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“… Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allâh) adalah benar-benar kezhaliman yang paling besar.”[Luqmân/31:13]
Karena tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah hanya kepada-Ku. [Adz-Dzâriyât/51:56]
Apabila imam atau pemimpin atau raja atau presiden tidak melaksanakan syari’at Islam artinya dia tidak berlaku adil, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar. Fenomena yang kita lihat sekarang, jika ada seorang imam, penguasa atau pemimpin yang melakukan kesalahan maka orang-orang berusaha untuk menjatuhkannya dan berebut untuk dapat menggantikannya. Menurut syari’at Islam, berkeinginan untuk menjadi penguasa adalah keinginan terlarang, sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para Shahabatnya untuk berkeinginan menjadi penguasa. Maka yang menjadi tugas kita sekarang adalah mendukung kebaikannya dan menasihati penguasa yang ada agar ia dapat menegakkan Tauhid di muka bumi ini, dan kita wajib bersabar atas kesalahannya. Kita berusaha untuk menasehati dengan cara yang baik sesuai dengan syari’at.
Jika ada pertanyaan, “Bolehkah seorang wanita menjadi penguasa atau pemimpin?”
Maka jawabnya, “Tidak boleh.”
Di dalam hadits di atas pun disebutkan bahwa imam di sini adalah laki-laki. Tidak ada wanita dalam hal kepemimpinan. Islam melarang wanita menjadi pemimpin dan melarang suatu kaum menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُفْلِحُ قَوْمٌ تَمْلِكُهُمُ امْرَأَةٌ
Tidak berbahagia suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita.[4] Imam al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah menjelaskan tentang keharaman seorang wanita menjadi pemimpin. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri bahwa ketika para Shahabat g menyampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang Persia dipimpin oleh seorang wanita, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
Tidak akan berbahagia suatu kaum jika yang memimpin urusan mereka adalah seorang wanita[5] Lafazh lan (لَنْ) di sini menunjukkan lit ta’-bîd, yaitu untuk selama-lamanya kaum tersebut tidak akan bahagia. Hadits ini dijadikan dalil (dasar) oleh para Ulama tentang tidak bolehnya seoang wanita menjadi pemimpin. Dan ini adalah pendapat jumhur Ulama. Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Seorang wanita tidak boleh menjadi amir atau menjadi qadhi (hakim).” Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Para Ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi imam (penguasaatau pemimpin), juga tidak boleh menjadi qadhi (hakim).”[6]
2. Seorang pemuda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allâh.
Dalam sebuah hadits dari Shahabat Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu disebutkan:
أَفْنَى شَبَابَهُ وَنَشَاطَهُ فِي عِبَادَةِ اللهِ
Dia menghabiskan waktu mudanya dan rajin dalam beribadah kepada Allâh[7] Pada umumnya, seseorang saat masa mudanya lebih condong kepada kejahatan, kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang melanggar syari’at. Namun ada orang di saat mudanya ia justru mengekang hawa nafsunya dan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Orang seperti inilah yang akan dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla .
3. Seseorang yang hatinya bergantung pada masjid
Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan,
وَرَجُلٌ كَانَ قَلْبُهُ مُعَلَّقًا بِالْـمَسْجِدِ إِذَا خَرَجَ مِنْهُ حَتَّى يَعُوْدَ إِلَيْهِ …
Seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, apabila ia keluar dari masjid hingga kembali kepadanya …[8] Hal ini menunjukkan tentang rasa cintanya kepada masjid untuk shalat dan dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Hatinya bagaikan lampu pelita yang terpasang di atapnya, di mana tidaklah dia keluar darinya melainkan dia akan kembali. Kata rajulun (seorang laki-laki) disini hanya terbatas pada laki-laki saja karena perempuan tidak diperintahkan untuk meramaikan masjid-masjid Allâh, dalam artian untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Namun dianjurkan bagi para wanita Muslimah untuk melaksanakan shalat di rumah mereka,
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka[9] Sedangkan bagi laki-laki diwajibkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Wanita Muslimah shalat di rumah-rumah mereka lebih baik daripada di masjid, akan tetapi apabila mereka meminta izin kepada suami untuk shalat di masjid, maka suami hendaknya mengizinkannya dengan ketentuan tidak menimbulkan fitnah. Pakaiannya harus menutup seluruh tubuh dan tidak memakai parfum (wangi-wangian). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: لَا تَمْنَعُوْا نِسَائَكُمُ الْـمَسَاجِدَ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Janganlah kalian melarang isteri-isteri dan perempuan (untuk datang) ke masjid, dan rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka[10] Dalam hadits yang lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ
Janganlah kalian melarang para wanita (shalat) di masjid Allâh, akan tetapi hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak memakai parfum[11]
4. Dan orang yang saling mencintai di jalan Allâh, dia berkumpul dan berpisah karena-Nya
Imam an-Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini dalam kitabnya, Riyâdhush Shâlihîn pada bab “Keutamaan Cinta karena Allâh”. Mencinta seseorang hanya karena Allâh Azza wa Jalla adalah cinta yang tidak dapat dinodai oleh unsur-unsur keduniaan, ketampanan, harta, kedudukan, fasilitas, suku, bangsa dan yang lainnya. Akan tetapi dia melihat dan mencintai seseorang karena ketaatannya dalam melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan kekuatannya dalam meninggalkan larangan-Nya. Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Disebut dengan dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, di mana ia berpisah dan berkumpul karena-Nya, yaitu apabila keduanya saling mencintai karena agama, bukan karena yang lainnya. Dan cinta agama ini tidak putus karena dunia, baik dia berkumpul secara hakiki atau tidak, sampai kematian memisahkan keduanya.”
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Humaidi disebutkan bahwa yang dimaksud yaitu dia berkumpul di atas kebaikan.[12]
Kemudian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : تَفَرَّقَا عَلَيْهِ Keduanya berpisah karena-Nya Yaitu keduanya berkumpul dan berpisah hanya karena Allâh Azza wa Jalla , badannya terpisah karena safar atau kematian tetapi ruhnya tetap berkumpul di atas manhaj Allâh Azza wa Jalla .[13]
Sebagaimana yang disebutkan pada sebuah hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْأَرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا اِئْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اِخْتَلَفَ.
Ruh-ruh itu selalu terkumpul dan terhimpun, siapa yang kenal ia akan berkumpul; dan siapa yang tidak saling mengenal, maka ia berpisah[14]
Hal ini juga berlaku bagi dua orang wanita Muslimah yang saling mencintai karena Allâh Azza wa Jalla , yaitu cinta dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Oleh sebab itu, apabila kita mencintai seseorang karena ketaatannya dalam melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan kesungguhannya dalam menjauhi larangan-Nya, maka dianjurkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita memberitahukan kepadanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, yaitu: إِنِّي أُحِبُّكَ فِي اللهِ Sesungguhnya aku cinta kepadamu karena Allâh … Kemudian jawabannya adalah: أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِي لَهُ Mudah-mudahan Allâh mencintaimu yang telah mencintaiku karena-Nya[15] Saling mencintai karena Allâh Azza wa Jalla memiliki keutamaan yang sangat besar, bukan hanya mereka akan dikumpulkan dan diberikan naungan, bahkan mereka akan diberikan mimbar-mimbar dari cahaya oleh Allâh Azza wa Jalla di hari Kiamat. Sebagaimana hadits dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اَلْـمُتَحَابُّوْنَ فِي جَلاَلِي، لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُوْرٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّوْنَ وَالشُّهَدَاءُ
Orang yang saling mencintai berada dalam lindungan-Ku; diberikan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang dicita-citakan oleh para Nabi dan syuhada‘ (orang-orang yang mati syahid)[16]
5. Seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu laki-laki tersebut berkata, “Sungguh aku takut kepada Allâh.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ
Dan seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu laki-laki tersebut berkata: ‘Sungguh aku takut kepada Allâh. Hal ini bukan hanya berlaku bagi laki-laki, namun juga bagi wanita. Apabila dia diajak berzina oleh laki-laki kemudian dia menolaknya sambil mengatakan,
إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Sungguh aku takut kepada Allâh, Rabb semesta alam.
