Type Here to Get Search Results !

 


SYIRIK TAKUT


Syirik ada dua macam. Syirik besar dan syirik kecil. Syirik besar bertentangan dengan tauhid secara total, mengeluarkan (pelakunya) dari Islam. Syirik besar memiliki beberapa bentuk, sebagian darinya telah dijelaskan, yaitu ada yang dilakukan di atas kuburan, dan masih ada bentuk-bentuk lainnya. Di antaranya:

Pertama: Syirik Takut

Takut, sebagaimana yang didefinisikan ulama adalah dugaan terjadinya sesuatu yang tidak disukai, melalui tanda yang diduga atau yang diketahui.

Takut itu ada tiga macam:

(1) Takut yang rahasia, yaitu takut kepada selain Allah berupa berhala atau thaghut atau orang mati atau orang tidak hadir, jin atau manusia, akan menimpakan kepadanya sesuatu yang tidak diinginkannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang kaum Nabi Hud ‘alaihissalam yang berkata kepada beliau,

إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ . مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُونِ

“Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila pada dirimu.’ Hud menjawab, ‘Sesungguhnya aku menjadikan Allah sebagai saksi, dan bersaksilah kalian bahwasanya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan (sebagai sembahan-sembahan) selainNya, sebab itu lakukanlah tipu daya kalian terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku’.” (Hud: 54-55).

Orang-orang musyrik juga pernah menakut-nakuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berhala-berhala mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يُخَوِّفُونَكَ بِالَّذِينَ مِنْ دُونِهِ

“Mereka menakut-nakutimu dengan (sesembahan) yang selain Dia.” (Az-Zumar: 36).

Takut bentuk inilah yang terjadi pada para pemuja kubur dan pemuja berhala lainnya di zaman ini, mereka takut kepada kubur dan menakut-nakuti orang-orang yang berpegang teguh kepada tauhid dengannya manakala orang-orang yang berpegang teguh kepada tauhid tersebut melarang mereka berbuat syirik dan mengajak mereka bertauhid, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah. Takut bentuk ini termasuk bentuk ibadah paling penting yang wajib diikhlaskan hanya kepada Allah semata. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Karena itu, janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kalian orang-orang beriman.” (Ali Imran: 175).

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ

“Sebab itu, janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu.” (Al-Ma’idah: 3).

Takut ini termasuk di antara kedudukan agama yang paling agung dan paling mulia, maka barangsiapa memperuntukkannya kepada selain Allah, maka dia telah berbuat syirik besar. Hanya Allah tempat berlindung.

(2) Di antara bentuk takut adalah seseorang meninggalkan apa yang wajib atasnya karena takut kepada sebagian manusia. Takut seperti ini adalah haram, termasuk syirik kecil. Inilah yang tersebut dalam Firman Allah Ta’ala,

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ . فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ . إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, ‘Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka,‘ ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.‘ Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu bencana dan mereka mengikuti keridaan Allah. Allah mempunyai karunia yang besar. Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kalian orang-orang beriman.” (Ali Imran: 173-175).

Takut inilah yang tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

لَا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ نَفْسَهُ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، كَيْفَ يَحْقِرُ أَحَدُنَا نَفْسَهُ؟ قَالَ: يَرَى أَمْرًا، لِلّٰهِ عَلَيْهِ فِيْهِ مَقَالٌ، ثُمَّ لَا يَقُوْلُ فِيْهِ، فَيَقُوْلُ اللّٰهُ – عَزَّ وَجَلَّ – لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَقُوْلَ فِيَّ كَذَا وَكَذَا؟ فَيَقُوْلُ: خَشْيَةُ النَّاسِ، فَيَقُوْلُ: فَإِيَّايَ كُنْتَ أَحَقَّ أَنْ تَخْشَى

“Janganlah seseorang di antara kalian merendahkan dirinya.“ Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang di antara kami merendahkan dirinya?“ Nabi menjawab, “Dia mengetahui suatu perkataan yang wajib untuk Allah, tetapi dia tidak mengatakannya. Maka Allah akan berfirman kepadanya pada Hari Kiamat, ‘Apa yang menghalangimu mengucapkan di jalanKu begini dan begini?‘ Dia menjawab, ‘Karena takut (omongan) manusia.‘ Allah berfirman, ‘Semestinya kamu lebih takut kepadaKu.” (Sunan Ibnu Majah, no. 4008).

