Type Here to Get Search Results !

 


TEMAN & PENGARUHNYA DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA SESEORANG


Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia dari sepasang insan; lelaki dan perempuan. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka hidup berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya dapat saling mengenal. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memuliakan orang yang paling bertakwa di antara mereka.

Demikianlah suratan takdir dari Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ  

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat: 13)

Lebih dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan manusia mempunyai kemampuan sebagai makhluk sosial yang pandai berbicara, bisa mendengar, dan melihat. Dia juga menjadikan manusia pandai berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya serta lingkungannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ ٣ عَلَّمَهُ ٱلۡبَيَانَ ٤

“Dia menciptakan manusia, mengajarinya pandai berbicara.” (ar-Rahman: 3—4)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

فَجَعَلۡنَٰهُ سَمِيعَۢا بَصِيرًا ٢

“Maka Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (al-Insan: 2)

Berbagai anugerah pun Allah subhanahu wa ta’ala bentangkan untuk umat manusia demi keberlangsungan hidup mereka di muka bumi ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَلَمۡ نَجۡعَلِ ٱلۡأَرۡضَ مِهَٰدًا ٦ وَٱلۡجِبَالَ أَوۡتَادًا ٧ وَخَلَقۡنَٰكُمۡ أَزۡوَٰجًا ٨ وَجَعَلۡنَا نَوۡمَكُمۡ سُبَاتًا ٩ وَجَعَلۡنَا ٱلَّيۡلَ لِبَاسًا ١٠ وَجَعَلۡنَا ٱلنَّهَارَ مَعَاشًا ١١ وَبَنَيۡنَا فَوۡقَكُمۡ سَبۡعًا شِدَادًا ١٢ وَجَعَلۡنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا ١٣ وَأَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡمُعۡصِرَٰتِ مَآءً ثَجَّاجًا ١٤ لِّنُخۡرِجَ بِهِۦ حَبًّا وَنَبَاتًا ١٥ وَجَنَّٰتٍ أَلۡفَافًا ١٦

“Bukankah telah Kami jadikan bumi sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kalian berpasang-pasangan? Kami jadikan tidur kalian untuk istirahat? Kami jadikan malam sebagai pakaian? Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan? Kami bangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh? Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari)? Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijan dan tumbuh-tumbuhan, serta kebun-kebun yang lebat?” (an-Naba: 6—16)

Manusia Senantiasa Membutuhkan Teman

Manusia yang lekat dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan senantiasa membutuhkan teman dalam hidupnya. Mahasuci Allah, manakala di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah diciptakan-Nya para istri sebagai teman dekat (pendamping) bagi kaum lelaki. Dia subhanahu wa ta’ala menjadikan kecenderungan dan ketenteraman bagi kaum lelaki kala bersanding dengan istrinya. Dia subhanahu wa ta’ala menjadikan pula rasa kasih dan sayang di antara keduanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجًا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٍ لِّقَوۡمٍ يَتَفَكَّرُونَ ٢١

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)

Kebutuhan manusia akan teman tak sebatas istri. Teman selain istri pun mempunyai pengaruh yang besar bagi seseorang dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pemurah tak membiarkan manusia hidup dengan berbekal kekurangan dan keterbatasannya. Berbagai bimbingan terbaik seputar permasalahan ini pun Allah subhanahu wa ta’ala sampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam. Kupasannya pun luas, mencakup topik saling membutuhkan dalam hal maslahat duniawi dan ukhrawi.

Para pembaca yang mulia….

Jati diri seorang teman sendiri bermacam-macam. Ada yang baik, ada pula yang buruk. Setiap jenisnya sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Sungguh bahagia seseorang yang diberi kemudahan dan taufik oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mendapatkan teman-teman yang baik. Sebaliknya, betapa merugi seseorang yang terhalangi dari teman-teman yang baik, bahkan dikitari oleh teman-teman yang buruk.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَيَّضۡنَا لَهُمۡ قُرَنَآءَ فَزَيَّنُواْ لَهُم مَّا بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡ وَحَقَّ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَوۡلُ فِيٓ أُمَمٍ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِم مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ إِنَّهُمۡ كَانُواْ خَٰسِرِينَ ٢٥