Yaitu dia takut hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka dia akan diberikan perlindungan oleh-Nya. Disebutkannya laki-laki ini sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur-an, yaitu kisah Nabi Yûsuf Alaihissallam. Beliau q diajak oleh seorang isteri penguasa pada waktu itu untuk berzina, namun beliau q menolaknya. Allâh Azza wa Jalla melarang seseorang mendekati perbuatan zina. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. [Al-Isrâ’/17:32]
6. Seseorang yang bersedekah dengan sesuatu lalu ia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
Seseorang yang bershadaqah dengan satu sedekah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya. Sudah diketahui bersama bahwa infaq itu dianjurkan agar dilakukan dengan tangan kanan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menggunakan tangan kanan ketika mengambil sesuatu, makan, minum, maupun bershadaqah. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad (VI/94). Juga dalam Shahîh al-Bukhâri di Kitab az-Zakâh terdapat bab dengan judul Bab as-Shadaqati bil yamin (Bab Sedekah dengan Tangan Kanan). Allâh Azza wa Jalla sangat menganjurkan para hamba-Nya untuk bershadaqah.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allâh akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allâh Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” [Al-Baqarah/2:271]
Menyembunyikan sedekah dalam Islam memiliki keutamaan, yaitu dapat menjauhkan diri dari sifat riya’. Maka sangat dianjurkan untuk bershadaqah dalam keadaan sepi dan sembunyi-sembunyi, tidak terang-terangan. Namun pada saat-saat tertentu diperlukan memberikan sedekah secara terang-terangan, misalkan di suatu tempat didapati orang-orang yang sangat sulit untuk bersedekah, maka dianjurkan untuk memulainya secara terang-terangan agar menjadi contoh bagi mereka.
Sebagaimana asbâbul wurûd (sebab-sebab datangnya hadits), sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
… Barangsiapa yang memulai sunnah dalam Islam dengan sunnah yang baik, maka diberikan pahala baginya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala-pahala mereka…[17]
Sedekah wajib dilakukan dengan ikhlas, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Orang yang riya’ dalam beramal, baik ketika memberikan sedekah maupun yang lainnya, maka amalannya itu tidak bernilai di sisi Allâh Azza wa Jalla . Yaitu jika dia ingin dilihat orang, ingin didengar, atau dia mengungkit-ungkit amalan yang dilakukannya, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir itu. [Al-Baqarah/2:264]
Maksud dari seseorang yang menyembunyikan shadaqah yang dilakukan dengan tangan kanannya dari tangan kirinya adalah orang ini bersungguh-sungguh dalam menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya, meskipun dekat dengan tangan kanan (padahal berada dalam satu tubuh), tidak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanannya dalam sedekahnya tersebut.[18] Namun bagi para isteri dianjurkan meminta izin kepada suaminya jika ingin bershadaqah.
7. Seseorang yang mengingat Allâh Azza wa Jalla dalam keadaan sepi lalu air matanya mengalir
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dan seseorang yang mengingat Allâh dalam keadaan sepi lalu air matanya mengalir.
Yaitu, seorang laki-laki yang mengingat Allâh atau berdzikir kepada-Nya, berdzikir dengan hati dan lisannya, dan dalam keadaan sepi lalu air matanya mengalir. Penyebutan rajulun (seorang laki-laki) bukan pembatasan karena ini juga berlaku bagi kaum wanita. Jika seorang Muslimah mengalir air matanya tatkala berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla di kala sepi, maka ia berhak atas naungan Allâh Azza wa Jalla di hari Kiamat. Penyebutan syarat dalam keadaan sepi di sini karena di saat itu sangat jauh dari perbuatan riya’. Tentang mengalir air matanya karena takut kepada Allâh terdapat beberapa keutamaan, di antaranya tidak disentuh oleh api Neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَيْنَانِ لَا تَمَسُّهُمَا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
Ada dua mata yang tidak disentuh oleh api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allâh dan mata yang bergadang karena menjaga peperangan di jalan Allâh.[19] Berdzikir (mengingat) Allâh Azza wa Jalla , baik dengan membaca dzikir, do’a maupun bangun untuk shalat di tengah malam, harus sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jadi, dzikir-dzikir, do’a atau amalan lainnya, baik jenis, kaifiyat (tata cara), waktu maupun bilangannya, yang tidak dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tertolak. Karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak dicontohkan dari kami maka ia tertolak!![20] Demikian juga apabila seorang suami yang bangun di tengah malam lalu melaksanakan shalat Tahajjud, kemudian dia membangunkan isterinya untuk melakukan shalat Tahajjud atau sebaliknya, maka keduanya termasuk orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ
Seorang suami yang bangun ditengah malam dan membangunkan isterinya lalu keduanya shalat malam, maka keduanya termasuk laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allâh.[21]
FAWAAID.