(3) Di antara bentuk takut adalah takut alamiah (yang merupakan tabiat manusia), yaitu takut kepada musuh atau hewan buas atau yang sepertinya. Ini tidak tercela, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang Musa ‘alaihissalam,

فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ

“Maka keluarlah dia (Musa) dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya).” (Al-Qashash: 21).

Takut pertama, yaitu takut yang rahasia, ia termasuk bentuk ibadah paling agung, wajib diikhlaskan kepada Allah Semata, demikian juga yang kedua, ia termasuk hak ibadah dan yang menyempurnakannya.

Makna Firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ

“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya” (Ali Imran: 175),

yakni, setan menakut-nakuti kalian dengan teman-temannya.

فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepadaKu.” (Ali Imran: 175).

Ini adalah larangan dari Allah kepada orang-orang Mukmin dari takut kepada selainNya, sekaligus perintah Allah bagi mereka agar membatasi takut mereka hanya kepadaNya. Bila mereka memurnikan takut dan segala macam ibadah, maka Allah Ta’ala memberi mereka apa yang mereka inginkan dan menjamin keamanan mereka dari apa yang mereka takutkan. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ وَيُخَوِّفُونَكَ بِالَّذِينَ مِنْ دُونِهِ

“Bukankah Allah yang mencukupi hambaNya? Mereka menakut-nakutimu dengan (sesembahan) yang selain Dia.” (Az-Zumar: 36).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Di antara bentuk tipu daya musuh Allah adalah menakut-nakuti orang-orang beriman dengan bala tentara dan teman-temannya, sehingga orang-orang Mukmin itu tidak berjihad melawan mereka, tidak mengajak mereka kepada kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran yang mereka lakukan. Allah mengabarkan bahwa hal itu termasuk tipu daya setan dan (tipu daya) untuk menakut-nakuti. Allah melarang kita takut kepada mereka, bila iman seorang hamba kuat, maka dia tidak takut kepada wali-wali (teman-teman) setan, sebaliknya bila imannya lemah, maka takutnya kuat.” (Ighatsah al-Lahfan, 1/110).

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاّ اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah: 18).

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir; orang-orang yang beriman dengan hati mereka, beramal shalih dengan anggota tubuh mereka, memurnikan rasa takut hanya kepada Allah semata bukan kepada selainNya. Allah Ta’ala memberikan wewenang memakmurkan masjid bagi mereka sesudah mencabutnya dari orang-orang musyrik, karena memakmurkan masjid hanya dengan ketaatan dan amal shalih, sekalipun orang musyrik berbuat baik, tetapi amalnya,

كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً

“adalah seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, hingga apabila dia (orang yang dahaga) itu mendatanginya, dia tidak mendapatkan apa pun” (An-Nur: 39), atau,

كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ

“seperti abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang.” (Ibrahim: 18).

Bila demikian, maka tidak ada yang lebih baik darinya. (Fath al-Majid, hal. 373).

Masjid-masjid tidak akan makmur secara benar, kecuali dengan amal shalih yang didasarkan kepada keikhlasan, tauhid, serta akidah yang shahih, yang bersih dari syirik, bid’ah dan khurafat.

Memakmurkan masjid bukan dengan semen, hiasan dan bangunan megah semata, atau mendirikannya di atas kubur, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat siapa yang melakukannya.

Dan Firman Allah Ta’ala,

وَلَمْ يَخْشَ إِلاّ اللَّهَ

“Dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah.” (Taubah: 18).

Ibnu Athiyah rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah takut yang disertai sikap mengagungkan, ibadah dan ketaatan, karena suatu yang lumrah (dan pasti terjadi) bila manusia takut kepada hal-hal dunia yang memang patut ditakuti.” (Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-‘Aziz, 3/16).

Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, memintanya menulis nasihat baginya yang singkat dan tidak bertele-tele, maka Aisyah menulis,

“Kepada Mu’awiyah, salam atasmu. Amma ba‘du, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‏مَنِ الْتَمَسَ رِضَا اللّٰهِ بِسَخَطِ النَّاسِ، كَفَاهُ اللّٰهُ مَئُوْنَةَ النَّاسِ، وَمَنِ الْتَمَسَ سَخَطَ اللّٰهِ بِرِضَا النَّاسِ، وَكَلَهُ اللّٰهُ إِلَى النَّاسِ

‘Barang siapa mencari ridha Allah dengan murka manusia, niscaya Allah mencukupinya dari beban manusia. Barang siapa mencari ridha manusia dengan murka Allah, niscaya Allah menyerahkannya kepada manusia.’

Wassalam.” Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah. (Juz 8, hal. 188).


Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dengan lafazh,

مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللّٰهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللّٰهِ سَخَطَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ

“Barang siapa mencari ridha Allah dengan murka manusia, maka Allah meridhainya dan membuat manusia meridhainya. Barang siapa mencari ridha manusia dengan murka Allah, maka Allah memurkainya dan membuat manusia murka terhadapnya.” (Shahih Ibn Hibban, 1/510, no. 276).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Aisyah menulis surat kepada Mu’awiyah, dan menurut satu riwayat bahwa Aisyah memarfu’kannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

‏مَنْ أَرْضَى اللّٰهَ بِسَخَطِ النَّاسِ، كَفَاهُ مَؤُوْنَةَ النَّاسِ، وَمَنْ أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللّٰهِ، لَمْ يَغْنُوْا عَنْهُ مِنَ اللّٰهِ شَيْئًا‏

‘Barang siapa membuat Allah ridha dengan marah manusia, niscaya Allah mencukupinya dari beban manusia. Dan barang siapa membuat manusia ridha dengan murka Allah, maka mereka sama sekali tidak berguna baginya di sisi Allah.‘ Ini adalah lafazh riwayat marfu‘.

Sedangkan lafazh yang mauquf,

‏مَنْ أَرْضَى اللّٰهَ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ، وَمَنْ أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللّٰهِ عَادَ حَامِدُهُ مِنَ النَّاسِ لَهُ ذَامٍّا

‘Barang siapa membuat Allah ridha dengan marah manusia, niscaya Allah meridhainya dan membuat manusia ridha kepadanya. Dan barang siapa mencari ridha manusia dengan murka Allah, maka orang yang memujinya dari manusia akan berbalik mencelanya.‘ Ini adalah lafazh ma’tsur dari Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Ini adalah di antara bentuk pemahaman agama yang paling agung.… meskipun riwayat marfu‘ lebih benar dan lebih jujur, karena barangsiapa mencari ridha Allah Ta’ala dengan mengorbankan murka manusia, berarti dia takut kepada Allah, hambaNya yang shalih dan Allah mengurusi orang-orang shalih, dan mencukupi hambaNya,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka.” (Ath-Thalaq: 2-3).

Allah Ta’ala mencukupinya dari beban manusia adalah suatu yang tidak disangsikan. Adapun semua manusia rela kepadanya, maka hal ini sulit terwujud, tetapi bisa terwujud bila mereka tidak memiliki tendensi dan mengetahui bahwa kesudahan yang baik (adalah milik orang-orang yang berbuat baik). Barangsiapa mencari ridha manusia dengan murka Allah, maka manusia tidak bisa memberinya manfaat sedikitpun di depan Allah, seperti orang zhalim yang menggigit tangannya…. Tentang orang yang memujinya berbalik mencelanya, maka hal ini acapkali terjadi, terjadi di akhir, karena akhir yang baik adalah milik orang-orang yang bertakwa, tidak terjadi di awal saat hawa nafsu mereka.” (Majmu’ al-Fatawa, 1/52).

