1. Bid’ah kadang memiliki dalil yang bersifat umum
Ketika sesuatu dihukumi sebagai bid’ah, bukan berarti hal itu harus seratus persen di luar Islam dan tidak ada dalilnya sama sekali. Bahkan kebanyakan bid’ah justeru memiliki dalil yang tidak akan terlepas dari salah satu keadaan berikut: pertama, dalil tersebut shahih namun bersifat umum; atau yang kedua: dalil tersebut khusus namun tidak shahih.
Misalnya bid’ah puasa Nisfu Sya’ban. Secara umum, puasa adalah ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Dalil yang menganjurkan untuk berpuasa cukup banyak dan shahih; akan tetapi dalil tersebut bersifat umum. Karenanya, dalam Islam ada hari-hari tertentu yang kita diwajibkan untuk puasa; seperti bulan Ramadhan. Ada pula hari-hari yang kita dianjurkan untuk berpuasa; seperti enam hari di bulan Syawal, hari Asyura, hari Arafah, hari Senin dan Kamis, tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan hijriah, dan semisalnya. Namun ada juga hari-hari yang kita diharamkan untuk puasa; seperti ‘Iedul Fitri, ‘Iedul Adha dan hari Tasyriq. Jelas sekali bahwa setiap jenis puasa tadi ditetapkan berdasarkan dalil khusus, sedangkan hari-hari lainnya tidak memiliki dalil khusus tentangnya.
Jika seseorang mengkhususkan hari tertentu untuk berpuasa dengan keyakinan bahwa puasa pada hari itu dianjurkan -seperti Nisfu Sya’ban-, maka tidak cukup baginya untuk bersandar pada perintah dianjurkannya puasa secara umum dalam syari’at[2]); namun harus ada dalil khusus & shahih yang menyatakan bahwa pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa. Karena jika tidak demikian maka tidak mungkin ada bid’ah dalam agama, sebab setiap bid’ah yang berkaitan dengan ibadah tertentu pasti tercakup dalam perintah umum akan ibadah tersebut.
Demikian pula jika dalilnya tidak shahih (bukan berupa ayat, hadits shahih/hasan, atau ijma’), maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk melakukan suatu ibadah berangkat dari dalil yang lemah tadi. Sebab hukum asal setiap ibadah adalah tauqify –alias haram–, sampai ada dalil yang memerintahkannya, sebagaimana yang ditetapkan dalam kaidah usul fiqh [3]); sedangkan dalil yang lemah (seperti hadits dho’if) hanya menimbulkan dzonnun marjuh (dugaan lemah) bahwa amalan tersebut dianjurkan; dan Allah Ta’ala melarang serta mencela orang-orang yang sekedar mengikuti dugaan mereka saja;
“Dan janganlah kalian mengikuti apa-apa yang tidak kalian ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan dimintai pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra’: 36). “…Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran” (QS. An Najm: 28).
2. Sesuatu yang dianggap bid’ah bukan berarti tidak ada manfaatnya
Sering kali pelaku bid’ah beralasan bahwa apa yang dilakukannya tersebut mendatangkan banyak manfaat, contohnya mengkhususkan tiap putaran thawaf dengan do’a-do’a tertentu. Bid’ah ini kerap dilakukan oleh para jema’ah haji. Mereka beralasan bahwa do’a-do’a tertentu tadi membantu mereka untuk mengingat jumlah putaran thawaf, di samping sebagai sarana menyibukkan diri dengan do’a dan dzikir dari pada sekedar diam selama thawaf. Oleh karenanya, bagi mereka yang tidak menguasai bacaan do’a dan dzikir nabawi, maka ‘buku kecil’ tersebut akan sangat membantu…
Perlu kita ketahui bahwa adanya manfaat dalam suatu bid’ah tidak menjadikannya boleh dilakukan, karena manfaat tersebut tidaklah sebanding dengan mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkannya dalam agama. Seandainya manfaat tersebut lebih besar dari mafsadatnya, tentu tidak akan dilupakan oleh syari’at[4]). Akan tetapi marilah kita pelajari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini, kemudian kita terapkan semaksimal mungkin… niscaya kita akan mendapatkan manfaat yang lebih besar di balik itu.
Bahkan kalau kita perhatikan, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun terkadang mendapatkan manfaat dari sebagian ibadah yang mereka lakukan, demikian pula meditasi yang dilakukan oleh orang Hindu/Budha… pasti memiliki pengaruh baik meski sedikit. Akan tetapi adanya manfaat tersebut sama sekali tidak menjadikan apa yang mereka lakukan dianggap benar menurut Islam.