- Keutamaan seorang imam atau pemimpin yang adil, yang berhukum dengan syari’at-syari’at Allâh Azza wa Jalla dan memperhatikan rakyatnya.
- Keutamaan anak muda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat maksiat kepada-Nya serta tidak berbuat kejahatan, begitu juga wanita.
- Wajib mendidik anak-anak dalam taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengajarkan tauhid kepada mereka dan akhlak yang mulia.
- Keutamaan orang yang selalu datang ke masjid dan hatinya selalu bergantung kepadanya untuk berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan menegakkan shalat berjama’ah.
- Wajib bagi laki-laki shalat berjama’ah di masjid, sementara bagi kaum wanita, rumah merupakan tempat shalat terbaik mereka.
- Hati seorang Muslim selalu rindu untuk ibadah di masjid.
- Cinta yang sebenarnya, dilakukan di jalan Allâh dan semata-mata karena Allâh Azza wa Jalla .
- Wajib menutup jalan yang membawa kepada perzinaan.
- Keutamaan menjaga diri dan berpaling dari perbuatan zina karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla .
- Berzina adalah perbuatan keji, dosa besar dan sejelek-jelek jalan.
- Keutamaan sedekah yang tersembunyi jauh dari perbuatan riya’.
- Keutamaan merasa diawasi oleh Allâh Azza wa Jalla dan takut kepada Allâh Azza wa Jalla disaat sendirian.
- Keutamaan menangis karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla .
- Keutamaan berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla ketika sendirian.
- Bahwa ganjaran itu tergantung dari keikhlasan dan sesuai dengan Sunnah.
- Kutubussittah.
- Musnad Imam Ahmad Darul Fikr.
- Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hâkim.
- Riyâdhush Shâlihîn.
- Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, oleh Syaikh al-Albani.
- Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, oleh Syaikh al-Albani.
- Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdish Shâlihin, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
- Syarhus Sunnah, oleh al-Baghawi.
- Dan kitab lainnya
_______
Footnote
[1] Fat-hul Bâri (II/144).
[2] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3349) dan Muslim (no. 2860 (58)), dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma
[3] Shahih: HR. Muslim (no. 2864 (62)), dari Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu anhu
[4] Shahih: HR. Ahmad (V/43, 47).
[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 4425, 7099), Ahmad (V/43, 47, 51), at-Tirmidzi (no. 2262), dan an-Nasa-i (VIII/227), dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu. [6] Syarhus Sunnah (X/76-77).
[7] Lihat Fat-hul Bâri (II/145).
[8] Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2391). Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 887).
[9] Shahih: HR. Ahmad (II/76) dan Abu Dawud (no. 567) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
[10] Shahih: HR. Ahmad (II/76) dan Abu Dawud (no. 567) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
[11] Shahih: HR. Ahmad (II/438) dan Abu Dawud (no. 565), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud (III/101, no. 574, cet Gharras)
[12] Lihat Fat-hul Bâri (II/145).
[13] Lihat Bahjatun Nâzhirîn (I/445)
[14] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3336), Muslim (no. 2638 (159-160)), Abu Dawud (no. 4834), dan selainnya.
[15] Hasan: HR. Abu Dawud (no. 5125), al-Hâkim (IV/171), dan selainnya.
[16] Shahih: HR. Ahmad (V/ 239), at-Tirmidzi (no. 2390), dan selainnya. Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3019).
[17] Shahih: HR. Muslim (no. 1017), an-Nasa-i (V/76), dan selainnya.
[18] Lihat Fat-hul Bâri (II/147) karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani
[19] Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1639). Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 1229).
[20] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718 (18)).
[21] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1451), Ibnu Mâjah (no. 1335) dan al-Hâkim (I/316). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani t dalamShahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 333).
Sumber: https://almanhaj.or.id/