Hadits ini dengan riwayat-riwayatnya menjelaskan bahwa bila manusia beramal dan mencari ridha Allah dengannya, sekalipun manusia memurkainya, dia mendapatkan dua kebaikan besar, yaitu Allah meridhainya dan manusia juga meridhainya. Sebaliknya, barangsiapa beramal dengan maksud mencari ridha manusia dengan mendatangkan murka Allah, maka dia mendapatkan dua kerugian, yaitu murka Allah dan murka manusia. Jadi, mencari ridha Allah menyatukan kebaikan seluruhnya. Mencari ridha manusia menyatukan keburukan seluruhnya. Semoga Allah memberi kita keselamatan.

Begitulah, dan kita wajib mengetahui bahwa takut kepada Allah Ta’ala harus diiringi dengan berharap dan cinta, di mana takut tersebut bukanlah takut yang muncul dari rasa putus asa kepada rahmat Allah.

Seorang Mukmin hidup di antara rasa takut dan harapan kepada Allah, dia tidak bersama rasa takut saja, sehingga berputus asa dari rahmat Allah, tidak pula bersama harapan saja, sehingga merasa aman dari siksa Allah, karena putus asa dari rahmat Allah dan aman dari azab Allah menafikan tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلاّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi.” (Al-A’raf: 99).

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّهُ لا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلاّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (Yusuf: 87).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلاّ الضَّالُّونَ

“Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.” (Al-Hijr: 56).

Ismail bin Rafi’ rahimahullah berkata, “Di antara (bentuk) rasa aman dari azab Allah adalah seorang hamba melakukan dosa terus-menerus dan berharap Allah mengampuninya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dalam Tafsirnya, 5/1529).

Para ulama berkata, “Putus asa adalah meyakini kemudahan itu jauh dan tidak mengharapkannya, ia adalah lawan merasa aman dari azab Allah, dan keduanya dosa besar.”

Seorang Mukmin tidak boleh bersandar kepada rasa takut saja, sehingga dia berputus asa dari rahmat Allah, tidak boleh juga bersandar kepada harapan saja, sehingga dia merasa aman dari azab Allah, sebaliknya dia takut sekaligus berharap, takut karena dosa-dosanya, senantiasa beramal shalih dan berharap rahmat Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang para nabiNya,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu‘ kepada Kami.” (Al-Anbiya’: 90).

Allah Ta’ala juga berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً

“Makhluk-makhluk yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan (untuk mendekatkan diri) kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepadaNya), dan mereka mengharapkan rahmatNya serta takut akan azabNya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) diwaspadai.” (Al-Isra’: 57).

Bila rasa takut dan berharap terkumpul, maka keduanya mendorong hamba untuk beramal dan melakukan sebab-sebab yang berguna; bila dia berharap, dia melakukan amal shalih karena berharap pahalanya, bila dia takut, dia meninggalkan dosa-dosa karena takut hukuman atasnya. Bila dia berputus asa dari rahmat Allah, maka dia tidak melakukan amal shalih. (Sebaliknya) bila dia merasa aman dari azab Allah, maka dia terdorong melakukan dosa-dosa.

Sebagian ulama berkata, “Barangsiapa menyembah Allah karena cinta saja, maka dia adalah seorang sufi, barangsiapa menyembah Allah karena takut saja, maka dia adalah seorang Khawarij, barangsiapa menyembah Allah karena harapan saja, maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barangsiapa menyembah Allah dengan cinta, takut, dan harapan, maka dia adalah seorang Mukmin (sejati),” sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan tentang makhluk pilihanNya,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmatNya dan takut akan azab-Nya.” (Al-Isra’: 57).

Allah Ta’ala menjelaskan tentang orang-orang yang melalaikan sisi takut, lalu mereka melakukan dosa-dosa dan merasa aman dari azabNya bahwa mereka adalah orang-orang yang merugi. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ . أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ . أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi.” (Al-A’raf: 97-99).