“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari kalangan jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Fushshilat: 25)

Dalam mutiara kenabian, terpancar satu permisalan indah tentang jati diri seorang teman dan pengaruhnya bagi seseorang. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat penjual minyak wangi dan pandai besi. Si penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya. kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan aroma harum semerbak darinya. Adapun pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu. Kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya [no. 5534] dan Muslim dalam Shahih-nya [no. 2628] dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu)

Hal penting yang harus diketahui oleh setiap insan muslim, teman akrab, sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain pada hari kiamat, kecuali orang-orang yang bertakwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلۡأَخِلَّآءُ يَوۡمَئِذِۢ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلۡمُتَّقِينَ

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (az-Zukhruf: 67)


SIFAT TEMAN YANG BURUK

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata:

وفى جملة، فينبغى أن يكون فيمن تؤثر صحبته خمس خصال : أن يكون عاقلاً حسن الخلق غير فاسق ولا مبتدع ولا حريص على الدنيا

“ Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat berikut : orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin 2/36).

Kemudian beliau menjelaskan : “Akal merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang bodoh. Karena orang yang bodoh, dia ingin menolongmu tapi justru dia malah mencelakakanmu. Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang memahami segala sesuatu sesuai dengan hakekatnya, baik dirinya sendiri atau tatkala dia menjelaskan kepada orang ain. Teman yang baik juga harus memiliki akhlak yang mulia. Karena betapa banyak orang yang berakal dikuasai oleh rasa marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak ada kebaikan berteman dengannya. Sedangkan orang yang fasik, dia tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, tidak dapat dipercaya dan engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman dengan ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)

Hendaknya Orang Tua Memantau Pergaulan Anaknya

Kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya. Termasuk dalam hal ini memantau pergaulan anak-anaknya. Betapa banyak anak yang sudah mendapat pendidikan yang bagus dari orang tuanya, namun dirusak oleh pergaulan yang buruk dari teman-temannya. Hendaknya orangtua memperhatikan lingkungan dan pergaulan anak-anaknya, karena setap orang tua adalah pemimpin bagi keluarganya, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Allah Ta’ala juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).

Hati-Hati Memilih Teman!

Selektif memilih teman merupakan prinsip utama dalam Islam.

Sejarah pun menunjukkan bahwa para ulama terdahulu (as-salafush shalih) benar-benar memperhatikan prinsip ini. Sebab, sosok teman sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat.

Di dalam Shahih al-Bukhari (no. 3742) disebutkan bahwa Alqamah rahimahullah—seorang tabiin yang mulia—berkisah,

“Ketika aku masuk ke negeri Syam, aku (langsung menuju masjid dan) shalat dua rakaat. Kemudian kupanjatkan sebuah doa, ‘Ya Allah, berilah aku kemudahan untuk mendapatkan teman yang baik (di negeri ini)’. Usai berdoa kudatangi sekelompok orang yang sedang duduk-duduk. Aku turut bergabung bersama mereka.

Lalu datanglah seorang syaikh dan duduk di sebelahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Siapakah orang ini?’

Mereka menjawab, ‘Beliau adalah Abu Darda’ (seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam).’

Aku katakan kepada beliau, ‘Aku telah berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberi kemudahan untuk mendapatkan teman yang baik (di negeri ini). Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah memudahkanku untuk bertemu denganmu.’

Abu Darda radhiyallahu anhu berkata, ‘Dari manakah engkau?’. Kukatakan, ‘Aku dari negeri Kufah’.”

Selektif memilih teman merupakan kewajiban setiap insan muslim.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Memperhatikan teman merupakan kewajiban setiap insan muslim. Jika mereka adalah orang-orang yang buruk, hendaklah dijauhi. Sebab, (penyakit) mereka itu lebih kuat penularannya daripada kusta. Atau jika mereka adalah teman-teman yang baik, yang senantiasa memerintahkan kebaikan, mencegah (Anda) dari kemungkaran, dan membimbing pada pintu-pintu kebaikan, bergaullah (dengan mereka).” (al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, 1/224)

Selektif memilih teman harus diupayakan sejak dini.