3. Tidak semua bid’ah disyaratkan harus dilakukan berulang-ulang
Sebagian orang mengira bahwa suatu amalan tidak akan menjadi bid’ah kecuali bila dilakukan secara berulang-ulang. Dugaan seperti ini tidaklah benar, karena tidak semua bid’ah harus seperti itu. Kadang kala suatu amalan dihukumi sebagai bid’ah meski hanya dilakukan sekali saja, seperti orang yang membentuk rambutnya dengan model tertentu untuk meniru orang kafir; perbuatannya bisa dikategorikan sebagai bid’ah meski cuma dilakukan sekali saja seumur hidup.
Namun ada amalan tertentu yang tidak bisa dianggap bid’ah kecuali bila dilakukan secara rutin, seperti shalat malam berjama’ah di luar bulan Ramadhan. Ketika seseorang senantiasa melakukan shalat malam berjama’ah, perbuatannya dianggap sebagai bid’ah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sesekali saja melakukannya. Demikian pula jika ia mengkhususkan hari tertentu setiap bulan untuk berpuasa tanpa ada dalilnya, hal ini juga menjadi bid’ah; dan begitu seterusnya.
4. Tidak semua bid’ah berangkat dari niat yang jelek
Saudaraku seiman, jika kita perhatikan keadaan para pelaku bid’ah, mungkin kita akan heran kalau mengetahui bahwa niat mereka rata-rata baik dan tulus. Akan tetapi alangkah besarnya kejahatan terhadap agama yang ditimbulkan oleh ‘niat baik yang tak terkendalikan’ itu?? Ketahuilah, bahwa sekedar niat baik tidak cukup untuk menjadikan amalan tersebut baik, kecuali jika ia mewujudkannya dengan cara yang baik dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5])
Bagaimana jika istri Anda berkata kepada Anda : “Mas, aku amat mencintaimu, dan aku ingin menunjukkan cintaku kepadamu…” kemudian ia mengayunkan telapak tangannya keras-keras ke pipi Anda, apakah niat baiknya dapat Anda terima?? Demikian pula halnya dengan niat baik pelaku bid’ah di mata syari’at.
Jadi sekali lagi, niat baik sama sekali bukan alasan membenarkan perbuatan seseorang. Seseorang mungkin berbuat maksiat, atau bid’ah, atau bahkan kekafiran sedangkan ia ‘berniat baik’ [6]).
Bersambung ke: Inilah dalilnya/10: terapi intensif bagi pelaku bid'ah
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
____
Catatan kaki:
[1]) Pembahasan ini seluruhnya penulis ringkas dari penjelasan DR Muhammad Husein Al Jezany terhadap kitab beliau yang berjudul Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’.
[2] Seperti hadits qudsi yang maknanya: “Semua amalan anak Adam adalah bagi dirinya kecuali puasa, maka amalan tersebut adalah bagi-Ku (Allah), dan Aku sendiri yang akan memberi pahalanya…” (Muttafaq ‘alaih).
[3] Kaidah ini berlaku pada setiap mazhab, lihat: Syarh Al Bahjatul Wardiyah, bab shalat, fasal: bayanu shalatin nafli karya Al ‘Allaamah Abu Yahya Zakaria bin Muhammad Al Anshary Asy Syafi’i. Lihat juga dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah 6/452; Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah, 4/394 – 8/74 -9/134 – 10/303 – 10/500; dan Shalaatut Tarawih hal 34 oleh Syaikh Al Albani; Kitaabul ‘Ilm hal 161 oleh Syaikh Al Utsaimin; Taisirul Lathiful Mannan fi Khulashati Tafsiril Ahkam, fasal: fil ahkamis syar’iyyah wal bayyinah, oleh Syaikh Abdurrahman As Sa’dy.
[4] Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (Al Ma’idah: 3). Allah Ta’ala juga berfirman: “…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (157) (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), Nabi yang ummi yang (namanya) mereka didapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar. Menghalalkan bagi mereka segala yang baik, mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al A’raf: 156-157).
Perhatikan, bagaimana Allah menyifati Nabi-Nya yang satu ini: “… yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf… melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar… menghalalkan bagi mereka segala yang baik… mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…”
[5]) Sebagaimana ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu kepada orang-orang yang mengadakan majelis dzikir dengan alasan mereka hanyalah mencari kebaikan:
وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ (رواه الدارمي في مقدمة السنن بسند حسن)
“Alangkah banyaknya orang yang menginginkan kebaikan namun tidak akan mendapatkannya…” (H.R. Ad Darimi dalam muqaddimah Sunan-nya dengan sanad hasan).
[6]) Seperti musyrikin Quraisy yang menyembah berhala dengan niat mendekatkan diri mereka kepada Allah sedekat-dekatnya (lihat Surat Az Zumar: 3).
Sumber: https://muslim.or.id/