Type Here to Get Search Results !

 


MENGKRITISI ILMU LADUNI

Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui agama-Nya.

Yakni, dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut secara ringkas ditampilkan –salah satu dari– keyakinan-keyakinan mereka; –yakni ILMU LADUNI–.

Ilmu Laduni, istilah ini mereka (kaum shufiy) mengaitkannya kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala tentang nabi Khidir:

وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا

“Artinya :…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”.

[Al-Kahfi : 65].

Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut mereka, adalah disingkapnya alam ghaib bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung dengan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

[Ihya ‘Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah].

Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ

“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada kalian semua”.

[Al-Baqarah : 282].

Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut Syi’ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah.

[Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226]

Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu, diantaranya :

[1] Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar’i.

Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi,

“Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya”.

[Quwat Al-Qulub, III/35]

Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani,

“Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia”

[Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37]

[2] Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha’if (lemah), munkar dan maudhu’ (palsu) dengan cara kasyaf.

Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami,

“Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati. Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami :

“Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku”.

Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-hadits) mengatakan :

“Telah mengabarkan kepada kami Fulan”.

Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?.

Tentu akan dijawab :

“Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal; (Kemudian) dari Fulan (lagi), Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : “Ia telah meninggal”

[Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365]

Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi,

“Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali”

[Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4].

Dikatakan oleh Asy-Sya’rani,

“Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf”.

[Al-Mizan, I/28]

[3] Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan.

Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut :”Sembunyikan auratmu”.

[Tablis Iblis, hal. 370]

Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.

Sanggahan

Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan sebagaimana diungkap diatas :

Pertama

Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.

Padahal Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang berbeda-beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa.

Sesungguhnya para nabi tersebut dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad shalallallahu ‘alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia hingga hari kiamat.

Telah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً

“Artinya : Adalah para nabi diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”.

[Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Artinya : Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, tidak seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka”

[Hadits Shahih Riwayat Muslim I/93]

Aqidah semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا

"Artinya : Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan”.

[Saba’ : 28]

Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Artinya : Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua”.

[Al-A’raf : 157]

Dan siapa saja yang ‘alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul yang ummi ini. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan petunjuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan menyesatkan.

Telah bersabda Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لَاتَّبَعَنِي

‘Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya jika Musa ada diantara kalian semua lalu kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, niscaya kalian akan tersesat dari jalan yang lurus, dan kalau sekiranya ia (Nabi Musa ‘alaihissalam) masih hidup, dan ia dapati kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku’ “.

[Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad, Baihaqiy, al-Bazzar, Ibnu ‘Abi Ashim, Ibnu ‘Abdil Barr, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, dll. diHASANkan oleh Syaikh al-Albaniy dalam al-‘Irwa][1. Ahmad (3/387), Ad Darimi dalam Al Muqoddimah (1/115-116), Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman, Al Bazzar dalam Kasyful Astar (1/78-79) no. 124, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah (1/27) no. 50, Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (Bab Menelaah Kitab Ahli Kitab dan Riwayat dari Mereka) 1/24; Abdur Razzaq dalam Mushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34 (no. 1588), “Hasan” (lafazh hadits diatas merupakan lafazhnya ad-Darimiy)]

Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup, selalu berhubungan dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah kepadanya, seperti nama-nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur’an secara nyata :

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ

“Artinya : Dan tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi”.

[Al-Anbiya’ : 34]

(dan juga dibantah dengan hadits nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam)

‎مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ أَوْ مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ الْيَوْمَ مَنْفُوسَةٍ يَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ

“Artinya : Tidak ada satu jiwapun yang bernafas pada hari ini yang datang dari zaman seratus tahun sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup”.

[Hadits Riwayat Muslim, Ahmad (dan ini lafazhnya) dan Tirmidzi dari Jabir]

Hadits-hadits yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama hadits.

[Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah]

Kedua

Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ

“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)”.

[Al-Baqarah : 282]

Hal itu bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pemahaman ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang disyari’atkan dan diwajibkan atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‎إِنَّمَاالْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

“Artinya : Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar”.

[Hadits Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda’. Lihat Silsilah Ash-Shahihah 342]

Kata innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.

Ketiga

Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.

Berkenan dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas mencari ilmu semata.

Berkata Ibnu Al-Jauzi,

“Iblis menginginkan untuk menutup jalan tersebut dengan cara yang paling samar. Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah mengamalkannya bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini para penipu itu telah menyembunyikan masalah pengamalannya.

[Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146]

Dan tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ‪.‬ تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ‪. ‬ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

“Artinya : Maukah Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun kepada setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan), dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”.

[Asy-Syu’ara : 221-223]

أَلَمْ تَرَ أَنَّا أَرْسَلْنَا الشَّيَاطِينَ عَلَى الْكَافِرِينَ تَؤُزُّهُمْ أَزًّا

“Artinya : Tidaklah kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ?

فَلَا تَعْجَلْ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا

Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka dengan perhitungan yang teliti.

يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِينَ إِلَى الرَّحْمَٰنِ وَفْدًا

Ingatlah ketika hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat.

وَنَسُوقُ الْمُجْرِمِينَ إِلَىٰ جَهَنَّمَ وِرْدًا

Dan kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga”.

[Maryam : 83-86]

Adapun pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan bagian dari iman yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang tersembunyi, dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan dalam hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman.

[Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27]

Jadi bila ada perkataan mereka semacam ini:

“Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku”

tidak lain adalah perkataan khurafat.

Keempat

Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu.

Seperti, kata Ibnu Arabi,

“Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq.

Saat itu di tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kitab. Maka sabdanya kepadaku,

‘Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam’.

Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa’at darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang engkau perintahkan.

Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. tanpa mengurangi dan menambahinya”.

Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah Sebagai Berikut:

[1] Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran,

seperti yang memenuhi kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 70-72), meyakini bahwa Fir’aun itu telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung (yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188).

[2] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari’at.

Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan terperdaya. Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. Tetapi yang demikian itu mustahil[2. Pernah dikomentari oleh al Ustadz Badrusalam,

“Syaithan memang tidak mungkin menyerupai nabi berdasarkan hadits diatas, namun syaithan mampu untuk MENGAKU-NGAKU sebagai rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dalam mimpi seseorang. maka orang yang mengaku bertemu dengan Rasulullah, wajib menjelaskan ciri-ciri yang ia temukan dalam mimpinya…”

Ana tambahkan:

Dan tidak mungkin dalam mimpi tersebut Rasulullah akan mewasiatkan risalah BARU atau risalah-risalah yang menyalahi risalah yang telah ia sampaikan, padahal ia telah menyempurnakan risalahnya..

Wallahu a’lam], karena setan tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي

Artinya : Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku”.

[Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah, mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami’ dan ziyadahnya V/293]

Berdasarkan keterangan diatas, maka kita berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para pengikutnya adalah dajjal-dajjal Khurasan. Sedang perkataan-perkataan mereka dusta dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.

[Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha’u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 17/II/1416H-1996M)

Oleh: Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij: Abu Zuhriy Abu Zuhriy

Sumber: https://abuzuhriy.wordpress.com/

HADITS PALSU TENTANG ILMU LADUNI

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمْ وَرَّثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لمَ ْيَعْلَمْ)) رواه أبو نعيم

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya maka Allah akan mewariskan untuknya ilmu yang belum diketahuinya”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab “Hilyatul auliyaa’” (10/14-15) dari jalur Imam Ahmad bin Hambal, dari Yazid bin Harun, dari Humaid ath-Thawil, dari Anas bin Malik, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hadits ini adalah hadits palsu yang dipalsukan atas nama Imam Ahmad bin Hambal, yang memalsukannya adalah salah seorang dari para rawi antara Imam Abu Nu’aim dan Imam Ahmad bin Hambal1.

Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani setelah membawakan riwayat hadits ini dengan sanadnya, beliau berkata: “(Imam) Ahmad bin Hambal menyebutkan ucapan ini (matan/redaksi hadits ini) dari salah seorang Tabi’in, dari (Nabi) ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam, lalu salah seorang rawi (yang mendengar dari Imam Ahmad) keliru (dan menyangka) bahwa Imam Ahmad menyebutkannya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian rawi tersebut membuat (memalsukan) sanad hadits ini atas nama Imam Ahmad. Hadits ini dengan sanadnya tidak benar (diriwayatkan) dari Imam Ahmad bin Hambal”2.

----

Penulis: Ust. Abdullah Taslim, Lc., MA.

Lihat kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (1/611)

Kitab “Hilyatul auliyaa” (10/15)

Sumber: https://muslim.or.id/