Sebab, pergaulan di masa muda sangat menentukan kelanjutan hidup pada fase-fase berikutnya. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,

“Jika engkau melihat seorang pemuda di awal pertumbuhannya bersama Ahlus Sunnah wal Jamaah, harapkanlah kebaikannya (di kemudian hari). Jika engkau melihat di awal pertumbuhannya bersama ahlul bid’ah, berputus asalah akan kebaikannya (pada kemudian hari).” (al-Adab asy-Syar’iyyah karya Imam Ibnu Muflih, 3/77)

Demikian halnya yang dikatakan Imam Amr bin Qais al-Mulai rahimahullah, tetapi ada sedikit tambahan, “… karena (perjalanan) seorang pemuda sangat ditentukan oleh masa awal pertumbuhannya.” (al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah rahimahullah, 2/481—482)

Tak kalah pentingnya pula, selektif memilih teman saat menuntut ilmu.

Imam Badrudin Ibnu Jamaah al-Kinani rahimahullah berkata,

“Apabila dia (seorang penuntut ilmu) membutuhkan teman, hendaklah memilih orang yang saleh, beragama, bertakwa, warak, cerdas, banyak kebaikannya lagi sedikit keburukannya, santun dalam bergaul, dan tak suka berdebat. Apabila dia lupa, teman tersebut bisa mengingatkannya. Apabila dia dalam keadaan ingat (kebaikan), teman tersebut mendukungnya. Apabila dia membutuhkan bantuan, teman tersebut siap membantunya. Apabila dia sedang marah, teman tersebut pun menyabarkannya.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hlm. 83—84)

Teman adalah potret jati diri seseorang. Bahkan, ia sebagai barometer bagi agamanya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang tergantung agama teman akrabnya. Maka dari itu, hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan siapa yang dijadikan sebagai teman akrab.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan, 2/293; at-Tirmidzi dalam as-Sunan, 2/278; al-Hakim dalam al-Mustadrak, 4/171; dan Ahmad dalam al-Musnad, 2/303 dan 334; dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 927)

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata,

“Seseorang akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan sejenis dengannya.” (al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah rahimahullah, 2/476)[1]

Imam Qatadah rahimahullah berkata,

“Demi Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh tidaklah kami melihat seseorang berteman kecuali dengan yang sejenisnya. Karena itu, bertemanlah dengan orang-orang saleh dari hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga kalian senantiasa bersama mereka atau menjadi seperti mereka.” (al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah rahimahullah, 2/480)[2]

Ketika Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah datang ke kota Bashrah dan melihat posisi ar-Rabi’ bin Shubaih yang tinggi di tengah umat, beliau pun menanyakan prinsip agamanya. Orang-orang menjawab, “Prinsip agamanya tidak lain adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah.”

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah bertanya lagi, “Siapakah teman-teman dekatnya?”

Mereka menjawab, “Orang-orang Qadariyah (pengingkar takdir, pen.).”

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pun berkata, “Kalau begitu dia adalah seorang qadari.” (al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah rahimahullah, 2/453)[3]

Mewaspadai Teman yang Buruk

Teman yang buruk sangat berbahaya bagi kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Sebab, bersahabat dengannya tidaklah membuahkan apa pun selain penyesalan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰوَيۡلَتَىٰ لَيۡتَنِي لَمۡ أَتَّخِذۡ فُلَانًا خَلِيلًا ٢٨ لَّقَدۡ أَضَلَّنِي عَنِ ٱلذِّكۡرِ بَعۡدَ إِذۡ جَآءَنِيۗ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِلۡإِنسَٰنِ خَذُولًا ٢٩

“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dahulu) tidak menjadikan si fulan sebagai teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an, ketika Al-Qur’an telah datang kepadaku, dan setan itu tidak mau menolong manusia.” (al-Furqan: 28—29)

Sikap berhati-hati dari teman yang buruk, sesungguhnya berlaku juga bagi para pejabat pemerintahan. Hal ini mengingat betapa besarnya pengaruh teman yang buruk bagi berbagai kebijakan mereka. Di dalam kitab Riyadhush Shalihin, Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab khusus terkait dengan hal ini. Beliau berkata, “Bab: Anjuran terhadap hakim dan pemimpin bangsa serta pejabat pemerintahan lainnya agar mencari teman yang baik dan berhati-hati dari teman yang buruk.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Engkau bisa mendapati bahwa di antara para pemimpin itu ada yang baik dan suka dengan kebaikan. Namun, manakala Allah subahanhu wa ta’ala memberinya teman-teman yang buruk—wal ‘iyadzu billah—mereka menghalanginya dari kebaikan yang diinginkannya, menghiasi sesuatu yang buruk hingga tampak baik, dan menanamkan pada dirinya kebencian kepada para hamba Allah subhanahu wa ta’ala.