Makna ayat-ayat ini adalah, bahwasanya Allah menjelaskan keadaan penduduk negeri-negeri yang mendustakan para rasul, yang bersikukuh di atas kekafiran dan kemaksiatan, dan Allah menjelaskan bahwa yang mendorong mereka melakukan hal itu adalah rasa aman mereka dari azab Allah, tidak takut kepada siksaNya. Sedangkan makar Allah terhadap mereka berarti bahwa bila seorang hamba mendurhakaiNya dan membuatNya murka, maka Allah memberinya nikmat-nikmat yang hamba menyangkanya bahwa nikmat-nikmat tersebut menunjukkan bahwa Allah meridhainya, padahal ia hanya istidraj (penangguhan kesempatan) dari Allah terhadapnya.

Orang-orang kafir tersebut merasa aman dari azab Allah manakala Allah memberi mereka kebahagiaan dan kenikmatan, mereka mendurhakai para RasulNya, bersikukuh di atas kemaksiatan, dan akhirnya Allah membinasakan mereka. Allah Ta’ala memperingatkan orang-orang yang datang sesudah mereka agar tidak melakukan apa yang mereka lakukan, karena mereka juga bisa ditimpa apa yang menimpa orang-orang sebelum mereka. Allah Ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ يَهْدِ لِلَّذِينَ يَرِثُونَ الأرْضَ مِنْ بَعْدِ أَهْلِهَا أَنْ لَوْ نَشَاءُ أَصَبْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَنَطْبَعُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَسْمَعُونَ

“Atau apakah belum jelas bagi orang-orang yang mewarisi suatu negeri setelah (lenyap) penduduknya. Bahwa kalau Kami menghendaki pasti Kami siksa mereka karena dosa-dosanya; dan Kami mengunci hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran)?” (Al-A’raf: 100).

Sebagian ulama berkata: Takutnya seorang hamba berasal dari beberapa perkara, yaitu:

Pertama, pengetahuannya terhadap kejahatan dan keburukannya.

Kedua, pembenarannya terhadap ancaman siksanya, bahwa Allah menetapkan azabNya sebagai akibat dari kemaksiatan.

Ketiga, ketidaktahuannya tentang kepastian diterimanya taubatnya bila dia melakukan dosa, karena bisa jadi dia dihalang-halangi dari taubat.

Rasa takut seorang hamba terwujud dengan ketiga perkara ini sebelum dan sesudah melakukan dosa, dan rasa takutnya juga menjadi lebih berat.

Para nabi ‘alaihimussalam tidak pernah putus harapan kepada Allah selamanya, tidak berputus asa dari rahmat Allah dalam keadaan apa pun, seberat apa pun ujian dan selemah apa pun sebab kemenangan.

Khalilullah Ibrahim, ketika para malaikat menyampaikan kabar gembira kepada beliau tentang kelahiran seorang anak lelaki, sekalipun dia sendiri dan istrinya sudah lanjut usia, yang dalam pertimbangan manusia sulit memiliki anak, tetapi beliau malah berkata pada saat itu,

وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ

“Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.” (Al-Hijr: 56).

Karena beliau mengetahui kuasa dan rahmat Allah lebih agung dan lebih besar dari itu, akan tetapi dia berkata kepada para malaikat,

أَبَشَّرْتُمُونِي عَلَى أَنْ مَسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُونَ

“Benarkah kalian memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, lalu (dengan cara) bagaimana kalian memberi (kabar gembira) tersebut? ” (Al-Hijr: 54).

Ibrahim berkata demikian sebagai ketakjuban dan perenungan akan besarnya kuasa dan rahmat Allah.

Nabi Allah Ya’qub ‘alaihissalam, ketika ujian berat menimpa beliau, keadaan menjadi buntu karena perpisahan dengan anak-anak beliau, harapan beliau kepada Allah dan rahmatNya justru semakin besar, beliau berkata kepada anak-anak beliau yang hadir,

يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلاّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Wahai anak-anakku! Pergilah kalian, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang kafir.” (Yusuf: 87).