Engkau pun bisa mendapati di antara para pemimpin itu ada yang kurang baik. Namun, tatkala teman-temannya dari kalangan orang-orang baik, yang selalu menunjukinya kepada kebaikan, memberikan motivasi, dan mengarahkannya kepada segala kebijakan yang membuahkan rasa cinta antara dia dengan rakyatnya, akhirnya menjadi baik keadaannya. Orang yang terjaga ialah yang dijaga oleh Allah subhanahu wa ta’ala.” (Syarh Riyadhish Shalihin)

Teman yang buruk itu bermacam-macam. Terkadang dari jenis pelaku kemaksiatan (pengekor syahwat), atau dari jenis ahlul bid’ah[4] dan orang-orang yang menyimpang agamanya. Semuanya harus diwaspadai. Pelaku kemaksiatan (pengekor syahwat) dapat menyeret siapa saja yang berteman dengannya ke dalam kemaksiatan dan syahwat. Demikian pula ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang agamanya, akan menyesatkan siapa saja yang berteman dengannya.

Bahkan, menurut Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, berteman atau bermajelis bersama ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang dengan alasan untuk mengembalikan mereka kepada al-haq (kebenaran) tidak dibenarkan juga. Sebab, mereka akan menyampaikan kerancuan-kerancuan berpikirnya (syubhat) dan enggan untuk kembali kepada al-haq.[5] (Lihat al-Ibanah 2/472)[6]

Bisa jadi, di antara pembaca ada yang bertanya, “Adakah contoh kasus tentang orang-orang yang tersesat (agamanya) karena teman?”

Jawabnya, “Ada, bahkan banyak.” Di antaranya adalah:

Abu Thalib terhalang dari Islam karena pengaruh temannya.

Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari (no. 3884),

“Saat menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang menjenguknya. Ternyata di sisi Abu Thalib telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayah bin al-Mughirah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaaha illallah (tiada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya kecuali Allah, pen.), sebuah kalimat yang akan kujadikan hujah (pembelaan) untukmu di hadapan Allah.’

Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayah bin al-Mughirah berkata, ‘Apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib (agama berhala, -pen.)?!’

Setiap kali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menawarkan kalimat laa ilaaha illallah kepada Abu Thalib, setiap kali itu pula Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayah bin al-Mughirah menimpalinya dengan perkataan di atas. Akhirnya, kata terakhir yang diucapkan Abu Thalib kepada mereka adalah, ‘(Aku) di atas agama Abdul Muthalib (menyembah berhala)’.”

Demikian pula secara lebih tegas disebutkan dalam Shahih Muslim (no. 39),

“… Dia (Abu Thalib) berada di atas agama Abdul Muthalib (menyembah berhala) dan tidak mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Betapa besar bahaya teman yang buruk terhadap seseorang. Kalau tidak ada pengaruh dari dua orang tersebut (Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayah bin al-Mughirah, -pen.), bisa jadi Abu Thalib menerima ajakan Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah dan wafat sebagai pemeluk agama Islam.” (al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, 1/224)

Abu Dzar al-Harawi terseret ke dalam mazhab Asy’ariyah karena kedekatannya dengan al-Qadhi Abu Bakr ath-Thayyib.

Dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ (17/558—559) dan Tadzkiratul Huffazh (3/1104—1105) karya Imam adz-Dzahabi rahimahullah disebutkan bahwa Abu Dzar al-Harawi, seorang ulama terkemuka pada masanya, terseret ke dalam mazhab sesat Asy’ariyah, disebabkan kedekatannya dengan tokoh mazhab tersebut, yang bernama al-Qadhi Abu Bakr ath-Thayyib.

Hal itu bermula dari pertemuan pertama di Baghdad, kemudian disusul pertemuan kedua, dan demikian seterusnya. Akhirnya, beliau terseret ke dalam mazhab Asy’ariyah. Dinyatakan sendiri oleh Abu Dzar al-Harawi sendiri, “Akhirnya, aku mengikuti mazhabnya.”

Tidak sampai di situ, ia pun kemudian menyebarkan mazhab Asy’ariyah tersebut di Makkah. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata,

“Dia mendapatkan ilmu kalam dan mazhab Asy’ariyah dari al-Qadhi Abu Bakr ath-Thayib, kemudian menyebarkannya di Makkah. Orang-orang yang berasal dari negeri-negeri maghrib arabi (magharibah) menyambutnya dan membawa akidah sesat tersebut ke negeri Maroko dan Andalusia (Spanyol). Padahal sebelumnya para ulama di beberapa negeri tersebut tidak menyukai ilmu kalam. Mereka justru orang-orang yang mumpuni dalam bidang ilmu fikih, hadits, atau bahasa Arab.” (Siyar A’lamin Nubala’, 17/557)

Imran bin Hiththan menjadi Khawarij karena pengaruh istrinya.

Imran bin Hiththan adalah seorang yang hidup pada masa tabiin. Dia meriwayatkan hadits dari sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dia tersohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits. Dahulunya, dia berakidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Namun, pada akhir hayatnya dia terseret dalam akidah sesat Khawarij.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Imran bin Hiththan tergolong orang yang terkenal di kalangan mazhab Khawarij. Sebelumnya dia tersohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits, kemudian terseret ke dalam fitnah (Khawarij).”

Imam Ya’qub bin Syaibah rahimahullah berkata,

“Dia berjumpa dengan sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Namun, pada akhir hayatnya dia terseret ke dalam akidah Khawarij. Sebabnya adalah sepupu wanita/anak pamannya (yang bernama Hamnah, -pen.) yang memiliki akidah sesat, akidah Khawarij. Dia menikahinya dengan tujuan mengembalikannya ke dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, justru sang istrilah yang menyeretnya ke dalam akidah Khawarij.”

Hal senada juga disampaikan oleh Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah. (Lihat Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar, 8/108—109)

Para pembaca yang mulia….

Belajar dari uraian di atas, sudah seharusnya kita semua selektif dan berhati-hati memilih teman. Kita harus mewaspadai teman yang buruk dan berteman dengan teman yang baik. Sebab, seorang teman itu sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan beragama kita.

Wallahu a’lam bish-shawab.

____

Catatan Kaki

[1] Lihat kitab Ijma’ul Ulama’ ‘Alal Hajri wat Tahdzir Min Ahlil Ahwa’, karya Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri.

[2] Lihat kitab Ijma’ul Ulama’ ‘Alal Hajri wat Tahdzir Min Ahlil Ahwa’, karya Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri.

[3] Lihat kitab Ijma’ul Ulama’ ‘Alal Hajri wat Tahdzir Min Ahlil Ahwa’, karya Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri.

[4] Bid’ah adalah segala hal yang diada-adakan dalam agama (tidak ada syariat/dalilnya dalam Islam). Ahlul bid’ah/mubtadi’ adalah orang yang bersemangat mempelajari dan melakukan kebid’ahan serta mendakwahkan/mengajak manusia untuk melakukan bidah.

Namun, seseorang yang melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat dalam keadaan tidak tahu, dia diberi uzur karena ketidaktahuannya tersebut. Dia tidak dihukumi sebagai mubtadi’. Hanya saja, amalan yang dilakukannya disebut bid’ah.

[5] Di antara buktinya adalah kasus Imran bin Hiththan yang akan disebutkan, insya Allah.

[6] Sebagai tambahan faedah tentang sikap terhadap ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang agamanya, silakan lihat kitab Ijma’ul ‘Ulama ‘Alal Hajri wat Tahdzir min Ahlil Ahwa’, karya Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri.

Ditulis oleh Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.

Sumber: https://asysyariah.com/

Tags