Beliau juga berkata,

فَصَبْرٌ جَمِيلٌ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَنِي بِهِمْ جَمِيعاً

“Maka (kesabaranku) adalah kesabaran yang baik. Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku.” (Yusuf: 83).

Begitu pula Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Ta’ala berfirman tentangnya,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ

“Ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, ‘Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita‘.” (At-Taubah: 40).

Maka harapan beliau saat menghadapi ujian berat justru semakin besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‏وَاعْلَمْ أَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ

“Ketahuilah, bahwa jalan keluar itu ada bersama kesulitan.” (Musnad Ahmad, 1/307 No. 2803: dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma).

Dan Allah Ta’ala melarang hamba-hambaNya yang berbuat banyak dosa dan berbuat maksiat besar berputus asa dari rahmat Allah sehingga meninggalkan taubat kepada Allah darinya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ

“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kalian kepada Tuhan kalian, dan berserah dirilah kepadaNya‘.” (Az-Zumar: 53-54).

Artinya, Allah Ta’ala melarang hamba-hambaNya terbawa oleh banyaknya dosa, sehingga meninggalkan taubat dan tidak berharap ampunanNya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasukkan sikap putus asa dari rahmat Allah ke dalam dosa-dosa besar. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang dosa-dosa besar, maka beliau menjawab,

اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللّٰهِ وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ

“Syirik kepada Allah, berputus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari azab Allah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya, 3/931 No. 5201).

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللّٰهِ، وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللّٰهِ

“Dosa besar yang paling besar adalah: Syirik kepada Allah, merasa aman dari azab Allah, putus harapan dari rahmat Allah, dan berputus asa dari belas kasih Allah.” (Diriwayatkan oleh athThabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 9/156 No. 8785).

Hal itu, karena berputus asa dari rahmat Allah sama dengan berburuk sangka kepada Allah, kebodohan terhadap ampunan dan rahmatNya yang luas, sementara merasa aman dari azab Allah adalah kebodohan terhadap Allah dan kuasaNya, kepercayaan kepada diri yang berlebihan, ujub terhadap diri sendiri, ini memperingatkan seorang hamba agar selalu berjalan di antara rasa takut dan harapan.

Bila dia takut, janganlah berputus asa, sebaliknya tetap berharap rahmat Allah. Bila berharap, jangan terbuai oleh harapan, sehingga merasa aman dari azab Allah.

Sebagian as-Salaf menganjurkan seorang hamba agar menguatkan sisi takut saat sehat dan sisi harapan saat sakit dan menjelang wafat.

Keseimbangan hati antara rasa takut dan harapan mendorong kepada amal shalih dan menjauhi kemaksiatan dan taubat dari dosa-dosa. Bila keseimbangan ini goyah, lalu hati cenderung kepada salah satu sisi, maka hal ini menghambat amal shalih, menghalangi jalan taubat dan menjerumuskan ke dalam kebinasaan.

Kisah tentang umat-umat terdahulu yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an di mana mereka menyisihkan sisi takut, lalu akibatnya mereka ditimpa azab Allah, adalah merupakan sebaik-baik peringatan bagi orang-orang beriman.

Perhatikanlah perkataan kaum Nabi Hud ‘alaihissalam kepada beliau,

سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَوَعَظْتَ أَمْ لَمْ تَكُنْ مِنَ الْوَاعِظِينَ إِنْ هَذَا إِلاّ خُلُقُ الأوَّلِينَ وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ فَكَذَّبُوهُ فَأَهْلَكْنَاهُمْ

“Mereka menjawab, ‘Sama saja bagi kami, apakah engkau memberi nasihat atau tidak memberi nasihat, (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu, dan kami (sama sekali) tidak akan diazab.‘ Maka mereka mendustakannya (Hud), lalu Kami binasakan mereka.” (Asy-Syu’ara’: 136-139).

Rasa takut dan harapan termasuk bentuk ibadah yang paling besar, yang wajib diikhlaskan kepada Allah Ta’ala semata, dan kegoyahan pada keduanya sama dengan kegoyahan pada tauhid dan merusak akidah.

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.

Sumber: https://alsofwa.com/

Tags